Musdah
Mulia
Konsep Rahmatan lil Alamin
Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk menebar
rahmat (cinta kasih) bagi alam semesta. Pesan kerahmatan dalam Islam
benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam, baik dalam Qur’an maupun Hadits. Kata rahmah, rahmân, rahîm, dan derivasinya
disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar. Jumlahnya lebih dari 90
ayat. Makna genuine kata itu adalah kasih sayang atau cinta kasih. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah menyatakan: “Anâ ar-rahmân. Anâ ar-rahîm” (Aku Sang Maha Sayang. Aku Sang Maha Kasih).
Sumber Islam paling otoritatif, Qur’an, dengan sangat
tegas menyebutkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah agama “rahmatan
li al-‘âlamîn,” yakni: Aku
tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai (penyebar) kasih sayang bagi
semesta alam.” (Q.S. al-Anbiyâ [21]:107).
Fungsi kerahmatan ini dielaborasi oleh Nabi Muhammad
SAW dengan pernyataannya yang terang benderang:”Inni bu’itstu li utammima
makârim al-akhlâq” (Aku diutus Tuhan untuk membentuk moralitas kemanusiaan
yang luhur). Atas dasar inilah, Nabi Muhammad SAW selalu menolak secara
tegas cara-cara kekerasan, pemaksaan, diskriminatif, dan sekaligus Nabi SAW
tidak pernah melakukannya. Nabi Muhammad SAW menegaskan misinya ini dengan
mengatakan:
ما بعثت لعانا وانما بعثت رحمة
“Aku tidak diutus sebagai pengutuk, melainkan
sebagai rahmat bagi semesta”
Allah telah memberikan kesaksian sekaligus merestui
cara-cara atau metode penyebaran Islam yang dijalankan Nabi SAW tersebut sambil
menganjurkan agar dia meneruskannya:
فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت
فظا غليظ القلب لا نفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم فى الامر
“Maka
disebabkan rahmat (kasih sayang) Tuhanlah, kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka
menjauhkan diri dari sekitarmu, maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampunan
bagi mereka dan bermusyawaralah dengan mereka dalam segala urusan.” (Q.S. Âli ‘Imrân [3]:159).
Pernyataan
ini tentu saja seharusnya menginspirasi setiap Muslim untuk melakukan langkah-langkah kemanusiaan yang tegas dalam menegakkan keadilan yang
menjadi esensi ajaran Islam. Yakni
mewujudkan suatu tatanan
kehidupan manusia yang didasarkan pada pengakuan atas kesederajatan manusia di
hadapan hukum (al-musâwah amâma al-hukm),
penghormatan atas martabat (hifdh
al-‘irdl), persaudaraan (al-ukhuwwah),
penegakan keadilan (iqâmat
al-‘adl), pengakuan atas pikiran dan kehendak orang
lain, dialog secara santun, serta
kerjasama saling mendukung untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
Ini adalah pilar-pilar kehidupan yang seharusnya
ditegakkan oleh setiap umat Islam, tanpa harus mempertimbangkan asal usul tempat
kelahiran, etnis, warna
kulit, bahasa, jenis kelamin, orientasi seksual,
gender, keturunan, keyakinan agama, dan sebagainya.
Islam Memanusiakan Manusia
Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai
kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari
nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan tulus terhadap kesamaan dan
kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu,
yaitu Tuhan. Yang membedakan hanyalah prestasi dan kualitas takwa manusia. Soal
takwa, Tuhan semata berhak melakukan penilaian, bukan manusia.
Tujuan hakiki Islam adalah memanusiakan manusia; membina manusia agar menjadi
baik dalam semua aspek: fisik, mental, moral, spiritual, dan aspek sosialnya.
Intisari dari semua ajaran Islam berkisar pada penjelasan tentang masalah baik
dan buruk. Yakni menjelaskan mana perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan
baik yang membawa kepada kebahagiaan, dan mana perbuatan buruk yang membawa
kepada bencana dan kesengsaraan. Ajaran Islam memberikan seperangkat tuntunan
kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk
demi kebahagiaan dan ketenteraman manusia itu sendiri. Tuhan, Sang Pencipta,
sama sekali tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan,
sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya.
Manusia diciptakan dengan visi yang jelas, yaitu sebagai khalifah fil ardh (agen moral). Tugas manusia
adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam
semesta (rahmatan lil-‘âlamîn). Adapaun misi utama manusia adalah
menegakkan keadilan, kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan
mencegah terjadinya hal-hal yang buruk dan tidak terpuji (amar ma’rûf nahi
munkar). Kerja-kerja itu mencakup semua upaya transformasi dan humanisasi
sehingga pada ujungnya terwujud baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.
Salah satu tuntunan Islam yang mendasar adalah keharusan menghormati sesama
manusia tanpa melihat jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial (gender),
ras, suku bangsa, dan berbagai ikatan primordial lain. Karena itu, Islam
mempunyai dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Yang
pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara yang
terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar sesama
manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, dimensi
horisontal ini tidak terwujud dengan baik dalam kehidupan penganutnya,
khususnya dalam interaksi dengan sesamanya.
Pesan-pesan kemanusiaan Islam dielaborasi secara
sangat mengesankan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M ) dan dikembangkan
lebih lanjut antara lain oleh Abu Ishaq al-Syathiby (w.790 H) dengan konsep al-dlarûriyât
al-khams.
Al-Imam al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan utama
syariat Islam (maqâshid al-syarî’at) pada dasarnya adalah kesejahteraan
sosial atau kebaikan bersama (kemaslahatan). Al-Imam al-Ghazali menyatakan:
“Kemaslahatan menurut saya adalah mewujudkan
tujuan-tujuan agama yang memuat lima bentuk perlindungan (al-dlarûriyât al-khams). Yaitu [1] perlindungan hak berkeyakinan/beragama (hifdh al-dîn); [2] perlindungan
jiwa, hak hidup (hifdh al-nafs); [3] perlindungan akal,
hak kebebasan berpikir dan berpendapat (hifdh al-‘aql); [4] perlindungan
hak kesehatan reproduksi (hifdh an-nasl); dan [5] perlindungan
kekayaan (property), hak milik (hifdh al-mâl). Segala cara yang dapat menjamin perlindungan
terhadap lima prinsip ini disebut kemaslahatan; dan mengabaikan kemaslahatan
adalah kerusakan (mafsadah);
menolak kerusakan adalah kemaslahatan.”[2]
Dalam pendekatan kontekstual, konsep maqâshid
al-syarî’at dapat dikembangkan pemikiran sebagai berikut: Pertama, hifdh al-dîn (perlindungan terhadap keyakinan agama dan
kepercayaan), mengandung pengertian bahwa perlindungan bukan hanya terhadap
agama dan keyakinan dirinya semata, melainkan juga terhadap keyakinan orang
lain, sehingga tidak seorang pun boleh memaksa atau menindas orang lain hanya
karena keyakinan atau agamanya atau kepercayaannya yang berbeda dengan dirinya.
Kedua, hifdh al-nafs (perlindungan
terhadap jiwa), mengandung arti perlindungan terhadap nyawa dan tubuh siapapun,
sehingga tidak ada hak sedikitpun bagi siapapun untuk melukai, melecehkan,
membunuh, atau melakukan kekerasan terhadap orang lain atas dasar apapun, baik
agama, etnik, ras, warna kulit, gender, jenis kelamin, maupun orientasi
seksual.
Ketiga, hifdh al-‘aql (perlindungan
terhadap akal pikiran), mengandung makna penyediaan ruang yang bebas untuk
mengekspresikan pendapat, pikiran, gagasan, dan kehendak-kehendak yang lain,
sehingga tidak seorangpun boleh melakukan pemasungan, pelarangan, dan
pembredelan terhadap pikiran dan pendapat orang lain. Keempat, hifdh an-nasl (perlindungan terhadap kehormatan dan keturunan),
membawa konsekuensi perlindungan dan penghormatan terhadap alat-alat, fungsi,
dan sistem reproduksi dalam rangka menjaga kesehatannya, sehingga tidak
seorangpun boleh melakukan pemerkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan seksual,
pelecehan seksual, dan pemaksaan kehamilan, rentang masa kehamilan, atau
berketurunan dan jumlah keturunan,
Kelima, hifdh al-mâl perlindungan
terhadap hak milik pribadi maupun masyarakat, mengandung implikasi adanya
jaminan atas pilihan-pilihan pekerjaan, profesi, hak-hak atas upah sekaligus
jaminan keamaanan atas hak milik tersebut, sehingga tidak boleh terjadi adanya
larangan terhadap akses pekerjaan, perampasan hak milik pribadi, korupsi,
penyelewengan, penggelapan, penggusuran, perusakan lingkungan hidup dan alam,
serta eksploitasi-eksploitasi haram lainnya oleh siapapun; individu,
masyarakat, institusi keagamaan, sosial, maupun institusi negara. Untuk
mengimplementasikan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin dan
memanusiakan manusia ini dalam kehidupan nyata harus dimulai dengan memahami
kembali inti ajaran Islam, yaitu tauhid.
Apa itu Tauhid?
Tauhid adalah inti ajaran Islam, mengajarkan bagaimana berketuhanan secara
benar dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Dalam
kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan
mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah,
sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar akan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki
di akhirat.
Pengetahuan awal mengenai tauhid adalah mengakui keesaan Allah, yang
menciptakan alam semesta, mengenal Asma (Nama) dan Sifat-Nya, serta mengetahui
bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud-Nya. Tapi pengertian tauhid lebih
dari sekadar itu. Pasalnya, kalau tauhid hanya berupa pengakuan akan keesaan
dan kekuasaan Tuhan, maka makhluk serendah iblis pun bisa melakukan hal serupa.
Iblis mempercayai Allah sebagai Tuhan, namun pengakuan itu tidak diiringi
dengan ketaatan kepada perintah-Nya, yakni agar bersujud kepada Adam sebagai
tanda patuh dan penyerahan diri kepada-Nya. Iblis malah melakukan sebaliknya.
Dia percaya kepada Allah, tetapi justru memohon agar diizinkan berbuat zalim, yaitu
menjerumuskan manusia.[3]
Masyarakat Arab jahiliyah, tempat Rasulullah Saw. diutus, juga meyakini
bahwa pencipta, pengatur, pemelihara, dan penguasa alam ini hanya Allah.[4] Namun, kepercayaan dan keyakinan mereka belum menjadikan mereka sebagai
makhluk berpredikat “Muslim” dan “Mukmin,” yakni makhluk yang berserah diri dan
beriman secara total kepada Allah Swt. Karena dalam kenyataannya, pengakuan itu
tidak menjadikan mereka sebagai “muwahhid” (orang yang bertauhid)
secara esensial, baik secara vertikal dengan Sang Khalik, maupun secara
horizontal dengan sesama makhluk.
Memahami Tauhid Dengan Benar
Tauhid dalam realitas sosial sering kali direndahkan maknanya sedemikian
rupa sehingga menjadi doktrin yang tidak menyentuh persoalan riil manusia dan
masalah-masalah kemanusiaan kontemporer. Tauhid sering kali dipahami hanya
sebatas mengetahui sifat-sifat Allah, mengetahui rukun iman atau yang semacam
itu. Tauhid tidak lagi tampak sebagai kekuatan pencerahan dan pembebasan
manusia dari ketidakadilan, ketertindasan, dan penistaan-penistaan lainnya
sebagaimana diajarkan dan dipraktikkan oleh Rasulullah.
Tauhid secara bahasa adalah mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa
sesuatu itu satu. Secara terminologis, tauhid adalah penghambaan diri hanya
kepada Allah Swt. dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya dengan penuh rasa tawadhu, cinta, harap, dan takut hanya
kepada-Nya. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tauhid. Di
antara sekian banyak ayat tentang tauhid, surah Al-Ikhlas bisa disebut sebagai
inti ajaran tauhid, surah ini mengandung beberapa ajaran penting tentang
tauhid, yakni Allah adalah Esa, Allah adalah tempat bergantung, Allah tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada satu pun makhluk di alam
semesta yang menyamai Allah.
Ajaran-ajaran pokok ini telah diimplementasikan dengan baik oleh Rasulullah
dalam kehidupan individual maupun sosial. Dengan ajaran ini, Rasulullah
melakukan perubahan di segala bidang, dari tingkat ideologis sampai ke tingkat
praktis. Keyakinan akan keesaan Allah membuat Rasulullah dengan tegas melarang
praktik mempertuhankan apa pun selain Allah, seperti patung berhala, kebesaran
suku, pemimpin, penguasa. Termasuk hawa nafsu dan ego yang ada dalam diri
manusia.
Keyakinan bahwa hanya Allah tempat bergantung menjadikan Rasulullah
memiliki kekuatan moral yang luar biasa dalam melapangkan jalan menuju revolusi
sosial, walau dihadang dengan sangat keras oleh para pembesar Quraisy dan
suku-suku Arab lainnya. Kebesaran musuh-musuh ini tidak membuat Rasulullah gentar,
karena dia memiliki tempat bergantung dan bersandar yang jauh lebih kuasa dan
perkasa, yakni Allah Yang Maha Agung. Tidak ada ketakutan terhadap kekuatan apa
pun selain Allah, dan tidak ada pengharapan apa pun yang patut digantungkan
selain kepada Allah.
Tauhid Melahirkan Prinsip
Kesetaraan
Keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara dengan Allah dan tidak ada
anak dan titisan Tuhan pada gilirannya melahirkan pandangan kesetaraan manusia
sebagai sesama makhluk Allah. Tidak ada manusia nomor satu dan
manusia nomor dua. Manusia pada hakikatnya sama. Tidak ada manusia yang boleh
dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan tempat bergantung,
ditakuti, disembah, dan seluruh tindakannya dianggap benar tanpa syarat.
Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang
kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin. Oleh karena mereka bukan tuhan, maka
rakyat tidak boleh mempertuhankan rajanya dan pemimpinnya, bawahan tidak boleh
mempertuhankan atasannya dan istri tidak boleh mempertuhankan suaminya.
Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami
yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Allah merupakan pengingkaran
terhadap tauhid.
Pada tataran sosial, kekuatan tauhid pada diri Rasulullah Saw. membuatnya
berani membela mereka yang direndahkan, teraniaya dan terlemahkan secara
struktural dan sistemik (mustadh’afîn), seperti kaum perempuan, budak,
anak-anak, dan kelompok rentan lain yang diperlakukan secara zalim oleh para
penguasa dan pembesar masyarakat yang menutupi kezalimannya di balik nama
Tuhan.
Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak sekadar doktrin keagamaan yang
statis. Ia adalah energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan
sebagai Tuhan, dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid
tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga
melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral, santun, manusiawi, bebas dari
diskriminasi, ketidakadilan, kezaliman, rasa takut, penindasan individu atau
kelompok yang lebih kuat, dan sebagainya. Itulah yang telah dilakukan oleh
Rasulullah Muhammad Saw.!
Di samping membebaskan manusia dari belenggu thâghût dan kezaliman,
tauhid menghapuskan semua sekat-sekat diskriminasi dan subordinasi. Keyakinan
bahwa hanya Allah yang patut dipertuhankan dan tidak ada siapa pun dan apa pun
yang setara dengan Allah, meniscayakan kesamaan dan kesetaraan semua manusia di
hadapan Allah, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah. Manusia, baik
laki-laki maupun perempuan, mengemban tugas ketauhidan yang sama, yakni
menyembah hanya kepada Allah swt.[5]
Sebagai khalifah di muka bumi, tugas manusia adalah membawa kemakmuran,
kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan
lil-‘âlamîn). Satu hal paling penting untuk menuju ke sana adalah adanya
kesadaran menegakkan kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak benar (amar ma’rûf nahi munkar).
Tugas ini tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis manusia, sementara satu jenis
yang lain melakukan hal yang sebaliknya. Sebagai manusia yang sama-sama
mengemban tugas kekhalifahan, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh Tuhan
untuk saling bekerja sama, bahu-membahu dan saling mendukung dalam melakukan
amar ma’ruf nahi munkar demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik, dan
indah dalam ridha Allah.[6]
Dalam ayat di atas terdapat kata khalâ’if (bentuk jamak dari khalîfah)
yang berarti penguasa. Dalam tata bahasa Arab, kata khalifah tidak
menunjuk pada jenis kelamin atau kelompok tertentu. Dengan demikian, perempuan
dan laki-laki mempunyai fungsi yang sama dan akan mempertanggungjawabkan
kekhalifahannya di hadapan Allah swt. Hanya satu kata kunci yang memungkinkan
manusia bisa mempertanggungjawabkan segala peran dan fungsinya baik sebagai
hamba maupun sebagai khalifah. Kata kunci itu adalah
ketakwaan, bukan keutamaan nasab, bukan jenis kelamin tertentu, dan bukan pula
kemuliaan suku.[7]
Sangat jelas akhirnya, Islam membawa gagasan besar kesetaraan manusia
sehingga tidak boleh ada manusia -untuk alasan apa pun- mendapatkan perlakuan
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dari sesamanya manusia. Itulah fungsi
rahmat dari ajaran Islam. Dengan ungkapan lain, Islam hadir menebar rahmat bagi
semua manusia dan juga bagi sekalian alam semesta.
[1]Disampaikan
pada Seminar Diskusi Publik dengan judul: Islam Rahmatan lil Alamin: Antara Ajaran dan Budaya,
diadakan oleh Lingkar Perempuan Nusantara, di Jakarta, tanggal 5 Juli 2018.
[2]Abu Hamid bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfâ min’ Ilm al-Ushûl, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th), hlm. 286.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar