MELAWAN
FUNDAMENTALISME:
MEMANUSIAKAN
PEREMPUAN
Musdah
Mulia
Pendahuluan
Fundamentalisme
dan feminisme adalah dua istilah yang tidak pernah seirama, bahkan terkesan
bermusuhan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa perempuan adalah korban
pertama dan utama dalam masyarakat yang menganut faham fundamentalisme. Mengapa
perempuan? Sebab, fundamentalisme melanggengkan nilai-nilai patriarkal yang
selalu melihat perempuan sekedar obyek. Itulah mengapa dalam fundamentalisme
agama perempuan diposisikan sebagai simbol kemurnian agama. Tidak heran, jika
kelompok pertama yang menjadi obyek dalam upaya-upaya permunian agama tersebut adalah
perempuan.
Dalam sejarah
perkembangan agama-agama, sebutan untuk gerakan fundamental tumbuh sebagai
reaksi atas munculnya berbagai aliran keagamaan yang sifatnya progresif dan
liberal. Fundamentalisme mengklaim diri sebagai pemegang otoritas untuk
memurnikan agama yang dianggap telah dinodai oleh kaum progresif dan liberal.
Fundamentalisme lahir untuk menjaga dan mengawal kemurnian agama. Fatalnya,
yang mereka maksudkan dengan pemurnian agama adalah kembali kepada teks-teks
suci agama yang dipahami secara literal dan sangat rigid, serta mengabaikan pemahaman
kontekstual yang justru menyimpan pesan-pesan moral dari ajaran agama tersebut.
Bagi kalangan fundamentalisme, upaya pemurnian agama
harus dimulai dari perempuan. Pandangan demikian muncul karena sejumlah praktek
pemurnian agama dengan menjadikan perempuan sebagai obyek utama mendulang
kesuksesan yang sangat signifikan. Sebab, itulah cara yang paling mudah dan
sekaligus paling murah, lagi pula paling sedikit resistensinya.
Lihat saja ketika Aceh diproklamirkan sebagai provinsi
yang memiliki kewenangan untuk menegakkan syariat Islam. Program penegakan
Syariat Islam yang paling menonjol dan berhasil adalah mewajibkan jilbab bagi seluruh
perempuan di Aceh. Pertanyaan kritis muncul, mengapa upaya mewujudkan
pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh semua masyarakat tidak
dijadikan program prioritas dalam upaya penegakan Syariat Islam di Aceh? Bukankah
ayat Alqur’an yang pertama turun memberikan warning tentang pentingnya
membaca? Islam adalah agama yang paling vokal bicara tentang pentingnya
pendidikan. Bahkan, tetesan tinta para ulama dianggap setara dengan tetesan
darah para syuhada.
Faktanya, untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas,
butuh kerja keras dan waktu yang panjang, sedangkan program mewajibkan jilbab,
sangat mudah. Cukup dengan menerbitkan sehelai surat edaran, lalu memerintahkan
polisi syariah menangkap para pembangkang. Tidak perlu kerja keras, tidak perlu
buat perencanaan kerja yang rumit, bahkan para pejabat tidak perlu berkeringat.
Bukan hanya itu, program ini juga tidak mendapatkan resistensi yang berarti.
Sebab, mereka yang menolak tinggal dicap kafir atau liberal, titik.
Bagi kalangan fundamentalisme, istilah memurnikan agama bermakna
mengembalikan perempuan kepada fungsi domestiknya. Memurnikan agama berarti
domestifikasi perempuan. Dengan dalih pemurnian agama, perempuan tidak boleh
beraktivitas di luar rumah, mereka dipulangkan ke ranah domestik dan dibatasi
hak-haknya sebagai warga negara, dan sebagai manusia merdeka. Kondisi seperti
ini terjadi di Afghanistan tahun 2001. Ketika kelompok fundamentalisme Islam Taliban
berkuasa, semua perempuan ditarik dari ruang publik. Para perempuan yang
tadinya berkarir sebagai dokter, hakim, guru, perawat, dan sebagainya dipaksa
berhenti dari pekerjaan mereka dan kembali ke rumah.
Pandangan
pakar tentang fundamentalisme
Sejumlah pakar mendefinisikan fundamentalisme dengan
redaksi yang berbeda, namun pada intinya mereka sepakat bahwa fundamentalisme
berkaitan erat dengan doktrin keagamaan, ideologi ekslusif. Karen Amstrong
sebagai peneliti agama-agama melihat fundamentalisme tidak hanya sekedar
memelihara doktrin absolut, melainkan lebih dari pada itu, yakni sebuah upaya
merespon krisis yang melanda masyarakat agama (embatled forms of
spirituality, which have emerged as a response to a perceived crisis).[1] Amstrong melihat
fundamentalisme tidak hanya sebagai gerakan kembali ke akar, melainkan sebagai
gerakan melawan modernitas dan semua hal yang menyebabkan munculnya krisis
multidimensional. Karen melihat fundamentalisme sebagai sebuah gejala
kontemporer.
Karen Amstrong menambahkan bahwa fundamentalisme tidak
hanya melanda masyarakat dan agama tertentu melainkan merambah dalam
agama-agama semitik lainnya; Islam, Kristen dan Yahudi. Ini membuktikan bahwa dalam setiap agama
terdapat doktrin dan ajaran yang secara eksplisit dapat menyebabkan adanya
kecenderungan untuk memanipulasi dan memonopoli tafsir keagamaan untuk tujuan
idiologis dan politis.
Bassam Tibi mempunyai pandangan lain, menurutnya
fundamentalisme tidak hanya sekedar solusi buat krisis, melainkan sebuah upaya
untuk membuat tatanan baru. Menurutnya, fundamentalisme adalah suatu weltanchaung
atau pandangan dunia (worldview) yang berusaha membangun tatanannya
sendiri, dan dengan demikian mereka mengklaim pandangan mereka sebagai sesuatu
yang berlaku universal.
Jan Harpe, selanjutnya, mengartikan fundamentalisme
sebagai keyakinan kepada Qur'an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang
mengandung norma-norma politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, untuk
menciptakan masyarakat yang baru. Menurut Binder, sebagai aliran keagamaan,
fundamentalisme adalah aliran yang bercorak romantis kepada Islam periode
awal. Mereka berkeyakinan bahwa doktrin
Islam adalah lengkap, sempurna dan mencakup segala macam persoalan. Hukum-hukum
Tuhan diyakini telah mengatur seluruh alam semesta tanpa ada masalah-masalah
yang luput dari perhatiannya.
Pengertian fundamentalisme dengan menekankan unsur rigid
dan literalis dikemukakan oleh Allan Tailor, Patrick Bannerman, Daniel Pipes,
Bassam Tibi dan Bruce Lawrence. Menurut Taylor, kaum fundamentalis adalah
kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi
keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin. Bagi
Bannerman, kaum fundamentalis adalah kelompok ortodoks yang bercorak rigid
dan ta'ashub yang bercita-cita untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan
dari abad ke tujuh Masehi, yaitu doktrin Islam zaman klasik.
Corak fundamentalisme sebagai aliran keagamaan yang
bersifat rigid dikemukakan juga oleh Daniel Pipes. Menurutnya, kaum fundamentalis
adalah kelompok yang berkeyakinan bahwa syari'ah
adalah peraturan-peraturan yang kekal dan abadi sepanjang zaman tanpa perlu
ditafsirkan ulang untuk menyesuaikannya dengan perubahan zaman. Bassam Tibi, bahkan mengartikan fundamentalis
secara lebih tegas, yaitu aliran keagamaan yang menolak segala hal yang baru
selain dari pada apa yang telah ada dalam doktrin. Tetapi Bruce Lawrence,
selain menekankan corak rigid kaum fundamentalis, lebih menekankan
definisi fundamentalis pada penegasan
otoritas keagamaan sebagai holistik dan mutlak, tanpa memberikan penghargaan
kepada kristisisme atau pun pemikiran reduktif. Ia juga memasukkan ekspresi
sosiologis fundamentalisme ke dalam suatu tuntutan kolektif, yaitu tuntutan
agar keyakinan dan nilai-nilai etika yang diajarkan oleh agama diterima oleh
masyarakat dan secara legal-formal wajib dilaksanakan.
Ciri-ciri
fundamentalisme
Menarik mengamati fundamentalisme dari perspektif
sosiologis. Terlihat bahwa walaupun gerakan fundamentalisme mengekspresikan
watak khas tradisi agama tertentu, namun terdapat kesamaan ciri mendasar antara
satu agama dan agama lainnya, yakni, gerakan yang muncul sebagai dampak dari
proses transformasi sosial. Karena itu, fundamentalisme bisa didefinisikan
sebagai suatu bentuk gerakan agama yang bereaksi terhadap perubahan sosial dan
menganggapnya sebagai krisis.
Sebagai suatu konsep, fundamentalisme mengandung dalam
dirinya, paling tidak tiga unsur: fenomena keagamaan; penolakan terhadap dunia
sebagai reaksi terhadap perubahan sosial dan kultur yang dipersepsikannya
sebagai krisis; dan reaksi defensif dengan berupaya mempertahankan atau
merestorasi tatanan sosial masa lalu yang diidealkan atau diimajinasikan
sebagai paling otentik dan benar.
Fatalnya, dalam kaitan dengan masa lalu, pendekatan
mereka bersifat “mistis”, karena menganggapnya sebagai tidak berubah dan
kebenaran abadi. Sementara, masa kini
dan masa depan dipandangnya dalam kerangka eskatologis. Untuk unsur pertama dan
kedua, mereka kerap mengembangkan etika hukum yang cenderung rigid (kaku),
karena memusatkan perhatian pada regulasi hukum yang konkret, seperti ketentuan
haram, halal, dan seterusnya. Perhatian yang begitu besar pada regulasi
kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada prinsip-prinsip keagamaan dan
kewajiban ritual, menyebabkan pemahaman keagamaan yang dikembangkan bersifat sangat
legal-formal.
Selanjutnya, Leonard Binder, menyebutkan bahwa ciri utama
fundamentalisme adalah pandangannya yang khas mengenai kedudukan ijtihad. Menurutnya,
kaum fundamentalis hanya membenarkan ijtihad yang dilakukan sepanjang syariah
tidak memberikan perincian yang lebih mendalam terhadap masalah-masalah
tertentu. Selain itu, harus tidak ada preseden dari tradisi awal Islam, atau
pun pendapat para fuqaha terkemuka dari zaman yang silam tentang
persoalan-persoalan itu. Jika ijtihad dilakukan, ia hanya boleh
dilakukan oleh para mujtahid, yaitu alim ulama yang telah memenuhi
syarat-syarat untuk melakukan ijtihad. Ijma (konsensus), meskipun diakui
sebagai salah satu sumber hukum Islam, tetapi terbatas pada ijma dari
zaman para sahabat Nabi. Ijma pada zaman itu tidak boleh dihapuskan oleh
ijma yang disepakati oleh generasi-generasi
yang hidup di zaman kemudian.
Fazlur Rahman menambahkan dua ciri lain terhadap
fundamentalisme, yaitu semangat anti Barat dan anti intelektual. Pemikiran
fundamentalisme, tambah Rahman, tidaklah berakar kepada Al-Quran dan budaya
intelektual tradisional Islam. Semangat anti Barat yang diperlihatkan oleh kaum
fundamentalis juga terlihat pada sikapnya yang mengutuk modernisme karena corak
adaptasi dan akulturasinya dengan budaya
intelektual Barat.
Ciri lain lagi dikemukakan oleh Hrair Dekmeijian,
fundamentalisme lebih mementingkan slogan-slogan revolusioner dibandingkan
dengan kemampuan mengemukakan gagasan secara terperinci. Slogan, seperti "Jihad" dan "menegakkan hukum
Allah" adalah slogan utama kaum fundamentalis. Selain karakteristik ini,
menurut Dekmejian, kaum fundamentalis cenderung untuk membakar emosi dengan
slogan-slogan "mempertahankan kemurnian" dan "syahid membela
Islam”, dibandingkan dengan penggunaan cara-cara pemikiran yang rasional dan
intelektual. Ringkasnya, menurut Dekmeijian, kaum fundamentalis lebih cenderung
bersikap doktriner dalam menyikapi persoalan yang dihadapi, namun kurang
berusaha memikirkan segi-segi praktis yang secara implementatif dapat
menyelesaikan masalah .
Fundamentalisme
Islam
Apa itu fundamentalisme Islam? Fundamentalisme Islam pada
dasarnya lebih merupakan sebuah istilah politis dari pada istilah agama. Istilah
ini terkesan mengandung permusuhan politis dari pada ortodoksi agama. Istilah
fundamentalisme dalam konteks Islam pertama kali digunakan oleh media massa
Amerika ketika revolusi Iran pada tahun 1979, dan di sini fundamentalisme
memiliki arti negatif. Sejak itu, media
dunia menggunakan istilah fundamentalisme Islam dengan arti negatif. Bukan
hanya para jurnalis, tetapi cendikiawan di seluruh dunia juga menggunakannya
sebagai istilah yang memuat kesan negatif.
Kemudian, faktor apa yang mendorong
timbulnya gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia? Ada beragam faktor, di antaranya faktor sosio-psikologis
umat Islam yang kecewa terhadap kebijakan dan program Orde Baru yang dinilai
lebih menonjolkan pandangan keislaman liberal dan sekuler. Menurut mereka,
upaya modernisasi yang sangat gigih dijalankan Orde Baru mengakibatkan umat
Islam Indonesia kehilangan identitas budaya, nilai-nilai, dan norma sehingga
mengalami krisis identitas keagamaan yang selanjutnya menjadi penyebab bagi
timbulnya krisis moral. Sebagai respon terhadap kegagalan tersebut muncul kelompok
yang menyerukan untuk kembali ke konsep Islam "sejati", Islam
sebagaimana dipraktekkan di masa Rasul dan para sahabatnya. Menurut kelompok
fundamentalis, Islam yang harus diacu adalah Islam yang pernah jaya dalam
sejarah peradaban umat manusia, yakni Islam klasik zaman Rasul sampai Daulah
Abbasiyah. Sayangnya, mereka lebih mengadopsi identitas keislaman yang bersifat
fisik atau legal-formal, seperti pemakaian jilbab bagi perempuan, penggunaan
hijab di tempat-tempat umum agar laki-laki dan perempuan tidak saling bertemu
dan berinteraksi secara langsung; memakai celana puntung, jubah dan jenggot
bagi laki-laki; cara makan, cara bersiwak, cara bersalaman; demikian pula
pandangan politiknya.
Selain itu, romantisme untuk
kembali ke gelanggang politik dari kelompok Islam Masyumi yang mendapatkan
angin setelah jatuhnya kekuasaan Orde Baru.
Kelompok ini terdiri dari mantan politisi yang tersingkir di masa Orde
Baru lalu menfokuskan diri pada gerakan dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) dan semacamnya. Lembaga ini aktif melakukan
pengkaderan dan mengirim sejumlah kadernya untuk menimba ilmu di negara-negara
Muslim, seperti Saudi Arabia, Mesir, Pakistan dan Malaysia. Para kader inilah
kemudian menjadi kelompok pemikir yang berhaluan keras yang selanjutnya giat
menyerang pemikiran moderat di Indonesia.[2]
Lalu, mengapa umumnya umat Islam menolak istilah
fundamentalisme? Sebab, istilah ini merupakan istilah asing atau datang dari
luar Islam (impor). Artinya, bahwa istilah itu tidak dikenal dalam ajaran
Islam. Fundamentalisme merupakan istilah yang dikonstruksi oleh orientalis dan
islamolog. Kenyataan ini telah menyebabkan sejumlah komunitas muslim menolak
dan keberatan dengan istilah tersebut.
Namun, akhir-akhir ini istilah itu semakin populer dalam khazanah Islam,
dan diterjemahkan ke Bahasa Arab dengan al-ushuliyyah artinya paham yang
ingin kembali ke dasar (al-awdah ila al-ushul).
Tradisi keilmuan klasik menyebut dasar-dasar keagamaan
dengan istilah ushul al-ddin (akidah)[3] dan ushul al-fiqh
(fiqih).[4] Kedua model keilmuan ini
mempunyai ketahanan dan kekebalan yang luar biasa karena senantiasa diwariskan
secara turun-temurun dan sudah berlangsung berabad-abad tanpa mengalami
perubahan yang signifikan. Kedua model keilmuan tersebut diterima tanpa
reserve, dan malah sering dianggap sebagai “wahyu” yang taken for granted.
Pada umumnya gejala fundamentalisme
Islam mengambil bentuk intensifikasi penghayatan Islam dalam format yang sangat
tekstualis, baik dalam bentuk intensifikasi keislaman yang berorientasi ke
dalam (inward oriented) yang lebih bersifat individual (psikologis)
maupun yang berorientasi ke luar (outward oriented) yang lebih bersifat
sosial-politik. Kelompok fundamentalis Islam secara esensial memperjuangkan
Islam sebagai pedoman hidup menyeluruh. Islam yang mencakup seluruh aspek dalam
kehidupan manusia: mencakup sistem nilai dan sistem hukum. Islam berisi ajaran
yang serba lengkap. Karena itu, istilah-istilah ekonomi Islam, politik Islam,
keluarga Islam, negara Islam, bank Islam, perumahan Islam, ilmu pengetahuan
Islam mendominasi retorika kelompok ini.
Berdeda dengan kelompok pembaru (modernis)
yang menekankan pada aspek teologi atau nilai-nilai, kelompok fundamentalis justru
menekankan pada aspek fiqh dan memandang fiqh sebagai perwujudan dari teologi.
Dan keterpaduan teologi dan fiqh ini melahirkan suatu komunitas Islam yang
unik. Bagi mereka, Islam adalah identitas dalam kehidupan sosio-politik.
Namun, secara sosiologis, pandangan fundamentalisme tidak
memiliki masa depan Islam di mana pun, termasuk di Indonesia. Hal itu mengingat tendensi mereka yang
menekankan literalisme sehingga pada gilirannya mengalami pemiskinan intelektual.
Alternatif-alternatif mereka yang sangat terbatas dan konsep-konsep mereka yang
secara intelektual miskin itu tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman
yang semakin meningkat. Ketiadaan
alternatif itu pula yang menyebabkan mereka berada dalam kubangan absolutisme
dan pemaksaan kehendak. Selain itu, fundamentalisme juga ditengarai sebagai
ancaman utama terhadap demokrasi, kebebasan warga, hak-hak perempuan, kemajuan
saintifik, hak-hak sipil kelompok minoritas etnik dan agama. Bahkan, tidak
sedikit kalangan sarjana Muslim
menganggap kaum fundamentalis sebagai suatu ancaman terhadap Islam itu sendiri.
Berbeda dengan kelompok moderat
yang bersifat elitis, kelompok fundamentalis tampaknya lebih populis, dan
pikiran-pikiran keagamaan yang mereka tawarkan lebih mudah dicerna oleh
masyarakat umum karena lebih simpel dan tidak memerlukan analisis yang panjang,
bersifat tekstualis, sangat harfiyah dan tidak mengandung penjelasan filosofis
yang rumit-rumit seperti pemikiran para pembaharu. Tambahan lagi, pemikiran keagamaan
yang mereka sampaikan, khususnya berkaitan dengan relasi gender, sangat
akomodatif dengan budaya patriarki yang masih kental dianut di masyarakat,
yaitu pemikiran yang memandang perempuan sebagai subordinat laki-laki dan makhluk
domestik belaka.
Fundamentalisme
Meminggirkan Perempuan
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa perempuan selalu
berada dalam posisi sebagai korban setiap suatu masyarakat mengalami proses fundamentalisasi.
Perempuan dalam agama apa pun selalu menjadi sasaran diskriminasi dan
eksploitasi para penafsir fundamental yang benci pada perempuan (mysogini).
Diskriminasi penafsiran, kata Karen Amstrong6,
dimulai ketika sejarah agama dipisahkan dari kontek historis dan raison de
etre keyakinan individu pemeluknya. Pergulatan agama hanya dipahami sebagai
interior journey daripada sebagai sebuah sejarah dan drama politik.
Sehingga terkesanlah teologi sebagai ilmu yang tertutup, yang menghasilkan
masyarakat agama yang tertutup pula. Tak ayal banyak konflik baik di tingkat
global maupun nasional diakibatkan oleh teologi yang ekslusif. Jika memang
benar fundamentalisme merupakan ekspresi dari kegelisahan dan kebekuan
kolektif, maka tidak bisa disikapi dengan pertarungan melainkan pemahaman dan
empati, membangun komunitas yang saling percaya, bertanggung jawab atas
terwujudnya keadilan, suka cita dan kedamaian hidup bagi semua.
Pertanyaan muncul, mengapa mesti perempuan jadi korban?
Perempuan menjadi sasaran kelompok fundamentalis karena mereka merasa memiliki
legitimasi agama untuk menyerang kaum perempuan. Legitimasi agama didukung pula
oleh nilai-nilai yang secara umum memang berwatak patriarkis. Tidak mengherankan jika suatu masyarakat atau
negara mengalami fundamentalisasi, domestifikasi perempuan biasanya menjadi
program politik pertama. Mengapa demikian? Sebabnya adalah biaya sosial politik
domestifikasi perempuan sangat murah dan mudah. Murah dan mudah karena dalam
struktur masyarakat patriarki proyek domestifikasi perempuan tidak akan
mendapat resistensi sosial politik yang berarti.
Para pemerhati perempuan sepakat menyebutkan, perempuan
diperebutkan tidak lain karena perempuan merupakan perwujudan dari berbagai
simbol: simbol kehidupan; simbol kekuasaan, simbol kebenaran, simbol moralitas,
dan simbol kemurnian ajaran agama. Karena itu, perempuan menjadi target dan
sasaran. Sebab, menaklukkan perempuan berarti menguasai kehidupan,
mengontrol kekuasaan, membela kebenaran,
menjaga moralitas, dan mengembalikan kemurnian ajaran agama.
Sangat wajar jika isu perempuan hangat dibicarakan dalam
wacana fundamentalisme. Yang pasti bahwa dalam fundamentalisme Islam, perempuan
selalu terpasung hak-haknya sebagai manusia dan akibatnya posisi perempuan
kembali terpuruk. Sebab, gagasan kembali ke Islam yang diperjuangkan kelompok
fundamentalis selalu bermakna kembali kepada Islam tekstualis; kembali kepada karakter ideologis yang statis,
ahistoris, eksklusif, dan bias patriaki.
Bukan kembali ke visi otentik Islam yang cirinya adalah dinamis, kritis,
rasional, inklusif, dan mengapresiasi pluralisme serta mengakomodasikan
perubahan dan pembaruan untuk kemaslahatan semua manusia.
Masyarakat muslim yang mempertahankan fundamentalisme
memiliki kecenderungan memanipulasi dan memanfaatkan ajaran Islam untuk
melegitimasi kekuasaan patriarkhi dan mengucilkan perempuan dari ruang publik. Apabila
mengamati secara umum hak-hak sipil dan politik kaum perempuan di bawah berbagai
rezim Islam di dunia ini, terlihat secara kasat mata bahwa Islam sungguh
membelenggu hak-hak sipil dan politik kaum perempuan.
Sebagai contoh, Konstitusi Islam Iran tahun 1979 setelah
kemenangan revolusi misalnya, walaupun tidak secara eksplisit menunjukkan
subordinasi perempuan sebagai warganegara kelas dua, dalam aktualisasinya telah
membatasi hak-hak sipil dan politik kaum perempuan di wilayah publik. Ideologi
pemerintah revolusioner Iran sangat patriarkhis terutama pada masa pemerintahan
Imam Khomeini.16 Atas nama agama, Khomeini menempatkan
perempuan pada fungsi primer di ruang interior, sekadar mengasuh anak dan tidak
mendapatkan pendidikan yang setara. Di bidang pendidikan perempuan hanya
mendapatkan mata kuliah tertentu yang berbeda dari kaum laki-laki. Mereka
tereksekusi dari berbagai pekerjaan berkelas seperti di wilayah kehakiman dan
berbagai jabatan birokrasi, politik dan pemerintahan.17 Jadi
yang mereka maksudkan kembali kepada Islam adalah kembali kepada karakter
ideologis yang statis, ahistoris, sangat eksklusif, dan bias patriaki. Bukan
kembali ke visi otentik Islam yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional,
inklusif, mengapresiasi pluralitas dan pluralisme serta mengakomodasikan
perubahan dan pembaruan.
Di Iran misalnya, setelah Revolusi
Islam Iran tahun 1979, pemerintahan Khomeini memproklamirkan sebuah konstitusi
yang disebutnya Konstitusi Islam Iran yang di dalamnya menempatkan perempuan
dalam posisi subordinat sebagai warga negara kelas dua. Perempuan dibatasi
hak-hak sipil dan politiknya di ranah publik. Fundamentalisme berusaha
mengembalikan perempuan ke dalam rumah dan meneriakkan slogan bahwa fungsi
utama seorang perempuan adalah mengasuh anak dan mengerjakan tugas-tugas pokok
di rumah tangga.
Perubahan mulai terjadi di masa pemerintahan Muhammad
Khatami tahun 1997. Era Khatami adalah
tahun yang menentukan dalam panggung politik Republik Rakyat Iran. Koalisi kaum
perempuan, kaum muda dan suara reformis berhasil membawa Khatami sebagai
Presiden Republik Islam Iran melalui Pemilihan Umum. Bersamaan dengan perubahan politik tersebut,
suara-suara moderat dan pembukaan akses yang lebih luas dan setara bagi
perempuan Iran semakin diperhatikan. Khatami merupakan presiden progresif yang
memperkenalkan liberalisasi politik dalam makna yang sebenarnya di dalam
pemerintahan Islam Iran. Di bawah Khatami, pemerintah Iran perlahan-lahan
membuka ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam wilayah politik. Khatami
menunjuk beberapa perempuan masuk dalam kabinet pemerintahannya. Secara personal, dia pun tidak keberatan
dengan wacana bolehnya perempuan sebagai kepala negara.
Perempuan Sudan juga mengalami apa
yang terjadi di Iran. Sudan dibawah rezim Omar Al-Bashir dan Hassan Al-Turabi adalah salah satu
negara yang memarjinalkan perempuan. Berbagai wilayah pendidikan tingkat tinggi
tidak dapat diakses perempuan. Penggunaan hijab merupakan kewajiban, bukan
pilihan yang sadar. Perempuan tidak punya
banyak kesempatan untuk bekerja di bidang pemerintahan. Hanya 40%
perempuan mendapatkan kesempatan bekerja di pemerintahan.19 Perempuan
tidak bisa dengan leluasa bepergian ke tempat-tempat umum kecuali disertai
muhrimnya yang nota bene harus laki-laki;
perempuan juga tidak punya akses ke pendidikan tinggi.[5]
Dengan demikian, perempuan terpasung hak-haknya yang asasi sebagai manusia
merdeka.
Kondisi paling memprihatinkan adalah kaum perempuan
Afghanistan masa pemerintahan Islam Taliban. Pada masa ini, kaum perempuan kembali dirumahkan, interaksi
dengan dunia luar hanya dilakukan melalui jendela. Mereka tidak diizinkan
mengikuti pendidikan di sekolah, tidak dizinkan bekerja di luar rumah.
Perempuan yang dulunya berprofesi sebagai guru, hakim, pengacara harus kembali
tinggal di rumah, kalaupun harus keluar rumah, mereka harus mengenakan pakaian
serba tertutup yang disebut burkah, hanya bagian mata yang sedikit terbuka.
Seorang perempuan Afghanistan bernama Latifah bertutur
saat berhasil melarikan diri dari negaranya dalam sebuah catatan harian yang
kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Latifah: My Forbidden face”.
Dengan getir Latifah menceritakan kekerasan psikologis yang ia alami dan juga
diderita oleh setiap perempuan di bawah rezim Taliban.20 Menurut pengakuan Latifah, pada masa
pemerintahan Taliban, interaksinya dengan dunia luar hanya terbatas pada
jendela dapur dan pintu rumahnya. Sebelum pemerintahan Taliban, perempuan bebas
ke sekolah. Akibat diskriminasi gender yang diterapkan Taliban, Latifah dan
teman-teman perempuannya harus berdiam diri di rumah dan dihalangi kesempatan
dan hak-haknya untuk mengecap pendidikan. Taliban mengajarkan para perempuan agar
menerima dibatasi oleh tembok-tembok keluarga.
Bagaimana di Indonesia? Kaum
fundamentalis di Indonesia memperjuangkan hal yang sama. Pengalaman pengucilan perempuan
dari ruang publik seperti terjadi di Iran, Sudan dan Afghanistan mereka adopsi secara utuh lalu memaksakannya
pada perempuan Indonesia.
Kaum fundamentalis Islam di
Indonesia memaksa perempuan harus kembali mengamalkan syariat Islam, dan
syariat Islam yang dipahami mereka itu adalah syariat yang tidak kritis dan
tidak rasional. Syariat yang memenjarakan perempuan sehingga jauh dari
pengalaman perempuan di masa Rasul. Dalam ranah negara, implementasi Syariat
Islam terwujud dalam bentuk peraturan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap
perempuan, seperti UU Pornografi, berbagai peraturan daerah (Perda), seperti Perda tentang
kewajiban berjilbab; Perda tentang larangan keluar malam bagi perempuan tanpa
disertai mahram; Perda larangan prostitusi, dan sejumlah Qanun di Aceh, di
antaranya Qanun Khalwat dan kewajiban berjilbab. Selanjutnya dalam ranah
masyarakat sipil, implementasi syariat Islam mengambil wujud kehadiran fatwa
MUI yang diskriminatif terhadap perempuan; munculnya organisasi keislaman yang
visi dan misinya mengeksploitasi dan mengkriminalkan perempuan, seperti
FPI,Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir, Lasykar Jundullah dan Forum Umat Islam.
Kesimpulannya, kelompok fundamentalis menjadikan
perempuan sebagai makhluk domestik. Tugas utama seorang perempuan adalah
melahirkan keturunan, melayani suami dan mengurus rumah tangga. Dengan alasan
pemurnian agama dan kembali kepada teks Al-Qur’an dan Hadits, fundamentalisme Islam
menegaskan perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Menurut mereka, Tuhan
sengaja membuat keduanya berbeda dan perbedaan itu bukan diskriminasi melainkan
demi kebahagiaan manusia. Kesimpulannya, fundamentalisme mengajak kembali
kepada agama. Akan tetapi, dalam konteks perempuan yang diklaim sebagai kembali
kepada ajaran agama adalah kembali merumahkan perempuan; kembali ke
domestifikasi perempuan. Ringkasnya, fundamentalisme memproklamirkan politik
anti feminisme, anti pluralisme, dan anti humanisme.
Politik anti feminisme yang menjadi
ikon gerakan fundamentalisme merupakan program
yang paling sukses di banyak wilayah Islam, termasuk di Indonesia. Kaum
fundamentalis dari berbagai agama memiliki kecenderungan yang sama, yakni memanipulasi
dan memanfaatkan ajaran agama untuk melegitimasi kekuasaan patriarki, sekaligus
meminggirkan perempuan.
Karena itu, pandangan
fundamentalisme yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan
sekaligus juga tidak ramah perempuan ini harus dieliminasi secara serius dan
sistematik. Tujuan kita tiada lain demi
memanusiakan perempuan, dan demi membangun masyarakat sipil yang adil dan
beradab.
[2]
Saiful Muzani, ibid., h. 194-195.
[3]
Dalam ranah ushuluddin yang paling populer adalah sekolah Hasan
Al-Bashri yang kemudian terpecah dalam beberapa faksi yang berbeda pendapat,
seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Ini
lebih dikenal dengan istilah paham sunni.
Sedangkan dalam tradisi Syi’ah juga terpecah dalam beberapa faksi,
antara lain al-Zaydiyah, al-Ja’fariyah, al-Itsna ‘Asyar dan lain-lain.
[4]
Yang populer sebagai peletak ushul fiqh yaitu Imam Al-Syafi’I dalam magnum
opusnya, al-Risalah. Lalu
beberapa pemikiran, seperti Al-Syathibi, AL-Thufi dan lain-lain mengembangkan
konsepesi fiqih tersebut, dan dijadikan rujukan untuk m
etode kesimpulan
hukum.
16 Karen Armstrong (2000) dalam The Battle For
God menempatkan pemerintahan
Republik Islam Iran terutama dibawah kepemimpinan Iman Khomeini sebagai bagian
dari pemerintahan fundamentalis.
Revolusi yang dicanangkan oleh kalangan mullah Iran ini ditujukan untuk
mengguncang hegemoni rasionalisme ilmiah Barat.
Di satu sisi keberadaan pemerintahan Islam Iran pada masa itu memiliki
legitimasikuat, karena kebencian sebagian besar rakyat Iran terhadap rezime
Syah Reza sebelumnya yang sekuler dan terasing dari kesadaran rakyatnya. Namun demikian diantara antusiasme terhadap
keberadaan awal dari republik Islam Iran kaum perempuan menjadi bagian dari
subyek yang terpinggirkan hak-haknya dari otoritas orde sosial religius
ini. Seperti halnya beberapa
pemerintahan religius lainnya, pemerintahan Islam iran terutama pada masa Imam
Khomeini memberlakukan tradisi besar ortodoksi teologi patriarkhi dalam tatanan
social masyarakat muslim Iran.
17 Ann
Elizabeth mayer, Islam dan Human Rights: Tradition and Politics,
(Westview Press Washington 1991) hal. 130-131.
19 Saiful Mujani, Syari’at Islam dalam Perdebatan,
dalam Syari’at Islam: Pandangan Muslim Liberal (Jaringan Islam Liberal Jakarta 2003) hal. 35.
20 Latifah, Latifah:
My Forbidden Faces: Growing Up Under The Taliban: A Young Woman Story (Talk
Miramax Books New York 2001) hal. 83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar