Kamis, 18 Januari 2018

Tindakan Preventif Islam Terhadap HIV/AIDS dan Narkoba.




Abad ini sering disebut sebagai era globalisasi. Globalisasi mengandung arti suatu proses yang bersifat mendunia dalam kehidupan umat manusia. Maksudnya, apa yang berlaku pada suatu bangsa akan dengan mudah diketahui dan ditiru oleh bangsa-bangsa lain sehingga hal tersebut belaku umum hampir di seluruh dunia.

Proses globalisasi tersebut dimungkinkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi elektronika dan informatika. Bahkan, kemajuan di bidang teknologi informatika telah membawa kepada terjadinya transformasi peradaban dunia. Transformasi peradaban dunia berlangsung dalam proses modernisasi dan industrialisasi yang dahsyat yang pada gilirannya menciptakan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.

Sebagai akibat dari modernisasi dan industrialisasi tersebut muncul masyarakat modern atau masyarakat industri yang cenderung lebih mementingkan nilai-nilai material daripada nilai-nilai yang bersifat immateri atau ruhani. Masyarakat baru tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) kecenderungan hidup yang individualistik atau pendewaan diri; 2) kecenderungan hidup yang materialistik atau pendewaan materi; dan 3) kecenderungan hidup hedonistik atau pendewaan terhadap hasrat badani.

Kecenderungan-kecenderungan tersebut sedikit banyak sudah menggejala dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota besar. Jelas bahwa ketiga kecenderungan tadi menyebabkan masyarakat dewasa ini amat rentan terhadap penularan HIV/AIDS dan bahaya narkoba, dan sekaligus merupakan tantangan berat bagi kaum agama untuk menanggulangi bahaya kedua epidemi tersebut di masyarakat.

Ajaran Islam mengandung prinsip-prinsip dasar yang dapat dipakai sebagai landasan dalam pengelolaan hidup bermasyarakat. Dalam kaitannya dengan pencegahan HIV/AIDS dan narkoba, Islam menawarkan konsep preventif atau pencegahan.

Dalam literatur Islam dikenal prinsip al-wiqayah khairun min al-`ilaaj (pencegahan lebih baik daripada pengobatan). Karena itu, dalam konteks kesehatan, baik fisik maupun mental ditemukan sejumlah ayat Al-Qur`an dan Sunah Nabi saw. yang pada prinsipnya menghimbau kita pada upaya pencegahan. Upaya-upaya pencegahan (preventif) dimaksud, antara lain:

Pertama, meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan penghayatan masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda, terhadap nilai-nilai luhur Islam sehingga mereka tergugah untuk mengamalkannya secara utuh (kaffah) dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sudah waktunya menjelaskan kepada masyarakat bahwa cara beragama yang baik, bukan hanya dilakukan pada tataran simbolistik, melainkan lebih kepada hal-hal yang sifatnya substantif.

Jika umat Islam mengamalkan ajarannya secara substansial dengan benar dan konsekuen, akan terbina masyarakat yang beriman dan bertakwa, yang sulit ditembus oleh penyebaran virus HIV dan godaan narkoba bagaimana pun gencarnya. Pada hakikatnya semua bentuk bencana dan kezaliman itu adalah akibat ulah tangan manusia sendiri (Q.S Yunus, 44).

Kedua, menguatkan fungsi keluarga. Dalam kaitan dengan narkoba, upaya yang paling prioritas harus dilakukan adalah mengembalikan fungsi keluarga secara utuh dan sungguh-sungguh. Fungsi keluarga yang sesungguhnya adalah menanamkan nilai-nilai agama, memberikan kasih sayang, pendidikan, perlindungan, prestise, dan  kedamaian di dalam keluarga sehingga seluruh anggota keluarga merasa betah dan bahagia berada di rumah.

Rumah seharusnya menjadi sorga bagi semua penghuninya. Ini artinya, keluarga bebas dari segala bentuk konflik, dan bebas dari semua bentuk kekerasan. Berbicara tentang keluarga, sasaran utamanya tentu tertuju kepada ayah dan ibu atau suami-isteri. Dua-duanya sama-sama bertanggungjawab dan harus saling melengkapi dalam memenuhi fungsi keluarga tersebut.

Kekeliruan selama ini adalah terlalu banyak menyerahkan urusan keluarga hanya kepada salah satu pihak, yakni biasanya  hanya kepada ibu. Meskipun ayah bertanggungjawab mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah, namun tanggungjawab terhadap keluarga tidak boleh diabaikan. Ayah dan Ibu harus memberikan prioritas utama kepada keluarga.

Ketiga, mencegah sedini mungkin timbulnya pergaulan bebas, dan terjadinya hubungan seksual di luar perkawinan (zina), baik bagi mereka yang sudah menikah maupun yang belum (Q.S. al-Isra`, 17:32 dan an-Nuur,31). Namun, perlu sekali ditegaskan di sini bahwa selama ini upaya penghapusan prostitusi dilakukan hanya dengan menangkapi para perempuannya. Jelas itu tidak adil, dan hasilnya pun sia-sia belaka.

Upaya menghapus prostitusi, jangan semata-mata difokuskan pada perempuan yang menjadi obyeknya, melainkan harus mencabut sistem yang melingkupi tumbuhnya prostitusi itu sendiri yang biasanya sudah membentuk semacam mafia. Sistem dimaksud mencakup para calo yang merekrut perempuan muda dari desa, para germo, para pelanggan, para centeng (petugas keamanan yang melindungi), para pemilik rumah bordil dan tempat hiburan, para  pengusaha minuman keras, dan semua pihak yang terlibat menyuburkan praktek prostitusi tersebut.

Upaya pencegahan tersebut amat perlu, sebab jika praktek-praktek prostitusi telah marak di dalam suatu masyarakat, maka azab Allah akan menimpa masyarakat tersebut secara keseluruhan. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan:
  
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِى قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ.
   "Apabila praktek prostitusi dan riba telah merajalela di tengah-tengah masyarakat, maka Allah swt pasti menimpakan bencana atas masyarakat itu seluruhnya."

Keempat, mempertegas penolakan terhadap segala bentuk hubungan seksual antar sesama jenis kelamin atau praktek homoseksual, yaitu dengan menjelaskan bahwa bentuk-bentuk hubungan semacam itu adalah perbuatan yang sangat keji dan amat dimurkai Allah swt. (Q.S. al-A`raf, 7:80:81).

Kelima, mengaktifkan kegiatan penyuluhan dengan menggunakan bahasa dan pendekatan agamis. Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa segala penjelasan yang disampaikan kepada masyarakat hendaknya didasarkan pada argumen-argumen agama yang diambil dari Al-Qur`an dan Sunah.

Keenam, menciptakan kondisi yang kondusif. Hal ini, antara lain dapat dilakukan dengan mengajak seluruh anggota masyarakat agar secara bersama-sama memperkuat benteng keluarga masing-masing. Sebab, menurut penelitian Prof. J. Stinnet dan J. DeFrain (1987), semakin harmonis kehidupan suatu keluarga, semakin  kecil kemungkinannya akan timbul broken home yang membawa kepada ketidak setiaan, ganti-ganti pasangan, dan segala bentuk penyelewengan seksual lainnya, demikian pula sebaliknya.

Selain itu, seluruh anggota masyarakat perlu sepakat untuk menjatuhkan sanksi sosial terhadap mereka yang mudah berganti-ganti pasangan seksual (free sex), dan terhadap segala bentuk perilaku seksual yang menyimpang, seperti sodomi, homosex dan sebagainya. Menghindarkan segala bentuk rangsangan yang erotik (menimbulkan gairah birahi), baik melalui mass media cetak maupun elektronik. Selain itu, perlu diperbanyak aktivitas-aktivitas yang positif, seperti kegiatan-kegiatan keagamaan, terutama bagi para pemudanya.

Ketujuh, meneguhkan iman dan selalu memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana. Sebab boleh jadi penyakit yang ditimpakan itu merupakan ujian Tuhan dengan maksud agar manusia lebih mendekatkan diri kepada pencipta-Nya. Hal itu pernah disinggung oleh Nabi saw. dalam salah satu sabdanya:
الْمَرَضُ سَوْطُ اللهِ فِى الأَرْضِ يُؤَدِّبُ اللهُ بِهِ عِبَادَهُ.
   “Penyakit itu adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia mendidik hamba-hamba-Nya.”

Kesimpulannya, melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap HIV/AIDS dan narkoba dengan menggunakan pendekatan agamis akan lebih bermanfaat dan berguna bagi kemanusiaan dan  sesungguhnya hal itu merupakan salah satu ajaran agama yang hakiki. Wallahu a`lam bi al-shawab.

                    




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar