Pendahuluan
Tidak
diragukan lagi, Al-Gazali adalah pribadi unggul dan pengaruhnya amat besar di
dunia Islam. Beliau terkenal bukan hanya sebagai se4orang sufi ternama, tetapi
juga sebagai seorang ahli fikih, ilmu kalam dan filosuf. Karya-karyanya telah
banyak diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dunia, seperti
Inggris, Prancis, Jerman, Indonesia dan lain-lain.
Dalam
bidang tasawuf, al-Gazali telah membuat tasawuf diterima secara luas oleh kaum
syariat. Sebelumnya ulama memandang tasawuf sebagai hal yang menyeleweng dari
Islam1.
Bahkan ajaran-ajarannya dipandang telah menunjuki jalan sehingga manusia dapat
hidup dalam hukum yang suci, tidak terikat secara eksklusif pada ketentuan
harfiah teks suci melainkan juga menukik ke kedalaman makna teks2.
Riwayat
Hidup Al Gazali dan Perkembangan Spiritualnya
Al-Gazali,
nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Gazali
al-Thus. Ia seorang Persia asli. Dia di lahirkan pada tahun 450 H/1058 M. di
Thus (sekarang dekat Meshed), sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran),
dan di sisi pula dia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H/1111 M.3
Ayahnya
seorang pengrajin yang bekerja memintal wol, dan hasilnya dijual sendiri di tokonya
di Thus. Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari kehidupan
sufi. Sehingga ketika dia merasa ajalnya segera tiba, dia berwasiat kepada
seorang sufi, teman karibnya, untuk memelihara dua orang anaknya yang masih
kecil-kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad, dengan bekal sedikit warisan yang
ditinggalkannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta tersebut habis,
sufi yang hidup faqir tak mampu memberinya tambahan. Maka al-Gazali dan adiknya
diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh makan dan
pendidikan. Di sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual
al-Gazali yang penuh arti sampai akhir hayatnya.4
Al-Gazali
terkenal dengan julukan Hujjah al-Islam5
(Argumentasi Islam) dan Bahr al-Mughriq6 (Samudera yang
menenggelamkan) ternyata adalah seorang yang suka melakukan pengamatan dan
analisis, serta bersikap skeptis (peragu) terhadap setiap ilmu yang
dipelajarinya. Hal ini dikemukakan beliau dalam karyanya Al-Munqizd Min al-Dhalal
sebagai berikut:
Sejak
aku berusia kurang dari 20 tahun (sekarang aku berusia lebih dari 50 tahun), aku
tidak henti-hentinya menyelidiki setiap dogma (keyakinan). Setiap penganut
Batiniah yang aku jumpai menimbulkan keinginan pada diriku untuk menyelidiki
esoterismenya; tiada penganut Zahiriyah yang tidak menimbulkan keinginanku
untuk mengetahui intisari literialismenya; tiada filsuf yang tidak
membangkitkan keinginanku untuk mengetahui esensi filsafatnya; tiada teolog
dialektis (ahli ilmu kalam) yang tidak mendorongku untuk memastikan objek
dialektika dan teologinya; tiada sufi yang tidak menimbulkan hasratku untuk
mengorek rahasia sufismenya; tiada asketik (zahid) yang aku lewatkan untuk
menggali sumber asketismenya; tiada zindiq yang ateistik yang tidak menyebabkan
aku meraba mencari penyebab ateisme dan kezindiqannya.7
Al-Gazali
sangat tertarik pada ilmu tasawuf, tetapi tidak menerima tasawuf yang
dikembangkan orang begiti saja. Dia terlebih dahulu mengkritisi tasawuf lalu
menyusun corak tasawuf yang menurutnya tetap harus memperhatikan prinsip nalar
kritis. Bahkan tasawuf dianggapnya sebagai pengetahuan yang meyakinkan. Setelah
tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, al-Gazali meninggalkan
kedudukannya yang tinggi di Madrasah al-Nizamiah Bagdad di tahun 1095 M , dan pergi ke
Damaskus untuk bertapa di salah satu menara masjid Umawi yang ada di sana.8
Di
sini dia melakukan uzlah (isolasi diri), khalwah (menyepi dengan ibadah), riyadah
(melatih diri dengan segala sifat yang baik dan meninggalkan sifat yang
tercela), dan mujahadah (berjuang melawan tarikan hawa nafsu).9
Akhirnya al-Gazali mengaku memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang
akidah dan juga berkesimpulan bahwa metode para sufilah yang paling tepat. Dia
mengatakan:
Sungguh
aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi adalah betul-betul para salik
menuju Allah semata, bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan terbaik, jalan
mereka adalah jalan terbenar dan akhlak mereka adalah akhlak yang paling
bersih. Seandainya dikumpulkan akal para intelektual, filsafat para filsuf, dan
ilmu para ulama, yang berpegang pada rahasia syariat berkumpul untuk merubah
sedikit saja dari perjalanan mereka dan akhlak mereka, serta menggantinya
dengan sesuatu yang lebih baik dari itu, niscaya tidak ada jalan untuk itu.
karena semua gerak dan diam mereka, lahir dan batin, diperoleh dari sinar
nubuwwah. Tidak ada lagi suatu sinar apa pun yang bisa menerangi di muka bumi
selain dari sinar nubuwwah.10
Meskipun
al-Gazali menganggap tasawuf jalan terbaik menuju Allah, namun dia tetap
selektif terhadap berbagai aliran sufisme yang ada pada masanya. Al-Gazali
menolak paham Ma’rifah Zum Num dan Rakiah tidak mengungkapkan apa yang dia
alami. Ma’rifah al-Gazali mengungkapkan apa yang dia alami, yaitu: melihat
wajah Tuhannya ditolak hanya Hulul dan Ittihad Dizzat dengan dalil-dalil
rasional.11
Bahkan al-Gazali menyebutkan ada kelompok-kelompok sufi yang tertipu dengan
kehidupan sufi mereka.12
Di
antara karya al-Gazali di bidang tasawuf, misalnya Ihya Ulum al-Din, Jawahir
al-Quran, Bidayat al-Hidayah al-Qisthas al-Mustaqim, al-Arba’in fi Ushul al-Din,
Kimiya al-Sa’idah, Ma’arik al-Salikin, Misykat al-Anwar, Nur al-Syam’ah, Madakhil
al-Suluk, Ila Manazil al-Muluk, al-Zuhdu al-Fatih, Minhaj al’abidin, dan
lain-lain.13
Corak
Tasawuf al-Gazali
Pilihan
al-Gazali jatuh pada tasawuf Sunni yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Dari paham tasawufnya itu dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis
yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyah dan aliran Syi’ah,
Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Juga dia menjauhkan tasawufnya dari
teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi dan
penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Gazali benar-benar
bercorak Islam.14
Selanjutnya
al-Taftazani menjelaskan tasawuf al-Gazali ditandai ciri-ciri psiko-moral.
Dalam tasawufnya, seperti halnya al-Muhasibi serta para sufi abad ketiga dan
keempat hijriah lainnya, dia begitu menaruh perhatian terhadap jiwa manusia
dengan keburukannya maupun cara membinanya secara moral. Ringkasnya, tasawuf
al-Gazali bercorak pendidikan.15
Menurut
al-Gazali, jalan para sufi dalam tasawuf baru bisa dicapai dengan cara
mengosongkan diri dari sikap ketergantungan dengan kelezatan duniawi atau
sesuatu yang dapat menyibukkan (melupakan) dari al-Haq. Selanjutnya setelah
mental dapat dibersihkan dari sifat dan sikap mental tidak baik dilalui, usaha
itu harus dilanjutkan ke tahap yang kedua, yakni menghiasi diri dengan akhlak
para sihiddiqin.
Dalam
hal ini al-Gazali juga menganjurkan agar orang menempuh jalan: tobat, sabar,
faqr, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat, dan kerelaan. Setelah semua ini ditempuh
dengan kesungguhan (mujahadah), Allah akan menyikapkan hati seseorang sehingga
dapat mengetahui cahaya keghaiban.16
Mengenai
cahaya ini al-Gazali mengatakan: “Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan
pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir)
bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan
yang demikian luas. cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan ke
dalam sanubari seseorang.17
Al-Gazali
telah berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah sejak permulaan dalam bentuk
latihan jiwa, lalu menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan serta
keadaan menurut jalan tersebut, yang akhirnya sampai pada kefanaan, tauhid,
ma’rifat, dan kebahagiaan. Secara ringkas beberapa peringkat jalan ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
Jalan
(al-Thariq)
Al-Gazali
telah mensistematisasikan jalan menuju Allah dalam kitabnya al-Ihya’ disusun
menjadi empat bab utama yaitu bab ibadah, adat istiadat, hal yang mencelakakan,
dan hal yang menyelamatkan. Masing-masing bab terbagi dalam sepuluh pasal. Bab
ibadah memperbicangkan pasal-pasal ilmu, prinsip-prinsip akidah, ibadah,
peraturan membaca Alquran, zikir, doa, dan urutan wirid.
Dalam
bab adat istiadat, al-Gazali memperbincangkan peraturan makan, perkawinan, mata
pencaharian, halal-haram, persahabatan, hidup menyendiri, berpergian, belajar,
tafakur, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam bab yang
membahas tentang hal-hal yang mencelakakan, al-Gazali menguraikan segala yang
berkaitan dengan jiwa, hawa nafsu yang timbul darinya dan berbagai keburukan
mental, seperti marah, dengki, kikir, riya, sombong, dan sebagainya.
Sementara
dalam bab terakhir, atau bab keempat apa yang oleh para sufi dinamakan dengan maqam
dan hal. Di samping itu beliau menguraikan tingkatan-tingkatan taubat,
sabar, syukur, rasa takut, rasa harap, hidup fakir, hidup zahid, tauhid,
tawakal, cinta, dan ridha.
Sayyid
Muhammad Aqil Ali al-Mahdi mengatakan tarekat al-Gazali bukanlah hal yang
mudah, tetapi membutuhkan persyaratan-persyaratan berikut:
Mendahulukan
ilmu dari ibadah.
Al-Gazali mengatakan: “Ketahuilah olehmu
bahwasanya wajib mendahulukan ilmu dari ibadah karena dua faktor. Pertama agar
ibadah menjadi sah (benar). Kedua karena ilmu yang bermanfaat dapat membuahkan
rasa takut kepada Allah. Dia akan terus membuahkan taat kepada Allah dan
menjauhi maksiat”.
Mendahulukan
mujahadah dan menghapus sifat-sifat tercela atau apa-apa yang berhubungan
dengannya. Dalam hal ini seorang murid hendaklah mengasingkan dirinya di tempat
yang terpisah (jauh dari keramaian) dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban,
shalat-shalat sunat, dan selalu mengisi hati dengan ingat kepada Allah semata.
Mengekalkan
zikir, fikir dan membaca wirid. Tarekat al-Gazali mementingkan zikir, fikir,
dan membaca wirid karena dengan terus menerus zikir dan tekun melaksanakannya
akan menghasilkan mahabbah (cinta) dan uns (rasa berteman). Dengan terus
menerus berfikir akan menyikap ma’rifat. Selanjutnya al-Gazali menyusun
rangkaian wirid yang harus dibaca malam dan siang, supaya hati selalu bersih
dan suci.18
Di
samping hal-hal di atas, al-Gazali mensyaratkan bagi seorang calon salik untuk
memiliki guru. Guru dalam konsepsi al-Gazali disebut dengan al-syaikh (anutan)
atau al-ustaz (guru). Eksistensi guru dalam suluk ini bersifat esensial.
Karena, menurut al-Gazali, jalan agama yang benar bersifat tersamar, sedangkan
jalan setan cukup banyak, maka seorang salik tanpa guru bisa jadi akan dituntun
ke jalan yang sesat oleh setan.19
Berdasarkan
uraian ini dapat dipahami tasawuf al-Gazali yang bercorak pendidikan moral
memiliki tujuan yang jelas, yakni al-qurb (mendekatkan diri kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya). Anak didik, pendidik (guru), tempat berkhalwat (zawiyah),
dan kegiatan yang melakukan dalam proses tersebut, baik dalam bimbingan guru
atau secara sendiri adalah unsur-unsur yang harus ada dalam jalan (thariq)
al-Gazali.
Al-Ma’rifah
Perbedaan
al-Gazali dengan para sufi sebelumnya adalah karena dia telah menjadikan
tasawuf sebagai jalan mengenal Allah (ma’rifah), yang jelas ciri-ciri dan
batas-batasnya. Bagi al-Gazali ma’rifah ialah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.
Al-Mahabbah
Seterusnya
al-Gazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, yaitu
‘arif, tidak akan mengatakannya ya Allah karena memanggil Tuhan dengan
kata-kata serupa ini menyatakan, bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Ma’rifah bagi
al-Gazali juga memandang kepada wajah Allah. Tetapi bagi al-Gazali ma’rifah
terlebih dahulu dalam tertib dari mahabbah karena mahabbah timbul dari
ma’rifah.
Dan
mahabbah baginya bukan mahabbah seperti yang diucapkan oleh Rabi’ah
al-Adawiyah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat
baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia
yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain.21
Kunci
ma’rifah kepada Allah adalah pengenalan kepada diri sendiri. Pengenalan kepada
diri yang sebenarnya menurut al-Gazali adalah mengenali siapa anda, dan dari
mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal
sejenak di sini, serta di manakah kebahagian anda dan kesedihan anda yang sebenarnya?22
Untuk
memperkuat pandangannya, al-Gazali mengutip ayat 53 surat Fushshilat yang
artinya “Kami akan meperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka (anfusihim), sehingga jelaslah bagi
mereka bahwasanya dia itu adalah al-Haq. Kemudian beliau mengutip sebuah
hadis yang artinya “Siapa mengenal dirinya (nafsahu), dia akan mengenal
Tuhannya”. Menurut al-Gazali pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah lebih
tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
Al-Fana
Al-Gazali
membagi tasawuf kepada dua bagian. Pertama benar bersama Allah dan kedua,
baiknya hubungan dengan ciptaan-Nya. Benar bersama Allah, yakni seorang hamba
memfanakan dirinya dengan perintah-perintah Allah. Sedangkan baiknya hubungan
seorang hamba dengan ciptaan-Nya, yakni seorang hamba tidak mementingkan
keinginan-keinginannya atas keinginan-keinginan orang lain, selama
keinginan-keinginan orang lain tersebut sesuai dengan syara’, karena setiap
orang yang senang dengan penyelewengan syara’ tidaklah disebut sufi.23
Di
bagian lain al-Gazali menjelaskan orang yang fana ialah orang yang mengesakan
Allah dengan sebenar-benarnya, dan dia tidak melihat selain-Nya. Bahkan dia
tidak memandang dirinya dari segi dirinya sendiri, tapi dari segi predikatnya
sebagai hamba Allah. Inilah yang disebut dengan fana dalam tauhid,24
atau disebut juga dengan al-Fann bi al-Kulliyat fi Allah (fana secara
totalitas di hadapan Allah). Fana dalam konteks inilah yang menjadi tujuan
akhir seorang sufi dan al-Ma’rifah adalah sebagai pengantarnya. Seseorang yang
fana berada dalam situasi yang “dekat” (al qurb) dengan Allah.
Pengaruh
al-Gazali Dalam Tasawuf
Harun
Nasution mengatakan, al-Gazalilah yang membuat tasawuf menjadi halal bagi kaum
syari’at, sesudah kaum ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari
Islam, yaitu tasawuf sebagai yang diajarkan oleh al-Bustami dan al-Hallaj,
ittihad dan hulul.25
Karya-karya
al-Gazali dalam bidang tasawuf dianggap sebagai alat bantu untuk menunjuki
jalan sehingga manusia dapat hidup dalam hukum yang suci, tidak terikat secara
eksklusif pada ketentuan harfiah melainkan juga menukik ke kedalaman makna.
Hal
ini disebabkan al-Gazali mengikat tasawufnya dengan dalil-dalil wahyu, baik
ayat-ayat alquran atau hadis-hadis Nabi. Dengan karyanya Ihya Ulumuddin
misalnya, al-Gazali betul-betul dapat menghidupkan kualitas keimanan umat Islam
dan memantapkannya. Ke dalaman ajaran spritual yang ditimbulkan ajaran tasawuf
bisa didayagunakan untuk mendukung kegairahan mempelajari ilmu-ilmu agama
beserta pengaruhnya.
Al-Taftazani
mengatakan al-Gazali telah menyempurnakan tasawuf sehingga mencakup semua
karakteristik tasawuf atau mistisime.27
Selanjutnya
al-Taftazani mengutip perkataan de Boer yang mengatakan bahwa al-Gazali telah
memperluas cakrawala tasawuf serta meletakkan pada landasan yang luas. Tasawuf
dalam kalangan kaum muslimin, sejak masa al-Gazali, menjadi tonggak yang secara
jelas didasarkan pada ilmu dan sebagai tanda di persimpangan jalan.28
Wal hasil, al-Gazali sangat besar pengaruhnya dalam tasawuf dan tasawufnya pun
berpengaruh terhadap umat Islam sebagai alat bantu sehingga manusia dapat hidup
dalam hukum yang suci.
Penutup
Dari
uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa tasawuf al-Gazali adalah tasawuf
sunni. Oleh karena itu, tasawuf al-Gazali lebih banyak bercirikan psiko-moral
(tasawuf akhlak). Tasawuf yang menekankan pada pembinaan jiwa manusia dan
cara-cara membinanya secara moral dengan selalu berada pada timbangan syari’ah,
juga menjadi ciri bagi tasawuf sebelum al-Gazali. Hal ini karena al-Gazali
banyak mengagumi dan menimba pengetahun dari para sufi abad ketiga dan keempat
lewat karya-karya Abu Thalib al-Makki, al Muhasibi,29
al-Junaid dan lain-lain.
Di
samping itu, menurut al-Gazali agar hati bisa bersinar dengan cahaya ketuhanan
dan cahaya tersebut adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, maka seseorang
yang menempuh jalan sufi harus banyak membaca Alquran, berzikir, berdoa, dan
lain-lain. Dalam hal ini, tasawuf al-Gazali menekankan pula pada aspek
perbuatan, baik perbuatan lahir atau batin (tasawuf amali).
Dalam
tasawuf, al-Gazali menjauhkan semua kesenderungan gnotis yang mempengaruhi para
filosof Islam, sekte Isma’iliyah, Ihkwan al-Shafa, dan lain-lain. Juga dia
menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles, antara
lain dari teori emanasi dan penyatuan. Oleh karena itu tasawuf al-Gazali dapat
dikatakan bercorak Islam.
Al-Gazali
mempunyai posisi terhormat di kalangan kaum muslimin sunni. Dia membuat tasawuf
halal bagi kaum syari’at dan sebelumnya ulama memandangnya sebagai hal yang
menyeleweng dari agama. Dia mengikat tasawuf dengan dalil-dalil Alquran dan
sunnah, serta memperluas cakrawala tasawuf.
2 Lihat Muhtar Holand, Inner Dimension of
Islamic Worship, The Islamic Fundation, tt., hlm.8.
3 HM. Zaurkani Jahja, Teologi al-Gazali
Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta ,
1996, hlm. 63-64 lihat juga al-Gazali, Mi’yr al-Ilm fi fann al-Mantiq, pada bagian terjemah al-Mushannif Muhyiddin
Shabri, Kurdistan , 1346 H, hlm.2.
4 Ibid.
5 Ibid.
7 Al-Gazali, Al-Munqizd Min al-Dhall, Maktabah al-Sya’biyyah, Beirut ,
tt., hlm. 24-25. Lihat juga: C.A. Qadir, Philosophy and Science in The
Islamic Word, diterjemahkan oleh hasan Basri, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1989, hlm. 133.
8 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 43.
9 Hm. Zurkani Jahja, Op.Cit., hlm. 78.
10 Al-Gazali, al-Munqizd, Op. Cit., hlm.
31.
11 Al-Gazali, Al-Maqshad al-Asna Syarh Asma
al-Husna, Maktabat al-Jundi, Mesir, 1970, hlm. 147.
14 Al Taftazani, Madkhal Il Tashawwuf al-Islm, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi Utsmani, Sufi Dari Zaman ke Zaman,
Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 156.
15 Ibid., hlm. 157.
16 Al-Gazali, Ihya Ulµm al-D£n, XVI, Op. Cit., hlm. 3033. Lihat: Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 62.
Bandingkan dengan al-Gazali, Jawhir al-Qurn, Kurdistan al-‘Ilmiyyah, 1329, hlm.
39-40; dalam bab Fi Annahu lima ‘Ubira ‘An Ma’n£ ‘lam al-Malakµt f£ al-Qurn b£ Amtsilatin Ma’Khuzatin Min ‘lami al-Syahdah.
17 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 43-44.
18 Lihat: Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdi, Di
rsah fi al-Thuruq al-Shufiyyah, Dar al-Had£s, 1414 H, hlm. 142-1145.
19 Hm. Zurkani Jahja, Op. Cit., hlm.
225.
21 Ibid.
23 Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdi, Op. Cit.,
hlm. 141-142.
24 Al-Taftazani, Op. Cit., hlm. 176.
25 Harun Nasution, Lok. Cit.
27 Al-Taftazani, Op. Cit., hlm. 184.
28 Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar