Selasa, 23 Januari 2018

MEMAHAMI CORAK TASAWUF AL GAZALI




Pendahuluan
Tidak diragukan lagi, Al-Gazali adalah pribadi unggul dan pengaruhnya amat besar di dunia Islam. Beliau terkenal bukan hanya sebagai se4orang sufi ternama, tetapi juga sebagai seorang ahli fikih, ilmu kalam dan filosuf. Karya-karyanya telah banyak diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dunia, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Indonesia dan lain-lain.
Dalam bidang tasawuf, al-Gazali telah membuat tasawuf diterima secara luas oleh kaum syariat. Sebelumnya ulama memandang tasawuf sebagai hal yang menyeleweng dari Islam1. Bahkan ajaran-ajarannya dipandang telah menunjuki jalan sehingga manusia dapat hidup dalam hukum yang suci, tidak terikat secara eksklusif pada ketentuan harfiah teks suci melainkan juga menukik ke kedalaman makna teks2.

Riwayat Hidup Al Gazali dan Perkembangan Spiritualnya
Al-Gazali, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Gazali al-Thus. Ia seorang Persia asli. Dia di lahirkan pada tahun 450 H/1058 M. di Thus (sekarang dekat Meshed), sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran), dan di sisi pula dia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H/1111 M.3
Ayahnya seorang pengrajin yang bekerja memintal wol, dan hasilnya dijual sendiri di tokonya di Thus. Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari kehidupan sufi. Sehingga ketika dia merasa ajalnya segera tiba, dia berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya, untuk memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad, dengan bekal sedikit warisan yang ditinggalkannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir tak mampu memberinya tambahan. Maka al-Gazali dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan. Di sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual al-Gazali yang penuh arti sampai akhir hayatnya.4
Al-Gazali terkenal dengan julukan Hujjah al-Islam5 (Argumentasi Islam) dan Bahr al-Mughriq6 (Samudera yang menenggelamkan) ternyata adalah seorang yang suka melakukan pengamatan dan analisis, serta bersikap skeptis (peragu) terhadap setiap ilmu yang dipelajarinya. Hal ini dikemukakan beliau dalam karyanya Al-Munqizd Min al-Dhalal sebagai berikut:
Sejak aku berusia kurang dari 20 tahun (sekarang aku berusia lebih dari 50 tahun), aku tidak henti-hentinya menyelidiki setiap dogma (keyakinan). Setiap penganut Batiniah yang aku jumpai menimbulkan keinginan pada diriku untuk menyelidiki esoterismenya; tiada penganut Zahiriyah yang tidak menimbulkan keinginanku untuk mengetahui intisari literialismenya; tiada filsuf yang tidak membangkitkan keinginanku untuk mengetahui esensi filsafatnya; tiada teolog dialektis (ahli ilmu kalam) yang tidak mendorongku untuk memastikan objek dialektika dan teologinya; tiada sufi yang tidak menimbulkan hasratku untuk mengorek rahasia sufismenya; tiada asketik (zahid) yang aku lewatkan untuk menggali sumber asketismenya; tiada zindiq yang ateistik yang tidak menyebabkan aku meraba mencari penyebab ateisme dan kezindiqannya.7
Al-Gazali sangat tertarik pada ilmu tasawuf, tetapi tidak menerima tasawuf yang dikembangkan orang begiti saja. Dia terlebih dahulu mengkritisi tasawuf lalu menyusun corak tasawuf yang menurutnya tetap harus memperhatikan prinsip nalar kritis. Bahkan tasawuf dianggapnya sebagai pengetahuan yang meyakinkan. Setelah tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, al-Gazali meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah al-Nizamiah Bagdad di tahun 1095 M, dan pergi ke Damaskus untuk bertapa di salah satu menara masjid Umawi yang ada di sana.8
Di sini dia melakukan uzlah (isolasi diri), khalwah (menyepi dengan ibadah), riyadah (melatih diri dengan segala sifat yang baik dan meninggalkan sifat yang tercela), dan mujahadah (berjuang melawan tarikan hawa nafsu).9 Akhirnya al-Gazali mengaku memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang akidah dan juga berkesimpulan bahwa metode para sufilah yang paling tepat. Dia mengatakan:
Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi adalah betul-betul para salik menuju Allah semata, bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan terbaik, jalan mereka adalah jalan terbenar dan akhlak mereka adalah akhlak yang paling bersih. Seandainya dikumpulkan akal para intelektual, filsafat para filsuf, dan ilmu para ulama, yang berpegang pada rahasia syariat berkumpul untuk merubah sedikit saja dari perjalanan mereka dan akhlak mereka, serta menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari itu, niscaya tidak ada jalan untuk itu. karena semua gerak dan diam mereka, lahir dan batin, diperoleh dari sinar nubuwwah. Tidak ada lagi suatu sinar apa pun yang bisa menerangi di muka bumi selain dari sinar nubuwwah.10
Meskipun al-Gazali menganggap tasawuf jalan terbaik menuju Allah, namun dia tetap selektif terhadap berbagai aliran sufisme yang ada pada masanya. Al-Gazali menolak paham Ma’rifah Zum Num dan Rakiah tidak mengungkapkan apa yang dia alami. Ma’rifah al-Gazali mengungkapkan apa yang dia alami, yaitu: melihat wajah Tuhannya ditolak hanya Hulul dan Ittihad Dizzat dengan dalil-dalil rasional.11 Bahkan al-Gazali menyebutkan ada kelompok-kelompok sufi yang tertipu dengan kehidupan sufi mereka.12
Di antara karya al-Gazali di bidang tasawuf, misalnya Ihya Ulum al-Din, Jawahir al-Quran, Bidayat al-Hidayah al-Qisthas al-Mustaqim, al-Arba’in fi Ushul al-Din, Kimiya al-Sa’idah, Ma’arik al-Salikin, Misykat al-Anwar, Nur al-Syam’ah, Madakhil al-Suluk, Ila Manazil al-Muluk, al-Zuhdu al-Fatih, Minhaj al’abidin, dan lain-lain.13

Corak Tasawuf al-Gazali
Pilihan al-Gazali jatuh pada tasawuf Sunni yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyah dan aliran Syi’ah, Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Juga dia menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Gazali benar-benar bercorak Islam.14
Selanjutnya al-Taftazani menjelaskan tasawuf al-Gazali ditandai ciri-ciri psiko-moral. Dalam tasawufnya, seperti halnya al-Muhasibi serta para sufi abad ketiga dan keempat hijriah lainnya, dia begitu menaruh perhatian terhadap jiwa manusia dengan keburukannya maupun cara membinanya secara moral. Ringkasnya, tasawuf al-Gazali bercorak pendidikan.15
Menurut al-Gazali, jalan para sufi dalam tasawuf baru bisa dicapai dengan cara mengosongkan diri dari sikap ketergantungan dengan kelezatan duniawi atau sesuatu yang dapat menyibukkan (melupakan) dari al-Haq. Selanjutnya setelah mental dapat dibersihkan dari sifat dan sikap mental tidak baik dilalui, usaha itu harus dilanjutkan ke tahap yang kedua, yakni menghiasi diri dengan akhlak para sihiddiqin.
Dalam hal ini al-Gazali juga menganjurkan agar orang menempuh jalan: tobat, sabar, faqr, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat, dan kerelaan. Setelah semua ini ditempuh dengan kesungguhan (mujahadah), Allah akan menyikapkan hati seseorang sehingga dapat mengetahui cahaya keghaiban.16
Mengenai cahaya ini al-Gazali mengatakan: “Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas. cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan ke dalam sanubari seseorang.17
Al-Gazali telah berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa, lalu menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan serta keadaan menurut jalan tersebut, yang akhirnya sampai pada kefanaan, tauhid, ma’rifat, dan kebahagiaan. Secara ringkas beberapa peringkat jalan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Jalan (al-Thariq)
Al-Gazali telah mensistematisasikan jalan menuju Allah dalam kitabnya al-Ihya’ disusun menjadi empat bab utama yaitu bab ibadah, adat istiadat, hal yang mencelakakan, dan hal yang menyelamatkan. Masing-masing bab terbagi dalam sepuluh pasal. Bab ibadah memperbicangkan pasal-pasal ilmu, prinsip-prinsip akidah, ibadah, peraturan membaca Alquran, zikir, doa, dan urutan wirid.
Dalam bab adat istiadat, al-Gazali memperbincangkan peraturan makan, perkawinan, mata pencaharian, halal-haram, persahabatan, hidup menyendiri, berpergian, belajar, tafakur, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam bab yang membahas tentang hal-hal yang mencelakakan, al-Gazali menguraikan segala yang berkaitan dengan jiwa, hawa nafsu yang timbul darinya dan berbagai keburukan mental, seperti marah, dengki, kikir, riya, sombong, dan sebagainya.
Sementara dalam bab terakhir, atau bab keempat apa yang oleh para sufi dinamakan dengan maqam dan hal. Di samping itu beliau menguraikan tingkatan-tingkatan taubat, sabar, syukur, rasa takut, rasa harap, hidup fakir, hidup zahid, tauhid, tawakal, cinta, dan ridha.
Sayyid Muhammad Aqil Ali al-Mahdi mengatakan tarekat al-Gazali bukanlah hal yang mudah, tetapi membutuhkan persyaratan-persyaratan berikut:

Mendahulukan ilmu dari ibadah.
        Al-Gazali mengatakan: “Ketahuilah olehmu bahwasanya wajib mendahulukan ilmu dari ibadah karena dua faktor. Pertama agar ibadah menjadi sah (benar). Kedua karena ilmu yang bermanfaat dapat membuahkan rasa takut kepada Allah. Dia akan terus membuahkan taat kepada Allah dan menjauhi maksiat”.
Mendahulukan mujahadah dan menghapus sifat-sifat tercela atau apa-apa yang berhubungan dengannya. Dalam hal ini seorang murid hendaklah mengasingkan dirinya di tempat yang terpisah (jauh dari keramaian) dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban, shalat-shalat sunat, dan selalu mengisi hati dengan ingat kepada Allah semata.
Mengekalkan zikir, fikir dan membaca wirid. Tarekat al-Gazali mementingkan zikir, fikir, dan membaca wirid karena dengan terus menerus zikir dan tekun melaksanakannya akan menghasilkan mahabbah (cinta) dan uns (rasa berteman). Dengan terus menerus berfikir akan menyikap ma’rifat. Selanjutnya al-Gazali menyusun rangkaian wirid yang harus dibaca malam dan siang, supaya hati selalu bersih dan suci.18
Di samping hal-hal di atas, al-Gazali mensyaratkan bagi seorang calon salik untuk memiliki guru. Guru dalam konsepsi al-Gazali disebut dengan al-syaikh (anutan) atau al-ustaz (guru). Eksistensi guru dalam suluk ini bersifat esensial. Karena, menurut al-Gazali, jalan agama yang benar bersifat tersamar, sedangkan jalan setan cukup banyak, maka seorang salik tanpa guru bisa jadi akan dituntun ke jalan yang sesat oleh setan.19
Berdasarkan uraian ini dapat dipahami tasawuf al-Gazali yang bercorak pendidikan moral memiliki tujuan yang jelas, yakni al-qurb (mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya). Anak didik, pendidik (guru), tempat berkhalwat (zawiyah), dan kegiatan yang melakukan dalam proses tersebut, baik dalam bimbingan guru atau secara sendiri adalah unsur-unsur yang harus ada dalam jalan (thariq) al-Gazali.

Al-Ma’rifah
Perbedaan al-Gazali dengan para sufi sebelumnya adalah karena dia telah menjadikan tasawuf sebagai jalan mengenal Allah (ma’rifah), yang jelas ciri-ciri dan batas-batasnya. Bagi al-Gazali ma’rifah ialah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.

Al-Mahabbah
Seterusnya al-Gazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, yaitu ‘arif, tidak akan mengatakannya ya Allah karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan, bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Ma’rifah bagi al-Gazali juga memandang kepada wajah Allah. Tetapi bagi al-Gazali ma’rifah terlebih dahulu dalam tertib dari mahabbah karena mahabbah timbul dari ma’rifah.
Dan mahabbah baginya bukan mahabbah seperti yang diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain.21
Kunci ma’rifah kepada Allah adalah pengenalan kepada diri sendiri. Pengenalan kepada diri yang sebenarnya menurut al-Gazali adalah mengenali siapa anda, dan dari mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagian anda dan kesedihan anda yang sebenarnya?22
Untuk memperkuat pandangannya, al-Gazali mengutip ayat 53 surat Fushshilat yang artinya “Kami akan meperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka (anfusihim), sehingga jelaslah bagi mereka bahwasanya dia itu adalah al-Haq. Kemudian beliau mengutip sebuah hadis yang artinya “Siapa mengenal dirinya (nafsahu), dia akan mengenal Tuhannya”. Menurut al-Gazali pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.

Al-Fana
Al-Gazali membagi tasawuf kepada dua bagian. Pertama benar bersama Allah dan kedua, baiknya hubungan dengan ciptaan-Nya. Benar bersama Allah, yakni seorang hamba memfanakan dirinya dengan perintah-perintah Allah. Sedangkan baiknya hubungan seorang hamba dengan ciptaan-Nya, yakni seorang hamba tidak mementingkan keinginan-keinginannya atas keinginan-keinginan orang lain, selama keinginan-keinginan orang lain tersebut sesuai dengan syara’, karena setiap orang yang senang dengan penyelewengan syara’ tidaklah disebut sufi.23
Di bagian lain al-Gazali menjelaskan orang yang fana ialah orang yang mengesakan Allah dengan sebenar-benarnya, dan dia tidak melihat selain-Nya. Bahkan dia tidak memandang dirinya dari segi dirinya sendiri, tapi dari segi predikatnya sebagai hamba Allah. Inilah yang disebut dengan fana dalam tauhid,24 atau disebut juga dengan al-Fann bi al-Kulliyat fi Allah (fana secara totalitas di hadapan Allah). Fana dalam konteks inilah yang menjadi tujuan akhir seorang sufi dan al-Ma’rifah adalah sebagai pengantarnya. Seseorang yang fana berada dalam situasi yang “dekat” (al qurb) dengan Allah.

Pengaruh al-Gazali Dalam Tasawuf
Harun Nasution mengatakan, al-Gazalilah yang membuat tasawuf menjadi halal bagi kaum syari’at, sesudah kaum ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam, yaitu tasawuf sebagai yang diajarkan oleh al-Bustami dan al-Hallaj, ittihad dan hulul.25
Karya-karya al-Gazali dalam bidang tasawuf dianggap sebagai alat bantu untuk menunjuki jalan sehingga manusia dapat hidup dalam hukum yang suci, tidak terikat secara eksklusif pada ketentuan harfiah melainkan juga menukik ke kedalaman makna.
Hal ini disebabkan al-Gazali mengikat tasawufnya dengan dalil-dalil wahyu, baik ayat-ayat alquran atau hadis-hadis Nabi. Dengan karyanya Ihya Ulumuddin misalnya, al-Gazali betul-betul dapat menghidupkan kualitas keimanan umat Islam dan memantapkannya. Ke dalaman ajaran spritual yang ditimbulkan ajaran tasawuf bisa didayagunakan untuk mendukung kegairahan mempelajari ilmu-ilmu agama beserta pengaruhnya.
Al-Taftazani mengatakan al-Gazali telah menyempurnakan tasawuf sehingga mencakup semua karakteristik tasawuf atau mistisime.27
Selanjutnya al-Taftazani mengutip perkataan de Boer yang mengatakan bahwa al-Gazali telah memperluas cakrawala tasawuf serta meletakkan pada landasan yang luas. Tasawuf dalam kalangan kaum muslimin, sejak masa al-Gazali, menjadi tonggak yang secara jelas didasarkan pada ilmu dan sebagai tanda di persimpangan jalan.28 Wal hasil, al-Gazali sangat besar pengaruhnya dalam tasawuf dan tasawufnya pun berpengaruh terhadap umat Islam sebagai alat bantu sehingga manusia dapat hidup dalam hukum yang suci.

Penutup
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa tasawuf al-Gazali adalah tasawuf sunni. Oleh karena itu, tasawuf al-Gazali lebih banyak bercirikan psiko-moral (tasawuf akhlak). Tasawuf yang menekankan pada pembinaan jiwa manusia dan cara-cara membinanya secara moral dengan selalu berada pada timbangan syari’ah, juga menjadi ciri bagi tasawuf sebelum al-Gazali. Hal ini karena al-Gazali banyak mengagumi dan menimba pengetahun dari para sufi abad ketiga dan keempat lewat karya-karya Abu Thalib al-Makki, al Muhasibi,29 al-Junaid dan lain-lain.
Di samping itu, menurut al-Gazali agar hati bisa bersinar dengan cahaya ketuhanan dan cahaya tersebut adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, maka seseorang yang menempuh jalan sufi harus banyak membaca Alquran, berzikir, berdoa, dan lain-lain. Dalam hal ini, tasawuf al-Gazali menekankan pula pada aspek perbuatan, baik perbuatan lahir atau batin (tasawuf amali).
Dalam tasawuf, al-Gazali menjauhkan semua kesenderungan gnotis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyah, Ihkwan al-Shafa, dan lain-lain. Juga dia menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi dan penyatuan. Oleh karena itu tasawuf al-Gazali dapat dikatakan bercorak Islam.
Al-Gazali mempunyai posisi terhormat di kalangan kaum muslimin sunni. Dia membuat tasawuf halal bagi kaum syari’at dan sebelumnya ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari agama. Dia mengikat tasawuf dengan dalil-dalil Alquran dan sunnah, serta memperluas cakrawala tasawuf.







1 Harun Nasution Falsafat dan Mistisisme dalam Islam Bulan Bintang, Jakarta, 1985. hlm.78
2 Lihat Muhtar Holand, Inner Dimension of Islamic Worship, The Islamic Fundation, tt., hlm.8.
3 HM. Zaurkani Jahja, Teologi al-Gazali Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 63-64 lihat juga al-Gazali, Mi’yr al-Ilm fi fann al-Mantiq, pada bagian terjemah al-Mushannif Muhyiddin Shabri, Kurdistan, 1346 H, hlm.2.
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Ahmad al-Syirbshi, Al-Gazali wa al-Tashawwuf al-Islam, Dar al-Hilal, Mesir, tt., hlm. 29.
7 Al-Gazali, Al-Munqizd Min al-Dhall, Maktabah al-Sya’biyyah, Beirut, tt., hlm. 24-25. Lihat juga: C.A. Qadir, Philosophy and Science in The Islamic Word, diterjemahkan oleh hasan Basri, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1989, hlm. 133.
8 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 43.
9 Hm. Zurkani Jahja, Op.Cit., hlm. 78.
10 Al-Gazali, al-Munqizd, Op. Cit., hlm. 31.
11 Al-Gazali, Al-Maqshad al-Asna Syarh Asma al-Husna, Maktabat al-Jundi, Mesir, 1970, hlm. 147.
12 Lihat: Al-Gazali, Ihy Ulµm al-Din, XI, Dar al-Sya’bi, Mesir, tt., hlm. 122-127.
13 Lihat: Muhammad Ghullab, Al-Tashawwuf al-Muqrin, Maktabah Nahdhah, Mesir, tt., hlm. 76.
14 Al Taftazani, Madkhal Il Tashawwuf al-Islm, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi Utsmani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 156.
15 Ibid., hlm. 157.
16 Al-Gazali, Ihya Ulµm al-D£n, XVI, Op. Cit., hlm. 3033. Lihat: Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 62. Bandingkan dengan al-Gazali, Jawhir al-Qurn, Kurdistan al-‘Ilmiyyah, 1329, hlm. 39-40; dalam bab Fi Annahu lima ‘Ubira ‘An Ma’n£lam al-Malakµt f£ al-Qurn b£ Amtsilatin Ma’Khuzatin Min ‘lami al-Syahdah.
17 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 43-44.
18 Lihat: Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdi, Di rsah fi al-Thuruq al-Shufiyyah, Dar al-Had£s, 1414 H, hlm. 142-1145.
19 Hm. Zurkani Jahja, Op. Cit., hlm. 225.
21 Ibid.
22 Al-Gazali, Kimiyu al-Sa’dah, Al- Maktabah al-Sya’biyyah, Beirut, tt., hlm. 108.
23 Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdi, Op. Cit., hlm. 141-142.
24 Al-Taftazani, Op. Cit., hlm. 176.
25 Harun Nasution, Lok. Cit.
27 Al-Taftazani, Op. Cit., hlm. 184.
28 Ibid.
29 Karya al-Muhasibi berjumlah 36 buahm sebagiannya telah diterjemah ke dalam bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar