Minggu, 21 Januari 2018

Merevisi Dakwah Menjadi Upaya Transformasi




Dakwah pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengubah seseorang, sekelompok orang, atau suatu masyarakat menuju kepada kondisi atau keadaan yang lebih baik sesuai dengan perintah Allah swt. dan tuntunan Rasul-Nya. Dalam konteks Indonesia, dakwah dimaksudkan untuk mengubah posisi, situasi, dan kondisi umat Islam Indonesia yang timpang menuju keadaan yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya.

Dengan demikian, esensi dakwah adalah mengubah segala bentuk penyembahan kepada selain Allah kepada keyakinan tauhid, mengubah semua jenis kondisi kehidupan yang timpang ke arah kondisi kehidupan yang penuh dengan ketenangan batin dan kesejahteraan lahir berdasarkan nilai-nilai islami. Tentu saja, usaha itu hanya dapat terwujud manakala didukung oleh rencana yang terpadu dan adanya persiapan yang matang.

Perintah untuk mengubah kondisi yang timpang di masyarakat secara tegas dinyatakan dalam sabda Nabi saw: "Siapa pun yang melihat kemungkaran (ketimpangan), maka ia berkewajiban meluruskannya dengan tindakan, ucapan, dan paling tidak dengan hatinya. Upaya yang terakhir itu adalah gambaran selemah-lemahnya iman seseorang" (HR. Muslim).

Meskipun setiap orang diminta untuk melakukan dakwah melalui tiga cara tadi, yakni tindakan, ucapan, dan doa, namun jangan lupa semua upaya tersebut harus dilakukan tetap dengan cara-cara yang bijaksana, tidak memaksa dan yang pasti tidak menimbulkan rasa tidak nyaman bagi orang lain yang menjadi sasaran dakwah itu, seperti terbaca dalam ayat berikut: "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk" (an-Nahl, 16:125).

Dengan ungkapan lain, dakwah apapun bentuknya hendaknya selalu dilakukan dengan cara-cara damai dan simpatik, bukan dengan cara-cara kekerasan, intimidasi, diskriminasi, dan eksploitasi. Di sinilah sesungguhnya esensi Islam yang hakiki, yaitu agama yang cinta damai dan berpihak kepada kedamaian. Bukankah Islam itu sendiri berasal dari kata salam yang esensinya menunjukkan kepada makna damai?

Ayat di atas menyerukan kepada setiap muslim, agar melakukan dakwah, mengajak, dan menyeru manusia ke "jalan Allah", yaitu dienul Islam melalui cara yang arif dan bijak, pelajaran dan contoh teladan yang baik, serta dialog atau diskusi yang baik pula. Kata hikmah mengandung pengertian yang sangat luas, di antaranya dapat diartikan bahwa dakwah itu harus kontekstual, disesuaikan dengan kebutuhan sasaran, atau dengan memperhatikan situasi sasaran. Nabi merupakan contoh bagi pelaksanaan dakwah yang kontekstual, misalnya ketika ditanyakan kepada beliau tentang amal apakah yang paling afdal? Ternyata jawaban Nabi sangat bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan situasi orang yang bertanya.

Walaupun terdapat ayat yeng menyuruh setiap orang untuk melakukan dakwah, namun realitas yang ada menunjukkan bahwa lebih efektif jika dakwah tersebut dilakukan oleh sekelompok orang yang memang terlatih atau terdidik untuk tujuan mulia tersebut. Artinya, perlu membentuk organisasi dakwah yang di dalamnya terhimpun individu-individu yang memiliki komitmen dan profesionalitas untuk melaksanakan dakwah sehingga kegiatan dakwah dalam masyarakat dapat berjalan lebih efektif.

Kewajiban membentuk organisasi dakwah tersebut berasal dari pemahaman terhadap perintah Allah dalam Q.S. Ali Imran, 3:104: "Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntun."  Kandungan ayat tersebut mengisyaratkan dua hal. Pertama, perlunya ada sekelompok umat yang bertanggung jawab dalam upaya amar ma`ruf nahi mungkar atau menekuni profesi dakwah. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan dakwah diorganisasikan sedemikian rupa untuk melanjutkan estafet perjuangan Nabi saw. dalam rangka menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dan kepada semua umat manusia sampai akhir zaman. Kedua,  perlunya upaya amar ma`ruf nahi mungkar itu dilakukan secara berkesinambungan sambil melakukan pembenahan yang terus menerus sehingga term amar ma`ruf nahi mungkar tidak menjadi slogan tanpa arti.

Dari uraian di atas, nampak bahwa makna dakwah senantiasa terkait dengan konteks atau setting sosial tertentu. Hal ini sejalan dengan fakta historis bahwa sepanjang sejarahnya, agama Islam disampaikan dengan berbagai pendekatan yang sangat lentur dan sangat kondisional. Mulai dari cara sembunyi-sembunyi sampai dengan cara yang sangat terbuka dan transparan. Mulai dari pendekatan yang penuh bijaksana sampai pada pengerahan angkatan perang jika kondisi menghendaki demikian.

Dakwah Melalui Media Massa
Berikut ini penulis akan coba memaparkan secara sekilas tentang kegiatan dakwah di media massa, khususnya media elektronik. Penulis akan membagi pemaparan tersebut ke dalam lima perspektif, yaitu dari segi metode, proses, pelaku, materi, sasaran, dan tujuan.

Dakwah di berbagai media, baik cetak maupun  elektronik selama ini terkesan sebagai suatu proses penyampaian informasi satu arah (one way traffic) yang dikemas dalam bentuk ceramah atau pidato yang dilakukan oleh kalangan tertentu yang sering disebut da`i atau muballigh (da`iyah/muballighat).

Menghadapi berbagai kondisi tersebut, sudah saatnya   dakwah bil lisan dalam bentuk ceramah dan pidato dimodifikasi ke dalam bentuk aksi yang konkret sehingga dapat memberikan solusi bagi pelbagai problema yang dihadapi umat. Dengan kata lain, proses dakwah yang diperlukan adalah dakwah bil hal.

Dakwah bil hal adalah dakwah dalam bentuk amal konkret, kerja nyata, dan upaya-upaya positif yang dilakukan untuk mengubah kondisi umat menuju kondisi yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengertian tersebut dakwah mencakup pengertian yang amat luas seluas segi kehidupan manusia itu sendiri.

Artinya, dakwah dalam pengertian tersebut mencakup upaya-upaya sebagai berikut: pemberantasan buta huruf, baik huruf Latin maupun Arab,   peningkatan pendidikan rakyat, mengasuh anak-anak yatim dan anak-anak terlantar, memberi santunan pada para manula, pengentasan kemiskinan, peningkatan pendapatan ekonomi keluarga, upaya  mengurangi pengangguran, upaya memperbaiki lingkungan hidup, memerangi dan mencegah meluasnya bahaya narkotika dan obat-obat terlarang, memerangi dan mencegah merebaknya virus HIV/AIDS dan berbagai penyakit menular seksual lainnnya.

Pada umumnya pelaku dakwah di media massa  adalah mereka yang sehari-hari memang dikenal sebagai ustaz atau ustazah atau orang-orang yang sehari-harinya berkecimpung dalam kegiatan dakwah di majelis-majelis taklim. Ada semacam anggapan yang melekat di masyarakat bahwa tugas dakwah itu hanyalah semata-mata menjadi tangung jawab para ustaz/ustazah, bukan tanggung jawab mereka yang tidak berkecimpung di sekitar majelis taklim.

Adanya anggapan bahwa tugas dakwah itu monopoli para ustaz atau ustazah, menimbulkan perasaan masa bodoh atau sikap permisif di kalangan umat manakala mereka melihat tindakan kemungkaran atau tindakan despotis di masyarakat. Padahal, setiap Muslim dihimbau untuk amar makruf nahi mungkar; menegakkan kebenaran dan menghapuskan ketimpangan di mana saja dan kapan saja ia menemukannya. Kalau bisa ia lakukan dengan bertindak, kalau tidak cukup dengan ucapan, dan paling tidak ia harus berdoa agar kebenaran dapat ditegakkan dan kemungkaran harus dilenyapkan dari kehidupan masyarakat.

Sesungguhnya dakwah itu dapat digolongkan ke dalam dua bagian, dakwah secara individual, dakwah secara organisatoris. Dakwah jenis pertama adalah tugas setiap Muslim yang dewasa dan sehat akal dan jasmaninya. Diharapkan setiap Muslim apa pun posisi mereka dapat turut mengambil bagian dari kesuksesan dakwah.

Seorang suami wajib berdakwah dalam keluarganya, seorang isteri harus memberikan dakwah bagi lingkungan keluarganya, bahkan setiap orang harus menjadi da'i (pelaku dakwah) sekurang-kurangnya atas dirinya sendiri. Jadi, dakwah merupakan tanggung jawab bersama umat Islam. Sukses tidaknya dakwah Islamiyah sepenuhnya terpulang kepada keseriusan umat Islam melakukan dakwah.

Dakwah jenis kedua, yakni secara organisatoris hendaknya dijalankan dengan manajemen yang rapi oleh mereka yang sehari-harinya sudah berkecimpung di dunia dakwah, seperti para ustaz/ustazah, guru-guru agama dan sebagainya. Selain itu, perlu ada kelapangan dada di kalangan para da`i/da`iyah untuk memberikan ruang pada mereka yang sehari-harinya tidak berprofesi sebagai da`i/da`iyah untuk memberikan kontribusi mereka dalam mensukseskan kegiatan dakwah Islamiyah dengan cara yang mereka pilih sendiri.

Materi dakwah lebih banyak mengulas tentang peribadatan sehingga terkesan seolah-olah Islam itu hanya mengandung aspek ibadah, padahal ajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya aspek hukum, teologi, tasawuf, filsafat, politik, ekonomi, dan seterusnya.

Aspek ibadah yang sering diulas di media massa juga terbatas pada ibadah mahdah (ibadah yang telah ditentukan tatacara dan waktunya), seperti salat, puasa, zakat dan haji. Ibadah itu pada hakikatnya adalah segala perilaku dan tindakan seseorang yang dilakukan dengan niat mencari ridha Allah semata. Jadi, ibadah itu meliputi seluruh aspek kehidupan manusia; mulai dari memberikan senyum yang tulus sampai membuang duri di jalan termasuk ibadah.

Materi ibadah hendaknya menyentuh hal-hal yang sedang dihadapi masyarakat pada masanya, misalnya dewasa ini masyarakat kita sedang dihadapkan pada masalah krisis ekonomi dan krisis politik. Dakwah hendaknya memberikan pesan-pesan keagamaan yang isinya memuat solusi terhadap pelbagai masalah yang dihadapi masyarakat.

Selain itu, ada kecenderungan para da`i/da`iyah di dalam menyampaikan dakwahnya lebih mementingkan aspek verbalnya, padahal dewasa ini umat Islam telah semakin kritis sehingga mereka perlu diberikan bukti-bukti konkret dari penjelasan keagamaan yang diberikan.

Ada kesan kuat bahwa dakwah yang disampaikan melalui media massa, cetak dan elektronik lebih banyak dikemas untuk orang dewasa, sedikit sekali atau bahkan tidak ada yang sengaja diperuntukkan bagi remaja dan anak-anak. Selain itu, ada pula kesan seolah-olah sasaran yang dituju dalam berdakwah itu adalah para ibu yang sudah lanjut usia, ibu-ibu yang tidak berpendidikan. Sepertinya ada anggapan bahwa sasaran dakwah adalah orang-orang bodoh yang tidak banyak tahu mengenai ajaran Islam sehingga ada kesan menggurui. Sebenarnya tidak salah anggapan seperti itu, hanya saja memperlakukan sasaran dakwah sebagai botol kosong merupakan kesalahan yang amat fatal.

Agar dakwah di media massa ini lebih efektif, hendaknya masyarakat yang menjadi sasaran dakwah ditempatkan sebagai subyek, bukan melulu sebagai obyek. Dalam kaitan ini kaum ulama, umara, dan para intelektual Muslim perlu menggalang suatu jaringan kerja (net working) dan menempatkan diri mereka sebagai fasilitator pengembangan masyarakat yang partisipatif.

Dengan menempatkan diri sebagai fasilitator, memungkinkan masyarakat yang diberi dakwah berani mengemukakan pendapat dan pikiran mereka, memahami keadaan dan permasalahan yang dihadapi, untuk selanjutnya dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang dipilih untuk memecahkan masalah mereka dan akhirnya mengevaluasi sendiri hasil yang mereka dicapai.

Dengan kata lain, diharapkan bahwa hubungan antara da`i dan masyarakat yang diberi dakwah bersifat kemitraan, bukan hubungan ketergantungan. Selanjutnya, dari hubungan kemitraan itu tumbuh masyarakat yang dapat berpikir kritis terhadap diri dan lingkungannya sehingga mampu mencari solusi bagi setiap problema yang dihadapinya.

Sejauh ini tujuan dakwah lebih ditekankan sekedar kepada upaya penyampaian informasi atau pesan-pesan keagamaan kepada masyarakat. Tidak heran, kalau kriteria keberhasilan dakwah hanya sebatas sampainya informasi dan pesan-pesan tersebut di masyarakat, bukan pada bagaimana pesan-pesan itu diterima dan dilaksanakan secara sadar oleh masyarakat sehingga terjadi transformasi ke arah kehidupan yang lebih baik. Kegiatan dakwah selanjutnya hanya dianggap sebagai wadah tempat berkumpul yang sifatnya rutin.  

Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi adanya kecenderungan melihat  dakwah sekedar sebagai suatu bentuk hiburan (entertainment) guna memuaskan hati atau  menghibur masyarakat pendengarnya. Dakwah diadakan agar supaya masyarakat tertarik untuk mendatangi suatu perhelatan dan di tempat itu mereka akan terhibur  oleh retorika yang indah, puisi yang menghanyutkan, ilustrasi yang lucu yang kemudian diselingi dengan musik, banyolan yang agak porno, dan sebagainya, padahal, sukses tidaknya suatu dakwah bukanlah diukur melalui gelak tawa atau tepuk riuh pendengarnya.

Seharusnya, sukses suatu dakwah dilihat dari bekas atau kesan yang ditinggalkan dalam jiwa pendengarnya yang kemudian terpantul pada perilaku mereka sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat. Dakwah harus mampu melahirkan perubahan perilaku masyarakat ke arah perilaku bermoral (akhlak karimah). Misalnya, tidak buang sampah sembarangan, tidak korupsi, tidak ngebut di jalan, tidak mengganggu keamanan masyarakat, serta tidak menyakiti sesama.

Demikianlah sekilas potret kegiatan dakwah di media massa. Fenomena yang digambarkan di atas membenarkan prediksi sejumlah pakar bahwa dakwah Islam  perlu dibenahi agar ajaran Islam dapat berjalan seiring dengan kemajuan zaman sehingga betul-betul menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta). Dengan kata lain, dakwah perlu dilakukan secara kontekstual, dengan mempertimbangkan kebutuhan pokok masyarakat sasaran, serta menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi yang dihadapi masyarakat tersebut.

Umat Islam hendaknya memahami bahwa Al-Qur`an sebagai pedoman hidup mengandung seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan prinsip-prinsip dasar bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Melalui dakwah, para da`i/da`iyah dituntut untuk mampu menegakkan nilai-nilai universal Islam, seperti musyawarah (asy-syura), keadilan (al-`adl), persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawat), kebebasan (al-hurriyyah), dan tanggung jawab (al-amanah) dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial di masyarakat.

Dakwah harus mampu menggugah kesadaran umat Islam sehingga mereka dapat tampil sebagai umat yang  berkualitas. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya-upaya berikut: 1) meningkatkan keimanan umat sehingga tegar menghadapi segala bentuk pengaruh negatif dari kemajuan iptek dan paham-paham yang membahayakan negara, bangsa, dan agama; 2) meningkatkan kemampuan ekonomi umat melalui dorongan kerja keras dan menyadarkan mereka bahwa Islam mewajibkan kita untuk meraih hari esok yang lebih baik; dan 3) meningkatkan pembinaan akhlak umat, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, khususnya di bidang informatika dewasa ini, tidak ada pilihan lain kecuali memanfaatkan media massa, baik cetak maupun elektronik seefektif mungkin untuk kegiatan dakwah. Untuk itu, program-program dakwah, khususnya  melalui media massa perlu dikemas lebih baik dan lebih berkualitas agar tujuan dakwah, yaitu mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, dapat tercapai.

Media Massa dapat dijadikan wahana  yang sangat strategis dalam mengubah posisi dan kedudukan umat Islam Indonesia ke arah yang lebih menguntungkan di masa depan dalam rangka menegakkan kalimah Allah menuju terwujudnya masyarakat yang berkeadaban (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur). Tinggal bagaimana umat Islam mengantisipasi peluang emas yang ada di hadapan mereka. Wa Allah a`lam bi al-shawab







Tidak ada komentar:

Posting Komentar