Sabtu, 11 November 2017

Peringatan 500 Tahun Reformasi Gereja





Sebagai seorang non-Kristen saya merasa terinspirasi oleh peringatan 500 Tahun Reformasi Gereja. Bagi saya reformasi ini bukan hanya memberi inspirasi pembaruan dan pencerahan kepada gereja dan umat Kristen, melainkan juga kepada semua umat beragama di dunia. Kita bangsa Indonesia semoga pula terinspirasi untuk melihat prospek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terkait peringatan tersebut, sebuah seminar diadakan oleh BPK Gunung Mulia dengan tema: Mau Apa Sesudah 500 Tahun Reformasi Gereja Protestan? Dan lebih terkesan lagi dengan sub topik seminar: Menemukan terobosan-terobosan pelayanan bersama dalam kehidupan bergereja, berbangsa dan bernegara. Bersamaan dengan seminar diluncurkan juga buku berjudul: Dari Wittenberg Kita Semua Terpanggil Membarui Dunia 1517-2017. Buku ini merupakan kumpulan tulisan para teolog Indonesia yang didedikasikan untuk peringatan 500 tahun Gerakan Reformasi.

Gerakan Reformasi Gereja Protestan dimulai pada abad ke-16, tepatnya tahun 1517 dirintis oleh Martin Luther, seorang rahib muda Roma Katolik di Gereja Wittenberg, Jerman. Perjuangan keras Luther membawa perubahan, lalu diikuti para reformator (tokoh pembaruan) lainnya, seperti Ulrich Zwingli dan Yohanes Calvin.

Ide-ide pembaruan gereja selanjutnya mendapatkan dukungan politik yang kuat sehingga menjadi suatu gerakan sosial politik yang meluas dan mengubah peta politik dan kegerejaan di Eropa dengan berdirinya gereja-gereja Protestan. Tetap disesalkan bahwa Gerakan Reformasi menyebabkan perpecahan gereja, tapi mungkin itulah cara Tuhan untuk melindungi kepunahan gereja dan menemukan kembali esensi Injil.

Kembali ke ajaran Alkitab

Luther dan para reformator lainnya melakukan reformasi gereja dalam bentuk upaya-upaya pembaruan, perubahan dan perbaikan untuk kembali kepada ajaran yang benar sebagaimana diwartakan dalam Alkitab. Para reformator sangat yakin bahwa isi Alkitab telah diselewengkan oleh para penguasa gereja di masa itu untuk kepentingan dan kelanggengan kekuasaan mereka yang korup dan despotik. Dengan begitu, inti reformasi adalah keinginan untuk kembali kepada Alkitab yang sejati dan merdeka dari belenggu ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan gereja atas nama Tuhan.

Setidaknya ada tiga faktor internal menurut Pdt. Ebenhaizer yang mendorong lahirnya gerakan reformasi gereja (h. 158-159). Pertama, maraknya korupsi dalam kehidupan gereja serta praktek jual-beli jabatan dan surat penebusan dosa. Kedua, merosotnya standar moral dalam kehidupan biara. Kemurnian doktrin dianggap lebih utama dari kemurnian hidup. Ketiga, pengajaran gereja yang makin jauh menyimpang dari kesaksian Alkitab. Gereja lebih mendasarkan ajarannya pada tradisi dan keputusan-keputusan konsili yang dibuat demi kepentingan kekuasaan. Gereja tidak lagi bergantung pada Alkitab, melainkan sebaliknya.
Pertanyaan muncul, jika 500 tahun lalu para reformator telah menyemaikan fondasi yang kuat bagi Gereja Protestan sebagai bagian dari bangunan peradaban manusia, lalu apa yang telah gereja dan para pemimpin Kristen lakukan masa kini untuk menguatkan bangunan peradaban tersebut? Inilah pertanyaan yang paling esensial. Bagi saya, para reformator tersebut telah melakukan tugas kenabian (prophetik tasks) dengan sangat baiknya. Saya yakin bahwa tugas kenabian tersebut pasti tidaklah berakhir dengan wafatnya mereka, tugas kenabian itu kini berada di pundak para pewaris Alkitab. Mereka semua terpanggil melakukan tugas-tugas kenabian sesuai dengan kapasitas dan kompetensi masing-masing.
Sebetulnya, kondisi yang sama juga terjadi pada Islam. Ketika Islam sebagai agama bersatu dengan kekuasaan pada zaman kekhalifahan, lembaga-lembaga keagamaan mengalami kemerosotan yang luar biasa. Sebab, para penguasa menjadikan lembaga keagamaan sebagai alat politik demi melanggengkan kekuasaan mereka. Muncullah berbagai tragedi kemanusiaan, misalnya pembunuhan umat Islam dalam perang Karbala yang kemudian membelah mereka menjadi Sunni dan Syi’ah.

Agama yang memanusiakan manusia

Persoalan paling mendasar umat beragama adalah mereka belum secara sungguh-sungguh menjadikan keberagamaan sebagai bagian penting dari kemanusiaan. Sejatinya, tujuan akhir agama adalah memanusiakan manusia. Semakin kuat manusia beragama, maka selayaknya semakin peka rasa empatinya kepada sesama, bahkan juga kepada semua makhluk di alam semesta.
Upaya reformasi gereja harus tetap berlanjut. Gereja tetap dinantikan kehadirannya dalam upaya-upaya memanusiakan manusia. Tentu saja situasi dan kondisi yang dihadapi Luther pada masanya sangat berbeda dengan apa yang dihadapi para pendeta Kristen dewasa ini. Namun, saya yakin problem kemanusiaan yang dijumpai tidak jauh berbeda, yakni berbagai problem berbasis ketidakadilan.
Ketidakadilan mewujud dalam banyak bentuk, seperti korupsi, kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, sistem politik yang tiranik dan despotik yang membawa kepada kolonialisme dan imperialisme. Ketidakadilan juga melahirkan pendewaan diri melalui perilaku konsumeristik, individualistik, dan hedonistik. Ketidakadilan paling sering muncul dalam bentuk relasi tidak setara yang pada gilirannya melahirkan dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan beragam kekerasan dan kebiadaban. Dan ini bisa terjadi di semua lini: kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Karena itu reformasi yang diperlukan masa kini adalah dalam konteks penegakan keadilan. Sejatinya, keadilan merupakan esensi ajaran semua agama dan kepercayaan. Keadilan dalam relasi dengan Tuhan melahirkan kepatuhan mutlak hanya kepada-Nya, tawadhu, tawakkal, sabar dan selalu bersyukur.

Keadilan dalam relasi antar manusia melahirkan kasih-sayang, cinta, ikhlas, solidaritas, berani dan tanggung jawab. Keadilan membawa manusia menghindari semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Menjauhi semua hal yang mencederai kemanusiaan, seperti perilaku kekerasan, terutama kekerasan berbasis gender, perilaku korupsi, nepotisme, konsumeristik, hedonistik, serta sikap diskriminatif, tiranik, arogan dan despotik.

Dari perspektif feminisme, Al-Qur’an dan Alkitab Perjanjian Baru masih mengandung unsur-unsur patriarkhal. Para feminis yang melihat hal itu tidaklah menolak otoritas Alkitab yang merupakan buku kesaksian iman jemaat awal. Yang ditolak adalah patriarkhi dan budaya androsentrisnya. Sebagaimana pandangan hidup di kalangan jemaat-jemaat Kristiani awal, Paulus berada dalam kerangka patriarkhi dan budaya androsentris.

Adapun keadilan dalam hubungannya dengan alam melahirkan sikap peduli pada lingkungan, selalu berupaya agar lingkungan tetap hijau dan asri, serta menghindari semua bentuk eksploitasi alam yang berujung pada bencana kemanusiaan. Bangunan rumah ibadah, seperti mesjid dan gereja hendaknya ramah lingkungan dengan mengandalkan sumber energi pembangkit listrik tenaga surya, menggunakan energi baru dan terbarukan. Sebab, rumah ibadah tak terkecuali gereja dan mesjid dianggap cukup boros menggunakan energi dan karenanya harus menjadi pelopor penghematan energi untuk penyelamatan lingkungan.
Intinya, agama harus mampu menegakkan keadilan dan membuat manusia menjadi lebih manusiawi. Dan inilah tugas reformasi dan pembaruan yang amat penting, bukan hanya bagi gereja, tapi juga bagi semuat umat beragama. Akhirnya, saya mengucapkan: Selamat merayakan 500 tahun Reformasi Gereja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar