Sebagai
seorang non-Kristen saya merasa terinspirasi oleh peringatan 500 Tahun
Reformasi Gereja. Bagi saya reformasi ini bukan hanya memberi inspirasi pembaruan
dan pencerahan kepada gereja dan umat Kristen, melainkan juga kepada semua umat
beragama di dunia. Kita bangsa Indonesia semoga pula terinspirasi untuk melihat
prospek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terkait
peringatan tersebut, sebuah seminar diadakan oleh BPK Gunung Mulia dengan tema:
Mau Apa Sesudah 500 Tahun Reformasi Gereja Protestan? Dan lebih terkesan
lagi dengan sub topik seminar: Menemukan terobosan-terobosan pelayanan bersama
dalam kehidupan bergereja, berbangsa dan bernegara. Bersamaan dengan seminar
diluncurkan juga buku berjudul: Dari Wittenberg Kita Semua Terpanggil
Membarui Dunia 1517-2017. Buku ini merupakan kumpulan tulisan para teolog
Indonesia yang didedikasikan untuk peringatan 500 tahun Gerakan Reformasi.
Gerakan
Reformasi Gereja Protestan dimulai pada abad ke-16, tepatnya tahun 1517
dirintis oleh Martin Luther, seorang rahib muda Roma Katolik di Gereja
Wittenberg, Jerman. Perjuangan keras Luther membawa perubahan, lalu diikuti
para reformator (tokoh pembaruan) lainnya, seperti Ulrich Zwingli dan Yohanes Calvin.
Ide-ide
pembaruan gereja selanjutnya mendapatkan dukungan politik yang kuat sehingga
menjadi suatu gerakan sosial politik yang meluas dan mengubah peta politik dan
kegerejaan di Eropa dengan berdirinya gereja-gereja Protestan. Tetap disesalkan
bahwa Gerakan Reformasi menyebabkan perpecahan gereja, tapi mungkin itulah cara
Tuhan untuk melindungi kepunahan gereja dan menemukan kembali esensi Injil.
Kembali
ke ajaran Alkitab
Luther
dan para reformator lainnya melakukan reformasi gereja dalam bentuk upaya-upaya
pembaruan, perubahan dan perbaikan untuk kembali kepada ajaran yang benar
sebagaimana diwartakan dalam Alkitab. Para reformator sangat yakin bahwa isi
Alkitab telah diselewengkan oleh para penguasa gereja di masa itu untuk
kepentingan dan kelanggengan kekuasaan mereka yang korup dan despotik. Dengan
begitu, inti reformasi adalah keinginan untuk kembali kepada Alkitab yang
sejati dan merdeka dari belenggu ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan gereja
atas nama Tuhan.
Setidaknya
ada tiga faktor internal menurut Pdt. Ebenhaizer yang mendorong lahirnya
gerakan reformasi gereja (h. 158-159). Pertama, maraknya korupsi dalam
kehidupan gereja serta praktek jual-beli jabatan dan surat penebusan dosa.
Kedua, merosotnya standar moral dalam kehidupan biara. Kemurnian doktrin
dianggap lebih utama dari kemurnian hidup. Ketiga, pengajaran gereja yang makin
jauh menyimpang dari kesaksian Alkitab. Gereja lebih mendasarkan ajarannya pada
tradisi dan keputusan-keputusan konsili yang dibuat demi kepentingan kekuasaan.
Gereja tidak lagi bergantung pada Alkitab, melainkan sebaliknya.
Pertanyaan muncul, jika 500 tahun
lalu para reformator telah menyemaikan fondasi yang kuat bagi Gereja Protestan
sebagai bagian dari bangunan peradaban manusia, lalu apa yang telah gereja dan
para pemimpin Kristen lakukan masa kini untuk menguatkan bangunan peradaban
tersebut? Inilah pertanyaan yang paling esensial. Bagi saya, para reformator
tersebut telah melakukan tugas kenabian (prophetik tasks) dengan sangat
baiknya. Saya yakin bahwa tugas kenabian tersebut pasti tidaklah berakhir
dengan wafatnya mereka, tugas kenabian itu kini berada di pundak para pewaris
Alkitab. Mereka semua terpanggil melakukan tugas-tugas kenabian sesuai dengan
kapasitas dan kompetensi masing-masing.
Sebetulnya, kondisi yang sama juga terjadi pada Islam.
Ketika Islam sebagai agama bersatu dengan kekuasaan pada zaman kekhalifahan,
lembaga-lembaga keagamaan mengalami kemerosotan yang luar biasa. Sebab, para
penguasa menjadikan lembaga keagamaan sebagai alat politik demi melanggengkan
kekuasaan mereka. Muncullah berbagai tragedi kemanusiaan, misalnya pembunuhan
umat Islam dalam perang Karbala yang kemudian membelah mereka menjadi Sunni dan
Syi’ah.
Agama yang memanusiakan manusia
Persoalan paling mendasar umat beragama adalah mereka
belum secara sungguh-sungguh menjadikan keberagamaan sebagai bagian penting
dari kemanusiaan. Sejatinya, tujuan akhir agama adalah memanusiakan manusia.
Semakin kuat manusia beragama, maka selayaknya semakin peka rasa empatinya
kepada sesama, bahkan juga kepada semua makhluk di alam semesta.
Upaya reformasi gereja harus
tetap berlanjut. Gereja tetap dinantikan kehadirannya dalam upaya-upaya
memanusiakan manusia. Tentu saja situasi dan kondisi yang dihadapi Luther pada
masanya sangat berbeda dengan apa yang dihadapi para pendeta Kristen dewasa
ini. Namun, saya yakin problem kemanusiaan yang dijumpai tidak jauh berbeda,
yakni berbagai problem berbasis
ketidakadilan.
Ketidakadilan mewujud dalam
banyak bentuk, seperti korupsi, kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran,
sistem politik yang tiranik dan despotik yang membawa kepada kolonialisme dan
imperialisme. Ketidakadilan juga melahirkan pendewaan diri melalui perilaku
konsumeristik, individualistik, dan hedonistik. Ketidakadilan paling sering
muncul dalam bentuk relasi tidak setara yang pada gilirannya melahirkan
dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan beragam kekerasan dan kebiadaban. Dan
ini bisa terjadi di semua lini: kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.
Karena itu reformasi yang
diperlukan masa kini adalah dalam konteks penegakan keadilan. Sejatinya, keadilan merupakan
esensi ajaran semua agama dan kepercayaan. Keadilan dalam relasi dengan Tuhan
melahirkan kepatuhan mutlak hanya kepada-Nya, tawadhu, tawakkal, sabar dan
selalu bersyukur.
Keadilan dalam relasi antar manusia melahirkan kasih-sayang,
cinta, ikhlas, solidaritas, berani dan tanggung jawab. Keadilan membawa manusia
menghindari semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Menjauhi
semua hal yang mencederai kemanusiaan, seperti perilaku kekerasan, terutama
kekerasan berbasis gender, perilaku korupsi, nepotisme, konsumeristik,
hedonistik, serta sikap diskriminatif, tiranik, arogan dan despotik.
Dari perspektif feminisme, Al-Qur’an dan Alkitab Perjanjian Baru masih mengandung unsur-unsur
patriarkhal. Para feminis yang melihat hal itu tidaklah menolak otoritas
Alkitab yang merupakan buku kesaksian iman jemaat awal. Yang ditolak adalah
patriarkhi dan budaya androsentrisnya. Sebagaimana pandangan hidup di kalangan
jemaat-jemaat Kristiani awal, Paulus berada dalam kerangka patriarkhi dan
budaya androsentris.
Adapun keadilan dalam hubungannya
dengan alam melahirkan sikap peduli pada lingkungan, selalu berupaya agar
lingkungan tetap hijau dan asri, serta menghindari semua bentuk eksploitasi
alam yang berujung pada bencana kemanusiaan. Bangunan
rumah ibadah, seperti mesjid dan gereja hendaknya ramah lingkungan dengan
mengandalkan sumber energi pembangkit listrik tenaga surya, menggunakan energi baru
dan terbarukan. Sebab, rumah ibadah tak terkecuali gereja dan mesjid dianggap
cukup boros menggunakan energi dan karenanya harus menjadi pelopor penghematan
energi untuk penyelamatan lingkungan.
Intinya, agama harus
mampu menegakkan keadilan dan membuat manusia menjadi lebih manusiawi. Dan
inilah tugas reformasi dan pembaruan yang amat penting, bukan hanya bagi
gereja, tapi juga bagi semuat umat beragama. Akhirnya, saya mengucapkan:
Selamat merayakan 500 tahun Reformasi Gereja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar