Musdah Mulia[1]
Pendahuluan
Demokrasi adalah suatu
kondisi dalam mana proses pengambilan kebijakan tidak dilakukan dengan cara
paksa, militeristik, cara-cara kekerasan dan segala bentuk tekanan yang
mengabaikan dialog dan musyawarah. Dalam arti yang lebih umum demokrasi adalah
sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi. Sistem demokrasi menghendaki rakyat yang memerintah, mengambil
keputusan, dan merumuskan kebijakan-kebijakan.
Adapun kemajuan mengacu pada
suatu kondisi dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, dan
menjadi salah satu kekuatan yang mengubah peradaban, agar bisa menjadi lebih
manusiawi, bukan sebaliknya. Masa depan
tidak lagi memuat kekumuhan, melainkan suasana baru yang memberi harga pada
manusia. Cara mencapai kemajuan bukan
dengan mengalienasi manusia atau
menyingkirkan kelompok rentan, melainkan
mentransformasikan atau membawa masyarakat kepada kehidupan baru yang
lebih baik dan lebih bermakna.
Kemiskinan merupakan dampak
yang paling nyata akibat ketidakadilan di bidang ekonomi. Laporan Pembangunan Manusia (HDR) PBB tahun 1999
menyebutkan 840 juta orang kekurangan gizi, termasuk di dalamnya satu dari
empat anak di dunia. Sementara, di pihak lain terjadi pemusatan ekonomi di
tangan segelintir orang. Bagaimana mungkin tiga orang terkaya di dunia
berpendapatan lebih besar dari pendapatan 48 negara miskin. Kekayaan bersih 200
orang terkaya di dunia meningkat dari 440 milyar dolar AS pada 1994 menjadi 1 trilyun
dolar AS pada 1998. Padahal, jika empat persen saja dari harta mereka
disumbangkan akan dapat mengurangi kemiskinan yang sangat parah di seluruh
dunia.[2]
Lalu apa hubungannya dengan
agama? Agama sejatinya merupakan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan di dunia menuju
kehidupan yang lebih abadi di akhirat nanti. Semua agama mengajarkan bahwa
kemiskinan itu adalah musuh yang harus dilenyapkan karena kemiskinan dapat
menjebak manusia kepada perilaku yang tercela dan hina. Kemiskinan harus
dilenyapkan agar manusia menikmati kesejahteraan dan kebahagiaan. Akan tetapi,
dalam realitas sehari-hari, agama seringkali justru digunakan sebagai
pembenaran dari berbagai upaya pemiskinan.
Mengapa Timbul Kemiskinan?
Selain pendidikan, kelompok pers juga memiliki peranan besar dalam
memobilisasi masyarakat untuk mendukung gerakan nasional memberantas
kemiskinan. Perlu pendekatan multi-disiplin dalam melihat kemiskinan sehingga
pemerintah dapat terbantu mencari solusi yang tepat dalam mengatasi persoalan
itu. Industrialisasi ternyata tidak memberi solusi bagi kemiskinan. Justru yang
paling benyak menyerap tenaga kerja dan pengangguran adalah sektor self
employed (membuka kesempatan kerja untuk diri sendiri).
Melawan
Kemiskinan Dengan Menegakkan Keadilan
Masalah mendasar dalam pembangunan bidang ekonomi adalah karena tuntutan
pemenuhan kebutuhan yang tidak terbatas (konsumsi) dihadapkan kepada kelangkaan
sumber daya yang sangat terbatas. Oleh sebab itu, produksi harus dilaksanakan
seefisien mungkin dan sesuai dengan kebutuhan manusia dari yang paling mendasar
sampai kepada kebutuhan yang sekunder atau tersier.
Ajaran agama mengakui adanya keterbatasan sumber daya yang berhadapan
dengan keinginan manusia yang tidak terbatas. Ini misalnya dijelaskan dalam
Al-Quran: "Dan sungguh kami akan uji kamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira bagi orang-orang yang sabar."
(Q.S al-Baqarah, 2: 155). Sedangkan keinginan manusia tidak terbatas
dan hal ini sangat indah dijelaskan dalam Al-Qur`an: "Bermega-megahan telah
melalaikan kamu sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah kamu begitu, kelak
kamu akan mengetahui (akibat perbuatannmu itu) (Q.S al-Takaatsur,
1-5)." Lalu diperkuat oleh
sabda Nabi Muhammad: "bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila
diberikan emas satu lembah, ia akan minta dua lembah, Bila diberikan dua lembah
ia akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia masuk kubur".
Kemiskinan merupakan produk dari ketidakadilan dalam masyarakat. Dengan
menggunakan perspektif ini, jelas bahwa kemiskinan bukanlah suatu keadaan yang
diinginkan, termasuk oleh mereka yang
berada dalam kemiskinan itu sendiri. Akan tetapi, harus diakui juga bahwa
kemiskinan bukanlah suatu ketidaksengajaan. Melainkan suatu keadaan yang diakibatkan
oleh sistem yang tidak adil (al-Takaatsur, 1-5).
Kita lihat saja bagaimana nasib petani di bawah kekuasaan otoriter Orde
Baru. Bagaimana, misalnya penguasa melakukan negaranisasi sumber-sumber
agraria, sehingga dengan mudah menyerobot tanah rakyat dengan dalih pembangunan. Desa digenangi air untuk
pembangunan waduk demi pembangunan. Ladang yang subur diubah menjadi lapangan
golf, mall dan super market demi pembangunan.
Ketidakadilan juga menyelimuti kaum miskin perkotaan. Mereka korban proses
marjinalisasi di pedesaan, ketika tanah mereka diambil-alih oleh pemegang modal
berskala besar dan pertanian diteknologisasi menjadi lebih efisien. Akibatnya,
mereka migran ke kota dan mencoba bekerja di sektor informal menjadi pedagang
kaki lima.
Namun, di kota mereka tetap saja dimarjinalkan, dikejar-kejar, dijaring dan
ditertibkan aparat demi keindahan kota dan demi pembangunan nasional. Bukan saja negara yang menaruh
benci pada mereka, masyarakat juga menaruh curiga setiap kali yang miskin
mendekat. Sebaliknya masyarakat tidak pernah curiga bila orang berdasi yang
datang.
Padahal, boleh jadi mereka yang berdasi itulah yang merampok kekayaan
negara dengan terang-terangan dan legal. Akan tetapi, yang bermasalah bukan
saja kenyataan ketidakadilan tersebut, melainkan juga keabsahan dari ketidakadilan
tersebut. Ketidakadilan dianggap sebagai hal yang normal sehingga banyak
pandangan, termasuk pandangan agama, yang membenarkan kemiskinan atau
melegitimasi kemiskinan.
Ketidakadilan sulit dilawan, sebab yang melawan ketidakadilan bisa dituduh
subversif atau dituduh sedang menghidupkan ajaran komunis. Mereka yang melawan
tindakan pemerintah yang penuh dengan ketidakadilan mudah dituding sebagai
melawan hukum atau melawan pembangunan. Anehnya, kebanyakan kita tidak
berlomba-lomba mengeritik penguasa yang
lalai dan tidak adil, malah sebaliknya memberikan dukungan, maka
hasilnya adalah suatu ketidakadilan yang mengakar dan tersistem (menjadi bagian
dalam sistem).
Mengapa kita harus melawan ketidakadilan demi mengentaskan kemiskinan?
Tentu saja karena kondisi tersebut telah menjadi penghambat utama bagi proses
aktualisasi manusia; kondisi tersebut telah
menjadi penghambat utama bagi proses pembentukan peradaban yang
manusiawi dan beradab.
Ketidakadilan telah membenarkan berbagai bentuk tindakan yang menyimpang
dari norma umum maupun norma agama. Situasi yang penuh ketidakadilan telah
membangun suatu nilai baru, yakni untuk hidup manusia harus melakukan apa saja,
termasuk melukai manusia lain. Maka tidak heran bila kita bisa menjumpai suatu
praktek dimana satu manusia hidup dari ketakutan manusia yang lain; atau ada
orang yang hidup dari kesulitan orang
lain.
Ambil contoh bagaimana kota bekembang dengan cara menyingkirkan orang-orang desa. Industri (orang-orang kota)
telah membangun suatu tatanan, yang tidak memberi hormat pada pertanian (orang
desa), dan pertanian (orang desa) hanya dijadikan alas kaki bagi kemajuan
industri (orang kota).
Menuju
Masyarakat Yang Mencintai Keadilan
Kita menolak masyarakat lama yang berbasis ketidakadilan. Kita ingin pindah,
hijrah kepada masyarakat baru yang berbasis keadilan. Bagaimana wujud dari
masyarakat baru ini? Masyarakat baru
tidak lain adalah masyarakat yang berbasis
pada tiga fondasi utama: keadilan,
demokrasi dan kemajuan. Keadilan
menunjuk pada suatu kondisi dimana tidak terjadi dominasi, diskriminasi dan
eksploitasi manusia atas manusia, serta adanya pemerataan dalam kemampuan
pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia.
Konsep ini tidak saja berbicara mengenai suatu hubungan dalam struktur
sosial, melainkan juga relasi gender, kelestarian lingkungan dan hubungan antargenerasi. Keadilan
merupakan koreksi mendasar atas praktek eksploitasi dan marjinalisasi yang
telah berlangsung lama.
Dalam kisah Para Rasul 4, 5- (Cara Hidup jemaat 4:32-35) disebutkan:'…sebab
tidak ada seorang pun yang berkekurangan
di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah,
menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan kemudian
diletakkan didepan kaki rasul-rasul;
lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya…"
Bahkan Al-Qur`an secara
tegas mengancam mereka yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya dan
menegaskan bahwa harta tidak bisa dijadikan sandaran: "…Kecelakaan bagi
orang yang menumpuk harta dan menghitung-hitung. Dia
mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak!
Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan
ke dalam Huthamah. Dan tahukan kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api yang disediakan Allah yang
dinyalakan. Yang naik sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas
mereka. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang."
Selanjutnya, menyatakan kemungkinan kemegahan adalah hukuman dari Tuhan!
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai masuk ke liang
kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika
kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan
melihat neraka Jahanan, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya
dengan 'ainul-yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megahkan di dunia itu)
(Q.S: 102).
Ajaran Islam sangat jelas memposisikan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Dengan demikian, manusia tidak memiliki dasar untuk mengklaim sebagai
"pemilik", kecuali sebagai makhluk semata. Malahan makna eksistensi
manusia tidak diukur dari kepemilikan atas kekayaan dunia, melainkan atas
keimanannya. Tentu saja agama membenarkan pemilikan. Namun hal tersebut patut
didasarkan pada prinsip: (1) bahwa harta bukan milik seseorang sepenuhnya,
melainkan terdapat juga di dalamnya milik orang lain; dan (2) bahwa harta itu
harus didistribusikan: "supaya harta itu jangan sampai beredar hanya di antara orang-orang kaya di
sekeliling kamu (Q.S: 59:7)
Berarti
Islam menentang berbagai bentuk akumulasi, dominasi dan konsentrasi. Bahkan,
Al-Qur`an secara tegas menyebutkan bahwa musuh agama adalah mereka "yang
menelantarkan anak yatim" (Q.S. 107: 2-3). Dapat dikatakan bahwa musuh
agama adalah mereka yang membiarkan kemiskinan berkembang dan tidak
memperjuangkan hilangnya kemiskinan.
Islam pada dasarnya menekankan perlunya suatu moralitas baru yang tidak
membenarkan proses akumulasi yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Moralitas yang tidak
membenarkan proses akumulasi yang membenarkan penyingkiran atas yang miskin. Moralitas
yang menekankan perlunya solidaritas pada yang kekurangan. Solidaritas harus dinyatakan secara jelas,
paling tidak dalam doa: "…Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
kegelisahan dan kesedihan, kelemahan dan
kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil, dan tekanan hutang dan
kesewenang-wenangan orang…"
Kesimpulan
Demokrasi harus berujung pada kesejahteraan dan
keselamatan serta kemajuan semua manusia atau semua warga negara. Karena itu,
jika dalam sebuah negara masih ditemukan sebagian besar warganya terjerambab
dalam kemiskinan hal itu mengindikasikan bahwa pelaksaan demokrasi tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Boleh jadi demokrasi yang dijalankan di negara
tersebut hanyalah demokrasi prosedural, bukan demokrasi yang substantif
sehingga hasilnya belum dinikmati secara merata oleh semua warga negara. Di
sinilah perlunya pendidikan politik bagi semua warga negara agar mereka dapat
berpartisipasi aktif mengawasi pelaksanaan system demokrasi di negara masing-masing.
Demikian pula dengan pengamalan ajaran agama harus
berujung pada kemashalahatan semua manusia. Jika masyarakat mengamalkan ajaran
agama, termasuk agama Islam dengan cara yang benar, maka semua bentuk
ketidakadilan dapat diatasi, seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran,
ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang melahirkan beragam problem
sosial di masyarakat. Artinya, masyarakat yang demokratis adalah masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang berwujud nilai-nilai kemanusiaan universal.
[2]Indikator
yang digunakan untuk menghitung tingkat kemiskinan dengan menggunakan jumlah
dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan yang
dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan minuman per kapita
kelompok yang telah ditetapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar