Minggu, 19 November 2017

DEMOKRASI, KEMISKINAN DAN AGAMA


Musdah Mulia[1]



Pendahuluan

Demokrasi adalah suatu kondisi dalam mana proses pengambilan kebijakan tidak dilakukan dengan cara paksa, militeristik, cara-cara kekerasan dan segala bentuk tekanan yang mengabaikan dialog dan musyawarah. Dalam arti yang lebih umum demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sistem demokrasi menghendaki rakyat yang memerintah, mengambil keputusan, dan merumuskan kebijakan-kebijakan.

Adapun kemajuan mengacu pada suatu kondisi dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, dan menjadi salah satu kekuatan yang mengubah peradaban, agar bisa menjadi lebih manusiawi, bukan  sebaliknya. Masa depan tidak lagi memuat kekumuhan, melainkan suasana baru yang memberi harga pada manusia. Cara mencapai kemajuan  bukan dengan  mengalienasi manusia atau menyingkirkan kelompok rentan, melainkan  mentransformasikan atau membawa masyarakat kepada kehidupan baru yang lebih baik dan lebih bermakna.

Kemiskinan merupakan dampak yang paling nyata akibat ketidakadilan di bidang ekonomi. Laporan  Pembangunan Manusia (HDR) PBB tahun 1999 menyebutkan 840 juta orang kekurangan gizi, termasuk di dalamnya satu dari empat anak di dunia. Sementara, di pihak lain terjadi pemusatan ekonomi di tangan segelintir orang. Bagaimana mungkin tiga orang terkaya di dunia berpendapatan lebih besar dari pendapatan 48 negara miskin. Kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia meningkat dari 440 milyar dolar AS pada 1994 menjadi 1 trilyun dolar AS pada 1998. Padahal, jika empat persen saja dari harta mereka disumbangkan akan dapat mengurangi kemiskinan yang sangat parah di seluruh dunia.[2]

Lalu apa hubungannya dengan agama? Agama sejatinya merupakan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan di dunia menuju kehidupan yang lebih abadi di akhirat nanti. Semua agama mengajarkan bahwa kemiskinan itu adalah musuh yang harus dilenyapkan karena kemiskinan dapat menjebak manusia kepada perilaku yang tercela dan hina. Kemiskinan harus dilenyapkan agar manusia menikmati kesejahteraan dan kebahagiaan. Akan tetapi, dalam realitas sehari-hari, agama seringkali justru digunakan sebagai pembenaran dari berbagai upaya pemiskinan.

Mengapa Timbul Kemiskinan?

Ada pandangan stereotipe di masyarakat bahwa kemiskinan itu akibat malas dan tidak hemat. Padahal, sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa kemiskinan disebabkan oleh sejumlah faktor yang jalin berkelindan, seperti model pembangunan yang dianut negara, ketidakadilan yang mengendap dalam sistem struktur dan kebijakan-kebijakan  sosio-ekonomi-politik yang tidak berpihak, pandangan teologis yang tidak kondusif. Oleh karena itu, upaya untuk mengentaskan kemiskinan harus dilakukan dari berbagai aspek secara serentak.  Salah satunya melalui aspek pendidikan. Pendidikan masih dipercaya sebagai upaya mobilitas sosial dalam mencapai kehidupan yang lebih baik.

Selain pendidikan, kelompok pers juga memiliki peranan besar dalam memobilisasi masyarakat untuk mendukung gerakan nasional memberantas kemiskinan. Perlu pendekatan multi-disiplin dalam melihat kemiskinan sehingga pemerintah dapat terbantu mencari solusi yang tepat dalam mengatasi persoalan itu. Industrialisasi ternyata tidak memberi solusi bagi kemiskinan. Justru yang paling benyak menyerap tenaga kerja dan pengangguran adalah sektor self employed (membuka kesempatan kerja untuk diri sendiri).

Melawan Kemiskinan Dengan Menegakkan Keadilan

Masalah mendasar dalam pembangunan bidang ekonomi adalah karena tuntutan pemenuhan kebutuhan yang tidak terbatas (konsumsi) dihadapkan kepada kelangkaan sumber daya yang sangat terbatas. Oleh sebab itu, produksi harus dilaksanakan seefisien mungkin dan sesuai dengan kebutuhan manusia dari yang paling mendasar sampai kepada kebutuhan yang sekunder atau tersier.

Ajaran agama mengakui adanya keterbatasan sumber daya yang berhadapan dengan keinginan manusia yang tidak terbatas. Ini misalnya dijelaskan dalam Al-Quran: "Dan sungguh kami akan uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar."  (Q.S  al-Baqarah, 2: 155).  Sedangkan keinginan manusia tidak terbatas dan hal ini sangat indah dijelaskan dalam Al-Qur`an: "Bermega-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah kamu begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatannmu itu) (Q.S al-Takaatsur, 1-5)."  Lalu diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad: "bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia akan minta dua lembah, Bila diberikan dua lembah ia akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia masuk kubur".

Kemiskinan merupakan produk dari ketidakadilan dalam masyarakat. Dengan menggunakan perspektif ini, jelas bahwa kemiskinan bukanlah suatu keadaan yang diinginkan, termasuk  oleh mereka yang berada dalam kemiskinan itu sendiri. Akan tetapi, harus diakui juga bahwa kemiskinan bukanlah suatu ketidaksengajaan. Melainkan suatu keadaan yang diakibatkan oleh sistem yang tidak adil (al-Takaatsur, 1-5).

Kita lihat saja bagaimana nasib petani di bawah kekuasaan otoriter Orde Baru. Bagaimana, misalnya penguasa melakukan negaranisasi sumber-sumber agraria, sehingga dengan mudah menyerobot tanah rakyat dengan  dalih pembangunan. Desa digenangi air untuk pembangunan waduk demi pembangunan. Ladang yang subur diubah menjadi lapangan golf, mall dan super market demi pembangunan.

Ketidakadilan juga menyelimuti kaum miskin perkotaan. Mereka korban proses marjinalisasi di pedesaan, ketika tanah mereka diambil-alih oleh pemegang modal berskala besar dan pertanian diteknologisasi menjadi lebih efisien. Akibatnya, mereka migran ke kota dan mencoba bekerja di sektor informal menjadi pedagang kaki lima.

Namun, di kota mereka tetap saja dimarjinalkan, dikejar-kejar, dijaring dan ditertibkan aparat demi keindahan kota dan demi pembangunan  nasional. Bukan saja negara yang menaruh benci pada mereka, masyarakat juga menaruh curiga setiap kali yang miskin mendekat. Sebaliknya masyarakat tidak pernah curiga bila orang berdasi yang datang. 

Padahal, boleh jadi mereka yang berdasi itulah yang merampok kekayaan negara dengan terang-terangan dan legal. Akan tetapi, yang bermasalah bukan saja kenyataan ketidakadilan tersebut, melainkan juga keabsahan dari ketidakadilan tersebut. Ketidakadilan dianggap sebagai hal yang normal sehingga banyak pandangan, termasuk pandangan agama, yang membenarkan kemiskinan atau melegitimasi kemiskinan.

Ketidakadilan sulit dilawan, sebab yang melawan ketidakadilan bisa dituduh subversif atau dituduh sedang menghidupkan ajaran komunis. Mereka yang melawan tindakan pemerintah yang penuh dengan ketidakadilan mudah dituding sebagai melawan hukum atau melawan pembangunan. Anehnya, kebanyakan kita tidak berlomba-lomba mengeritik penguasa yang  lalai dan tidak adil, malah sebaliknya memberikan dukungan, maka hasilnya adalah suatu ketidakadilan yang mengakar dan tersistem (menjadi bagian dalam sistem).

Mengapa kita harus melawan ketidakadilan demi mengentaskan kemiskinan? Tentu saja karena kondisi tersebut telah menjadi penghambat utama bagi proses aktualisasi manusia; kondisi tersebut telah  menjadi penghambat utama bagi proses pembentukan peradaban yang manusiawi dan beradab.

Ketidakadilan telah membenarkan berbagai bentuk tindakan yang menyimpang dari norma umum maupun norma agama. Situasi yang penuh ketidakadilan telah membangun suatu nilai baru, yakni untuk hidup manusia harus melakukan apa saja, termasuk melukai manusia lain. Maka tidak heran bila kita bisa menjumpai suatu praktek dimana satu manusia hidup dari ketakutan manusia yang lain; atau ada orang  yang hidup dari kesulitan orang lain.

Ambil contoh bagaimana kota bekembang dengan cara menyingkirkan  orang-orang desa. Industri (orang-orang kota) telah membangun suatu tatanan, yang tidak memberi hormat pada pertanian (orang desa), dan pertanian (orang desa) hanya dijadikan alas kaki bagi kemajuan industri (orang kota).

Menuju Masyarakat Yang Mencintai Keadilan

Kita menolak masyarakat lama yang berbasis ketidakadilan. Kita ingin pindah, hijrah kepada masyarakat baru yang berbasis keadilan. Bagaimana wujud dari masyarakat baru ini?  Masyarakat baru tidak lain adalah masyarakat yang berbasis  pada tiga fondasi utama: keadilan,  demokrasi dan  kemajuan. Keadilan menunjuk pada suatu kondisi dimana tidak terjadi dominasi, diskriminasi dan eksploitasi manusia atas manusia, serta adanya pemerataan dalam kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia.

Konsep ini tidak saja berbicara mengenai suatu hubungan dalam struktur sosial, melainkan juga relasi gender, kelestarian lingkungan  dan hubungan antargenerasi. Keadilan merupakan koreksi mendasar atas praktek eksploitasi dan marjinalisasi yang telah berlangsung lama.

Dalam kisah Para Rasul 4, 5- (Cara Hidup jemaat 4:32-35) disebutkan:'…sebab tidak ada seorang pun yang berkekurangan  di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan kemudian diletakkan  didepan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya…"

Bahkan Al-Qur`an secara tegas mengancam mereka yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya dan menegaskan bahwa harta tidak bisa dijadikan sandaran: "…Kecelakaan bagi orang yang menumpuk harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan  ke dalam Huthamah. Dan tahukan kamu apa Huthamah itu?  (yaitu) api yang disediakan Allah yang dinyalakan. Yang naik sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang."

Selanjutnya, menyatakan kemungkinan kemegahan adalah hukuman  dari Tuhan!  "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahanan, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul-yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megahkan di dunia itu)  (Q.S: 102).

Ajaran Islam sangat jelas memposisikan manusia sebagai makhluk Tuhan. Dengan demikian, manusia tidak memiliki dasar untuk mengklaim sebagai "pemilik", kecuali sebagai makhluk semata. Malahan makna eksistensi manusia tidak diukur dari kepemilikan atas kekayaan dunia, melainkan atas keimanannya. Tentu saja agama membenarkan pemilikan. Namun hal tersebut patut didasarkan pada prinsip: (1) bahwa harta bukan milik seseorang sepenuhnya, melainkan terdapat juga di dalamnya milik orang lain; dan (2) bahwa harta itu harus didistribusikan: "supaya harta itu jangan sampai beredar  hanya di antara orang-orang kaya di sekeliling kamu (Q.S: 59:7)

Berarti Islam menentang berbagai bentuk akumulasi, dominasi dan konsentrasi. Bahkan, Al-Qur`an secara tegas menyebutkan bahwa musuh agama adalah mereka "yang menelantarkan anak yatim" (Q.S. 107: 2-3). Dapat dikatakan bahwa musuh agama adalah mereka yang membiarkan kemiskinan berkembang dan tidak memperjuangkan  hilangnya kemiskinan.

Islam pada dasarnya menekankan perlunya suatu moralitas baru yang tidak membenarkan proses akumulasi yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Moralitas yang tidak membenarkan proses akumulasi yang membenarkan penyingkiran atas yang miskin. Moralitas yang menekankan perlunya solidaritas pada yang kekurangan.  Solidaritas harus dinyatakan secara jelas, paling tidak dalam doa: "…Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, kelemahan  dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil, dan tekanan hutang dan kesewenang-wenangan orang…"

Kesimpulan

Demokrasi harus berujung pada kesejahteraan dan keselamatan serta kemajuan semua manusia atau semua warga negara. Karena itu, jika dalam sebuah negara masih ditemukan sebagian besar warganya terjerambab dalam kemiskinan hal itu mengindikasikan bahwa pelaksaan demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Boleh jadi demokrasi yang dijalankan di negara tersebut hanyalah demokrasi prosedural, bukan demokrasi yang substantif sehingga hasilnya belum dinikmati secara merata oleh semua warga negara. Di sinilah perlunya pendidikan politik bagi semua warga negara agar mereka dapat berpartisipasi aktif mengawasi pelaksanaan system demokrasi di negara masing-masing.

Demikian pula dengan pengamalan ajaran agama harus berujung pada kemashalahatan semua manusia. Jika masyarakat mengamalkan ajaran agama, termasuk agama Islam dengan cara yang benar, maka semua bentuk ketidakadilan dapat diatasi, seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang melahirkan beragam problem sosial di masyarakat. Artinya, masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang berwujud nilai-nilai kemanusiaan universal.




[1] Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
[2]Indikator yang digunakan untuk menghitung tingkat kemiskinan dengan menggunakan jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan yang dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan minuman per kapita kelompok yang telah ditetapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar