Kita bangga Indonesia dianggap berhasil menjadi sebuah
negara demokrasi karena sejak tahun 1999 mampu melalui tiga pemilu demokratis
yang relatif damai. Sayangnya, dalam perkembangan kemudian terlihat noda-noda
intoleransi dalam bangunan demokrasi kita. Tidak salah jika disimpulkan, negara
gagal menegakkan prinsip toleransi, salah satu komponen mendasar dalam penegakan
HAM yang menjadi pilar utama demokrasi.
Berbagai survei mengafirmasi
keresahan umum di kalangan masyarakat tentang meningkatnya trend intoleransi sosial. Sejumlah
kasus intoleransi dibiarkan berlalu tanpa penyelesaian hukum yang tegas.
Beberapa diantaranya, peristiwa kekerasan antara kelompok masyarakat terkait
isu agama dan suku dalam pilkada, isu LGBT, dan sejumlah persoalan terkait
hambatan melaksanakan keyakinan agama yang ramai dibicarakan. Belum lagi
kehadiran perda-perda bernuansa agama di berbagai wilayah yang penyebarannya
begitu cepat bak cendawan di musim hujan. Kita nyaris kehilangan kepercayaan
pada pemerintahan Jokowi karena setelah dua tahun memerintah belum tampak
upaya-upaya konkret mengikis semua bentuk intoleransi yang sangat menodai wajah
demokrasi kita.
Bukan hanya negara, masyarakat pun gagal dalam
melindungi dan menegakkan semangat toleransi dan pluralisme sebagai basis
demokrasi yang sehat. Modal sosial dan tingkat dukungan terhadap toleransi,
khususnya terkait kebebasan beragama kita relatif rendah. Beberapa survei
mengungkapkan, masyarakat diliputi pandangan yang abu-abu terhadap perlindungan
kebebasan beragama dan permisif terhadap penggunaan kekerasan. Pada level
personal, masyarakat enggan untuk hidup bertetangga dengan orang yang berbeda
agama. Enggan memberikan kepada tetangga atau orang yang berbeda agama tersebut
tempat untuk menjalankan ibadahnya secara terbuka (dalam bentuk rumah ibadah).
Kondisi ini sangat mengherankan
sebab kita semua tahu, dalam konteks Indonesia yang multi agama, prinsip
toleransi dan kebebasan beragama tidak hanya mempunyai landasan pijak dalam
konstitusi dan undang-undang nasional, melainkan juga berakar kuat dalam
tradisi berbagai agama dan kepercayaan yang sudah hidup ribuan tahun di
Nusantara. Nilai-nilai toleransi sudah demikian lama berakar dalam kehidupan
suku-suku asli di Nusantara.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama
kita masih sangat rendah. Fatalnya, kecenderungan ini terlihat di kelompok
masyarakat dalam semua kategori pendidikan. Bahkan, dalam hubungannya dengan
afiliasi terhadap partai politik, pendukung partai nasionalis dan partai Islam
juga tidak menunjukkan perbedaan berarti. Artinya, ideologi partai khususnya
nasional, gagal beresonansi dengan pemilihnya. Walau negara tetap merupakan
pihak yang paling bertanggung jawab untuk melindungi prinsip-prinsip negara
demokrasi ideal, termasuk dalam monopoli kekerasan, tetapi persepsi masyarakat
tentang pluralisme juga penting.
Penegakan
Konstitusi
Catatan paling
kentara mengenai intoleransi dan kekerasan keagamaan di Indonesia di era Pemerintahan
Jokowi adalah keengganan pemerintah untuk melakukan sesuatu demi menegakkan
Konstitusi (government inaction). Pemerintah gagal mengambil
langkah-langkah memadai untuk menangkal diskriminasi, restriksi, dan
penyerangan atas Ahmadiyah, Syiah dan kelompok minoritas lainnya. Selain itu,
pemerintah pun tak mampu menahan inisiatif pemerintahan daerah untuk melarang, bahkan
mencegah vandalisme atas fasilitas-fasilitas kelompok minoritas tersebut
(contoh kasus Pesantren Waria di Yogya dan lainnya). Pemerintah juga tidak mengambil
langkah konkret mengukuhkan keputusan Mahkamah Agung yang melegalkan pembukaan
ulang GKI Yasmin.
Ada tiga faktor yang mengharuskan
isu intoleransi menjadi perhatian bersama. Pertama, jumlah kekerasaan
dan tindakan diskriminatif, terutama atas nama agama kepada mereka yang berbeda
agama semakin meningkat. Simak laporan berbagai institusi pemerhati toleransi
dan perdamaian, seperti ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace),
Setara Institute, Wahid Institute, Ma’arif
Institute. Kedua, mayoritas publik Indonesia menilai bahwa presiden, politisi, dan polisi
kurang maksimal dalam melindungi konstitusi. Mayoritas publik tidak puas dengan
kinerja presiden, politisi, dan polisi dalam menjaga kebebasan warga negara
dalam menjalankan keyakinannya. Ketiga, sikap
intoleransi publik cenderung semakin menguat. Sikap intoleransi sangat rawan memicu
kekerasan primordial yang membuat kekerasan massal mudah meledak.
Hukum tampak
tumpul dan ditaklukkan intoleransi, terutama ketika berhadapan dengan aksi-aksi
kekerasan kolektif (berjamaah). Negara seperti dikalahkan kekerasan. Pelaku
kekerasan lebih sering tidak diproses secara hukum, sementara korban justru
dikriminalisasi. Ini terjadi, baik dalam kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, maupun
Syiah.
Indonesia terlalu
penting untuk diserahkan dan dipertaruhkan sepenuhnya kepada pemerintah dan
politisi. Masyarakat perlu segera
mengambil sikap. Ketika isu intoleransi diskriminasi masih diabaikan, mereka dituntut
untuk lebih banyak berkontribusi.
Masyarakat pun harus lebih aktif mencegah timbulnya sikap intoleransi. Jangan sampai kelompok-kelompok intoleran yang justru lebih terorganisasi berhasil menggiring pemikiran masyarakat menjadi intoleran. Selama ini, masyarakat yang mendukung toleransi lebih mengambil sikap diam, terciptalah kelompok mayoritas yang diam (silent majority) dan sikap ini merupakan bencana dalam kehidupan demokrasi.
Silent majority tidak akan akan terwujud jika masyarakat benar-benar
sudah matang dalam berdemokrasi. Kematangan itu, antara lain terlihat pada
sikap percaya diri yang kuat (self confidence) setiap penganut atau
kelompok agama berdasarkan komitmen dan keyakinan kuat pada agama
masing-masing. Sebaliknya, ketiadaan rasa percaya diri melahirkan sikap kerdil,
ketakutan dan penuh prejudice.
Namun, harapan yang lebih besar
tertuju pada negara. Negara harus tegas menegakkan
hukum ketika kekerasan terjadi. Pancasila dan Konstitusi adalah acuan utama. Para
penegak hukum harus berani bersikap netral dan adil, meski bertentangan dengan
kepentingan mayoritas. Kedua sikap ini terbangun hanya jika mereka memahami
secara utuh ajaran agamanya, dan juga memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai
kebangsaan dan keindonesiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar