Pendahuluan
Demokrasi
bukanlah sebuah sistem sempurna tanpa cacat. Demokrasi lebih tepat disebut
sebagai sebuah proses atau dinamika menuju kesempurnaan. Hal itu seperti
dinyatakan Macpherson, pakar pemikiran demokrasi, bahwa demokrasi seringkali
menimbulkan kekecewaan.3 Bahkan,
Dorothy Pickles, berani menegaskan bahwa tidak ada demokrasi yang sempurna.4 Begitu pula Tannsjo berpendapat bahwa
bisa terjadi konflik di antara demokrasi di satu tempat dengan tempat yang lain
di dalam masyarakat yang sama.5
Dalam konteks
ini, Tannsjo, dengan mengikuti alur pemikiran Lenin, selalu melihat demokrasi
secara kontekstual, yaitu demokrasi untuk siapa, demokrasi dimana, dan kapan,
serta dalam keadaan apa.6 Konsepsi
demokrasi rakyat klasik memandang demokrasi sebagai hubungan yang khas antara
kemauan rakyat dan pemecahan isu-isu politik.7
Untuk itu
perlu penjelasan terlebih dahulu mengenai pengertian pokok demokrasi.
Macpherson menyatakan bahwa “lahan” yang subur untuk perkembangan demokrasi
yang perlu disiapkan adalah hal-hal berikuit: penyelenggaraan masyarakat yang
bersaing, individualis dan berorientasi pasar, dan terselenggaranya negara
liberal.8
Ciri-ciri
Demokrasi
W. Ross Yates
mengajukan enam ciri khas demokrasi : toleransi terhadap orang lain, perasaan fairplay,
optimisme terhadap hakekat manusia, persamaan kesempatan, orang yang terdidik,
jaminan hidup, kebebasan dan milik.9 Pengamat
lainnya, Alan Ware, mencoba menyederhanakan unsur pembentukan demokrasi menjadi
tiga, yaitu mengoptimalkan kepentingan, pelaksanaan pengawasan, dan
berorientasi pada warga negara.10
Hampir sama
dengan pandangan di atas, tetapi lebih melengkapi, patut pula dikemukakan
pemikiran dari Dahl, seperti yang dikutip oleh David Held tentang kriteria
sistem yang betul-betul demokratis : hak suara yang sama, partisipasi yang
efektif, pemahaman yang mengandung unsur pendidikan pengwasan tertinggi oleh
rakyat dan merangkul (inclusiveness).11
Bandingkan pula dengan cara pandang yang dikemukakan oleh
kelompok New Right dan New Left yang diilhami oleh pemikiran
Marxis yang mendambakan hubungan bebas dan berdasarkan persamaan berikut.
Pertama, penciptaan suasana terbaik bagi semua manusia untuk mengembangkan
sifat alamiah mereka dan mengemukakan kemampuan kualitatif mereka yang
berbeda-beda. Kedua, perlindungan dan penggunaan sewenang-wenang otoritas
politik dan kekuasaan coercive. Ketiga, keterlibatan warga negara dalam
penentuan kondisi-kondisi perkumpulan mereka. Keempat, perluasan
kesempatan ekonomi untuk memaksimumkan persediaan sumber daya.12
Ted Robert Gurr lebih menekankan
demokrasi yang melembaga pada aspek keberadaan lembaga eksekutif. Bagi pakar
ini ada empat unsur demokrasi : (1) Persaingan partisipasi Politik; (2)
Persaingan rekrutmen politik; (3) keterbukaan rekrutmen eksekutif; (4)
Keberadaan hambatan-hambatan terhadap ketua eksekutif. 13
Pakar lainnya,
Mitchell dan Simmons mengarahkan analisis mereka dari segi pilihan publik.
Dilihat dari sudut ini mereka berpendapat bahwa politik merupakan satu sistem
yang terdiri empat kelompok pembuat keputusan, yaitu pemilih, pejabat yang
dipilih atau politisi, birokrat dan kelompok-kelompok kepentingan.14
Disamping
beberapa karakteristik atau unsur-unsur diatas, ada pula yang mengutamakan
aspek hukum, seperti John Rawls. Disini ditekankan : (a) hak-hak sipil dan
politik yang sama; (b) hak-hak sosio-ekonomi yang minimum; dan (c)
keterpercayaan.15 Sedangkan untuk
masyarakat multi-etnis dikenal pula adanya demokrasi consociational yang mempunyai ciri tersendiri : (1)
pemerintahan koalisi besar untuk menampung kelompok-kelompok agama dan
linguistik utama; (2) otonomi budaya masing-masing kelompok; (3)
proporsionalitas dalam perwakilan politik
dan pengangkatan pegawai negeri; (4) veto golongan minoritas terhadap
hak-hak dan otonomi yang penting bagi minoritas.16
Dari berbagai
pandangan tentang demokrasi, sebenarnya teory demokrasi dapat disederhanakan
menjadi empat corak : individulaisme, utilitarianisme (atau teory kepentingan),
teory hak dan kewajiban, dan kolektivisme demokratis.17 Sekarang kita beralih pada
bentuk-bentuk demokrasi menurut John Dunn. Bagi negara modern, demokrasi
perwakilan adalah yang paling sesuai.18 Masih ada beberapa macam demokrasi yang lain.
Macpherson, membagi demokrasi menjadi empat jenis : Demokrasi protektif,
Demokrasi pembangunan, Demokrasi keseimbangan dan Demokrasi partisipatoris.19
Dalam kaitan
ini, Sklar mengajukan lima corak yang lain sebagai berikut. Pertama, demokrasi
liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum
bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg. Benyak negara Afrika mencoba
menerapkan model ini tetapi hanya sedikit yang bisa bertahan. Kedua, demokrasi
terpimpin, para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya rakyat
tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai kendaraan untuk menduduki
kekuasaan. Ketiga, demokrasi sosial, yang menaruh kepedulian, pada keadilan
sosial dan egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh keterpercayaan
politik. Keempat, demokrasi partisipasi, yang menekankan hubungan tibal balik
antara penguasa dan yang dikuasai. Terakhir, demokrasi consociational, yang
menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya dan menekankan
kerjasama yang erat diantara elite yang mewakili bagian budaya masyarakat
utama.20
Faktor-faktor
Pendukung Demokrasi
Seperti telah
disinggung di atas, demokrasi bisa berkembang baik jika tersedia faktor-faktor
yang dapat mendukungnya. Dalam arti umum para pakar sependapat bahwa
kapitalismelah yang paling mendukung perkembangan demokrasi, sehingga demokrasi
sendiri dipersepsikan sebagai bentuk khas kapitalisme.21 Kapitalisme dan demokrasi sering
betul-betul disamakan. Demokrasi politik tidak bisa dipisahkan dari
liberalisme.22
Dengan
demikian hampir dapat disimpulkan bahwa demokrasi hanya bisa ditemukan di
negara-negara maju. Kapitalisme sendiri bersumber dari liberalisme. Sedangkan
liberalisme menurut Rawls dttopang oleh prinsip egalitarianisme : (a) jaminan
nilai kebebasan politik yang adil; (b) persamaan kesempatan; (c) prinsip
perbedaan.23 Didalam tradisi
klasiknya , liberalisme menganut keyakinan pencerahan tentang individualisme,
kepentingan diri rasional, sekularisasi, dan pemerintahan berdasarkan
perjanjian sosial.24
Di sejumlah negara
terbelakang dan sedang berkembang kebanyakan perkembangan demokrasi
tersendat-sendat, bahkan ada yang tidak bisa muncul sama sekali. Jika kita
gunakan kategorisasi Huntington, kawasan ini boleh disebut sebagai penganut
sistem politik tradisional. Ada dua corak sistem politik yang dominan di sini,
yaitu : negara feodal dan negara birokratis. Didalam kedua corak sistem politik
ini ditandai oleh pemusatan kekuasaan.25 Karena itu, peluang untuk berkembang suburnya
demokrasi adalah kecil sekali.
Sesungguhnya,
masih banyak faktor lainnya yang menyekat perkembangan demokrasi. Budaya yang
terbelakang dan peniggalan kolonial. Karena itu, Pennock mempersyaratkan tiga
hal untuk tegaknya kepolitikan demokratis, yaitu faktor historis, tatanan
sosial-ekonomi dan budaya politik. Mengenai harga diri, otonomi dan menghargai
orang lain; percaya terhadap hak-hak
individu; percaya toleransi dan keinginan kompromi; melek huruf dan pendidikan;
komitmen terhadap prosedur dan nilai-nilai demokrasi, semangat “publik”;
nasionalisme; konsesus dan perpecahan; dan terakhir penguatan institusi.26
6 Ibid.
7 Tannsjo, Ibid., hal.13.
8 Macpherson, Ibid., hal.5.
10 Alan Ware, Citizens, parties and
the State A Reappraisal, cambridge
Polity Press, 1987, hal. 7-16.
11 David Held, Models of Democracy,
Cambridge Polity Press, 1993, hal.278.
12 Ibid.,
hal.270.
13 Dalam
Davi A. Leblang, 1996. “Property Rights, Democracy and
Economic Growth”, dalam Political Research
Quarterly, vol.49 (1) : 5-26.
14 William C. Mitchell and Randy T.
Simmons, Beyond Poltics Markets, Welfare, and the Failure of Bureaucracy,
boulder : West View Press, 1994, hal.41.
15 Dalam Christian Anglade, 1994. “Democracy and the Rule of Law in
Latin America “ dalam Ian Budge and David McKay
(eds.), Developing Democracy, London .
SAGE Publications, 1994, hal. 233-52. Lihat juga John Rawls, Political
Liberalism, New York .
Columbia University Press, 1993. Hal.36-38.
16 Arend Lijphart, “The Puzzle of Indian Democracy : A
Consociational Interpretation”, dalam American Political
Science Review, vol.90, 1996 (2):258-268.
17 J. Roland Pennock, Democratic
Political Theory, Princeton : Princeton
University Press, 1979, hql.170.
18 John Dunn (ed.), Democracy the
Unfinished Journey 508 BC to AD 1993, Oxford :
Oxford University Press, 1993, hal.250.
19 C.B. Macpherson, The Lifes and
Times of Liberal-Democracy, Oxford : Oxford University
Press, 1979.
20 Dalam Glenn Hasted (ed.), One
World , Many Voices Global Perspective on Political Issues,
Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall, 1994, hal.342.
21 Dietrich Rueschemeyer, E.H.
Stephens and J.D. Stephens, Capitalist Development and Democracy, Cambridge : Polity Press,
1992, hal.1.
22 Giovanni Sartori, The Theory of
Democracy Revisited, Chatham: Chatham House Publisher, 1987, hal.389.
24 Charles F. Andrain and David E.
Apter, Political Protest and Social Change, New York : New York University Press, 1995,
hal.30.
25 S.P. Huntington, Political Order
in Changing Societies, New Haven :
Yale University Press, 1968, hal. 148-150.
26 Pennock, Ibid., hal.239-254.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar