Kamis, 23 November 2017

Mewujudkan Masyarakat Beragama Dalam Perspektif Demokrasi


Pendahuluan

Sebagai negara bangsa, Indonesia menghadapi masalah yang begitu kompleks dan rumit. Dengan jumlah penduduk sebanyak lebih 260 juta jiwa, Indonesia menduduki urutan ke-4 negara berpenduduk padat di dunia setelah RRC, India, dan USA. Di tambah lagi dengan kondisi penduduk yang sangat majemuk, terdiri dari sekitar 300 kelompok etnis yang memiliki lebih dari ribuan bahasa lokal dengan identitas kultural masing-masing serta tersebar di 17.000 pulau, besar dan kecil, dan merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia.

Aneka ragam bentuk kesenjangan juga membalut kehidupan masyarakat Indonesia. Mereka tediri dari orang-orang yang sangat terpelajar sampai dengan yang masih buta huruf. Dari yang sangat rasional sampai yang sangat emosional. Dari yang sangat primordialistis sampai yang sangat nasionalistis. Dari yang sangat kaya, bahkan yang terkaya di dunia sampai yang sangat miskin, mungkin yang paling miskin di dunia.

Demikian pula dari aspek keagamaan, didapati orang-orang dari yang sangat beragama dan sangat saleh sampai yang tidak mengenal ajaran agama. Dari yang berpandangan keagamaan  sangat toleran dan inklusif sampai kepada yang sangat fanatik dan eksklusif, bahkan saking radikalnya di antara mereka ikut bergabung dalam organisasi terorisme. Realitas yang ada menunjukkan betapa beragam dan majemuknya keadaan bangsa Indonesia.

Pendek kata, sulit mencari negara di dunia ini yang mempunyai heterogenitas dan kemajemukan yang demikian kompleks seperti Indonesia. Realitas ini sepatutnyalah menyadarkan kita semua, terutama para pengambil keputusan, agar tidak gegabah apalagi berlaku arogan di dalam merumuskan suatu keputusan untuk kepentingan seluruh bangsa yang demikian beragamnya itu.
Pentingnya Agama
Masih perlukah kita beragama? Itulah pertanyaan yang seringkali mengusik akhir-akhir ini berkenaan dengan maraknya berbagai bentuk tindak kekerasan yang menyertai aneka ragam konflik di masyarakat yang jika tidak diselesaikan  akan membawa kepada kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi, saya begitu yakin bahwa dari perspektif manapun kita melihat, agama  masih sangat diperlukan. Karena itu, menurut saya,  pertanyaan yang relevan adalah bagaimana mensosialisasikan ajaran agama yang apresiatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ideologi sekuler mengalami keruntuhan. Kejatuhan komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur serta munculnya berbagai kritik keras terhadap modernisme dan kapitalisme menandai suatu era yang sering disebut the End of History of Idiology  yang berlangsung selama lebih satu abad. Ideologi-ideologi besar tersebut telah memainkan peran sebagai agama semu (pseudo religion)  yang menawarkan dan menjanjikan keselamatan dan kesejahteraan umat manusia di muka bumi.

Pada mulanya, ideologi-ideologi sekuler tadi dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan manusia, namun kenyataan empirik membuktikan ideologi-ideologi itu telah gagal dalam mengangkat harkat dan martabat manusia. Komunisme dengan watak totalitarianismenya telah gagal mewujudkan keadilan sosial, demikian pula dengan kapitalisme yang menempatkan manusia hanya sekedar alat produksi.

Modernisme dengan paradigma  developmentalisme “pembangunan”  juga tidak mampu mewujudkan pemerataan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Ideologi ini ternyata malah membuat negara-negara berkembang sangat tergantung pada negara maju sehingga tercipta kesenjangan social dan ekonomi yang demikian menganga dan melahirkan begitu banyak problem social yang krusial. Singkatnya, berbagai ideologi yang menjelma sebagai agama semu tersebut telah mengakibatkan eksploitasi nilai-nilai kemanusiaan dan ketidakadilan yang membawa kepada krisis kemanusiaan.

Kondisi yang memprihatinkan ini seharusnya memberikan harapan kepada agama untuk menyelamatkan kembali umat manusia dari dehumanisasi. Harapan tersebut sangat wajar mengingat agama pada dasarnya merupakan respon ilahi terhadap berbagai problem yang dihadapi umat manusia. Setiap agama diklaim oleh penganutnya sebagai pedoman bagi umat manusia untuk hidup damai dan sejahtera, serta menghindari eksploitasi sesama manusia.

Tujuan hakiki dari semua agama adalah membina manusia agar menjadi baik dan sejahtera, baik fisik maupun mental, jasmani dan ruhani menuju kepada kebahagiaan yang abadi. Intisari dari semua ajaran agama berkisar pada penjelasan tentang masalah baik dan buruk, yaitu menjelaskan mana perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kebahagiaan, dan mana perbuatan buruk dan jahat yang membawa kepada bencana dan kesengsaraan. Agama memberikan tuntunan  kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Tuhan, sang pencipta, sama sekali tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan-Nya, sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya.

Sangat disayangkan misi agama yang amat suci dan luhur itu seringkali tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan beragama penganutnya. Akibatnya, sejumlah konflik, tindakan eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi, termasuk diskriminasi gender dilakukan atas nama agama. Sejumlah perilaku yang mencabik-cabik rasa kemanusiaan kita di antaranya dapat disebutkan: kasus pembunuhan massal yang dimotori Gerakan Restorasi Keagamaan Ten Commandments di Rwanda; bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekte David di Weco, Texas, Amerika;  tindak kekerasan yang dilakukan kelompok Aum Sinri Kyo di Jepang;  konflik antara Yahudi, Muslim Arab, dan Kristen di Palestina; konflik laten antara Muslim dan Kristen di Indonesia; dan ketimpangan gender dalam berbagai  aspek kehidupan, baik dalam ranah publik maupun domestik.

Agama mengajarkan kepada pemeluknya keharusan menghormati sesama manusia, serta pentingnya hidup damai dan harmonis di antara sesama. Jika demikian halnya, segala bentuk ketidakadilan, konflik, kekerasan, dan teror yang mengatasnamakan agama hendaknya diyakini sebagai bentuk ketidakmampuan manusia memahami ajaran agamanya secara utuh. Semangat keberagamaan yang tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman yang dalam dari dimensi esoterik agama, inilah yang seringkali menimbulkan sikap fanatik sempit dan fundamentalisme.

Islam, misalnya memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, aspek horisontal ini tidak terealisasikan dengan baik dalam kehidupan manusia, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya. Akibatnya, dimensi kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek horisontal Islam kurang mendapat perhatian di kalangan umat Islam. Kondisi inilah yang kemudian membawa kepada penampilan wajah Islam yang sangar  dan tidak humanis dalam kehidupan publik.

Komitmen agama seseorang seharusnya terbangun sejak dari lingkungan rumah tangga. Lingkungan sekolah dan masyarakat pada prinsipnya hanyalah menunjang komitmen keagamaan yang sudah terbentuk itu. Namun realitas sosial menunjukkan, banyak keluarga yang menyerahkan pembinaan keagamaan anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah dan institusi semacamnya di masyarakat. Di antara penyebabnya, orang tua terlalu sibuk sehingga tidak tersisa waktu untuk memberikan pendidikan agama kepada anak-anak mereka. Factor lain, tidak sedikit orang tua yang belum siap punya anak sehingga jangankan mampu mendidik anak-anak mereka dengan nilai-nilai agama, mereka sendiri belum mengerti arti agama secara esensial. Agama yang dapat memanusiakan manusia.

Sejumlah penelitian menyimpulkan, kehidupan beragama (religious) di rumah tangga perlu diciptakan dengan suasana penuh kasih sayang dengan mewujudkan hubungan silaturahim yang intens, akrab dan hangat antara ayah, ibu, anak, dan seluruh anggota keluarga lainnya. Pengalaman hidup religius dalam keluarga akan membantu anak-anak tumbuh menjadi manusia yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Penelitian Stinnet, J DeFrain pada 1987, membuktikan bahwa seseorang yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak religius akan mendapatkan resiko yang lebih besar untuk terlibat dalam berbagai bentuk tindak kekerasan daripada mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang religius.

Membangun Kerukunan Yang Hakiki

Sejarah telah mengajarkan kita betapa suatu kepalsuan tidak dapat bertahan langgeng. Harmoni dan pluralisme agama yang selama ini dibangga-banggakan oleh Pemerintah Indonesia zaman Orde Baru, ternyata tidak lebih dari sekedar alat penguasa untuk mempertahankan kontrol atas suatu masyarakat yang sangat beragam dan berbeda. Akibatnya, jalinan keharmonisan yang dielu-elukan itu menjadi porak-poranda di tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru.

Indonesia lalu diguncang beragam konflik dan kekerasan agama yang secara signifikan menjadikan negeri ini terpuruk di dunia Internasional. Tempat-tempat di mana umat Islam dan Kristen pernah hidup berdampingan selama puluhan tahun kini menjadi area konflik yang brutal dan kejam dan tentu saja agama kemudian menjadi faktor yang paling memicu karena agama merupakan hal yang sangat sensitif dalam kehidupan manusia.

Pluralisme agama, sebagai satu dari bangunan penting demokrasi, hedaknya menjadi perhatian utama kita semua, termasuk para penyelenggara negara. Apalagi, pada masa-masa sebelumnya  pluralisme agama telah dipromosikan sedemikian cerdas menjadi instrumen kontrol, yakni sebagai instrumen hegemoni kekuasaan yang sangat ampuh. Untuk itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengubah pluralisme agama dari sekedar sebagai alat kontrol menjadi suatu kekuatan politik yang efektif dan mampu mengalahkan unsur-unsur sektarian dan anti pluralistis.

Dari berbagai diskusi yang berlangsung selama ini setidaknya  ditawarkan dua strategi mendasar bagi upaya membangun Pluralisme Agama di Indonesia. Pertama, dialog yang tulus dan intensif. Dialog antarumat beragama, bukan tidak pernah dilakukan, melainkan sudah terlalu sering. Akan tetapi, kebanyakan dialog terhenti di tingkat elite, yaitu hanya di kalangan tokoh-tokoh dan pemuka agama tingkat nasional, dan itupun hanya  berlangsung di ibu kota. Dialog diharapkan berlangsung bukan hanya di kalangan elite, melainkan lebih penting di tingkat "akar rumput". Kelompok pemuda, kelompok perempuan, dan berbagai kelompok yang terpinggirkan di masyarakat hendaknya diajak dalam proses dialog. Selain itu, materi dialog pun harus difokuskan pada proses rekonsiliasi.

Di samping itu, dialog hendaknya dimaksudkan untuk saling mengenal antara mitra dialog dan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup bermasyarakat. Perlu dicatat bahwa dialog tidak akan pernah efektif tanpa kesediaan semua pihak untuk mengkaji secara jernih dan mengkritisi ajaran masing-masing dan hal ini hanya bisa dilakukan manakala para penganut agama sungguh-sungguh memahami ajaran agamanya dengan baik dan sempurna, tidak setengah-setengah. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa bukan hanya penganut agama, melainkan para pemuka agama sekalipun kebanyakannya tidak memahami agama secara benar dan komprehensif.

Tujuan utama dialog antaragama adalah untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan tanggungjawab bersama, sikap toleransi, saling menghormati, dan memberikan kebebasan bagi masing-masing pemeluk agama. Dialog yang dilakukan itu harus mampu memaparkan berbagai karakteristik agama masig-masing sehingga setiap pemeluk agama yang berbeda-beda itu dapat saling memahami dan menghargai eksistensi kebenaran agama lain. Oleh karena itu, dialog harus dilakukan atas dasar dan komitmen pada keterbukaan, toleransi, dan pluralisme. Dialog bukan untuk tujuan mengajak kepada konversi agama atau tujuan-tujuan yang serupa lainnya.

Kedua, aktivitas partisipatoris. Strategi ini perlu diwujudkan menyusul kegiatan dialog. Melalui kegiatan ini, para penganut agama yang berbeda-beda itu dimungkinkan untuk memperoleh pengalaman hidup bersama atau pengalaman bekerja bersama, misalnya dalam bentuk kegiatan jambore atau kegiatan pemberian bantuan kemanusiaan atau bantuan medis pada kelompok masyarakat yang sedang mengalami musibah. Dapat juga dilakukan dalam bentuk kerja bersama menanggulangi  berbagai problem sosial yang krusial, seperti memerangi pornografi dan pornoaksi, memerangi narkoba dan obat-obat terlarang lainnya, memerangi berbagai bentuk Trafficking in women and children, serta membantu Depnaker untuk melakukan pemetaan masalah perempuan di Indonnesia.

Pengalaman hidup bersama atau bekerja bersama di dunia nyata pada akhirnya akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka anggap berbeda selama ini ternyata tidak sepenuhnya berbeda. Sejumlah pengalaman partisipatif seperti ini pada akhirnya membuat penganut suatu agama -yang mulanya membayangkan bahwa penganut agama lain itu sangat berbeda dengan diri mereka-  mampu menyimpulkan bahwa “mereka itu juga seperti saya”. Apa yang selama ini mereka persepsikan berbeda itu ternyata hanyalah persepsi belaka, jauh dari realitas yang dialami dan dirasakan ketika mereka hidup dan bekerja bersama.

Menuju Masa Depan Indonesia yang Demokratis

Untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih cerah dan lebih demokratis ada dua hal yang patut dilakukan. Pertama dan utama adalah bahwa setiap agama hendaknya membenahi dan menyelesaikan terlebih dahulu berbagai kendala internal dalam agama masing-masing. Setidaknya ada tiga kendala utama yang dihadapi oleh umat beragama: Pertama, soal disintegrasi dan degradasi moral. Setiap agama hendaknya menyadari bahwa tujuan beragama yang hakiki adalah menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih manusiawi. Artinya, agama mengajarkan nilai-nilai moral agar manusia menjadi makhluk bermoral. Kedua, soal ketidakadilan. Seringkali para pemuka agama hanya gencar menyuarakan ketidakadilan manakala ketidakadilan itu menimpa diri atau kelompok mereka. Akan tetapi, mereka akan diam membisu, manakala yang mengalami ketidakadilan itu adalah penganut agama lain. Ketiga, soal pluralisme dan ekslusifisme. Umat beragama hendaknya menyadari betul bahwa kita hidup dalam sebuah bangsa yang sangat plural. Bahwa pluralitas atau kemajemukan merupakan cirri khas bangsa ini. Karena itu, selayaknya semua agama mengedepankan ajaran yang mendorong terwujudnya toleransi, perdamaian dan keharmonisan. Sebaliknya, meredam semua ajaran yang cenderung mengarah kepada eksklusifisme, intoleran dan radikalisme.

Berikutnya, adalah mengatur kembali pola hubungan antara agama dan negara. Sulit dielakkan kenyataan bahwa upaya-upaya membangun demokrasi di masa lalu pada umumnya dijalankan dengan mengadopsi cara-cara yang represif, otoriter, dan hasilnya pun lebih banyak diukur dari aspek kuantitasnya daripada kualitasnya. Ditambah lagi dengan metode yang sangat sentralistis, dan didominasi oleh birokrasi dan militer.

Ke depan diperlukan langkah-langkah yang terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat kontrol atau alat mendominasi, terlebih sebagai alat pemenangan partai atau kekuasaan tertentu. Dengan ungkapan lain, jangan membiarkan terjadinya politisasi agama. Sebab, semua bentuk politisasi agama bertentangan dengan tujuan demokrasi. Demokrasi menghendaki agar agama dikembalikan kepada fungsinya yang hakiki, yaitu kepada misi spiritualnya sebagai sumber etika dan inspirasi moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar