Pendahuluan
Sebagai negara bangsa, Indonesia menghadapi
masalah yang begitu kompleks dan rumit. Dengan jumlah penduduk sebanyak lebih
260 juta jiwa, Indonesia menduduki urutan ke-4 negara berpenduduk padat di
dunia setelah RRC, India, dan USA. Di tambah lagi dengan kondisi penduduk yang
sangat majemuk, terdiri dari sekitar 300 kelompok etnis yang memiliki lebih
dari ribuan bahasa lokal dengan identitas kultural masing-masing serta tersebar
di 17.000 pulau, besar dan kecil, dan merupakan negara kepulauan yang terbesar
di dunia.
Aneka ragam bentuk kesenjangan juga membalut
kehidupan masyarakat Indonesia. Mereka tediri dari orang-orang yang sangat
terpelajar sampai dengan yang masih buta huruf. Dari yang sangat rasional
sampai yang sangat emosional. Dari yang sangat primordialistis sampai yang
sangat nasionalistis. Dari yang sangat kaya, bahkan yang terkaya di dunia
sampai yang sangat miskin, mungkin yang paling miskin di dunia.
Demikian pula dari aspek keagamaan, didapati
orang-orang dari yang sangat beragama dan sangat saleh sampai yang tidak
mengenal ajaran agama. Dari yang berpandangan keagamaan sangat toleran dan inklusif sampai kepada
yang sangat fanatik dan eksklusif, bahkan saking radikalnya di antara mereka
ikut bergabung dalam organisasi terorisme. Realitas yang ada menunjukkan betapa
beragam dan majemuknya keadaan bangsa Indonesia.
Pendek kata, sulit mencari negara di dunia ini
yang mempunyai heterogenitas dan kemajemukan yang demikian kompleks seperti
Indonesia. Realitas ini sepatutnyalah menyadarkan kita semua, terutama para
pengambil keputusan, agar tidak gegabah apalagi berlaku arogan di dalam
merumuskan suatu keputusan untuk kepentingan seluruh bangsa yang demikian beragamnya
itu.
Pentingnya Agama
Masih
perlukah kita beragama? Itulah pertanyaan yang seringkali mengusik akhir-akhir
ini berkenaan dengan maraknya berbagai bentuk tindak kekerasan yang menyertai
aneka ragam konflik di masyarakat yang jika tidak diselesaikan akan membawa kepada kehancuran nilai-nilai
kemanusiaan. Akan tetapi, saya begitu yakin bahwa dari perspektif manapun kita
melihat, agama masih sangat diperlukan.
Karena itu, menurut saya, pertanyaan
yang relevan adalah bagaimana mensosialisasikan ajaran agama yang apresiatif
terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-20
dan awal abad ke-21 ideologi sekuler mengalami keruntuhan. Kejatuhan komunisme
di Uni Soviet dan Eropa Timur serta munculnya berbagai kritik keras terhadap
modernisme dan kapitalisme menandai suatu era yang sering disebut the End of
History of Idiology yang berlangsung
selama lebih satu abad. Ideologi-ideologi besar tersebut telah memainkan peran
sebagai agama semu (pseudo religion) yang
menawarkan dan menjanjikan keselamatan dan kesejahteraan umat manusia di muka
bumi.
Pada mulanya, ideologi-ideologi sekuler tadi
dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan manusia, namun
kenyataan empirik membuktikan ideologi-ideologi itu telah gagal dalam
mengangkat harkat dan martabat manusia. Komunisme dengan watak
totalitarianismenya telah gagal mewujudkan keadilan sosial, demikian pula
dengan kapitalisme yang menempatkan manusia hanya sekedar alat produksi.
Modernisme dengan paradigma developmentalisme “pembangunan” juga tidak mampu mewujudkan pemerataan
kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Ideologi ini ternyata malah membuat negara-negara
berkembang sangat tergantung pada negara maju sehingga tercipta kesenjangan
social dan ekonomi yang demikian menganga dan melahirkan begitu banyak problem
social yang krusial. Singkatnya, berbagai ideologi yang menjelma sebagai agama
semu tersebut telah mengakibatkan eksploitasi nilai-nilai kemanusiaan dan
ketidakadilan yang membawa kepada krisis kemanusiaan.
Kondisi yang memprihatinkan ini seharusnya
memberikan harapan kepada agama untuk menyelamatkan kembali umat manusia dari
dehumanisasi. Harapan tersebut sangat wajar mengingat agama pada dasarnya
merupakan respon ilahi terhadap berbagai problem yang dihadapi umat manusia.
Setiap agama diklaim oleh penganutnya sebagai pedoman bagi umat manusia untuk
hidup damai dan sejahtera, serta menghindari eksploitasi sesama manusia.
Tujuan hakiki dari semua agama adalah membina
manusia agar menjadi baik dan sejahtera, baik fisik maupun mental, jasmani dan
ruhani menuju kepada kebahagiaan yang abadi. Intisari dari semua ajaran agama
berkisar pada penjelasan tentang masalah baik dan buruk, yaitu menjelaskan mana
perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kebahagiaan,
dan mana perbuatan buruk dan jahat yang membawa kepada bencana dan
kesengsaraan. Agama memberikan tuntunan
kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan
buruk demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Tuhan, sang pencipta, sama sekali
tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan-Nya,
sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya.
Sangat disayangkan misi agama yang amat suci
dan luhur itu seringkali tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan
beragama penganutnya. Akibatnya, sejumlah konflik, tindakan eksploitasi,
kekerasan dan diskriminasi, termasuk diskriminasi gender dilakukan atas nama
agama. Sejumlah perilaku yang mencabik-cabik rasa kemanusiaan kita di antaranya
dapat disebutkan: kasus pembunuhan massal yang dimotori Gerakan Restorasi
Keagamaan Ten Commandments di Rwanda; bunuh diri massal yang dilakukan oleh
sekte David di Weco, Texas, Amerika;
tindak kekerasan yang dilakukan kelompok Aum Sinri Kyo di Jepang; konflik antara Yahudi, Muslim Arab, dan
Kristen di Palestina; konflik laten antara Muslim dan Kristen di Indonesia; dan
ketimpangan gender dalam berbagai aspek
kehidupan, baik dalam ranah publik maupun domestik.
Agama mengajarkan kepada pemeluknya keharusan
menghormati sesama manusia, serta pentingnya hidup damai dan harmonis di antara
sesama. Jika demikian halnya, segala bentuk ketidakadilan, konflik, kekerasan,
dan teror yang mengatasnamakan agama hendaknya diyakini sebagai bentuk
ketidakmampuan manusia memahami ajaran agamanya secara utuh. Semangat
keberagamaan yang tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman yang dalam
dari dimensi esoterik agama, inilah yang seringkali menimbulkan sikap fanatik
sempit dan fundamentalisme.
Islam, misalnya memiliki ajaran yang menekankan
pada dua aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal
merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan,
sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan
antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Sayangnya, aspek horisontal ini tidak terealisasikan dengan baik dalam kehidupan
manusia, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya. Akibatnya, dimensi
kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek horisontal Islam kurang mendapat
perhatian di kalangan umat Islam. Kondisi inilah yang kemudian membawa kepada
penampilan wajah Islam yang sangar dan
tidak humanis dalam kehidupan publik.
Komitmen agama seseorang seharusnya terbangun
sejak dari lingkungan rumah tangga. Lingkungan sekolah dan masyarakat pada
prinsipnya hanyalah menunjang komitmen keagamaan yang sudah terbentuk itu. Namun
realitas sosial menunjukkan, banyak keluarga yang menyerahkan pembinaan
keagamaan anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah dan institusi semacamnya di
masyarakat. Di antara penyebabnya, orang tua terlalu sibuk sehingga tidak
tersisa waktu untuk memberikan pendidikan agama kepada anak-anak mereka. Factor
lain, tidak sedikit orang tua yang belum siap punya anak sehingga jangankan
mampu mendidik anak-anak mereka dengan nilai-nilai agama, mereka sendiri belum
mengerti arti agama secara esensial. Agama yang dapat memanusiakan manusia.
Sejumlah penelitian menyimpulkan, kehidupan
beragama (religious) di rumah tangga perlu diciptakan dengan suasana penuh
kasih sayang dengan mewujudkan hubungan silaturahim yang intens, akrab dan
hangat antara ayah, ibu, anak, dan seluruh anggota keluarga lainnya. Pengalaman
hidup religius dalam keluarga akan membantu anak-anak tumbuh menjadi manusia
yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Penelitian Stinnet, J DeFrain pada
1987, membuktikan bahwa seseorang yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak
religius akan mendapatkan resiko yang lebih besar untuk terlibat dalam berbagai
bentuk tindak kekerasan daripada mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang
religius.
Membangun Kerukunan Yang
Hakiki
Sejarah telah mengajarkan kita betapa suatu
kepalsuan tidak dapat bertahan langgeng. Harmoni dan pluralisme agama yang
selama ini dibangga-banggakan oleh Pemerintah Indonesia zaman Orde Baru,
ternyata tidak lebih dari sekedar alat penguasa untuk mempertahankan kontrol
atas suatu masyarakat yang sangat beragam dan berbeda. Akibatnya, jalinan
keharmonisan yang dielu-elukan itu menjadi porak-poranda di tahun-tahun
terakhir kekuasaan Orde Baru.
Indonesia lalu diguncang beragam konflik dan
kekerasan agama yang secara signifikan menjadikan negeri ini terpuruk di dunia
Internasional. Tempat-tempat di mana umat Islam dan Kristen pernah hidup
berdampingan selama puluhan tahun kini menjadi area konflik yang brutal dan
kejam dan tentu saja agama kemudian menjadi faktor yang paling memicu karena agama
merupakan hal yang sangat sensitif dalam kehidupan manusia.
Pluralisme agama, sebagai satu dari bangunan
penting demokrasi, hedaknya menjadi perhatian utama kita semua, termasuk para
penyelenggara negara. Apalagi, pada masa-masa sebelumnya pluralisme agama telah dipromosikan
sedemikian cerdas menjadi instrumen kontrol, yakni sebagai instrumen hegemoni
kekuasaan yang sangat ampuh. Untuk itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh
untuk mengubah pluralisme agama dari sekedar sebagai alat kontrol menjadi suatu
kekuatan politik yang efektif dan mampu mengalahkan unsur-unsur sektarian dan
anti pluralistis.
Dari berbagai diskusi yang berlangsung selama
ini setidaknya ditawarkan dua strategi
mendasar bagi upaya membangun Pluralisme Agama di Indonesia. Pertama,
dialog yang tulus dan intensif. Dialog antarumat beragama, bukan tidak pernah
dilakukan, melainkan sudah terlalu sering. Akan tetapi, kebanyakan dialog
terhenti di tingkat elite, yaitu hanya di kalangan tokoh-tokoh dan pemuka agama
tingkat nasional, dan itupun hanya
berlangsung di ibu kota. Dialog diharapkan berlangsung bukan hanya di
kalangan elite, melainkan lebih penting di tingkat "akar rumput".
Kelompok pemuda, kelompok perempuan, dan berbagai kelompok yang terpinggirkan
di masyarakat hendaknya diajak dalam proses dialog. Selain itu, materi dialog
pun harus difokuskan pada proses rekonsiliasi.
Di samping itu, dialog hendaknya dimaksudkan
untuk saling mengenal antara mitra dialog dan memperkaya wawasan kedua belah
pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan
hidup bermasyarakat. Perlu dicatat bahwa dialog tidak akan pernah efektif tanpa
kesediaan semua pihak untuk mengkaji secara jernih dan mengkritisi ajaran
masing-masing dan hal ini hanya bisa dilakukan manakala para penganut agama
sungguh-sungguh memahami ajaran agamanya dengan baik dan sempurna, tidak
setengah-setengah. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa bukan hanya penganut
agama, melainkan para pemuka agama sekalipun kebanyakannya tidak memahami agama
secara benar dan komprehensif.
Tujuan utama dialog antaragama adalah untuk
menumbuhkembangkan kesadaran dan tanggungjawab bersama, sikap toleransi, saling
menghormati, dan memberikan kebebasan bagi masing-masing pemeluk agama. Dialog
yang dilakukan itu harus mampu memaparkan berbagai karakteristik agama
masig-masing sehingga setiap pemeluk agama yang berbeda-beda itu dapat saling
memahami dan menghargai eksistensi kebenaran agama lain. Oleh karena itu,
dialog harus dilakukan atas dasar dan komitmen pada keterbukaan, toleransi, dan
pluralisme. Dialog bukan untuk tujuan mengajak kepada konversi agama atau
tujuan-tujuan yang serupa lainnya.
Kedua, aktivitas
partisipatoris. Strategi ini perlu diwujudkan menyusul kegiatan dialog. Melalui
kegiatan ini, para penganut agama yang berbeda-beda itu dimungkinkan untuk
memperoleh pengalaman hidup bersama atau pengalaman bekerja bersama, misalnya
dalam bentuk kegiatan jambore atau kegiatan pemberian bantuan kemanusiaan atau
bantuan medis pada kelompok masyarakat yang sedang mengalami musibah. Dapat
juga dilakukan dalam bentuk kerja bersama menanggulangi berbagai problem sosial yang krusial, seperti
memerangi pornografi dan pornoaksi, memerangi narkoba dan obat-obat terlarang
lainnya, memerangi berbagai bentuk Trafficking in women and children, serta
membantu Depnaker untuk melakukan pemetaan masalah perempuan di Indonnesia.
Pengalaman hidup bersama atau bekerja bersama
di dunia nyata pada akhirnya akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka
anggap berbeda selama ini ternyata tidak sepenuhnya berbeda. Sejumlah
pengalaman partisipatif seperti ini pada akhirnya membuat penganut suatu agama
-yang mulanya membayangkan bahwa penganut agama lain itu sangat berbeda dengan
diri mereka- mampu menyimpulkan bahwa
“mereka itu juga seperti saya”. Apa yang selama ini mereka persepsikan berbeda
itu ternyata hanyalah persepsi belaka, jauh dari realitas yang dialami dan
dirasakan ketika mereka hidup dan bekerja bersama.
Menuju Masa Depan Indonesia yang Demokratis
Untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih
cerah dan lebih demokratis ada dua hal yang patut dilakukan. Pertama dan utama
adalah bahwa setiap agama hendaknya membenahi dan menyelesaikan terlebih dahulu
berbagai kendala internal dalam agama masing-masing. Setidaknya ada tiga
kendala utama yang dihadapi oleh umat beragama: Pertama, soal
disintegrasi dan degradasi moral. Setiap agama hendaknya menyadari bahwa tujuan
beragama yang hakiki adalah menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih
manusiawi. Artinya, agama mengajarkan nilai-nilai moral agar manusia menjadi
makhluk bermoral. Kedua, soal ketidakadilan. Seringkali para
pemuka agama hanya gencar menyuarakan ketidakadilan manakala ketidakadilan itu
menimpa diri atau kelompok mereka. Akan tetapi, mereka akan diam membisu,
manakala yang mengalami ketidakadilan itu adalah penganut agama lain. Ketiga,
soal pluralisme dan ekslusifisme. Umat beragama hendaknya menyadari betul bahwa
kita hidup dalam sebuah bangsa yang sangat plural. Bahwa pluralitas atau
kemajemukan merupakan cirri khas bangsa ini. Karena itu, selayaknya semua agama
mengedepankan ajaran yang mendorong terwujudnya toleransi, perdamaian dan
keharmonisan. Sebaliknya, meredam semua ajaran yang cenderung mengarah kepada
eksklusifisme, intoleran dan radikalisme.
Berikutnya, adalah mengatur kembali pola
hubungan antara agama dan negara. Sulit dielakkan kenyataan bahwa upaya-upaya
membangun demokrasi di masa lalu pada umumnya dijalankan dengan mengadopsi
cara-cara yang represif, otoriter, dan hasilnya pun lebih banyak diukur dari
aspek kuantitasnya daripada kualitasnya. Ditambah lagi dengan metode yang
sangat sentralistis, dan didominasi oleh birokrasi dan militer.
Ke depan diperlukan langkah-langkah yang
terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat
Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat kontrol atau alat
mendominasi, terlebih sebagai alat pemenangan partai atau kekuasaan tertentu.
Dengan ungkapan lain, jangan membiarkan terjadinya politisasi agama. Sebab,
semua bentuk politisasi agama bertentangan dengan tujuan demokrasi. Demokrasi
menghendaki agar agama dikembalikan kepada fungsinya yang hakiki, yaitu kepada
misi spiritualnya sebagai sumber etika dan inspirasi moral dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar