Senin, 11 Mei 2020

Perkawinan Menurut Islam


Perkawinan Menurut Islam[1]

Prof. Dr. Musdah Mulia[2]


Perkawinan adalah Amanah
Islam menegaskan bahwa pernikahan merupakan amanat dari Allah swt. Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena yakin bahwa apa yang diamanatkannya itu akan dipelihara dengan baik. Istri adalah amanat Allah kepada suami, demikian pula suami merupakan amanat Allah kepada istri.
Suami istri telah berjanji dengan nama Allah untuk menjaga amanah itu. Janji inilah yang dimaksud dalam Al-Qur`an dengan kalimat mitsaqan ghaliza (komitmen yang teguh). Agar komitmen atau perjanjian itu tetap menjadi teguh dan kokoh selamanya, Islam menggariskan beberapa prinsip yang harus dijadikan pedoman dalam hubungan suami istri. Prinsip dasar ini harus dipegang kuat oleh kedua pasangan isteri dan suami.

1. Prinsip Mitsaqan ghaliza (Komitmen Suci)
Pernikahan merupakan amanat dari Allah swt. Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena yakin bahwa apa yang diamanatkannya itu akan dipelihara dengan baik. Isteri adalah amanat Allah kepada suami, demikian pula suami merupakan amanat Allah kepada isteri. Suami isteri telah berjanji dengan nama Allah untuk menjaga amanah itu. Janji inilah yang dimaksud dalam Al-Qur`an dengan mitsaqan ghaliza. Istilah itu dapat dimaknai dengan komitmen suci atau perjanjian yang teguh.  Lihat QS an-Nisa 4:21:
وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا 

Pernikahan dalam Islam bukan hanya melibatkan aspek biologis dan hal-hal yang bersifat material semata melainkan jauh lebih luas dan dalam dari apa yang kita bayangkan. Pernikahan pun melibatkan aspek spiritual yang terdalam dari diri manusia.
Itulah sebabnya, setiap pasangan: isteri atau suami jika dalam kehidupan pernikahan mengalami hal-hal yang membuatnya sedih, galau dan cemas hendaknya segera beristighfar memohon ampunan kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Sebaliknya, jika pasangan merasakan hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan hendaknya banyak bersyukur ke hadirat-Nya. Kehidupan perkawinan ibarat permainan ombak di pantai, penuh gejolak dan sering menimbulkan hal-hal yang tak terduga sebelumnya.

Sebuah kisah menarik terjadi pada masa Umar ibn Khattab. Suatu hari datang seorang suami mengeluh kepadanya sambil berkata: "Wahai Umar, cintaku kepada isteriku telah memudar dan karenanya aku berniat untuk menceraikannya.”

Tanpa pikir panjang, Umar langsung menjawab: "sungguh jelek niatmu. Apakah menurutmu rumah tangga hanya membutuhkan cinta?  Di mana rasa takwa dan janjimu kepada Allah? Di mana pula perasaan malumu kepada-Nya? Bukankah kalian sebagai suami-isteri telah bergaul secara intim, dan ketahuilah bahwa kalian telah memateri perjanjian yang kuat?"

Pernyataan di atas diucapkan oleh seorang khalifah yang dikenal sangat tegas dan keras, namun terhadap derita perempuan ia tetap memiliki empati yang sangat dalam. Bagi Umar, ikatan suami-isteri dalam rumah tangga bukan semata-mata dilandasi cinta belaka, melainkan jauh lebih bermakna daripada itu, yakni komitmen yang sangat kokoh (mitsaqan galiza), seperti disebutkan dalam Al-Qur’an.

Komitmen itu harus diaplikasikan dalam wujud rasa takwa dan malu kepada Allah, Sang Pencipta. Suami yang memiliki rasa takwa dan malu kepada Allah tidak akan melakukan perbuatan kasar dan tercela terhadap isterinya. Demikian sebaliknya. Bahkan, jika suami mendapati isterinya mempunyai kekurangan-kekurangan, Al-Qur’an masih meminta suami tetap bersabar. Sebab, boleh jadi, di balik kekurangan itu tersimpan hikmah yang besar (QS Al-Nisa’ [4]:19).

2. Prinsip mawaddah wa rahmah (Cinta dan kasih yang tak bertepi )
Mawaddah secara bahasa berarti 'cinta kasih', sedangkan rahmah berarti 'kasih sayang', kedua istilah itu menggambarkan perasaan batin manusia yang sangat luhur. Mawaddah juga menggambarkan suasana psikologis manusia yang dapat menerima orang lain apa adanya.
Mawaddah wa rahmah terbentuk dari suasana hati yang penuh keikhlasan dan kerelaan berkorban demi kebahagiaan bersama. Sejak akad nikah suami-isteri seharusnya telah dipertautkan oleh perasaan mawaddah wa rahmah sehingga keduanya tidak mudah goyah dalam mengarungi samudra kehidupan rumah tangga yang seringkali penuh gejolak.
 Mawaddah wa rahmah merupakan anugerah  Allah swt. dan hanya dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki agar mereka dapat menikmati kehidupan suami isteri dengan penuh sakinah (kedamaian). Hal itu dipaparkan dalam firman Allah berikut: “Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan agar kalian memperoleh kedamaian dari pasangan tadi, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS. ar-Rum, 30: 21).
Pasangan suami isteri sangat dianjurkan memperbanyak doa dan tak lupa berikhtiar agar dianugerahi mawaddah wa rahmah sehingga keduanya dapat saling mengasihi dan saling mencintai secara tulus dan ikhlas tanpa pamrih. Semua sikap dan perilaku suami isteri dalam kehidupan bersama semata-mata bermuara pada rasa kasih sayang dan cinta yang tulus tak bertepi.

3. Prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (Prilaku santun dan beradab)
Ditemukan sejumlah tuntunan dalam Al-Qur`an dan hadis agar suami memperlakukan isterinya dengan penuh sopan santun, di antaranya berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S an-Nisa 19).
Selanjutnya dari hadis: "Bertakwalah kalian kepada Allah swt. berkaitan dengan urusan perempuan. Kalian telah mengambil mereka sebagai amanat Allah, dan kalian juga telah memperoleh (dari Tuhan) kehalalan atas kehormatan mereka dengan kalimat Allah" (HR. Bukhari).
Prinsip mu`asyarah bil ma`ruf ini paling banyak dituntut dalam relasi seksual di antara suami isteri. Hubungan seksual di antara suami isteri merupakan kenikmatan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Agar hubungan tersebut tidak dikotori oleh pengaruh setan, dan agar dapat membuahkan anak saleh, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya agar memulainya dengan membaca doa: "Bismillah Allahumma jannibna asy-syaitan wa jannibi asy-syaitan ma ruziqna."  Artinya: Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang akan Engkau berikan kepada kami. Apabila lahir seorang anak, dia akan terlindung dari setan (HR. Bukhari dan Muslim). 
Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa yang lebih banyak menikmati hubungan seks adalah suami, sedang isteri hanya melayani. Kebanyakan isteri tidak pernah mengeluhkan soal kepuasan seksual. Alasannya beragam; pertama, karena hal itu dianggap tabu dan tidak pantas dibicarakan; kedua, karena takut suaminya marah; dan ketiga, karena merasa sudah begitulah kodratnya sebagai isteri.

4. Prinsip Musawah (Kesetaraan dan keadilan gender)
Kebahagiaan hidup dalam pernikahan hanya dapat diwujudkan dalam kehidupan keluarga manakala suami isteri berada pada posisi yang setara dan sederajat. Itulah yang sekarang diistilahkan dengan kesetaraan dan keadilan gender. Sebab, bagaimana mungkin suami isteri bisa saling menghargai, saling menghormati, dan saling terbuka jika sang suami memandang isteri lebih rendah atau lebih tinggi. Atau sebaliknya, isteri memandang suami lebih tinggi atau lebih rendah.
Keduanya harus memandang satu sama lain sebagai manusia utuh yang harus dihargai dan dihormati apa pun posisi dan statusnya.  Keduanya harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Di hadapan Allah swt. semua manusia sama derajatnya, yang membedakan di antara mereka hanyalah prestasi takwanya, itupun hanya Allah yang berhak menilai, bukan manusia.
Prinsip musawah atau kesetaraan suami-isteri didasarkan pada firman Allah: "isteri-isterimu adalah pakaian untuk kamu (para suami), demikian pula kalian (para suami) adalah pakaian mereka (para isteri)"  (QS. S. Al-Baqarah, 2:187).
Ayat tersebut mengisyaratkan Perlunya suami isteri saling membantu dan saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba tidak sempurna. Suami isteri pasti saling membutuhkan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi atau menutupi kebutuhan pasangannya, ibarat pakaian menutupi tubuh.
Prinsip ini perlu diterapkan mengingat hubungan suami isteri hanya dapat berjalan serasi dan harmonis manakala keduanya dapat saling melengkapi dan melindungi, bukan saling mencari kelemahan dan kekurangan masing-masing. Sebagai manusia hamba Allah, setiap suami atau isteri pasti memiliki kelebihan sekaligus juga pasti ada kekurangan. Konsekuensinya, suami isteri perlu saling menutupi kekurangan dan memuji kelebihan.
Perbedaan jenis kelamin: laki-laki dan perempuan, dalam hubungan suami isteri tidak perlu menyebabkan yang satu merasa lebih superior (lebih tinggi) daripada yang lain atau sebaliknya yang satu merasa inferior (lebih rendah) daripada yang lain. Keduanya memiliki posisi yang sama, yakni sama-sama manusia. Semua manusia sama derajatnya,  yang membedakan di antara mereka hanyalah takwanya, dan ukuran takwa itu hanya Allah yang dapat menilai, bukan manusia.
Hanya saja, perlu diingat bahwa dalam kehidupan suami isteri, khususnya di lingkungan rumah tangga,  Allah swt. memberikan tugas yang cukup berat kepada suami, yakni untuk bertindak sebagai pengayom atau pelindung (QS. an-Nisa`, 4:34). Sebagai pelindung atau pengayom, suami dituntut agar sungguh-sungguh memberikan perlindungan, ketentraman, dan kenyamanan kepada isterinya, bukan sebaliknya mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan. 
Fungsi sebagai pengayom atau pelindung inipun tidak melekat secara otomatis pada diri suami, melainkan hanya berlaku jika sang suami memenuhi dua syarat yang ditetapkan. Pertama, memiliki kualitas lebih dibandingkan isterinya. Syarat kedua, mampu memberikan nafkah lahir batin (QS. an-Nisa`, 4:34). Jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, tentu fungsinya sebagai pengayom dapat dipertanyakan. Isteri bisa saja mengambil alih fungsi tersebut berdasarkan kesepakatan bersama dalam keluarga.

5. Prinsip Musyawarah (Komunikasi yang hangat dan intens)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah: "Bermusyawaralah di antara kamu (suami dan isteri) mengenai segala sesuatu dengan cara yang baik" QS. at-Thalaq, 65:6). Atas dasar prinsip musyawarah ini, suami atau isteri tidak mengambil keputusan penting, khususnya menyangkut kehidupan keluarga, secara sepihak melainkan senantiasa perlu dirundingkan atau dimusyawarahkan  bersama. Dengan memegang teguh prinsip ini diharapkan bahwa manakala ada masalah, maka suami isteri bertanggung jawab. Tidak ada pihak yang akan mengelak dari tanggung jawab karena semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama demi kepentingan keluarga.
Membangun komunikasi yang hangat dan intens di antara suami-isteri menjadi kunci kebahagiaan dalam perkawinan. Masalahnya, kebanyakan kita lebih mudah dan juga lebih suka membangun hubungan yang hangat dengan orang lain ketimbang dengan pasangan sendiri. Memang tidak mudah, tapi komunikasi harus dibangun dan dilanggengkan sepanjang hayat dengan pasangan.
Khalifah Umar ibn al-Khattab mengibaratkan ikatan suami isteri dengan seutas benang yang mudah sekali putus, sangat peka. Karena itu, jika yang satu menarik, yang lain mengulur. Jika yang satu mengencangkan, yang lain mengendorkan, demikian seterusnya. Dengan ungkapan lain, diperlukan seni berkomunikasi dalam relasi pernikahan.
Rasulullah saw. seringkali menyebutkan: bayti jannati (rumahku adalah surgaku). Dibalik sabdanya itu, Rasul hendak mengingatkan kita, para pengikutnya, agar berusaha menjadikan rumah masing-masing seindah dan senyaman surga. Surga dalam kehidupan rumah tangga harus diciptakan, dan itu perlu kerjasama yang serius dan sungguh-sungguh dari kedua suami-isteri, tidak mungkin hanya sepihak saja.
Demikianlah lima prinsip dasar pernikahan dalam Islam, semoga dengan prinsip tersebut kita semua berhasil mewujudkan surga di bumi melalui kehidupan perkawinan yang penuh dengan sakinah, mawaddah wa rahmah.

Perkawinan anak
Istilah perkawinan anak di masyarakat adalah perkawinan yang terjadi antara laki-laki dewasa (cukup umur) dan perempuan yang masih anak-anak (usia di bawah 18 tahun). Batas minimal usia nikah dalam UU Perkawinan dan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pedoman bagi para hakim agama) adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Penetapan batas usia bagi perempuan yang lebih rendah dari laki-laki pada susbstansinya mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Agaknya perlu dikritisi mengapa ada batas minimal usia yang berbeda?
Tambahan pula mematok batas usia minimal pada umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki sesungguhnya bertentangan dengan  pasal 98 KHI tentang Pemeliharaan Anak yang mematok usia 21 tahun sebagai indikasi kemandirian dan kedewasaan seseorang.  Selain itu, juga bertentangan dengan isi UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 1 ayat 2 dari UU tersebut menjelaskan: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”. 
Penetapan usia minimal 16 tahun juga bertentangan dengan isi Konvensi Internasional mengenai Hak Anak yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1990. Konvensi tersebut menegaskan batas usia anak adalah 18 tahun. Demikian pula dengan UU Perlindungan Anak tahun 2003. Berdasarkan beragam ketentuan  tersebut, baik di level nasional maupun internasional, maka mematok usia minimal perkawinan perempuan pada usia 16 tahun adalah sebuah pelanggaran. Dan itu berarti pemerintah melegitimasi perkawinan anak-anak. Sungguh memprihatinkan!!
Hasil penelitian PSW Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (2000) mengungkapkan temuan bahwa rata-rata usia ideal perempuan untuk menikah berkisar 19,9 tahun dan usia laki-laki  23,4 tahun. Yang penting dicatat bahwa kematangan usia tersebut idealnya berupa hasil akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental dan kejiwaan, agama dan budaya.
Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga kematangan psikologis dan sosial. Batas minimal usia nikah bagi laki-laki dan perempuan sebaiknya 21 tahun, kira-kira setelah lulus SLTA.
Sekedar perbandingan, di Syria bukan hanya batas usia terendah untuk menikah yang diatur, melainkan juga selisih umur antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah. Jika perbedaan usia di antara mereka terlalu jauh, pengadilan dapat melarang perkawinan itu. Demikian pula di Yordania, perkawinan dilarang  jika selisih umur kedua pihak yang akan menikah lebih dari dua puluh tahun, kecuali ada izin khusus dari pengadilan.
Tujuan pemerintah di kedua negara tersebut mengatur selisih umur antara kedua calon mempelai adalah semata-mata untuk memproteksi warganya dari tindakan pemerasan dan eksploitasi, sebab perbedaan umur yang begitu jauh mengandung potensi pemerasan dari satu pihak. Hal seperti itu perlu dipikirkan mengingat di Indonesia akhir-akhir ini banyak dilaporkan kasus-kasus perdagangan anak perempuan dengan modus operandi perkawinan.
Terkait larangan nikah di bawah umur, Pakistan mendasarkan undang-undangnya pada ketentuan Al-Qur'an, yaitu perlunya syarat dewasa (rusyd) untuk absahnya suatu transaksi. Sementara akad nikah jauh lebih penting dari pada transaksi atau akad yang lain. Selain Pakistan, UU Perkawinan Turki Tahun 1917 mendasarkan larangan perkawinan anak pada salah satu pandangan mufasir terhadap ayat an-Nisa' (4): 6. Ayat itu menegaskan perlunya melakukan pengujian terhadap anak untuk memastikan apakah anak tersebut sudah dewasa dan matang, atau sudah pantas  menikah (rasyidah).

Jika sudah memenuhi syarat kedewasaan dan kematangan barulah mereka (anak-anak yatim) itu berhak mendapatkan harta yang dititipkan kepada para walinya. Mengapa diperlukan pengujian? Tidak lain tujuannya adalah untuk mengeliminasi segala bentuk eksploitasi terhadap anak. Meskipun ayat ini lebih fokus pada pembicaraan soal anak yatim dan para wali yang menyimpan harta warisan mereka, namun sangat tepat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan anak yang belum dewasa.

Berdasarkan kajian tersebut, sangat jelas bahwa perkawinan anak adalah bentuk eksploitasi terhadap anak. Perkawinan anak adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Perkawinan anak cenderung menjadi sumber bencana kemanusiaan dalam masyarakat. Sebab, perkawinan anak sering berdampak  kepada berbagai problema sosial yang krusial, seperti perceraian, trafficking (perdagangan anak), kekerasan domestik, kematian ibu melahirkan, kematian balita, busung lapar, kemiskinan, pengangguran dan masih banyak lagi.
Dampak lain dari perkawinan anak bagi perempuan, antara lain muncul berbagai resiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, dan resiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi dengan baik. Kehidupan keluarga menuntut adanya peran dan tanggungjawab yang besar bagi laki-laki dan perempuan. Karena itu, membolehkan perkawinan anak dengan dalih ajaran agama, berarti menodai kesucian agama itu sendiri.
Wallahu a’lam bi sawab.







[1] Disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Perempuan Mengatasi Kawin Anak, diadakan oleh Yayasan Jaringan Relawan Independen, di Bandung 5 Desember 2019.
[2] Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,  dapat dihubungi via m-mulia@indo.net.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar