Perkawinan Menurut Islam[1]
Prof. Dr. Musdah Mulia[2]
Perkawinan adalah Amanah
Islam menegaskan bahwa pernikahan merupakan amanat dari Allah swt.
Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa
aman dari pemberinya karena yakin bahwa apa yang diamanatkannya itu akan
dipelihara dengan baik. Istri adalah amanat Allah kepada suami, demikian pula
suami merupakan amanat Allah kepada istri.
Suami istri telah berjanji dengan nama Allah untuk menjaga amanah
itu. Janji inilah yang dimaksud dalam Al-Qur`an dengan kalimat mitsaqan
ghaliza (komitmen yang teguh). Agar komitmen atau perjanjian itu tetap
menjadi teguh dan kokoh selamanya, Islam menggariskan beberapa prinsip yang
harus dijadikan pedoman dalam hubungan suami istri. Prinsip dasar ini harus
dipegang kuat oleh kedua pasangan isteri dan suami.
1. Prinsip Mitsaqan ghaliza (Komitmen Suci)
Pernikahan merupakan amanat dari Allah swt. Amanat adalah sesuatu
yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya
karena yakin bahwa apa yang diamanatkannya itu akan dipelihara dengan baik.
Isteri adalah amanat Allah kepada suami, demikian pula suami merupakan amanat
Allah kepada isteri. Suami isteri telah berjanji dengan nama Allah untuk
menjaga amanah itu. Janji inilah yang dimaksud dalam Al-Qur`an dengan mitsaqan
ghaliza. Istilah itu dapat dimaknai dengan komitmen suci atau perjanjian
yang teguh. Lihat QS an-Nisa 4:21:
وَكَيۡفَ
تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا
غَلِيظٗا
Pernikahan dalam Islam bukan hanya melibatkan aspek biologis dan
hal-hal yang bersifat material semata melainkan jauh lebih luas dan dalam dari
apa yang kita bayangkan. Pernikahan pun melibatkan aspek spiritual yang
terdalam dari diri manusia.
Itulah sebabnya, setiap pasangan: isteri atau suami jika dalam
kehidupan pernikahan mengalami hal-hal yang membuatnya sedih, galau dan cemas
hendaknya segera beristighfar memohon ampunan kepada Allah, Sang Maha
Pencipta. Sebaliknya, jika pasangan merasakan hal-hal yang menggembirakan dan
menyenangkan hendaknya banyak bersyukur ke hadirat-Nya. Kehidupan perkawinan
ibarat permainan ombak di pantai, penuh gejolak dan sering menimbulkan hal-hal
yang tak terduga sebelumnya.
Sebuah kisah menarik
terjadi pada masa Umar ibn Khattab. Suatu hari datang seorang suami mengeluh
kepadanya sambil berkata: "Wahai Umar, cintaku kepada isteriku telah
memudar dan karenanya aku berniat untuk menceraikannya.”
Tanpa pikir
panjang, Umar langsung menjawab: "sungguh jelek niatmu. Apakah
menurutmu rumah tangga hanya membutuhkan cinta?
Di mana rasa takwa dan janjimu kepada Allah? Di mana pula perasaan
malumu kepada-Nya? Bukankah kalian sebagai suami-isteri telah bergaul secara
intim, dan ketahuilah bahwa kalian telah memateri perjanjian yang kuat?"
Pernyataan di
atas diucapkan oleh seorang khalifah yang dikenal sangat tegas dan keras, namun
terhadap derita perempuan ia tetap memiliki empati yang sangat dalam. Bagi
Umar, ikatan suami-isteri dalam rumah tangga bukan semata-mata dilandasi cinta
belaka, melainkan jauh lebih bermakna daripada itu, yakni komitmen yang sangat
kokoh (mitsaqan galiza), seperti disebutkan dalam Al-Qur’an.
Komitmen itu
harus diaplikasikan dalam wujud rasa takwa dan malu kepada Allah, Sang Pencipta.
Suami yang memiliki rasa takwa dan malu kepada Allah tidak akan melakukan
perbuatan kasar dan tercela terhadap isterinya. Demikian sebaliknya. Bahkan,
jika suami mendapati isterinya mempunyai kekurangan-kekurangan, Al-Qur’an masih
meminta suami tetap bersabar. Sebab, boleh jadi, di balik kekurangan itu
tersimpan hikmah yang besar (QS Al-Nisa’ [4]:19).
2. Prinsip mawaddah wa rahmah (Cinta dan kasih yang tak
bertepi )
Mawaddah secara bahasa berarti 'cinta
kasih', sedangkan rahmah berarti 'kasih sayang', kedua istilah itu
menggambarkan perasaan batin manusia yang sangat luhur. Mawaddah juga
menggambarkan suasana psikologis manusia yang dapat menerima orang lain apa
adanya.
Mawaddah wa rahmah terbentuk dari suasana hati yang penuh keikhlasan dan kerelaan
berkorban demi kebahagiaan bersama. Sejak akad nikah suami-isteri seharusnya
telah dipertautkan oleh perasaan mawaddah wa rahmah sehingga keduanya
tidak mudah goyah dalam mengarungi samudra kehidupan rumah tangga yang
seringkali penuh gejolak.
Mawaddah wa rahmah
merupakan anugerah Allah swt. dan hanya
dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki agar mereka dapat menikmati
kehidupan suami isteri dengan penuh sakinah (kedamaian). Hal itu
dipaparkan dalam firman Allah berikut: “Di antara tanda-tanda (kebesaran dan
kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan agar kalian
memperoleh kedamaian dari pasangan tadi, dan dijadikannya di antara kamu
mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS. ar-Rum, 30: 21).
Pasangan suami isteri sangat dianjurkan memperbanyak doa dan tak
lupa berikhtiar agar dianugerahi mawaddah wa rahmah sehingga keduanya
dapat saling mengasihi dan saling mencintai secara tulus dan ikhlas tanpa pamrih.
Semua sikap dan perilaku suami isteri dalam kehidupan bersama semata-mata
bermuara pada rasa kasih sayang dan cinta yang tulus tak bertepi.
3. Prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (Prilaku santun dan
beradab)
Ditemukan sejumlah tuntunan dalam Al-Qur`an dan hadis agar suami
memperlakukan isterinya dengan penuh sopan santun, di antaranya berikut ini: Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S
an-Nisa 19).
Selanjutnya dari hadis: "Bertakwalah kalian kepada Allah
swt. berkaitan dengan urusan perempuan. Kalian telah mengambil mereka sebagai
amanat Allah, dan kalian juga telah memperoleh (dari Tuhan) kehalalan atas
kehormatan mereka dengan kalimat Allah" (HR. Bukhari).
Prinsip mu`asyarah bil ma`ruf ini paling banyak dituntut
dalam relasi seksual di antara suami isteri. Hubungan seksual di antara suami
isteri merupakan kenikmatan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Agar
hubungan tersebut tidak dikotori oleh pengaruh setan, dan agar dapat membuahkan
anak saleh, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya agar memulainya dengan
membaca doa: "Bismillah Allahumma jannibna asy-syaitan wa jannibi
asy-syaitan ma ruziqna."
Artinya: Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan
jauhkanlah setan dari anak yang akan Engkau berikan kepada kami. Apabila lahir
seorang anak, dia akan terlindung dari setan (HR. Bukhari dan Muslim).
Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa yang lebih banyak
menikmati hubungan seks adalah suami, sedang isteri hanya melayani. Kebanyakan
isteri tidak pernah mengeluhkan soal kepuasan seksual. Alasannya beragam;
pertama, karena hal itu dianggap tabu dan tidak pantas dibicarakan; kedua,
karena takut suaminya marah; dan ketiga, karena merasa sudah begitulah
kodratnya sebagai isteri.
4. Prinsip Musawah (Kesetaraan dan keadilan gender)
Kebahagiaan hidup dalam pernikahan hanya dapat diwujudkan dalam
kehidupan keluarga manakala suami isteri berada pada posisi yang setara dan
sederajat. Itulah yang sekarang diistilahkan dengan kesetaraan dan keadilan
gender. Sebab, bagaimana mungkin suami isteri bisa saling menghargai, saling
menghormati, dan saling terbuka jika sang suami memandang isteri lebih rendah
atau lebih tinggi. Atau sebaliknya, isteri memandang suami lebih tinggi atau
lebih rendah.
Keduanya harus memandang satu sama lain sebagai manusia utuh yang
harus dihargai dan dihormati apa pun posisi dan statusnya. Keduanya harus menghargai nilai-nilai
kemanusiaan. Di hadapan Allah swt. semua manusia sama derajatnya, yang
membedakan di antara mereka hanyalah prestasi takwanya, itupun hanya Allah yang
berhak menilai, bukan manusia.
Prinsip musawah atau kesetaraan suami-isteri didasarkan pada firman
Allah: "isteri-isterimu adalah pakaian untuk kamu (para suami),
demikian pula kalian (para suami) adalah pakaian mereka (para isteri)" (QS. S. Al-Baqarah, 2:187).
Ayat tersebut mengisyaratkan Perlunya suami isteri saling membantu
dan saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada manusia yang sempurna dalam
segala hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba tidak sempurna. Suami isteri
pasti saling membutuhkan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi atau menutupi
kebutuhan pasangannya, ibarat pakaian menutupi tubuh.
Prinsip ini perlu diterapkan mengingat hubungan suami isteri hanya
dapat berjalan serasi dan harmonis manakala keduanya dapat saling melengkapi
dan melindungi, bukan saling mencari kelemahan dan kekurangan masing-masing.
Sebagai manusia hamba Allah, setiap suami atau isteri pasti memiliki kelebihan
sekaligus juga pasti ada kekurangan. Konsekuensinya, suami isteri perlu saling
menutupi kekurangan dan memuji kelebihan.
Perbedaan jenis kelamin: laki-laki dan perempuan, dalam hubungan
suami isteri tidak perlu menyebabkan yang satu merasa lebih superior (lebih
tinggi) daripada yang lain atau sebaliknya yang satu merasa inferior (lebih
rendah) daripada yang lain. Keduanya memiliki posisi yang sama, yakni sama-sama
manusia. Semua manusia sama derajatnya,
yang membedakan di antara mereka hanyalah takwanya, dan ukuran takwa itu
hanya Allah yang dapat menilai, bukan manusia.
Hanya saja, perlu diingat bahwa dalam kehidupan suami isteri,
khususnya di lingkungan rumah tangga,
Allah swt. memberikan tugas yang cukup berat kepada suami, yakni untuk
bertindak sebagai pengayom atau pelindung (QS. an-Nisa`, 4:34).
Sebagai pelindung atau pengayom, suami dituntut agar sungguh-sungguh memberikan
perlindungan, ketentraman, dan kenyamanan kepada isterinya, bukan sebaliknya
mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan.
Fungsi sebagai pengayom atau pelindung inipun tidak melekat secara
otomatis pada diri suami, melainkan hanya berlaku jika sang suami memenuhi dua
syarat yang ditetapkan. Pertama, memiliki kualitas lebih dibandingkan
isterinya. Syarat kedua, mampu memberikan nafkah lahir batin (QS. an-Nisa`,
4:34). Jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, tentu fungsinya sebagai
pengayom dapat dipertanyakan. Isteri bisa saja mengambil alih fungsi tersebut
berdasarkan kesepakatan bersama dalam keluarga.
5. Prinsip Musyawarah (Komunikasi yang hangat dan intens)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah: "Bermusyawaralah
di antara kamu (suami dan isteri) mengenai segala sesuatu dengan cara yang
baik" QS. at-Thalaq, 65:6). Atas dasar prinsip musyawarah ini,
suami atau isteri tidak mengambil keputusan penting, khususnya menyangkut
kehidupan keluarga, secara sepihak melainkan senantiasa perlu dirundingkan atau
dimusyawarahkan bersama. Dengan memegang
teguh prinsip ini diharapkan bahwa manakala ada masalah, maka suami isteri
bertanggung jawab. Tidak ada pihak yang akan mengelak dari tanggung jawab
karena semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama demi kepentingan
keluarga.
Membangun komunikasi yang hangat dan intens di antara suami-isteri
menjadi kunci kebahagiaan dalam perkawinan. Masalahnya, kebanyakan kita lebih
mudah dan juga lebih suka membangun hubungan yang hangat dengan orang lain
ketimbang dengan pasangan sendiri. Memang tidak mudah, tapi komunikasi harus
dibangun dan dilanggengkan sepanjang hayat dengan pasangan.
Khalifah Umar ibn al-Khattab mengibaratkan ikatan suami isteri
dengan seutas benang yang mudah sekali putus, sangat peka. Karena itu, jika
yang satu menarik, yang lain mengulur. Jika yang satu mengencangkan, yang lain
mengendorkan, demikian seterusnya. Dengan ungkapan lain, diperlukan seni
berkomunikasi dalam relasi pernikahan.
Rasulullah saw. seringkali menyebutkan: bayti jannati
(rumahku adalah surgaku). Dibalik sabdanya itu, Rasul hendak mengingatkan kita,
para pengikutnya, agar berusaha menjadikan rumah masing-masing seindah dan
senyaman surga. Surga dalam kehidupan rumah tangga harus diciptakan, dan itu
perlu kerjasama yang serius dan sungguh-sungguh dari kedua suami-isteri, tidak
mungkin hanya sepihak saja.
Demikianlah lima prinsip dasar pernikahan dalam Islam, semoga
dengan prinsip tersebut kita semua berhasil mewujudkan surga di bumi melalui
kehidupan perkawinan yang penuh dengan sakinah, mawaddah wa rahmah.
Perkawinan anak
Istilah perkawinan anak di masyarakat adalah perkawinan yang
terjadi antara laki-laki dewasa (cukup umur) dan perempuan yang masih anak-anak
(usia di bawah 18 tahun). Batas minimal usia nikah dalam UU Perkawinan dan dalam
KHI (Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pedoman bagi para hakim agama) adalah
19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Penetapan batas usia bagi
perempuan yang lebih rendah dari laki-laki pada susbstansinya mempertegas
subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Agaknya perlu
dikritisi mengapa ada batas minimal usia yang berbeda?
Tambahan pula mematok batas usia minimal pada umur 16 tahun bagi
perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki sesungguhnya bertentangan dengan pasal 98 KHI tentang Pemeliharaan Anak yang
mematok usia 21 tahun sebagai indikasi kemandirian dan kedewasaan
seseorang. Selain itu, juga bertentangan
dengan isi UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 1 ayat 2 dari
UU tersebut menjelaskan: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun dan belum pernah kawin”.
Penetapan usia minimal 16 tahun juga bertentangan dengan isi
Konvensi Internasional mengenai Hak Anak yang diratifikasi Indonesia pada tahun
1990. Konvensi tersebut menegaskan batas usia anak adalah 18 tahun. Demikian
pula dengan UU Perlindungan Anak tahun 2003. Berdasarkan beragam ketentuan tersebut, baik di level nasional maupun
internasional, maka mematok usia minimal perkawinan perempuan pada usia 16
tahun adalah sebuah pelanggaran. Dan itu berarti pemerintah melegitimasi
perkawinan anak-anak. Sungguh memprihatinkan!!
Hasil penelitian PSW Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (2000)
mengungkapkan temuan bahwa rata-rata usia ideal perempuan untuk menikah
berkisar 19,9 tahun dan usia laki-laki
23,4 tahun. Yang penting dicatat bahwa kematangan usia tersebut idealnya
berupa hasil akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental dan kejiwaan,
agama dan budaya.
Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan hanya bersifat
biologis, melainkan juga kematangan psikologis dan sosial. Batas minimal usia
nikah bagi laki-laki dan perempuan sebaiknya 21 tahun, kira-kira setelah lulus
SLTA.
Sekedar perbandingan, di Syria bukan hanya batas usia terendah
untuk menikah yang diatur, melainkan juga selisih umur antara laki-laki dan
perempuan yang akan menikah. Jika perbedaan usia di antara mereka terlalu jauh,
pengadilan dapat melarang perkawinan itu. Demikian pula di Yordania, perkawinan
dilarang jika selisih umur kedua pihak
yang akan menikah lebih dari dua puluh tahun, kecuali ada izin khusus dari
pengadilan.
Tujuan pemerintah di kedua negara tersebut mengatur selisih umur
antara kedua calon mempelai adalah semata-mata untuk memproteksi warganya dari
tindakan pemerasan dan eksploitasi, sebab perbedaan umur yang begitu jauh
mengandung potensi pemerasan dari satu pihak. Hal seperti itu perlu dipikirkan
mengingat di Indonesia akhir-akhir ini banyak dilaporkan kasus-kasus
perdagangan anak perempuan dengan modus operandi perkawinan.
Terkait larangan nikah di bawah umur, Pakistan mendasarkan
undang-undangnya pada ketentuan Al-Qur'an, yaitu perlunya syarat dewasa (rusyd)
untuk absahnya suatu transaksi. Sementara akad nikah jauh lebih penting dari
pada transaksi atau akad yang lain. Selain Pakistan, UU Perkawinan Turki Tahun
1917 mendasarkan larangan perkawinan anak pada salah satu pandangan mufasir
terhadap ayat an-Nisa' (4): 6. Ayat itu menegaskan perlunya melakukan pengujian
terhadap anak untuk memastikan apakah anak tersebut sudah dewasa dan matang,
atau sudah pantas menikah (rasyidah).
Jika sudah memenuhi syarat kedewasaan dan kematangan barulah mereka
(anak-anak yatim) itu berhak mendapatkan harta yang dititipkan kepada para
walinya. Mengapa diperlukan pengujian? Tidak lain tujuannya adalah untuk
mengeliminasi segala bentuk eksploitasi terhadap anak. Meskipun ayat ini lebih
fokus pada pembicaraan soal anak yatim dan para wali yang menyimpan harta
warisan mereka, namun sangat tepat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan
anak yang belum dewasa.
Berdasarkan kajian tersebut, sangat jelas bahwa perkawinan anak
adalah bentuk eksploitasi terhadap anak. Perkawinan anak adalah bentuk kejahatan
terhadap kemanusiaan. Perkawinan anak cenderung menjadi sumber bencana
kemanusiaan dalam masyarakat. Sebab, perkawinan anak sering berdampak kepada berbagai problema sosial yang krusial,
seperti perceraian, trafficking (perdagangan anak), kekerasan domestik,
kematian ibu melahirkan, kematian balita, busung lapar, kemiskinan,
pengangguran dan masih banyak lagi.
Dampak lain dari perkawinan anak bagi perempuan, antara lain muncul
berbagai resiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ
reproduksi, kehamilan muda, dan resiko psikologis berupa ketidakmampuan
mengemban fungsi-fungsi reproduksi dengan baik. Kehidupan keluarga menuntut
adanya peran dan tanggungjawab yang besar bagi laki-laki dan perempuan. Karena
itu, membolehkan perkawinan anak dengan dalih ajaran agama, berarti menodai
kesucian agama itu sendiri.
Wallahu a’lam bi sawab.
[1]
Disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Perempuan Mengatasi Kawin Anak, diadakan
oleh Yayasan Jaringan Relawan Independen, di Bandung 5 Desember 2019.
[2]
Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), Dosen UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, dapat
dihubungi via m-mulia@indo.net.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar