Bagian I
Da’wah Sebagai Media
Transformasi Sosial
Musdah Mulia
Dakwah hakikatnya adalah upaya-upaya transformasi untuk meningkatkan
kualitas akhlak dan hidup manusia -baik secara individual maupun kelompok- ke
arah yang lebih positif, konstruktif dan produktif. Dakwah untuk melakukan transformasi diri dan masyarakat ini jelas
terinspirasi dari Al-Qur’an (ar-Ra’d,11).
Contoh konkret
dari transformasi sosial sebagai bentuk keberhasilan dakwah Nabi Muhammad saw adalah
testimoni atau penuturan sahabat Nabi yang juga adalah sepupu beliau bernama
Ja’far ibn Abi Thalib (629 M). Beliau menuturkan:” Kami dahulu adalah kaum
jahiliyah yang menyembah patung, memakan bangkai, mengerjakan
perbuatan-perbuatan keji, memutuskan hubungan kekeluargaan, memusuhi tetangga,
kelompok yang kuat menindas yang lemah. Demikianlah keadaan kami hingga Allah
mengutus kepada kami seorang Rasul dari kalagan kami sendiri, yang kami kenal asal
keturunan, kejujuran, amanah dan kesuciannya. Lalu Rasul mengajak kami untuk
menerapkan ajaran tauhid, hanya menyembah kepada Allah semata, meninggalkan
semua bentuk penyembahan terhadap selain Allah, seperti mempertuhankan berhala,
ras, suku dan keturunan. Rasul juga mengajak kami menegakkan keadilan, berkata
jujur, memelihara amanah dan kesucian diri. Rasul pun mengajak kami menyambung
hubungan keluarga, menjaga hubungan tetangga dengan baik, menjauhi kejahatan
dan semua bentuk pertumpahan darah. Rasul juga melarang kami melakukan
perbuatan keji dan bersumpah palsu, mengeksploitasi dan menelantarkan anak-anak
yatim, serta melakukan kekerasan terhadap perempuan, termasuk memfitnah
perempuan suci.[1]
Nabi Muhammad saw melakukan
dakwah dengan jalan damai tanpa paksaan sama sekali. Akidah Islam disebarkan di
atas prinsip la ikraha fi al-din (Q.S.
al-Baqarah/2: 256). Dalam hal ini, Rasulullah menekankan faktor simpati yang
merupakan salah satu faktor psikologis yang turut mempengaruhi jalannya suatu
komunikasi (dakwah), di samping faktor-faktor lainnya, misalnya faktor imitasi
(peniruan), sugesti, dan identifikasi. Di sini Nabi Muhammad tampil sebagai
aktor da’wah yang ulung dengan perilaku terpuji yang dapat dijadikan contoh teladan
(uswah hasanah), sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Ahzab, 33: 21.
Kunci utama menjadi pelaku da’wah adalah mampu memberikan teladan, bukan hanya
sekedar mampu menyampaikan ceramah.
Testimoni Ja’far
ibn Abi Thalib tersebut memotret secara jelas reformasi yang dilakukan Nabi di
masanya, yakni mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat islami dengan
berbagai perubahan kondisi ke arah positif, konstruktif dan produktif. Jika
keberhasilan Nabi dalam berdakwah diukur melalui penuturan atau testimoni
sahabat, maka keberhasilan dakwah kita sekarang dapat dilakukan dengan berbagai
model survey. Dalam konteks ini saya mengusulkan untuk memakai survey Indeks
Kota Islami yang dikembangkan oleh Ma’arif Institute.
Indeks Kota
Islami tersebut ingin mengukur sejauhmana nilai-nilai Islam diterapkan dalam
kehidupan warga kota, dan bagaimana nilai-nilai islami dijadikan acuan dalam
pembangunan dan pengembangan kota tersebut. Indeks ini menggunakan 3 aspek utama,
yaitu keamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan penduduk. Dimensi keislaman
berupa aspek keamanan diderivasikan ke dalam beberapa variabel seperti
kebebasan kehidupan beragama, perlindungan hukum, kepemimpinan, pemenuhan hak
politik perempuan, hak anak dan hak kelompok difabel. Lalu, aspek kesejahteraan
dielaborasikan ke dalam beberapa variabel seperti pendidikan, pekerjaan,
pendapatan, dan kesehatan. Terakhir, aspek kebahagiaan diderivasikan ke dalam beberapa variabel
seperti kesediaan berbagi, kesetiakawanan, dan harmoni dengan alam. Menarik
dicatat, kota-kota yang menerapkan Syariat Islam atau memiliki Perda Syariah
tidak mencapai skor IKI yang tinggi.
Bentuk
pengukuran keberhasilan dakwah dalam bentuk indeks ini tentu bukan hal mutlak,
ini hanya sebuah gagasan. Kita semua dapat mengembangkan bentuk pengukuran yang
lebih baik. Intinya, perlu ada ukuran untuk melihat keberhasilan upaya-upaya
dakwah. Dengan begitu dapat dinilai secara terukur apakah suatu dakwah berhasil
mengubah masyarakat penerima dakwah. Apakah da’wah telah berhasil alat transformasi
diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Pengukuran ini
penting sebagai alat evaluasi, koreksi, dan introspeksi diri bagi semua
kalangan yang terlibat dalam kegiatan dakwah. Yang penting semua pihak,
terutama para pelaku dakwah harus memiliki keterbukaan dan kelapangan menerima koreksi
dan selanjutnya berupaya untuk melakukan pembaharuan, meningkatkan kualitas
dakwah di masa depan. Sebab, jika da’wah belum berhasil mengubah kondisi
masyarakat ke arah yang lebih baik, pasti ada yang keliru dengan da’wah
tersebut dan di sinilah perlunya upaya-upaya konkret mereformulasi da’wah di
masyarakat.
[1] Muhammad Abdul
Malik ibn Hisyam, Sirah an-Nabi, Dar al-Fikr, Beirut, 1981, Jilid ke-1,
Vol. ke-1, hal. 358-359.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar