Bagian III
Da’wah Sebagai Media Transformasi
Sosial
Musdah Mulia
Reformulasi dakwah: Menjembatani keragaman dan menguatkan
kemanusiaan
Dalam reformulasi dakwah,
setidaknya ada lima unsur dakwah yang harus ditingkatkan kualitasnya, yaitu:
Pertama, unsur pelaku dakwah (da’i/da’iyah). Seorang pelaku dakwah,
siapa pun dia, selayaknya memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang
memadai terkait dakwah. Para pelaku dakwah bukan hanya memiliki kompetensi,
melainkan yang terpenting adalah integritas[1] dan passion
kemanusiaan.
Mereka harus punya
komitmen menebarkan interpretasi keagamaan yang baru yang lebih humanis,
demokratis dan rasional selaras dengan kondisi obyektif masyarakat yang
dihadapi.[2] Dalam konteks Indonesia, dibutuhkan da’i yang mengerti
falsafah Pancasila dan Konstitusi, serta nilai-nilai universal hak asasi
manusia. Selain itu, juga mengenali nilai-nilai kearifan lokal yang sudah
membudaya di masyarakat.
Umat Islam membutuhkan
da’i yang mampu menghidupkan nilai-nilai moral dalam diri individu dan
masyarakat sehingga masyarakat terdorong untuk selalu berpikir positif dan
aktif berkarya demi kemaslahatan semua manusia. Jika nilai-nilai moral tersebut
hidup dan aktif, manusia terdorong melakukan upaya-upaya amar ma’ruf nahy
munkar dengan cara-cara yang santun dan beradab sesuai kapasitas
masing-masing.
Umat Islam membutuhkan
da’i yang berkomitmen memajukan masyarakat dengan menebar kasih-sayang dan
merajut perdamaian.[3] Bukan da’i yang pemarah, senang
memprovokasi masyarakat dengan ujaran kebencian dan permusuhan serta menggiring
umat kepada kehancuran peradaban.
Kedua, unsur penerima
dakwah (mad’u, audience). Masyarakat penerima dakwah, walaupun sesama umat
Islam, namun kondisi mereka sangat beragam: antara lain beragam etnis, ras,
bahasa, adat-istiadat, gender, tingkat intelektual, pemahaman keislaman, dan
pilihan politik.
Dakwah seharusnya
mengedukasi mereka menjadi lebih spiritual dan beradab melaui upaya
menghidupkan nilai-nilai moral agama. Jika penerima dakwah terdiri dari
orang-orang yang berpikiran terbuka, kritis, dinamis, senang belajar, ingin
berubah, dakwah merupakan pemicu yang akan mempercepat terjadinya transformasi
masyarakat.
Sebaliknya, jika penerima
dakwah terdiri dari orang-orang yang skeptis, apatis, mudah diprovokasi, tidak
kritis dan tidak rasional, maka kegiatan dakwah tidak banyak membantu mereka
melakukan transformasi. Jika demikian kondisinya, maka dakwah akan berubah
bentuk dari tuntunan menjadi tontonan dan menjadikan penerima dakwah sebagai
obyek tontonan atau bahkan hanya menjadi obyek politik untuk pemenangan partai
atau kelompok tertentu.
Ketiga, unsur materi
dakwah (maddah) atau disebut juga pesan-pesan dakwah. Materi dakwah
setidaknya menjelaskan nilai-nilai moral keagamaan yang harus dihidupkan dalam
diri setiap manusia agar menjadi manusia berakhlak karimah. Sebab, itulah
tujuan utama dari misi kenabian. Sesuai sabda Nabi Muhammad saw: ”aku diutus
semata untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” Minimal menjelaskan nilai
keadilan dan kesetaraan manusia, termasuk keadilan dan kesetaraan gender.
Sebab, pengingkaran terhadap nilai tersebut membawa kepada berbagai
ketidakadilan dalam masyarakat.
Dakwah akan berhasil
manakala materinya memenuhi kebutuhan masyarakat penerima dakwah. Misalnya,
konten dakwah terhadap masyarakat petani hendaknya dikaitkan dengan upaya-upaya
peningkatan kualitas hasil pertanian mereka. Materinya lebih banyak berisi
pesan-pesan moral agama yang mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai pekerja
dan pengabdi kemanusiaan. Konten dakwah hendaknya memberikan harapan hidup yang
lebih baik, kepastian dan janji kebahagiaan, bukan berisi ancaman, provokasi
kebencian, makian dan cerita horor yang penuh hoax dan kebohongan.
Keempat, unsur media
dakwah (wasilah). Dikenal beragam wasilah, seperti dakwah dengan
lisan, tulisan, lukisan, dan audiovisual dalam bentuk film dan video singkat,
meme, foto dan kaligrafi. Kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang
telekomunikasi dan informatika menawarkan begitu banyak ragam media yang dapat
digunakan untuk melakukan dakwah.
Para pelaku dakwah
hendaknya berani dan mampu menggunakan semua media untuk tujuan keberhasilan
dakwah, bahkan mereka perlu menciptakan media baru yang lebih efektif untuk
dakwah. Apa pun media yang dipilih yang penting adalah tetap konsisiten
menggunakan bahasa yang santun dan menyentuh empati kemanusiaan.
Kelima, unsur metode
dakwah (thariqah). Alquran secara jelas mengemukakan metode
dakwah mengandung tiga prinsip: hikmah,
maw’izhati`l-hasanah, dan mujadalah bi`l-latî hiya ahsan. Perlu
dicatat bahwa pemberian maw’izhah harus dilakukan dengan cara-cara yang baik
(hasanah) dan mujadalah harus dilakukan dengan cara-cara yang
lebih baik lagi (bi`l-lati hiya ahsan).
Sangat perlu diingat, dalam Islam cara sama pentingnya dengan tujuan. Islam
tidak membenarkan penggunaan cara-cara keji dan batil, seperti berita hoax,
data palsu dan informasi bohong demi mencapai tujuan, walaupun tujuan yang
sangat mulia sekali pun.
Abdullah Syihhata
mengartikan kata الحكمة dengan
memperhatikan sasaran dakwah sehingga materi yang disampaikan tidak
memberatkan, serta mengajak mereka sesuai dengan kondisi dan tingkat keadaannya.
Kata الموعظة
الحسنة diartikan dengan memberi pelajaran yang baik, halus,
lembut, tanpa kekerasan dan kemarahan.[4] Sedang pakar tafsir, al-Maraghi
mengartikan kata المجادلة dengan tukar pikiran dan
perdebatan untuk mencapai kesepakatan.[5]
Berbeda
dengan yang di atas, M. Natsir lebih menekankan ketiga metode tersebut dengan
situasi dan kondisi sasaran dakwah, yang terdiri atas golongan pelajar/siswa,
ilmuwan dan golongan awam. Kata الحكمة
lebih ditekankan kepada taktik berdakwah, sedang kata الموعظة الحسنة dan المجادلة ditekankan
pada bentuk-bentuk dakwah yang dipergunakan.[6] Khusus untuk metode terakhir (المجادلة), perlu ditegaskan bahwa diskusi itu
bukan bertujuan mengalahkan mereka, tetapi hanya untuk memberi peringatan,
pengertian dan memadukan pendapat untuk menemukan kebenaran. Berdiskusi dengan
baik adalah dengan cara agar pihak lain merasa dirinya tidak tersinggung dari
prinsip dan harga diri.
Saya yakin jika upaya reformulasi dakwah
dilakukan sesuai dengan tawaran peningkatan kualitas unsur-unsur dakwah tadi,
maka dakwah mampu menjembatani
keragaman dan menguatkan kemanusiaan (bridging diversity and enriching
humanity). Akhirnya,
dakwah akan berhasil mengubah umat Islam menjadi umat terdepan dalam memajukan
peradaban manusia dan menjaga perdamaian dunia.
Pengalaman panjang yang saya temukan dalam
banyak dialog agama menyimpulkan, semua agama (baca penganut) memiliki musuh
yang sama, yaitu ketidakadilan. Ketidakadilan mewujud dalam banyak bentuk,
seperti korupsi, kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, sistem politik
yang tiranik dan despotik yang membawa kepada kolonialisme dan imperialisme.
Ketidakadilan juga melahirkan pendewaan diri melalui perilaku konsumeristik,
individualistik, dan hedonistik. Ketidakadilan mewujud dalam bentuk relasi
tidak setara yang pada gilirannya melahirkan dominasi, diskriminasi,
eksploitasi dan beragam kekerasan dan kebiadaban.
Karena
itu, dakwah dalam semua agama hendaknya diarahkan untuk mengeliminasi musuh
yang sama agar terwujud masyarakat bermoral dan berkeadaban, yaitu masyarakat
yang mencintai keadilan. Untuk dapat mencintai keadilan, seseorang atau
masyarakat harus memiliki spiritualitas yang kuat, dan ini diperoleh dengan
berupaya menghidupkan nilai-nilai moral yang sudah ada dalam diri setiap
manusia sebagai anugerah Tuhan.
Kesimpulannya,
dakwah harus mampu menghidupkan nilai-nilai
moral agama yang esensinya adalah nilai-nilai universal kemanusiaan. Dengan
menghidupkan nilai-nilai tersebut, akan terbangun relasi kemanusiaan yang
hangat, akrab, intens dan bermakna, dimulai dari diri sendiri dalam keluarga. Dakwah
harus berujung pada terwujudnya masyarakat yang damai dan bahagia, dalam term Alqur’an disebut baldatun
thayyibah wa Rabbun ghafur.
Akhirnya, saya sangat ingin suatu
saat nanti memberikan testimoni akan keberhasilan dakwah dalam mentransformasi
masyarakat menjadi lebih baik, sebagaimana testimoni yang disampaikan oleh Jafar
ibn Abu Thalib yang saya utarakan di awal tulisan ini. Semoga!
[1] Muhammad
Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-Islam (Ttp.: Dar al-Fikr al-Arabi, t.thn.),
h. 138-140.
[3] Q.S. al-Shaf,
61:3.
[4]
Penjelasan yang lebih rinci dapat dilihat pada Abdullah Syihhata, al-Da’wat
al-Islamiyat wa al-I’lam al-Diniyah, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Ibrahim Hosen et. al. Dengan judul Dakwah Islamiyah
(Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perg. Tinggi Agama/IAIN, 1986),
h. 6-7.
[5] Lihat
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz XIV (Mesir: Mustafa
al-Babi al-Halabi wa Auladuh, t.thn.), h. 157-158.
[6]
Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada M. Natsir, Fiqhud Da’wah
(Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1978), h. 165.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar