Minggu, 31 Mei 2020

Da’wah Sebagai Media Transformasi Sosial (III)


Bagian III


Da’wah Sebagai Media Transformasi Sosial

Musdah Mulia


Reformulasi dakwah: Menjembatani keragaman dan menguatkan kemanusiaan
Dalam reformulasi dakwah, setidaknya ada lima unsur dakwah yang harus ditingkatkan kualitasnya, yaitu: Pertama, unsur pelaku dakwah (da’i/da’iyah). Seorang pelaku dakwah, siapa pun dia, selayaknya memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang memadai terkait dakwah. Para pelaku dakwah bukan hanya memiliki kompetensi, melainkan yang terpenting adalah integritas[1] dan passion kemanusiaan.
Mereka harus punya komitmen menebarkan interpretasi keagamaan yang baru yang lebih humanis, demokratis dan rasional selaras dengan kondisi obyektif masyarakat yang dihadapi.[2] Dalam konteks Indonesia, dibutuhkan da’i yang mengerti falsafah Pancasila dan Konstitusi, serta nilai-nilai universal hak asasi manusia. Selain itu, juga mengenali nilai-nilai kearifan lokal yang sudah membudaya di masyarakat.
Umat Islam membutuhkan da’i yang mampu menghidupkan nilai-nilai moral dalam diri individu dan masyarakat sehingga masyarakat terdorong untuk selalu berpikir positif dan aktif berkarya demi kemaslahatan semua manusia. Jika nilai-nilai moral tersebut hidup dan aktif, manusia terdorong melakukan upaya-upaya amar ma’ruf nahy munkar dengan cara-cara yang santun dan beradab sesuai kapasitas masing-masing.
Umat Islam membutuhkan da’i yang berkomitmen memajukan masyarakat dengan menebar kasih-sayang dan merajut perdamaian.[3] Bukan da’i yang pemarah, senang memprovokasi masyarakat dengan ujaran kebencian dan permusuhan serta menggiring umat kepada kehancuran peradaban.
Kedua, unsur penerima dakwah (mad’u, audience). Masyarakat penerima dakwah, walaupun sesama umat Islam, namun kondisi mereka sangat beragam: antara lain beragam etnis, ras, bahasa, adat-istiadat, gender, tingkat intelektual, pemahaman keislaman, dan pilihan politik. 
Dakwah seharusnya mengedukasi mereka menjadi lebih spiritual dan beradab melaui upaya menghidupkan nilai-nilai moral agama. Jika penerima dakwah terdiri dari orang-orang yang berpikiran terbuka, kritis, dinamis, senang belajar, ingin berubah, dakwah merupakan pemicu yang akan mempercepat terjadinya transformasi masyarakat.
Sebaliknya, jika penerima dakwah terdiri dari orang-orang yang skeptis, apatis, mudah diprovokasi, tidak kritis dan tidak rasional, maka kegiatan dakwah tidak banyak membantu mereka melakukan transformasi. Jika demikian kondisinya, maka dakwah akan berubah bentuk dari tuntunan menjadi tontonan dan menjadikan penerima dakwah sebagai obyek tontonan atau bahkan hanya menjadi obyek politik untuk pemenangan partai atau kelompok tertentu.
Ketiga, unsur materi dakwah (maddah) atau disebut juga pesan-pesan dakwah. Materi dakwah setidaknya menjelaskan nilai-nilai moral keagamaan yang harus dihidupkan dalam diri setiap manusia agar menjadi manusia berakhlak karimah. Sebab, itulah tujuan utama dari misi kenabian. Sesuai sabda Nabi Muhammad saw: ”aku diutus semata untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” Minimal menjelaskan nilai keadilan dan kesetaraan manusia, termasuk keadilan dan kesetaraan gender. Sebab, pengingkaran terhadap nilai tersebut membawa kepada berbagai ketidakadilan dalam masyarakat.
Dakwah akan berhasil manakala materinya memenuhi kebutuhan masyarakat penerima dakwah. Misalnya, konten dakwah terhadap masyarakat petani hendaknya dikaitkan dengan upaya-upaya peningkatan kualitas hasil pertanian mereka. Materinya lebih banyak berisi pesan-pesan moral agama yang mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai pekerja dan pengabdi kemanusiaan. Konten dakwah hendaknya memberikan harapan hidup yang lebih baik, kepastian dan janji kebahagiaan, bukan berisi ancaman, provokasi kebencian, makian dan cerita horor yang penuh hoax dan kebohongan.
Keempat, unsur media dakwah (wasilah). Dikenal beragam wasilah, seperti dakwah dengan lisan, tulisan, lukisan, dan audiovisual dalam bentuk film dan video singkat, meme, foto dan kaligrafi. Kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang telekomunikasi dan informatika menawarkan begitu banyak ragam media yang dapat digunakan untuk melakukan dakwah.
Para pelaku dakwah hendaknya berani dan mampu menggunakan semua media untuk tujuan keberhasilan dakwah, bahkan mereka perlu menciptakan media baru yang lebih efektif untuk dakwah. Apa pun media yang dipilih yang penting adalah tetap konsisiten menggunakan bahasa yang santun dan menyentuh empati kemanusiaan.

Kelima, unsur metode dakwah (thariqah). Alquran secara jelas mengemukakan metode dakwah mengandung tiga prinsip: hikmah, maw’izhati`l-hasanah, dan mujadalah bi`l-latî hiya ahsan. Perlu dicatat bahwa pemberian maw’izhah harus dilakukan dengan cara-cara yang baik (hasanah) dan mujadalah harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih baik lagi (bi`l-lati hiya ahsan). Sangat perlu diingat, dalam Islam cara sama pentingnya dengan tujuan. Islam tidak membenarkan penggunaan cara-cara keji dan batil, seperti berita hoax, data palsu dan informasi bohong demi mencapai tujuan, walaupun tujuan yang sangat mulia sekali pun.
Abdullah Syihhata mengartikan kata الحكمة dengan memperhatikan sasaran dakwah sehingga materi yang disampaikan tidak memberatkan, serta mengajak mereka sesuai dengan kondisi dan tingkat keadaannya. Kata الموعظة الحسنة diartikan dengan memberi pelajaran yang baik, halus, lembut, tanpa kekerasan dan kemarahan.[4] Sedang pakar tafsir, al-Maraghi mengartikan kata المجادلة dengan tukar pikiran dan perdebatan untuk mencapai kesepakatan.[5]

Berbeda dengan yang di atas, M. Natsir lebih menekankan ketiga metode tersebut dengan situasi dan kondisi sasaran dakwah, yang terdiri atas golongan pelajar/siswa, ilmuwan dan golongan awam. Kata الحكمة lebih ditekankan kepada taktik berdakwah, sedang kata الموعظة الحسنة dan المجادلة ditekankan pada bentuk-bentuk dakwah yang dipergunakan.[6] Khusus untuk metode terakhir (المجادلة), perlu ditegaskan bahwa diskusi itu bukan bertujuan mengalahkan mereka, tetapi hanya untuk memberi peringatan, pengertian dan memadukan pendapat untuk menemukan kebenaran. Berdiskusi dengan baik adalah dengan cara agar pihak lain merasa dirinya tidak tersinggung dari prinsip dan harga diri.

Saya yakin jika upaya reformulasi dakwah dilakukan sesuai dengan tawaran peningkatan kualitas unsur-unsur dakwah tadi, maka dakwah mampu menjembatani keragaman dan menguatkan kemanusiaan (bridging diversity and enriching humanity). Akhirnya, dakwah akan berhasil mengubah umat Islam menjadi umat terdepan dalam memajukan peradaban manusia dan menjaga perdamaian dunia.
Pengalaman panjang yang saya temukan dalam banyak dialog agama menyimpulkan, semua agama (baca penganut) memiliki musuh yang sama, yaitu ketidakadilan. Ketidakadilan mewujud dalam banyak bentuk, seperti korupsi, kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, sistem politik yang tiranik dan despotik yang membawa kepada kolonialisme dan imperialisme. Ketidakadilan juga melahirkan pendewaan diri melalui perilaku konsumeristik, individualistik, dan hedonistik. Ketidakadilan mewujud dalam bentuk relasi tidak setara yang pada gilirannya melahirkan dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan beragam kekerasan dan kebiadaban.
Karena itu, dakwah dalam semua agama hendaknya diarahkan untuk mengeliminasi musuh yang sama agar terwujud masyarakat bermoral dan berkeadaban, yaitu masyarakat yang mencintai keadilan. Untuk dapat mencintai keadilan, seseorang atau masyarakat harus memiliki spiritualitas yang kuat, dan ini diperoleh dengan berupaya menghidupkan nilai-nilai moral yang sudah ada dalam diri setiap manusia sebagai anugerah Tuhan.

Kesimpulannya, dakwah harus mampu menghidupkan nilai-nilai  moral agama yang esensinya adalah nilai-nilai universal kemanusiaan. Dengan menghidupkan nilai-nilai tersebut, akan terbangun relasi kemanusiaan yang hangat, akrab, intens dan bermakna, dimulai dari diri sendiri dalam keluarga. Dakwah harus berujung pada terwujudnya masyarakat yang damai dan bahagia,  dalam term Alqur’an disebut baldatun thayyibah wa Rabbun ghafur.

Akhirnya, saya sangat ingin suatu saat nanti memberikan testimoni akan keberhasilan dakwah dalam mentransformasi masyarakat menjadi lebih baik, sebagaimana testimoni yang disampaikan oleh Jafar ibn Abu Thalib yang saya utarakan di awal tulisan ini. Semoga!




























                                   

[1] Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-Islam (Ttp.: Dar al-Fikr al-Arabi, t.thn.), h. 138-140.
[2] Q.S. Ibrahim, 14: 4.
[3] Q.S. al-Shaf, 61:3.
[4] Penjelasan yang lebih rinci dapat dilihat pada Abdullah Syihhata, al-Da’wat al-Islamiyat wa al-I’lam al-Diniyah, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ibrahim Hosen et. al. Dengan judul Dakwah Islamiyah (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perg. Tinggi Agama/IAIN, 1986), h. 6-7.
[5] Lihat Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz XIV (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, t.thn.), h. 157-158.
[6] Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada M. Natsir, Fiqhud Da’wah (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1978), h. 165.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar