Bagian II
Da’wah Sebagai Media
Transformasi Sosial
Musdah Mulia
Menghidupkan nilai-nilai moral:
Meningkatkan kualitas spiritual
Persoalan paling mendasar umat beragama
adalah mereka belum secara sungguh-sungguh menjadikan keberagamaan sebagai
bagian penting dari kemanusiaan. Sejatinya, tujuan akhir agama adalah memanusiakan
manusia. Semakin kuat manusia beragama, maka selayaknya semakin peka rasa empatinya
kepada sesama, bahkan juga kepada semua makhluk.
Manusia diberi tugas sebagai khalifah fil
ardh,[1]
karena itu manusia dibekali fitrah untuk membedakan yang baik dan yang buruk.[2]
Fitrah dimaksud tiada lain adalah nilai-nilai moral agama yang esensinya sama
dengan nilai-nilai universal kemanusiaan.
Kesalahan penggunaan fitrah adalah
pengingkaran hati yang paling dalam sehingga menyebabkan hidup tanpa
keseimbangan, dan pada gilirannya jatuh pada kenistaan (safilin), bahkan
lebih nista dari binatang melata. Nilai-nilai moral agama yang menjadi fitrah
manusia sudah tertanam dalam diri setiap manusia sejak lahir.
Adalah tugas orang tua, guru dan para da’i/da’iyah
atau muballigh/muballighah serta lingkungan masyarakat berupaya menghidupkan
nilai-nilai moral tersebut agar berfungsi mengarahkan manusia kepada kebaikan
dan kebenaran. Inti dakwah adalah menghidupkan nilai-nilai moral agama. Upaya
menghidupkan nilai-nilai moral agama sebaiknya dimulai sejak kecil, dimulai
dari kehidupan rumah tangga dan dilakukan secara terus-menerus sehingga
membentuk akhlak karimah dalam diri manusia.
Esensi dari
nilai-nilai moral agama tersebut adalah nilai keadilan. Sejatinya,
keadilan merupakan esensi ajaran Islam,[3]
bahkan semua agama dan kepercayaan mengajarkan pentingnya keadilan. Keadilan
dalam relasi dengan Tuhan melahirkan kepatuhan mutlak hanya kepada-Nya,
tawadhu, tawakkal, sabar dan selalu bersyukur.
Keadilan dalam relasi antar manusia
melahirkan kasih-sayang, cinta, ikhlas, solidaritas, berani dan tanggung jawab.
Keadilan membawa manusia menghindari semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan
kekerasan. Menjauhi semua hal yang mencederai kemanusiaan, seperti perilaku
korupsi, nepotisme, konsumeristik, hedonistik, serta sikap tiranik, arogan dan
despotik. Keadilan dalam hubungannya dengan alam melahirkan sikap peduli pada
lingkungan, selalu berupaya agar lingkungan tetap hijau dan asri serta terjaga, menghindari semua bentuk eksploitasi
alam yang berujung pada bencana kemanusiaan.
Al-Qur’an menegaskan, manusia memiliki
potensi yang sangat penting terkait upaya-upaya humanisasi, liberasi dan
transendensi.[4]
Humanisasi maksudnya manusia berpotensi menjadikan dirinya dan masyarakatnya
menjadi lebih manusiawi melalui berbagai kegiatan, seperti pendidikan,
pelatihan, kesenian, seminar, workshop dan penelitian. Semuanya kegiatan
dimaksud diarahkan untuk merekayasa individu dan masyarakat menuju kondisi kehidupan
yang lebih berkualitas. Liberasi adalah potensi manusia untuk membebaskan
sesama manusia dari ketidakadilan, kungkungan bid’ah, khurafat dan radikalisme.
Adapun transendensi terkait potensi manusia meningkatkan kemampuan spiritualnya
sehingga selalu terdorong melakukan perbuatan terpuji dan menjauhi perbuatan
terkutuk.
Konsep al-khayr (kebaikan universal)
dalam sejumlah ayat Al-Qur’an merujuk kepada nilai-nilai moral agama yang nota
bene juga merupakan nilai-nilai kemanusiaan universal. Nilai-nilai inilah yang
menjadi titik temu di atara semua agama dan kepercayaan.[5]
Dakwah seharusnya diarahkan untuk menghidupkan nilai-nilai moral agama dalam
diri setiap individu dan kelompok yang efeknya adalah peningkatan kualitas
spiritual manusia.
Spiritualitas yang kuat akan mendorong manusia berani menegakkan
keadilan dengan mengeliminasi semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan
kekerasan, termasuk KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Spiritualitas yang
kokoh membimbing manusia tegar melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dalam
memajukan sains dan teknologi demi kemashlahatan semua manusia. Spiritualitas
yang matang menuntun manusia melawan semua bentuk korupsi, nepotisme dan
perbudakan, mengikis semua bentuk imperialisme dan kolonialisme, termasuk
mengikis cara hidup konsumeristik dan hedonistik yang membuat manusia
tercerabut jati dirinya. Spiritualitas yang solid mengarahkan manusia mencintai
perdamaian dan keharmonisan, menolong sesamanya dari kehancuran peradaban
sekaligus menjaga kelestarian alam semesta.
Intinya, dakwah harus mampu meningkatkan
kualitas spitual manusia yang tercermin dari perilakunya sehari-hari, baik
dalam relasi dengan Tuhan, sesama manusia, maupun dalam relasi dengan
lingkungan dan makhluk lainnya di muka bumi. Dakwah harus mampu membuat manusia
menjadi lebih manusiawi.
[1] Q.S. al-Baqarah,
2:30, Sad, 38:26
[2] Q.S. al-Balad,
90: 10.
[4] Q.S. Ali
Imran, 5:110
[5] Nurcholis
Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia,
Paramadina, Jakarta, 1997, hal. 90-91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar