Selasa, 19 Desember 2017

ISLAM DAN DEMOKRASI



Demokrasi

Prinsip utama demokrasi adalah persamaan (equality), sebuah penegasan bahwa semua orang adalah sama. Bentuk diskriminasi apapun yang didasarkan pada ras, jenis kelamin, gender, agama, dan keturunan pada dasarnya tidak sah.

Semua orang dianugerahi hak-hak asasi (human rights) yang tidak bisa dicabut oleh siapapun. Untuk menjamin hak-hak tersebut, pemerintah mendapatkan legitimasinya berdasarkan persetujuan rakyat yang diperintah.


Karakteristik utama sistem demokratis:

Pertama, kebebasan berbicara (freedom of speech): semua warga negara: laki-laki dan perempuan, dapat menyatakan opini dan pendapat mereka secara terbuka mengenai persoalan-persoalan publik tanpa dihantui rasa takut, baik pendapat yang berupa kritik maupun dukungan terhadap pemerintah. Dalam sistem yang demokratis, adalah penting bagi para pejabat pemerintah untuk mengetahui bagaimana pendapat rakyat tentang kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dan keputusan-keputusan yang buat.

Kedua, sistem pemilihan yang bebas (free elections), di mana rakyat secara teratur, menurut prosedur-prosedur konstitusional yang benar, memilih orang-orang yang mereka percayai untuk menangani urusan-urusan pemerintah. Sistem pemilihan itu ada pada semua tingkat perwakilan, dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa.

Ketiga,  pengakuan terhadap pemerintahan mayoritas (majoriti rule) dan hak-hak minoritas (minority rights): Dalam sistem yang demokratis, keputusan-keputusan yang dibuat oleh mayoritas didasarkan pada keyakinan umum bahwa keputusan mayoritas lebih memungkinkan untuk benar daripada keputusan minoritas. Akan tetapi, keputusan mayoritas tidak juga berarti memberikan kebebasan pada mereka untuk bertindak sesuka hati. Yang melekat dalam prinsip yang demokratis adalah komitmen bahwa hak-hak warga negara yang fundamental  tidak boleh dilanggar, misalnya, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan kebebasan untuk beribadah.

Keempat, partai-partai politik dalam sistem yang demokratis memainkan peranan penting. Dengan partai politik, sebagai alat, rakyat dengan bebas berserikat menurut dasar keyakinan mereka tentang bagaimana caranya meraih penghidupan yang layak bagi diri, keluarga, dan keturunan mereka sendiri.

Kelima, terdapat pemisah yang jelas antara fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan pemisahan ini, proses chek dan balance di antara ketiga lembaga pemerintah tersebut akan mampu mencegah terjadinya praktik-praktik eksploitatif yang potensial.

Keenam, dipastikan bahwa otoritas konstitusional (contitutional authority) adalah otoritas tertinggi bagi validitas setiap undang-undang dan aturan pelaksanaan apa pun. Otoritas konstitusional berarti supremasi aturan hukum (rule of law), bukan aturan-aturan individual, dalam setiap upaya pemecahan berbagai masalah publik.

Ketujuh, kebebasan berbuat (freedom of action) bagi setiap individu ataupun kelompok, asal saja tidak melanggar kepentingan umum. Dari sini, lahirlah kebebasan bagi pemilikan pribadi, kebebasan untuk bekerja, kebebasan untuk meraih tujuan-tujuan personal, dan kebebasan untuk membentuk berbagai perserikatan dan badan hukum.

Kedelapan, fakta sejarah mengungkapkan bahwa tidak ada sistem demokrasi yang sekali jadi, melainkan tumbuh bertahap dan berproses menuju kesempurnaan. Pengalaman demokrasi Amerika, misalnya mengalami perkembangan yang signifikan dari waktu ke waktu.

Pengalaman berdemokrasi negara Amerika Serikat melahirkan beragam bentuk yang diperbaharui dari masa ke masa sampai kepada bentuknya yang sekarang. Artinya, demokrasi tidak mengenal kata final, melainka sebuah proses yang terus mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakatnya.

Sebagai contoh demokrasi Amerika mengalami paling tidak empat fase sebagai berikut. Pertama, tahun 1776 melahirkan Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) yang sudah secara tegas menekankan prinsip persamaan (principle of equality). Kedua, tahun 1850 muncul aturan menjamin hak pilih bagi orang-orang yang merdeka (bukan budak) atas dasar persamaan (equal basis). Ketiga, tahun 1870 lahir amandemen konstitusi ke-15 yang menjelaskan bahwa kaum laki-laki kulit hitam dibolehkan ikut dalam pemilihan umum. Keempat, tahun 1920: dibuat amandemen konstitusi ke-19 yang memberikan hak pilih kepada kaum perempuan, baik yang merdeka maupun budak. Kesimpulannya, negara Amerika yang dianggap sebagai sebuah contoh ideal bagi sistem demokratis, ternyata tidak muncul sekaligus, melainkan tumbuh secara bertahap.

Prinsip demokrasi, meskipun secara teoretik dikenal sebagai sebuah prinsip kemanusiaan yang universal sejak zaman kuno, namun dalam perakteknya selalu menuntut pemenuhan dan pelaksanaan  yang lebih baik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bisa membedakan antara prinsip demokrasi dan upaya-upaya untuk merealisasikan demokrasi dalam kehidupan nyata di masyarakat.

Dalam konteks ini, tidak ada satu pun contoh masyarakat yang bisa kita sebut sebagai sebuah masyarakat demokratis yang ideal. Boleh jadi, sebuah negara atau sebuah masyarakat kini berada dalam kondisi yang sangat maju dalam pelaksanaan demokrasinya, namun hal tersebut bukanlah sebuah jaminan bahwa negara atau masyarakat tersebut akan langgeng dalam kondisi demikian.

Di pihak lain, kita harus melakukan pembedaan antara masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan upaya pemenuhannya dan masyarakat yang aturan pemerintahannya menolak prinsip demokrasi, melaksanakan pemerintahan otokratis, dan menolak prinsip persamaan sebagai sebuah perintah moral.

Membandingkan Demokrasi dan Syura

Islam tidak berbicara tentang segala sesuatu secara detail. Ayat-ayat yang dikandung Al-Qur’an hanya memberikan panduan moral, etika dan nilai-nilai kehidupan  secara global. Itulah sebabnya, Islam sangat menekankan penggunaan akal melalui proses ijtihad. Demikian pula halnya dengan demokrasi, Al-Qur’an hanya memberikan nilai-nilai moral yang dapat digunakan sebagai panduan umum untuk menjalankan sistem demokrasi, bukan konsep yang detail.

Meskipun berupa nilai-nilai atau wawasan yang bersifat umum namun prinsip-prinsip tersebut dinyatakan secara tegas dan bahkan ada yang berulang-ulang. Dalam hal ini ada beberapa prinsip yang digariskan secara tegas seperti prinsip keadilan (al-‘adl), prinsip persamaan (al-Musawah), prinsip kebebasan (al-hurriyyah), prinsip musyawarah atau negosiasi (al-syura).

Al-Qur’an menyebut syura sebagai sebuah prinsip yang mengatur kehidupan masyarakat atau orang-orang mukmin. Sebagai sebuah konsep dan sekaligus juga prinsip, syura dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi.

Prinsip Dasar Demokrasi dan Syura

Paling tidak, terdapat lima prinsip yang menyamakan demokrasi dan Syura. Pertama, bahwa pertimbangan kolektif (collective deliberation) lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada pilihan individual. Kedua, bahwa pertimbangan mayoritas cenderung lebih komprehensif dan akurat ketimbang penilaian minoritas. Meski tidak berarti pertimbangan minoritas harus diabaikan. Dalam demokrasi, kelompok minoritas justru harus dilindungi keberadaannya, demikian pula dalam syura. Suara minoritas perlu dpertimbangkan. Ketiga, bahwa semua orang memiliki hak dan tanggungjawab yang sama. Keempat,  bahwa aturan masyarakat dilakukan melalui penerapan hukum,  bukan melalui aturan individual atau keluarga dengan keputusan yang otokratis. Kelima, bahwa pemenuhan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang lebih komprehensif yang mewujudkan kemanusiaan dengan baik, tidak dapat dicapai dalam sebuah lingkungan yang tidak demokratis.

Semakin konstitusional dan institusional sebuah sistem memenuhi kelima prinsip syura atau prinsip demokrasi tersebut, maka akan terlihat semakin Islamilah sistem tersebut. Setiap negara atau bangsa yang lahir dari peradaban Islam diperintahkan supaya melaksanakan syura. Artinya, diperintahkan untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan martabat kemanusiaan, nilai-nilai yang menopang dan memperkuat pengalaman kemanusiaan. Bangsa-bangsa tersebut sebenarnya juga memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan demokrasi jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya.

Demokrasi dan syura dalam konsep dan prinsipnya sama, bedanya hanya terlihat dalam rincian penerapan keduanya yang disesuaikan dengan adat kebiasaan lokal.

Kesamaan itu terlihat pada beberapa kondisi berikut. Pertama, menolak pemerintahan apa pun yang mengurangi legitimasi pemilihan yang bebas, pertanggungjawaban, dan kekuasaan atau kekuatan rakyat. Kedua, menolak pemerintahan yang tidak melalui proses yang konstitusional. Ketiga, menolak aturan pemerintahan turun-temurun (hereditary rule). Karena kebijaksanaan dan kompetensi tidak pernah menjadi monopoli satu individu atau keluarga tertentu. Keempat, menolak pemerintahan dengan kekuatan paksaan, sebab pemerintahan apa pun yang ditopang oleh pemaksaan adalah tidak sah. Kelima, menolak keistimewaan-keistimewaan politik, sosial, ekonomi, yang ditetapkan menurut dasar kesukuan dan gengsi sosial. Keenam, menolak pemerintahan militer. Pembuatan undang-undang berdasarkan inkonstitusional dan pemaksaan (illegitimate) dan kekerasan. Ketujuh, menolak hak-hak istimewa bidang politik, sosial, ekonomi yang mengklaim dasar-dasar keturunan suku dan wibawa masyarakat.

Kesimpulannya, syura dan demokrasi adalah serupa dan secara esensial merupakan konsep yang sama. Keduanya mendorong kita untuk mendapatkan lebih dari upaya merealisasikan prinsip-prinsip kemerdekaan, kesamaan, dan martabat manusia dalam perjalanan sosial-politik kolektif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar