Demokrasi
Prinsip
utama demokrasi adalah persamaan (equality),
sebuah penegasan bahwa semua orang adalah sama. Bentuk diskriminasi apapun yang
didasarkan pada ras, jenis kelamin, gender, agama, dan keturunan pada dasarnya
tidak sah.
Semua
orang dianugerahi hak-hak asasi (human
rights) yang tidak bisa dicabut oleh siapapun. Untuk menjamin hak-hak
tersebut, pemerintah mendapatkan legitimasinya berdasarkan persetujuan rakyat
yang diperintah.
Karakteristik
utama sistem demokratis:
Pertama,
kebebasan berbicara (freedom of speech):
semua warga negara: laki-laki dan perempuan, dapat menyatakan opini dan
pendapat mereka secara terbuka mengenai persoalan-persoalan publik tanpa
dihantui rasa takut, baik pendapat yang berupa kritik maupun dukungan terhadap
pemerintah. Dalam sistem yang demokratis, adalah penting bagi para pejabat
pemerintah untuk mengetahui bagaimana pendapat rakyat tentang
kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dan keputusan-keputusan yang buat.
Kedua,
sistem pemilihan yang bebas (free
elections), di mana rakyat secara teratur, menurut prosedur-prosedur konstitusional
yang benar, memilih orang-orang yang mereka percayai untuk menangani
urusan-urusan pemerintah. Sistem pemilihan itu ada pada semua tingkat
perwakilan, dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa.
Ketiga, pengakuan terhadap pemerintahan mayoritas (majoriti rule) dan hak-hak minoritas (minority rights): Dalam sistem yang
demokratis, keputusan-keputusan yang dibuat oleh mayoritas didasarkan pada
keyakinan umum bahwa keputusan mayoritas lebih memungkinkan untuk benar
daripada keputusan minoritas. Akan tetapi, keputusan mayoritas tidak juga
berarti memberikan kebebasan pada mereka untuk bertindak sesuka hati. Yang
melekat dalam prinsip yang demokratis adalah komitmen bahwa hak-hak warga
negara yang fundamental tidak boleh
dilanggar, misalnya, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat
dan berkumpul, dan kebebasan untuk beribadah.
Keempat,
partai-partai politik dalam sistem yang demokratis memainkan peranan penting.
Dengan partai politik, sebagai alat, rakyat dengan bebas berserikat menurut
dasar keyakinan mereka tentang bagaimana caranya meraih penghidupan yang layak
bagi diri, keluarga, dan keturunan mereka sendiri.
Kelima,
terdapat pemisah yang jelas antara fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Dengan pemisahan ini, proses chek dan
balance di antara ketiga lembaga
pemerintah tersebut akan mampu mencegah terjadinya praktik-praktik eksploitatif
yang potensial.
Keenam,
dipastikan bahwa otoritas konstitusional (contitutional
authority) adalah otoritas tertinggi bagi validitas setiap undang-undang
dan aturan pelaksanaan apa pun. Otoritas konstitusional berarti supremasi
aturan hukum (rule of law), bukan
aturan-aturan individual, dalam setiap upaya pemecahan berbagai masalah publik.
Ketujuh,
kebebasan berbuat (freedom of action)
bagi setiap individu ataupun kelompok, asal saja tidak melanggar kepentingan
umum. Dari sini, lahirlah kebebasan bagi pemilikan pribadi, kebebasan untuk
bekerja, kebebasan untuk meraih tujuan-tujuan personal, dan kebebasan untuk
membentuk berbagai perserikatan dan badan hukum.
Kedelapan,
fakta sejarah mengungkapkan bahwa tidak ada sistem demokrasi yang sekali jadi,
melainkan tumbuh bertahap dan berproses menuju kesempurnaan. Pengalaman
demokrasi Amerika, misalnya mengalami perkembangan yang signifikan dari waktu
ke waktu.
Pengalaman
berdemokrasi negara Amerika Serikat melahirkan beragam bentuk yang diperbaharui
dari masa ke masa sampai kepada bentuknya yang sekarang. Artinya, demokrasi tidak
mengenal kata final, melainka sebuah proses yang terus mengalami dinamika
sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakatnya.
Sebagai
contoh demokrasi Amerika mengalami paling tidak empat fase sebagai berikut.
Pertama, tahun 1776 melahirkan Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) yang sudah secara tegas menekankan
prinsip persamaan (principle of equality).
Kedua, tahun 1850 muncul aturan menjamin hak pilih bagi orang-orang yang
merdeka (bukan budak) atas dasar persamaan (equal
basis). Ketiga, tahun 1870 lahir amandemen konstitusi ke-15 yang menjelaskan
bahwa kaum laki-laki kulit hitam dibolehkan ikut dalam pemilihan umum. Keempat,
tahun 1920: dibuat amandemen konstitusi ke-19 yang memberikan hak pilih kepada
kaum perempuan, baik yang merdeka maupun budak. Kesimpulannya, negara Amerika
yang dianggap sebagai sebuah contoh ideal bagi sistem demokratis, ternyata
tidak muncul sekaligus, melainkan tumbuh secara bertahap.
Prinsip
demokrasi, meskipun secara teoretik dikenal sebagai sebuah prinsip kemanusiaan
yang universal sejak zaman kuno, namun dalam perakteknya selalu menuntut
pemenuhan dan pelaksanaan yang lebih
baik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bisa membedakan antara prinsip
demokrasi dan upaya-upaya untuk merealisasikan demokrasi dalam kehidupan nyata
di masyarakat.
Dalam
konteks ini, tidak ada satu pun contoh masyarakat yang bisa kita sebut sebagai
sebuah masyarakat demokratis yang ideal. Boleh jadi, sebuah negara atau sebuah
masyarakat kini berada dalam kondisi yang sangat maju dalam pelaksanaan
demokrasinya, namun hal tersebut bukanlah sebuah jaminan bahwa negara atau
masyarakat tersebut akan langgeng dalam kondisi demikian.
Di
pihak lain, kita harus melakukan pembedaan antara masyarakat yang menjunjung
tinggi prinsip demokrasi dan upaya pemenuhannya dan masyarakat yang aturan pemerintahannya
menolak prinsip demokrasi, melaksanakan pemerintahan otokratis, dan menolak
prinsip persamaan sebagai sebuah perintah moral.
Membandingkan Demokrasi dan Syura
Islam
tidak berbicara tentang segala sesuatu secara detail. Ayat-ayat yang dikandung
Al-Qur’an hanya memberikan panduan moral, etika dan nilai-nilai kehidupan secara global. Itulah sebabnya, Islam sangat
menekankan penggunaan akal melalui proses ijtihad. Demikian pula halnya dengan
demokrasi, Al-Qur’an hanya memberikan nilai-nilai moral yang dapat digunakan
sebagai panduan umum untuk menjalankan sistem demokrasi, bukan konsep yang
detail.
Meskipun
berupa nilai-nilai atau wawasan yang bersifat umum namun prinsip-prinsip
tersebut dinyatakan secara tegas dan bahkan ada yang berulang-ulang. Dalam hal
ini ada beberapa prinsip yang digariskan secara tegas seperti prinsip keadilan (al-‘adl),
prinsip persamaan (al-Musawah), prinsip kebebasan (al-hurriyyah),
prinsip musyawarah atau negosiasi (al-syura).
Al-Qur’an
menyebut syura sebagai sebuah prinsip yang mengatur kehidupan masyarakat atau
orang-orang mukmin. Sebagai sebuah konsep dan sekaligus juga prinsip, syura
dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi.
Prinsip
Dasar Demokrasi dan Syura
Paling
tidak, terdapat lima prinsip yang menyamakan demokrasi dan Syura. Pertama, bahwa
pertimbangan kolektif (collective
deliberation) lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi
kebaikan bersama daripada pilihan individual. Kedua, bahwa pertimbangan
mayoritas cenderung lebih komprehensif dan akurat ketimbang penilaian
minoritas. Meski tidak berarti pertimbangan minoritas harus diabaikan. Dalam
demokrasi, kelompok minoritas justru harus dilindungi keberadaannya, demikian
pula dalam syura. Suara minoritas perlu dpertimbangkan. Ketiga, bahwa semua
orang memiliki hak dan tanggungjawab yang sama. Keempat, bahwa aturan masyarakat dilakukan melalui
penerapan hukum, bukan melalui aturan
individual atau keluarga dengan keputusan yang otokratis. Kelima, bahwa
pemenuhan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang lebih komprehensif yang
mewujudkan kemanusiaan dengan baik, tidak dapat dicapai dalam sebuah lingkungan
yang tidak demokratis.
Semakin
konstitusional dan institusional sebuah sistem memenuhi kelima prinsip syura
atau prinsip demokrasi tersebut, maka akan terlihat semakin Islamilah sistem tersebut.
Setiap negara atau bangsa yang lahir dari peradaban Islam diperintahkan supaya
melaksanakan syura. Artinya, diperintahkan untuk menegakkan prinsip-prinsip
keadilan, persamaan, dan martabat kemanusiaan, nilai-nilai yang menopang dan
memperkuat pengalaman kemanusiaan. Bangsa-bangsa tersebut sebenarnya juga
memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan demokrasi jika dibandingkan dengan
bangsa-bangsa lainnya.
Demokrasi
dan syura dalam konsep dan prinsipnya sama, bedanya hanya terlihat dalam
rincian penerapan keduanya yang disesuaikan dengan adat kebiasaan lokal.
Kesamaan
itu terlihat pada beberapa kondisi berikut. Pertama, menolak pemerintahan apa
pun yang mengurangi legitimasi pemilihan yang bebas, pertanggungjawaban, dan
kekuasaan atau kekuatan rakyat. Kedua, menolak pemerintahan yang tidak melalui
proses yang konstitusional. Ketiga, menolak aturan pemerintahan turun-temurun (hereditary rule). Karena kebijaksanaan
dan kompetensi tidak pernah menjadi monopoli satu individu atau keluarga
tertentu. Keempat, menolak pemerintahan dengan kekuatan paksaan, sebab
pemerintahan apa pun yang ditopang oleh pemaksaan adalah tidak sah. Kelima, menolak
keistimewaan-keistimewaan politik, sosial, ekonomi, yang ditetapkan menurut
dasar kesukuan dan gengsi sosial. Keenam, menolak pemerintahan militer.
Pembuatan undang-undang berdasarkan inkonstitusional dan pemaksaan (illegitimate) dan kekerasan. Ketujuh, menolak
hak-hak istimewa bidang politik, sosial, ekonomi yang mengklaim dasar-dasar
keturunan suku dan wibawa masyarakat.
Kesimpulannya,
syura dan demokrasi adalah serupa dan secara esensial merupakan konsep yang
sama. Keduanya mendorong kita untuk mendapatkan lebih dari upaya merealisasikan
prinsip-prinsip kemerdekaan, kesamaan, dan martabat manusia dalam perjalanan
sosial-politik kolektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar