Pengamatan, perdebatan dan diskusi mengenai hubungan
antara Islam dan demokrasi telah banyak dilakukan oleh pakar-pakar keislaman
dan juga cendekiawan Muslim sendiri. Sebagai contoh, Hungtington berpendapat
bahwa Islam memiliki high culture yang mempunyai ciri-ciri yang sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi. Bentuk-bentuk high culture Islam itu antara lain unitarianisme, etika,
individualisme, skripturalisme, puritanisme dan egalitarianisme.
Walau demikian, sejumlah pakar menyimpulkan, Islam
menolak pemisahan antara wilayah agama dan komunitas politik. Muslim
fundamentalis bahkan menuntut agar
kekuasaan negara berada di tangan orang-orang Islam yang taat, syari’ah
dijadikan undang-undang dan ulama berperan sebagai pemberi kata akhir dalam
perumusan setiap kebijakan publik.[13]
Agaknya kesimpulan
Huntington
tentang adanya kesesuaian Islam dengan demokrasi, juga disetujui oleh pengamat
lain berdasarkan penelitian mereka terhadap dokrin dan praktek politik Islam.
Robert N. Bellah menyimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang
diselenggararakan oleh Nabi Muhammad saw di Madinah bersifat egaliter dan
partisipatif. Atas dasar penelitian terhadap dokrin dan politik Islam, dia juga
menyimpulkan kesesuaian Islam dan demokrasi.
Dokrin tentang
keadilan (al-‘adl), egaliterianisme (al-musawah), dan musyawarah atau negosiasi (syura)
terealisasi di dalam praktek politik kenegaraan awal Islam yang dinilai modern
itu. Disebut modern karena adanya keterlibatan dan partisipasi dari seluruh
komunitas politik Madinah. Stuktur politik yang dikembangkan juga modern dalam
artian adanya keterbukaan dalam hal penentuan posisi pimpinan yang didasarkan
pada meritokrasi bukan hereditas. Bentuk kemoderenan yang seperti itulah yang
dipandang sebagai kehidupan politik demokratis.[14]
Menurut pengamatan
John L. Esposito dan James P. Piscatori
prinsip demokrasi dan proses demokratisasi merupakan pokok perdebatan yang
hangat di kalangan Umat Islam. Selain itu, antara nilai-nilai Islam dan
nilai-nilai demokrasi secara inheren merupakan anti-tesis sebagaimana terlihat
pada masalah-masalah seperti perbedaan antara Mukmin dan kafir serta laki-laki
dan perempuan. Sekalipun begitu, mereka mencatat bahwa sementara umat Islam
radikal menolak segala bentuk westernisasi dan diangap tidak sesuai dengan
tradisi lokal.
Namun anehnya, dalam
upaya melaksanakan program politik, gerakan-gerakan Islam di berbagai negara
Muslim seperti Pakistan, Mesir, Yordania dan Tunisia merasa perlu ikut serta
dalam sistem politik yang ada (yang menurut mereka tidak islami) dan mereka
berhasil memenangkan kursi perlemen serta menduduki kursi Kabinet.[15]
Berbeda dengan Streotipe Barat pada umumnya,
Leon T. Hadar berpendapat bahwa sejumlah tokoh Islam berpendidikan Barat
seperti dalam kasus FIS di Aljazair misalnya, mereka berpendidikan professional
seperti insiyur, ahli fisika, pengacara dan akademis yang mengontrol
institusi-institusi modern seperti rumah sakit, sekolah dan bisnis. Mereka
tidak tertarik untuk mengembalikan masyarakat ke masa lampau dalam
mentrasformasikan struktur ekonomi mereka.
Bahkan para teokrat Iran menggunakan konsep-konsep
pemerintahan Barat seperti republik, demokrasi dan konstitusi untuk
melegitimasi kekuasaan mereka. Persepsi yang salah tersebut semata-mata
disebabkan kecurigaan dan prasangka yang terutama dipengaruhi oleh keberhasilan gerakan-gerakan islam dalam
pemilihan umum yang demokratis.
Claus Leggewie menambahkan bahwa agama Islam dan
demokrasi Barat seharusnya tidak bagaikan api dengan air. Perilaku banyak
kelompok Islam radikal yang memperlihatkan ketidaksetujuan mereka terhadap
prinsip-prinsip demokrasi, seperti sikap-sikap intoleran, tidak dapat
digeneralisasi untuk melihat bahwa semua gerakan islam menolak demokrasi.
Secara umum memang gerakan islam menolak otoritas nasional mereka sendiri atau
bahkan kekuatan internasional tertentu, namun tidak berarti menolak
prinsip-prinsip demokrasi.
Sementara itu banyak pengamat memandang keterlibatan
gerakan-gerakan Islam dalam proses demokrasi sebagai strategi sementara, dimana
mereka tidak mendukung demokrasi dalam arti yang sebenarnya. Judith Miller
misalnya, menjelaskan meskipun retorika mereka tetap komitmen dengan demokrasi
dan pluralisme namun sebenarnya semua islamis militan menolak keduanya.[16]
Dia menambahkan bahwa kebanyakan orang Islam dan orang Arab sekarang ini
memahami demokrasi sebagai kekuatan mayoritas dan hampir tanpa penghargaan pada
hak-hak minoritas.
Di kalangan intelektrual, ulama dan aktivis Muslim
sendiri respon terhadap konsep dan istilah demokrasi amat beragam. Ada yang beranggapan bahwa
Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda karena itu keduanya tidak bisa
dibandingkan.[17] Oleh
sebab itu terdapat petunjuk yang cukup kuat bahwa sebagian ulama dan penguasa
politik berpandangan bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi paham
demokrasi.
Pandangan yang menolak demokrasi
Lebih dari itu sebahagian dari ulama mengklaim bahwa
Islam adalah agama yang serba komplit yang mengatur semua aspek kehidupan.
Menurut penganut paham ini, bagi seorang Muslim tidak ada aturan hidup kecuali
yang telah diundangkan Tuhan di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sejalan dengan itu demokrasi yang berdalil bahwa
legitimasi kekuasaan bersumber dari mayoritas rakyat tidak bisa diberlakukan.
Sejarah telah membuktikan bahwa para Rasul Allah selalu merupakan kekuatan
minoritas yang melawan arus mayoritas dan selalu mendapat kemenangan.
Sementara itu demokrasi adalah pemikiran sekuler yang
berprinsip bahwa hukum dan undang-undang ditetapkan oleh lembaga perwakilan
rakyat atau pemerintah bukan oleh Allah. Ini berarti bahwa di mata demokrasi,
Tuhan hanya zat yang diakuai keberadaan-Nya tetapi ditolak peranan-Nya dalam
mengatur kehidupan manusia. Ini berseberangan dengan konsepsi ajaran Islam yang
diyakini bahwa manusia tunduk pada hukum Tuhan yang diwahyukan Allah melalui
Al-Qur’an dan Rasul-Nya.[18]
Di antara tokoh islam yang mengharamkan penggunaan
istilah dan konsep demokrasi adalah Hafiz Sahih. Menurut Hafiz sahih konsep
demokrasi menegasikan kedaulatan Tuhan atas manusia. Lebih dari itu, istilah
ini tidak berasal dari kosa kata Islam dan karenanya harus ditinggalkan.
Senada dengan Sahih, Adnan Ali Ridha al-Nahwi menolak
demokrasi tetapi mengajukan syura terutama karena yang pertama
bersinonim dengan aturan yang dibuat manusia sedangkan yang kedua adalah aturan
dari Allah.
Sementara itu Hasan Turabi berusaha membedakan antar
demokrasi dengan syura. Menurutnya meskipun makna denotasi keduanya sama
tetapi makna konotasinya berbeda. Keduanya mempunyai makna denotasi partisipasi
publik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan politik. Demokrasi berarti
kedaulatan terakhir berada di tangan rakyat sementara itu syura bermakna
kedaulatan terakhir ada di tanga Tuhan yang disatukan dalam otoritas tekstual
suci yang diwahyukan. Ketika demokrasi menderita karena keterbatasan pikiran
manusia, syura tidaklah demikian. Syura berusaha menyikapi
persoalan-persoalan konstitusional, hukum, sosial dan ekonomi seperti yang
ditegakkan oleh syariah.[19]
Dan dalam konteks negara-negara Muslim, Pemerintah
Saudi Arabia merupakan salah satu di antara sedikit negara-negara Muslim yang
menolak sistem demokrasi secara terbuka karena menurut raja Fahd, demokrasi
tidak cocok dengan rakyat Saudi Arabia.
Ismail Sunny juga berpendapat bahwa kedaulatan yang
hakiki berada pada Tuhan, sementara otoritas rakyat sebagaimana juga yang
dipahami di Indonesia pada dasarnya merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh
semua rakyat sebagai hambanya, di mana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan
sosial politik diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka.[20]
Pandangan yang menerima demokrasi dengan syarat
Kelompok lain melihat demokrasi sebagai paham dan
konsep yang mulia tetapi tetap mengakui kenyataan bahwa demokrasi kontemporer
mengandung bias pemikiran sekuler Barat sehingga masih perlu dijiwai dengan
ajaran Islam. Karena itu banyak intelektual Muslim menerima istilah demokrasi
dengan modifikasi tertentu sesuai dengan ajaran islam, di antaranya Fazlur
rahman, Hamid Enayat, Muhammad Asad dan Javid Iqbal.
Muhammad Asad mensyaratkan majilis syura yang dicapai melalui kebebasan dan pemilihan
umum harus benar-benar mewakili seluruh komunitas, baik laki-laki maupun
perempuan yang mempunyai hak pilih seluas mungkin. Sementara itu Javid Iqbal
menerima demokrasi sepanjang pemilihan mengenai kepemimpinan Islam dan
implementasi Syari’ah diperhatikan.[21]
Dengan adanya bias sekuler pemikiran Barat dalam
demokrasi. Perlu dikembangkan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang tidak
menyimpang dari ajaran Islam. Ini mengindikasikan bahwa Islam tidak sesuai
dengan demokrasi secara keseluruhan, melainkan ada prinsip-prinsip Islam yang
berbeda dengan demokrasi.
Dhiya’ al-Din al-Rais mengajukan tiga hal berkenaan
dengan masalah ini.[22] Pertama,
yang dimaksud dengan kata bangsa atau umat dalam demokrasi modern adalah
bagaimana yang sudah popular di dunia Barat yaitu bangsa yang terbatasi oleh
letak geografis. Artinya, demokrasi selalu terkait dengan nasionalisme. Tidak
demikian dengan Islam. Menurut Islam, umat tidak harus terkait dengan suatu
tempat, darah atau bahasa. Ikatan yang yang sebenarnya adalah akidah. Dengan
demikian pandangan Islam sangat kosmopolitan dan universal.
Kedua, tujuan demokrasi
adalah tujuan yang bersifat duniawi atau materil. Dengan demikian demokrasi
hanya ditujukan untuk merealisasikan kesejahteraan umat. Lain halnya dengan
Islam, selain mencakup kebutuhan duniawi juga mempunyai tujuan yang bersifat
spritual yang lebih fundamental.
Ketiga, kekuasaan rakyat
menurut demokrasi adalah mutlak. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan
tertinggi. Sedangkan dalam Islam kekuasaan rakyat terikat dengan ketentuan
syariat agama,tidak bersifat mutlak.
Pandangan yang mendukung demokrasi
Sebaliknya, menurut Bassam Tibi, demokrasi bagaikan
payung yang tepat bagi perdamaian peradaban di antara mereka yang berasal dari
kebudayaan yang jauh berbeda yang berbagi kewarganegaraan dari sebuah wilayah
yang sama.[23] Dalam
hal ini India
bisa dijadikan model di mana rakyat yang berasal dari peradaban yang berbeda
dapat membuat demokrasi sebagai referensi bagi identitas umum mereka, dan
sebaliknya sebagai sebuah model bagi anarki yang akan datang.
Tokoh Islam politik Indonesia , Muhammad Natsir juga
mendukung demokrasi walaupun ia mempunyai penafsiran sendiri. Menurut Natsir,
Islam adalah sistem demokrasi dalam artian menolak istibdad, obsolutisme
dan otoritarianisme. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua hal dalam
pemerintahan Islam harus diputuskan melalui Majelis Syura. Keputusan-keputusan
demokratis diimplementasikan hanya pada masalah-masalah yang tidak disebut
secara spesifik dalam syariah, sehingga tidak ada keputusan demokratis,
misalnya pada larangan judi dan zina.[24]
Lebih lanjut Natsir menambahkan bahwa Islam mempunyai
konsep dan karakteristik tersendiri. Islam tidak harus 100% demokratis dan
tidak harus 100% teokratis. Islam adalah sintesis antara demokrasi dan
teokrasi.[25]
Sejalan dengan Natsir, Munawir Sjadzali juga
mengatakan bahwa pada hakikatnya kedaulatan tertinggi berada di tangan Tuhan,
tetapi konsep kedaulatan rakyat tidak pernah diartikan untuk menolak kedaulatan
Tuhan.[26]
Sementara itu Jalaluddin Rahmat berpendapat bahwa
demokrasi adalah istilah yang mempunyai multi makna. Menurutnya demokrasi tidak
hanya sesuai dengan Islam Tetapi juga merupakan perwujudan ajaran-ajaran Islam
dalam kehidupan berbangsa jika demokrasi diartikan sebagai konsep bagi sistem
politik yang didasarkan pada dua prinsip, yaitu partisipasi politik dan hak
asasi manusia. Kedua prinsip ini menyebabkan rakyat berpartisipasi dalam
keputusan-keputusan publik dan melindungi hak asasi manusia, yakni hak
kebebasan berbicara, hak mengontrol kekuasaan dan hak persamaan di muka hokum.
Di lain sisi, Rahmat melanjutkan, sistem politik Islam
tidak dapat dibandingkan dengan sistem demokrasi dalam dua pengertian; (1)
Demokrasi adalah sistem politik sekuler yang kedaulatannya berada ditangan
rakyat, sedangkan dalam Islam kedaulatan berada ditangan Tuhan. Suara mayoritas
tidak mungkin mengubah syari’ah. (2) Dalam prakteknya suara rakyat dapat
dimanipulasi baik melalui ancaman maupun rayuan. Islam adalah sistem yang unik
yang mengembangkan prinsip-prinsip musyawarah dan hak asasi manusia.[27]
Kesimpulan
Secara doktrinal pengertian demokrasi sebagai kekuasaan
oleh rakyat tidak bisa dimaknai bahwa hal itu kontradiski dengan doktrin Islam
yang menganut dokrin kekuasaan di tangan Tuhan. Pandangan bahwa ajaran Islam
bertumpu pada konsep kedaulatan di tangan Tuhan sehingga demokrasi yang
bermakna kedaulatan sepenuhnya ditangan rakyat tidak sesuai sesuai dengan
pemikiran politik Islam.[28]
Walaupun Islam
memiliki prinsip-prinsip sosial politik yang sejalan dengan demokrasi, masih
banyak yang mempertanyakan sejauh mana ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan
koheren dengan demokrasi. Jawabannya tentu membutuhkan penelitian yang
komprehensip terhadap seluruh aspek ajaran Islam, baik yang besifat sosial
budaya, politik maupun yang bersifat kegiatan ritual keagaman. Secara teoritis
hal itu dimungkinkan tetapi secara praktis tentu amat memusingkan.
Terlepas dari
semua itu, Islam tidak berbicara tentang segala sesuatu secara detail.
Ayat-ayat yang dikandung Al-Qur’an memberi panduan moral, etika dan nilai
secara global karena itulah Islam sangat menekankan penggunaan akal melalui
proses ijtihad. Demikian pula halnya dengan demokrasi, Al-Qur’an hanya
memberikan wawasan yang sejalan dengan hal itu, bukan konsep yang detail.
Meskipun merupakan
wawasan yang bersifat umum, namun prinsip-prinsip tersebut dinyatakan secara
tegas dan bahkan ada yang berulang-ulang. Dalam hal ini ada beberapa prinsip
yang digariskan secara tegas seperti prinsip keadilan (al-‘adl), prinsip
persamaan (al-Musawah), prinsip kebebasan (al-hurriyyah), prinsip
musyawarah atau negosiasi (al-syura). Demokrasi dalam
penerapannya di berbagai negara bukanlah sebuah konsep yang tertutup dan baku
melainkan lebih mengutamakan penerapan nilai-nilai universal kemanusiaan. Jika
demikian, inti demokrasi adalah pada nilai-nilai keadaban yang diusungnya dan
itu jelas menjadi konsen dan esensi ajaran Islam.
[14] Robert
N. Bella, Islamic Tradition and the
Problem of Modernization; Beyond Belief; Essay on religion in
Post-Tradtionalist Word, (Berkeley: Universiti of California, 1991), h.
150-151. sebagaimana juga yang dikemukakan Bahtiar Effendy dalam makalah Demokrasi dan Agama; Eksistensi Agama Dalam
Politik Indonesia
yang disampaikan pada diskusi yang diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan
Filsafat di Hotel Regent Kuningan Jakarta 29 Oktober 1998
[15]Seperti yang dikutip Maykuri
Abdillah dari John L. Esposito dan James Piscatori, Demokratization and Islam.
Lebih lanjut lihat Masykuri Abdillah, op. cit., h. 5
[16]Masykuri Abdillah, op. cit.,h. 5-6
[17] Fahmi Huwaydi, op. cit., h. 151
[18] Teuku May Rudy, op. cit., h. 362
[19] Masykuri Abdillah, op cit., h. 8
[20] Lebih lanjut lihat Isma’il sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila,
(Jakarta: Aksara Baru, 1987)), h. 7
[21] Lebih jelasnya lihat Masykuri Abdillah, op. cit., h. 10
[22] Fahmi Huwaydi, op. cit., h. 198-200. Lihat juga al-Mustasyar Thariq
al-Basyari, Al-Malamih al-‘Ammah li al-Fikr al-Siyasi al-Islami fi al-Tarikh
al-Ma’ashir, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1968). ‘Abd al-Razaq Ahmad al-Syahwari,
Fiqh al-Khilafah wa Tathawwaruh, (Kairo: Al-Haiah al-Mishiriyyah al-‘Ammah,
1993). Fahmi Huwaydi, Al-Qur’an wa al-Sulthan, (Kairo: Dar al-Syuruq,
1999)
[23] Lenih lanjut lihat Bassam Tibi,op. cit., h.314
[24] Muhammad Natsir, Capita Selekta, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), h. 452
[25] Syafi’I Ma’arif, Islam dan masalah kenegaraan; Studi Tentang
Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 130
[26] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1999), h. 172
[27] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Demokrasi dalam Frans Magis
suseno, dkk, Agama dan Demokrasi, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat, 1992), h.43
[28] Sebagaimana yang dikemukakan Teuku May Rudi, Politik Islam dalam
Pemerintahan Demokrasi. Lebih jelasnya lihat Abu Zahra (ed) Politik Demi
Tuhan; Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung Pustaka Hidayah, 1999),
h.361
Tidak ada komentar:
Posting Komentar