Minggu, 10 Desember 2017

Islam dan Demokrasi: Respon dan Pelacakan Doktrin



Pengamatan, perdebatan dan diskusi mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi telah banyak dilakukan oleh pakar-pakar keislaman dan juga cendekiawan Muslim sendiri. Sebagai contoh, Hungtington berpendapat bahwa Islam memiliki high culture yang mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Bentuk-bentuk high culture Islam  itu antara lain unitarianisme, etika, individualisme, skripturalisme, puritanisme dan egalitarianisme.

Walau demikian, sejumlah pakar menyimpulkan, Islam menolak pemisahan antara wilayah agama dan komunitas politik. Muslim fundamentalis bahkan menuntut  agar kekuasaan negara berada di tangan orang-orang Islam yang taat, syari’ah dijadikan undang-undang dan ulama berperan sebagai pemberi kata akhir dalam perumusan setiap kebijakan publik.[13]

Agaknya kesimpulan Huntington tentang adanya kesesuaian Islam dengan demokrasi, juga disetujui oleh pengamat lain berdasarkan penelitian mereka terhadap dokrin dan praktek politik Islam. Robert N. Bellah menyimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang diselenggararakan oleh Nabi Muhammad saw di Madinah bersifat egaliter dan partisipatif. Atas dasar penelitian terhadap dokrin dan politik Islam, dia juga menyimpulkan kesesuaian Islam dan demokrasi.

Dokrin tentang keadilan (al-‘adl), egaliterianisme (al-musawah),  dan musyawarah atau negosiasi (syura) terealisasi di dalam praktek politik kenegaraan awal Islam yang dinilai modern itu. Disebut modern karena adanya keterlibatan dan partisipasi dari seluruh komunitas politik Madinah. Stuktur politik yang dikembangkan juga modern dalam artian adanya keterbukaan dalam hal penentuan posisi pimpinan yang didasarkan pada meritokrasi bukan hereditas. Bentuk kemoderenan yang seperti itulah yang dipandang sebagai kehidupan politik demokratis.[14]

Menurut  pengamatan  John L. Esposito dan James  P. Piscatori prinsip demokrasi dan proses demokratisasi merupakan pokok perdebatan yang hangat di kalangan Umat Islam. Selain itu, antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokrasi secara inheren merupakan anti-tesis sebagaimana terlihat pada masalah-masalah seperti perbedaan antara Mukmin dan kafir serta laki-laki dan perempuan. Sekalipun begitu, mereka mencatat bahwa sementara umat Islam radikal menolak segala bentuk westernisasi dan diangap tidak sesuai dengan tradisi lokal.

Namun anehnya, dalam upaya melaksanakan program politik, gerakan-gerakan Islam di berbagai negara Muslim seperti Pakistan, Mesir, Yordania dan Tunisia merasa perlu ikut serta dalam sistem politik yang ada (yang menurut mereka tidak islami) dan mereka berhasil memenangkan kursi perlemen serta menduduki kursi Kabinet.[15]

Berbeda dengan Streotipe Barat pada umumnya, Leon T. Hadar berpendapat bahwa sejumlah tokoh Islam berpendidikan Barat seperti dalam kasus FIS di Aljazair misalnya, mereka berpendidikan professional seperti insiyur, ahli fisika, pengacara dan akademis yang mengontrol institusi-institusi modern seperti rumah sakit, sekolah dan bisnis. Mereka tidak tertarik untuk mengembalikan masyarakat ke masa lampau dalam mentrasformasikan struktur ekonomi mereka.

Bahkan para teokrat Iran menggunakan konsep-konsep pemerintahan Barat seperti republik, demokrasi dan konstitusi untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Persepsi yang salah tersebut semata-mata disebabkan kecurigaan dan prasangka yang terutama dipengaruhi  oleh keberhasilan gerakan-gerakan islam dalam pemilihan umum yang demokratis.

Claus Leggewie menambahkan bahwa agama Islam dan demokrasi Barat seharusnya tidak bagaikan api dengan air. Perilaku banyak kelompok Islam radikal yang memperlihatkan ketidaksetujuan mereka terhadap prinsip-prinsip demokrasi, seperti sikap-sikap intoleran, tidak dapat digeneralisasi untuk melihat bahwa semua gerakan islam menolak demokrasi. Secara umum memang gerakan islam menolak otoritas nasional mereka sendiri atau bahkan kekuatan internasional tertentu, namun tidak berarti menolak prinsip-prinsip demokrasi.

Sementara itu banyak pengamat memandang keterlibatan gerakan-gerakan Islam dalam proses demokrasi sebagai strategi sementara, dimana mereka tidak mendukung demokrasi dalam arti yang sebenarnya. Judith Miller misalnya, menjelaskan meskipun retorika mereka tetap komitmen dengan demokrasi dan pluralisme namun sebenarnya semua islamis militan menolak keduanya.[16] Dia menambahkan bahwa kebanyakan orang Islam dan orang Arab sekarang ini memahami demokrasi sebagai kekuatan mayoritas dan hampir tanpa penghargaan pada hak-hak minoritas.

Di kalangan intelektrual, ulama dan aktivis Muslim sendiri respon terhadap konsep dan istilah demokrasi amat beragam. Ada yang beranggapan bahwa Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda karena itu keduanya tidak bisa dibandingkan.[17] Oleh sebab itu terdapat petunjuk yang cukup kuat bahwa sebagian ulama dan penguasa politik berpandangan bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi paham demokrasi.

Pandangan yang menolak demokrasi

Lebih dari itu sebahagian dari ulama mengklaim bahwa Islam adalah agama yang serba komplit yang mengatur semua aspek kehidupan. Menurut penganut paham ini, bagi seorang Muslim tidak ada aturan hidup kecuali yang telah diundangkan Tuhan di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Sejalan dengan itu demokrasi yang berdalil bahwa legitimasi kekuasaan bersumber dari mayoritas rakyat tidak bisa diberlakukan. Sejarah telah membuktikan bahwa para Rasul Allah selalu merupakan kekuatan minoritas yang melawan arus mayoritas dan selalu mendapat kemenangan.

Sementara itu demokrasi adalah pemikiran sekuler yang berprinsip bahwa hukum dan undang-undang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat atau pemerintah bukan oleh Allah. Ini berarti bahwa di mata demokrasi, Tuhan hanya zat yang diakuai keberadaan-Nya tetapi ditolak peranan-Nya dalam mengatur kehidupan manusia. Ini berseberangan dengan konsepsi ajaran Islam yang diyakini bahwa manusia tunduk pada hukum Tuhan yang diwahyukan Allah melalui Al-Qur’an dan Rasul-Nya.[18] 

Di antara tokoh islam yang mengharamkan penggunaan istilah dan konsep demokrasi adalah Hafiz Sahih. Menurut Hafiz sahih konsep demokrasi menegasikan kedaulatan Tuhan atas manusia. Lebih dari itu, istilah ini tidak berasal dari kosa kata Islam dan karenanya harus ditinggalkan.

Senada dengan Sahih, Adnan Ali Ridha al-Nahwi menolak demokrasi tetapi mengajukan syura terutama karena yang pertama bersinonim dengan aturan yang dibuat manusia sedangkan yang kedua adalah aturan dari Allah.

Sementara itu Hasan Turabi berusaha membedakan antar demokrasi dengan syura. Menurutnya meskipun makna denotasi keduanya sama tetapi makna konotasinya berbeda. Keduanya mempunyai makna denotasi partisipasi publik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan politik. Demokrasi berarti kedaulatan terakhir berada di tangan rakyat sementara itu syura bermakna kedaulatan terakhir ada di tanga Tuhan yang disatukan dalam otoritas tekstual suci yang diwahyukan. Ketika demokrasi menderita karena keterbatasan pikiran manusia, syura tidaklah demikian. Syura berusaha menyikapi persoalan-persoalan konstitusional, hukum, sosial dan ekonomi seperti yang ditegakkan oleh syariah.[19]

Dan dalam konteks negara-negara Muslim, Pemerintah Saudi Arabia merupakan salah satu di antara sedikit negara-negara Muslim yang menolak sistem demokrasi secara terbuka karena menurut raja Fahd, demokrasi tidak cocok dengan rakyat Saudi Arabia.

Ismail Sunny juga berpendapat bahwa kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan, sementara otoritas rakyat sebagaimana juga yang dipahami di Indonesia pada dasarnya merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat sebagai hambanya, di mana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial politik diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka.[20]

Pandangan yang menerima demokrasi dengan syarat

Kelompok lain melihat demokrasi sebagai paham dan konsep yang mulia tetapi tetap mengakui kenyataan bahwa demokrasi kontemporer mengandung bias pemikiran sekuler Barat sehingga masih perlu dijiwai dengan ajaran Islam. Karena itu banyak intelektual Muslim menerima istilah demokrasi dengan modifikasi tertentu sesuai dengan ajaran islam, di antaranya Fazlur rahman, Hamid Enayat, Muhammad Asad dan Javid Iqbal.

Muhammad Asad mensyaratkan majilis syura  yang dicapai melalui kebebasan dan pemilihan umum harus benar-benar mewakili seluruh komunitas, baik laki-laki maupun perempuan yang mempunyai hak pilih seluas mungkin. Sementara itu Javid Iqbal menerima demokrasi sepanjang pemilihan mengenai kepemimpinan Islam dan implementasi Syari’ah diperhatikan.[21]

Dengan adanya bias sekuler pemikiran Barat dalam demokrasi. Perlu dikembangkan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang tidak menyimpang dari ajaran Islam. Ini mengindikasikan bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi secara keseluruhan, melainkan ada prinsip-prinsip Islam yang berbeda dengan demokrasi.

Dhiya’ al-Din al-Rais mengajukan tiga hal berkenaan dengan masalah ini.[22] Pertama, yang dimaksud dengan kata bangsa atau umat dalam demokrasi modern adalah bagaimana yang sudah popular di dunia Barat yaitu bangsa yang terbatasi oleh letak geografis. Artinya, demokrasi selalu terkait dengan nasionalisme. Tidak demikian dengan Islam. Menurut Islam, umat tidak harus terkait dengan suatu tempat, darah atau bahasa. Ikatan yang yang sebenarnya adalah akidah. Dengan demikian pandangan Islam sangat kosmopolitan dan universal.

Kedua, tujuan demokrasi adalah tujuan yang bersifat duniawi atau materil. Dengan demikian demokrasi hanya ditujukan untuk merealisasikan kesejahteraan umat. Lain halnya dengan Islam, selain mencakup kebutuhan duniawi juga mempunyai tujuan yang bersifat spritual yang lebih fundamental.

Ketiga, kekuasaan rakyat menurut demokrasi adalah mutlak. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan dalam Islam kekuasaan rakyat terikat dengan ketentuan syariat agama,tidak bersifat mutlak.

Pandangan yang mendukung demokrasi

Sebaliknya, menurut Bassam Tibi, demokrasi bagaikan payung yang tepat bagi perdamaian peradaban di antara mereka yang berasal dari kebudayaan yang jauh berbeda yang berbagi kewarganegaraan dari sebuah wilayah yang sama.[23] Dalam hal ini India bisa dijadikan model di mana rakyat yang berasal dari peradaban yang berbeda dapat membuat demokrasi sebagai referensi bagi identitas umum mereka, dan sebaliknya sebagai sebuah model bagi anarki yang akan datang.

Tokoh Islam politik Indonesia, Muhammad Natsir juga mendukung demokrasi walaupun ia mempunyai penafsiran sendiri. Menurut Natsir, Islam adalah sistem demokrasi dalam artian menolak istibdad, obsolutisme dan otoritarianisme. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua hal dalam pemerintahan Islam harus diputuskan melalui Majelis Syura. Keputusan-keputusan demokratis diimplementasikan hanya pada masalah-masalah yang tidak disebut secara spesifik dalam syariah, sehingga tidak ada keputusan demokratis, misalnya pada larangan judi dan zina.[24]

Lebih lanjut Natsir menambahkan bahwa Islam mempunyai konsep dan karakteristik tersendiri. Islam tidak harus 100% demokratis dan tidak harus 100% teokratis. Islam adalah sintesis antara demokrasi dan teokrasi.[25]

Sejalan dengan Natsir, Munawir Sjadzali juga mengatakan bahwa pada hakikatnya kedaulatan tertinggi berada di tangan Tuhan, tetapi konsep kedaulatan rakyat tidak pernah diartikan untuk menolak kedaulatan Tuhan.[26]

Sementara itu Jalaluddin Rahmat berpendapat bahwa demokrasi adalah istilah yang mempunyai multi makna. Menurutnya demokrasi tidak hanya sesuai dengan Islam Tetapi juga merupakan perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa jika demokrasi diartikan sebagai konsep bagi sistem politik yang didasarkan pada dua prinsip, yaitu partisipasi politik dan hak asasi manusia. Kedua prinsip ini menyebabkan rakyat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan publik dan melindungi hak asasi manusia, yakni hak kebebasan berbicara, hak mengontrol kekuasaan dan hak persamaan di muka hokum.

Di lain sisi, Rahmat melanjutkan, sistem politik Islam tidak dapat dibandingkan dengan sistem demokrasi dalam dua pengertian; (1) Demokrasi adalah sistem politik sekuler yang kedaulatannya berada ditangan rakyat, sedangkan dalam Islam kedaulatan berada ditangan Tuhan. Suara mayoritas tidak mungkin mengubah syari’ah. (2) Dalam prakteknya suara rakyat dapat dimanipulasi baik melalui ancaman maupun rayuan. Islam adalah sistem yang unik yang mengembangkan prinsip-prinsip musyawarah dan hak asasi manusia.[27]


Kesimpulan

Secara doktrinal pengertian demokrasi sebagai kekuasaan oleh rakyat tidak bisa dimaknai bahwa hal itu kontradiski dengan doktrin Islam yang menganut dokrin kekuasaan di tangan Tuhan. Pandangan bahwa ajaran Islam bertumpu pada konsep kedaulatan di tangan Tuhan sehingga demokrasi yang bermakna kedaulatan sepenuhnya ditangan rakyat tidak sesuai sesuai dengan pemikiran politik Islam.[28] 

Walaupun Islam memiliki prinsip-prinsip sosial politik yang sejalan dengan demokrasi, masih banyak yang mempertanyakan sejauh mana ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan koheren dengan demokrasi. Jawabannya tentu membutuhkan penelitian yang komprehensip terhadap seluruh aspek ajaran Islam, baik yang besifat sosial budaya, politik maupun yang bersifat kegiatan ritual keagaman. Secara teoritis hal itu dimungkinkan tetapi secara praktis tentu amat memusingkan.

Terlepas dari semua itu, Islam tidak berbicara tentang segala sesuatu secara detail. Ayat-ayat yang dikandung Al-Qur’an memberi panduan moral, etika dan nilai secara global karena itulah Islam sangat menekankan penggunaan akal melalui proses ijtihad. Demikian pula halnya dengan demokrasi, Al-Qur’an hanya memberikan wawasan yang sejalan dengan hal itu, bukan konsep yang detail.

Meskipun merupakan wawasan yang bersifat umum, namun prinsip-prinsip tersebut dinyatakan secara tegas dan bahkan ada yang berulang-ulang. Dalam hal ini ada beberapa prinsip yang digariskan secara tegas seperti prinsip keadilan (al-‘adl), prinsip persamaan (al-Musawah), prinsip kebebasan (al-hurriyyah), prinsip musyawarah atau negosiasi (al-syura). Demokrasi dalam penerapannya di berbagai negara bukanlah sebuah konsep yang tertutup dan baku melainkan lebih mengutamakan penerapan nilai-nilai universal kemanusiaan. Jika demikian, inti demokrasi adalah pada nilai-nilai keadaban yang diusungnya dan itu jelas menjadi konsen dan esensi ajaran Islam.

             






[13] Samuel P . Huntington, op. cit., h.307
[14] Robert N. Bella,  Islamic Tradition and the Problem of Modernization; Beyond Belief; Essay on religion in Post-Tradtionalist Word, (Berkeley: Universiti of California, 1991), h. 150-151. sebagaimana juga yang dikemukakan Bahtiar Effendy dalam makalah  Demokrasi dan Agama; Eksistensi Agama Dalam Politik Indonesia yang disampaikan pada diskusi yang diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat di Hotel Regent Kuningan Jakarta 29 Oktober 1998

[15]Seperti yang dikutip Maykuri Abdillah dari John L. Esposito dan James Piscatori, Demokratization and Islam. Lebih lanjut lihat Masykuri Abdillah, op. cit., h. 5

[16]Masykuri Abdillah, op. cit.,h. 5-6
[17] Fahmi Huwaydi, op. cit., h. 151
[18] Teuku May Rudy, op. cit., h. 362
[19] Masykuri Abdillah, op cit., h. 8
[20] Lebih lanjut lihat Isma’il sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1987)), h. 7
[21] Lebih jelasnya lihat Masykuri Abdillah, op. cit., h. 10
[22] Fahmi Huwaydi, op. cit., h. 198-200. Lihat juga al-Mustasyar Thariq al-Basyari, Al-Malamih al-‘Ammah li al-Fikr al-Siyasi al-Islami fi al-Tarikh al-Ma’ashir, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1968). ‘Abd al-Razaq Ahmad al-Syahwari, Fiqh al-Khilafah wa Tathawwaruh, (Kairo: Al-Haiah al-Mishiriyyah al-‘Ammah, 1993). Fahmi Huwaydi, Al-Qur’an wa al-Sulthan, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1999)
[23] Lenih lanjut lihat Bassam Tibi,op. cit., h.314
[24] Muhammad Natsir, Capita Selekta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 452
[25] Syafi’I Ma’arif, Islam dan masalah kenegaraan; Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 130
[26] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1999), h. 172
[27] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Demokrasi dalam Frans Magis suseno, dkk, Agama dan Demokrasi, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1992), h.43
[28] Sebagaimana yang dikemukakan Teuku May Rudi, Politik Islam dalam Pemerintahan Demokrasi. Lebih jelasnya lihat Abu Zahra (ed) Politik Demi Tuhan; Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung Pustaka Hidayah, 1999), h.361

Tidak ada komentar:

Posting Komentar