Pendahuluan
Memasuki abad ke-21 kesadaran global tentang
perlindungan dan pemajuan HAM untuk menempatkan manusia sebagai titik sentral
pembangunan (human centred development) tampak semakin jelas. Kesadaran
global akan pentingnya HAM telah dirasakan cukup lama, yakni sejak Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 10 Desember 1948 yang melahirkan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang disingkat DUHAM (Universal Declaration of
Human Rights) dengan tujuan meningkatkan martabat dan kesejahteraan
manusia.
DUHAM itu terdiri dari 30 pasal yang intinya
mengandung 3 kelompok hak pokok. Pertama, hak hidup, hak untuk hidup bebas dari
perhambaan, hak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, hak
atas peradilan yang fair, dan hak atas bantuan hukum. Kedua, hak-hak
politik yang meliputi hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berpendapat, hak untuk
berorganisasi, hak untuk turut serta
dalam pemerintahan, hak untuk turut serta dalam pemilihan yang bebas, dan
sebagainya. Ketiga, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang mencakup
hak atas jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak atas pengupahan yang adil, hak
atas istirahat dan cuti liburan, hak untuk memasuki serikat pekerja, hak atas
tingkat hidup yang menjamin kesehatan, hak atas pengajaran, dan hak untuk turut
serta dalam hidup kebudayaan masyarakat.
Perhatian PBB
terhadap kemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental sebagai tertuang dalam DUHAM dilandasi oleh dua pertimbangan
strategis. Pertama, kesadaran komunitas internasional bahwa pengakuan
terhadap martabat yang melekat dan hak-hak yang sederajat dan tidak terpisahkan
dari semua anggota umat manusia adalah dasar dari kebebasan, keadilan, dan
perdamaian di dunia. Kedua, ikrar
negara-negara anggota PBB untuk memajukan penghormatan dan pematuhan hak-hak
asasi manusia dan kebebasan-kebebasan secara universal melalui kerjasama dengan
PBB.
Komitmen Indonesia
Sebagai anggota PBB, Indonesia mempunyai tanggung
jawab untuk menghormati ketentuan yang tercantum dalam deklarasi tersebut.
Untuk itu, pemerintah melalui TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang HAM telah
merumuskan Piagam Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.
Dalam ketetapan MPR dimaksud dinyatakan bahwa hak
asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara
kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak
tersebut meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak
kesejahteraan. Semua hak yang disebutkan
itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun dan dalam kondisi apapun.
Di samping itu, manusia juga mempunyai hak dan
tanggung jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan kehidupannya dalam
masyarakat. TAP MPR tersebut juga menjelaskan bahwa hak-hak asasi manusia (HAM)
bukanlah hak yang diberikan oleh negara atau masyarakat, melainkan hak-hak
yang melekat pada diri seseorang karena
ia manusia. HAM lahir bersama manusia untuk menjadikan manusia bermartabat.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional, jauh sebelum DUHAM telah dengan tegas menyatakan komitmennya
terhadap perlindungan dan pemajuan HAM sebagaimana dinyatakan dalam Mukaddimah
UUD 1945: "Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Akan tetapi, sangat disayangkan komitmen itu tidak
terimplementasikan secara baik dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Buktinya, setelah 54 tahun merdeka
barulah Indonesia memiliki Undang-Undang tentang HAM, yaitu Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal. Pengaturan mengenai HAM
dalam undang-undang tersebut didasarkan pada sejumlah instrumen HAM
internasional, seperti DUHAM, Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak, dan
berbagai instrumen HAM internasional lainnya. Selain itu, materi
undang-undangnya pun disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan
pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Undang-Undang ini secara rinci mengatur tentang hak
untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri,
hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan,
hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Selain tentang
hak-hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar manusia, kewajiban
dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan HAM, serta fungsi dan tugas
Komnas HAM. Undang-undang itu juga merupakan payung dari seluruh peraturan
perundang-undangan tentang HAM. Oleh karena itu, pelanggaran HAM secara
langsung atau tidak langsung, dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau
administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bertolak dari kesadaran itulah GBHN Tahun 1999
menjelaskan bahwa salah satu misi Pembangunan Nasional adalah "perwujudan
sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi
manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran." Dari sini terbaca keinginan kuat pemerintah
pada upaya penegakan, perlindungan, dan pemajuan HAM.
Tekad itu kemudian direalisasikan dalam bentuk Keppres
No. 134 Tahun 1999 tentang pembentukan Kantor Menteri Negara HAM dengan empat
tugas pokok sebagai berikut: 1) merumuskan kebijakan dalam bidang HAM, 2)
melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam upaya perlindungan dan
pemajuan HAM, 3) mendorong peran serta masyarakat seluas-luasnya dalam
perlindungan dan pemajuan HAM, dan 4) memberikan berbagai rekomendasi
kebijakan, saran, dan pertimbangan pemerintah, khususnya presiden untuk
mengambil langkah-langkah kebijakan yang dianggap perlu dalam menjalankan
fungsi negara sebagai penjamin pelaksanaan HAM bagi setiap warga negara. Di
bawah koordinasi Kantor Menteri Negara Urusan HAM, Indonesia mengemban tanggung
jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan DUHAM serta
berbagai instrumen internasional lainnya mengenai HAM yang telah diterima oleh
negara Republik Indonesia.
Penguatan Hak-Hak Perempuan
Posisi dan kedudukan perempuan yang masih subordinatif
dan belum setara sebagaimana dinyatakan dalam GBHN itu muncul karena berbagai
faktor, di antaranya faktor budaya, keterbelakangan pendidikan, penafsiran
nilai-nilai agama yang bias jender, dan hegemoni negara yang begitu dominan.
Seluruh elemen pembentuk kebudayaan kita memiliki watak yang memihak pada atau
didominasi oleh laki-laki. Hal yang kedua, yakni interpretasi terhadap ajaran
agama manapun sangat didominasi oleh interpretasi yang bias jender dan bias
nilai-nilai patriarkat.
Untuk keluar dari kondisi yang timpang ini harus ada
upaya counter hegemony (hegemoni tandingan) dan counter ideology
(ideologi tandingan). Counter ideology dilakukan dengan membongkar
seluruh akar budaya, termasuk akar-akar teologis, yang menjadi alat legitimasi
untuk mengesahkan dominasi laki-laki atas perempuan, dominasi masyarakat
terhadap perempuan, dominasi negara terhadap perempuan, dan dominasi agama
terhadap perempuan. Kaum perempuan menghadapi lawan yang sangat banyak sehingga
dalam satu jurus perempuan harus melawan empat jenis dominasi sekaligus, yakni
dominasi laki-laki, dominasi masyarakat, dominasi negara, serta dominasi agama.
Tentu saja ini tugas yang sangat berat.
Selain itu, counter hegemony perlu dilakukan
karena berbagai kebijakan hukum yang ada sangat terbias nilai-nilai patriarkat
dan ideologi jender. Kebijakan negara yang diwarisi secara turun-temurun sejak
masa kolonial, didasarkan pada dua prinsip, yakni prinsip pluralisme hukum dan
prinsip ketidaksetaraan rasial.
Dua prinsip ini yang menjadi landasan utama dan
dihidupkan terus-menerus oleh negara (terutama Orde Baru). Dengan demikian,
persoalan diskriminasi yang dihadapi kaum perempuan bukan hanya
persoalan-persoalan yang bersifat permukaan, melainkan sangat mendalam, yakni merupakan
persoalan struktural. Struktur budaya telah memberikan landasan pembenaran
terhadap dominasi keempat elemen struktural di atas: laki-laki, masyarakat,
negara, dan agama terhadap perempuan.
DUHAM secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang
berhak atas hak-hak asasi dan kebebasannya tanpa perbedaan ras dan jenis
kelamin. Artinya, secara normatif DUHAM tidak membedakan antara laki-laki dan
perempuan, sebagai manusia keduanya memiliki hak-hak asasi yang sama. Namun,
dalam realitas banyak dijumpai pelanggaran terhadap hak perempuan berupa
eksploitasi, diskriminasi, dan berbagai bentuk kekerasan.
Bahkan, walaupun telah ada Konvensi PBB mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (1979), tetap saja berlangsung berbagai bentuk
perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, seperti perkosaan,
pelecehan seksual, penyiksaan dan perusakan alat reproduksi, pornografi,
pelacuran paksa, perdagangan perempuan, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya,
baik yang terjadi di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan
terhadap perempuan telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan serta
menghambat kemajuan mereka.
Sebagai manusia, perempuan mendambakan perlakuan yang
adil dari sesamanya serta terbebaskan dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan
oleh siapapun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun. Meresponi kondisi buruk
tersebut, kelompok pembela perempuan menyerukan dalam berbagai pertemuan
internasional untuk segera mengambil langkah-langkah pencegahan.
Hasilnya, muncul sejumlah konvensi mengenai
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, yakni Konvensi tentang pengupahan
yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang sama nilainya
(1951), Konvensi Hak Politik Perempuan (1953), Konvensi Anti Diskriminasi Dalam
Pendidikan (1960), dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (1979). Terakhir, dalam Konferensi HAM PBB di Wina tahun 1993
dinyatakan bahwa Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia (Women`s
Rights are Human Rights).
Deklarasi dan Program Aksi konferensi ini menegaskan 3
butir penting: 1) Penegasan bahwa Hak Asasi Perempuan dan Anak Perempuan adalah
bagian yang tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara menyeluruh; 2)
Penegasan akan perlunya partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam
seluruh aspek kehidupan: politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada
tingkat nasional, regional, dan internasional; serta penghapusan segala bentuk
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin merupakan tujuan utama masyarakat
sedunia; dan 3) Penegasan bahwa kekerasan berbasis jender dengan segala
bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia dan karenanya
harus dihapuskan.
Bagi Indonesia tidak ada alasan untuk tidak
melaksanakan isi Deklarasi dan program aksi tersebut karena penegasan Hak
Asasi Perempuan sebagai tercantum dalam Deklarasi Wina sejalan dengan
ideologi Pancasila, khususnya sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Adapun
landasan konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 yang
menjamin persamaan kedudukan dan hak bagi warga negara -laki-laki dan
perempuan- baik di depan hukum pemerintahan maupun atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Selain itu, secara hukum perundang-undangan nasional
mengakui hal tersebut dalam Undang-Undang No. 68 tahun 1958 tentang pengesahan
Konvensi Hak Politik Perempuan 1953, dan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
1979, serta terikat pada DUHAM.
Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas,
pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali, termasuk para
pengelola P2W ini, secara bersama-sama
berkewajiban untuk proaktif mensosialisasikan pengertian bahwa hak-hak
perempuan tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia, dan selanjutnya
bersama-sama mewujudkan dan menerapkan ketentuan-ketentuan tentang Hak Asasi
Perempuan.
Mengapa perlu penekanan perlindungan HAM terhadap perempuan
? Karena fakta membuktikan bahwa di masyarakat manapun kaum perempuan cenderung
selalu menjadi kelompok yang terabaikan hak-haknya. Sebagai contoh, tenaga
kerja perempuan. Pelanggaran hak-hak tenaga kerja perempuan secara transparan
dapat dilihat dalam bentuk: upah yang rendah untuk jenis dan volume pekerjaan
yang sama dengan kaum laki-laki; tunjangan kesejahteraan, lama waktu pensiun,
dan pengabaian hak-hak reproduksi mereka.
Contoh lain yang lebih transparan adalah kasus
kekerasan terhadap perempuan. Menteri Pemberdayaan Perempuan baru-baru ini
melaporkan tingginya tingkat intensitas kekerasan pada perempuan Indonesia.
Dari penduduk Indonesia yang berjumlah 217 juta, 11,4 % di antaranya atau
sekitar 24 juta perempuan, terutama di pedesaan, mengaku pernah mengalami
tindak kekerasan. Sebagian besar kekerasan domestik, seperti penganiayaan,
perkosaan, pelecehan, atau suami berselingkuh. Kasus perkosaan di
Indonesia dilaporkan terjadi setiap lima
jam.
Untuk itu, arah kebijakan pembangunan nasional, khususnya
menyangkut kedudukan dan peranan perempuan, mengacu pada dua hal pokok sebagai
berikut. Pertama, meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh
lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender. Kedua,
meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap
mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan, serta nilai historis perjuangan
kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta
kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Tampaknya, ada dua komponen yang menjadi sasaran utama
dari program nasional pemberdayaan
perempuan, yaitu kaum perempuan sendiri selaku subyek, dan organisasi
perempuan sebagai wadah mereka berkiprah di lingkungan masyarakatnya.
Penutup
Perempuan Indonesia yang saat ini jumlahnya lebih dari
100 juta jiwa memiliki potensi besar dan tanggung jawab tinggi dalam
pembangunan nasional. Mengabaikan dan memarginalkan mereka dalam proses
pembangunan bangsa merupakan kesalahan terbesar dalam sejarah kemanusiaan.
Perempuan Indonesia harus diberdayakan, antara lain dengan menyadarkan akan
hak-hak mereka dan potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut
sehingga mereka dapat berpartisipasi aktif membangun masyarakat dan bangsa
menuju terciptanya tatanan negara yang adil, damai, dan demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar