Minggu, 10 Desember 2017

Penegakan Demokrasi dan Penguatan Hak Asasi Perempuan



Pendahuluan

Memasuki abad ke-21 kesadaran global tentang perlindungan dan pemajuan HAM untuk menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development) tampak semakin jelas. Kesadaran global akan pentingnya HAM telah dirasakan cukup lama, yakni sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 10 Desember 1948 yang melahirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disingkat DUHAM (Universal Declaration of Human Rights) dengan tujuan meningkatkan martabat dan kesejahteraan manusia.

DUHAM itu terdiri dari 30 pasal yang intinya mengandung 3 kelompok hak pokok. Pertama,  hak hidup, hak untuk hidup bebas dari perhambaan, hak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, hak atas peradilan yang fair, dan hak atas bantuan hukum. Kedua, hak-hak politik yang meliputi hak atas kebebasan berkumpul,  hak atas kebebasan berpendapat, hak untuk berorganisasi,  hak untuk turut serta dalam pemerintahan, hak untuk turut serta dalam pemilihan yang bebas, dan sebagainya. Ketiga, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang mencakup hak atas jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak atas pengupahan yang adil, hak atas istirahat dan cuti liburan, hak untuk memasuki serikat pekerja, hak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan, hak atas pengajaran, dan hak untuk turut serta dalam hidup kebudayaan masyarakat.

Perhatian  PBB terhadap kemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagai tertuang dalam DUHAM dilandasi oleh dua pertimbangan strategis. Pertama, kesadaran komunitas internasional bahwa pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak-hak yang sederajat dan tidak terpisahkan dari semua anggota umat manusia adalah dasar dari kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia. Kedua,  ikrar negara-negara anggota PBB untuk memajukan penghormatan dan pematuhan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan secara universal melalui kerjasama dengan PBB.

Komitmen Indonesia
Sebagai anggota PBB, Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan yang tercantum dalam deklarasi tersebut. Untuk itu, pemerintah melalui TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang HAM telah merumuskan Piagam Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.

Dalam ketetapan MPR dimaksud dinyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan.  Semua hak yang disebutkan itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun dan dalam kondisi apapun.

Di samping itu, manusia juga mempunyai hak dan tanggung jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan kehidupannya dalam masyarakat. TAP MPR tersebut juga menjelaskan bahwa hak-hak asasi manusia (HAM) bukanlah hak yang diberikan oleh negara atau masyarakat, melainkan hak-hak yang  melekat pada diri seseorang karena ia manusia. HAM lahir bersama manusia untuk menjadikan manusia bermartabat.

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, jauh sebelum DUHAM telah dengan tegas menyatakan komitmennya terhadap perlindungan dan pemajuan HAM sebagaimana dinyatakan dalam Mukaddimah UUD 1945: "Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Akan tetapi, sangat disayangkan komitmen itu tidak terimplementasikan  secara baik dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Buktinya, setelah 54 tahun merdeka barulah Indonesia memiliki Undang-Undang tentang HAM, yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal. Pengaturan mengenai HAM dalam undang-undang tersebut didasarkan pada sejumlah instrumen HAM internasional, seperti DUHAM, Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak, dan berbagai instrumen HAM internasional lainnya. Selain itu, materi undang-undangnya pun disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Undang-Undang ini secara rinci mengatur tentang hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi,  hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Selain tentang hak-hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan HAM, serta fungsi dan tugas Komnas HAM. Undang-undang itu juga merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang HAM. Oleh karena itu, pelanggaran HAM secara langsung atau tidak langsung, dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bertolak dari kesadaran itulah GBHN Tahun 1999 menjelaskan bahwa salah satu misi Pembangunan Nasional adalah "perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran."  Dari sini terbaca keinginan kuat pemerintah pada upaya penegakan, perlindungan, dan pemajuan HAM.

Tekad itu kemudian direalisasikan dalam bentuk Keppres No. 134 Tahun 1999 tentang pembentukan Kantor Menteri Negara HAM dengan empat tugas pokok sebagai berikut: 1) merumuskan kebijakan dalam bidang HAM, 2) melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam upaya perlindungan dan pemajuan HAM, 3) mendorong peran serta masyarakat seluas-luasnya dalam perlindungan dan pemajuan HAM, dan 4) memberikan berbagai rekomendasi kebijakan, saran, dan pertimbangan pemerintah, khususnya presiden untuk mengambil langkah-langkah kebijakan yang dianggap perlu dalam menjalankan fungsi negara sebagai penjamin pelaksanaan HAM bagi setiap warga negara. Di bawah koordinasi Kantor Menteri Negara Urusan HAM, Indonesia mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan DUHAM serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai HAM yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Penguatan Hak-Hak Perempuan

Posisi dan kedudukan perempuan yang masih subordinatif dan belum setara sebagaimana dinyatakan dalam GBHN itu muncul karena berbagai faktor, di antaranya faktor budaya, keterbelakangan pendidikan, penafsiran nilai-nilai agama yang bias jender, dan hegemoni negara yang begitu dominan. Seluruh elemen pembentuk kebudayaan kita memiliki watak yang memihak pada atau didominasi oleh laki-laki. Hal yang kedua, yakni interpretasi terhadap ajaran agama manapun sangat didominasi oleh interpretasi yang bias jender dan bias nilai-nilai patriarkat.

Untuk keluar dari kondisi yang timpang ini harus ada upaya counter hegemony (hegemoni tandingan) dan counter ideology (ideologi tandingan). Counter ideology dilakukan dengan membongkar seluruh akar budaya, termasuk akar-akar teologis, yang menjadi alat legitimasi untuk mengesahkan dominasi laki-laki atas perempuan, dominasi masyarakat terhadap perempuan, dominasi negara terhadap perempuan, dan dominasi agama terhadap perempuan. Kaum perempuan menghadapi lawan yang sangat banyak sehingga dalam satu jurus perempuan harus melawan empat jenis dominasi sekaligus, yakni dominasi laki-laki, dominasi masyarakat, dominasi negara, serta dominasi agama. Tentu saja ini tugas yang sangat berat.

Selain itu, counter hegemony perlu dilakukan karena berbagai kebijakan hukum yang ada sangat terbias nilai-nilai patriarkat dan ideologi jender. Kebijakan negara yang diwarisi secara turun-temurun sejak masa kolonial, didasarkan pada dua prinsip, yakni prinsip pluralisme hukum dan prinsip ketidaksetaraan rasial.

Dua prinsip ini yang menjadi landasan utama dan dihidupkan terus-menerus oleh negara (terutama Orde Baru). Dengan demikian, persoalan diskriminasi yang dihadapi kaum perempuan bukan hanya persoalan-persoalan yang bersifat permukaan, melainkan sangat mendalam, yakni merupakan persoalan struktural. Struktur budaya telah memberikan landasan pembenaran terhadap dominasi keempat elemen struktural di atas: laki-laki, masyarakat, negara, dan agama terhadap perempuan.

DUHAM secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas hak-hak asasi dan kebebasannya tanpa perbedaan ras dan jenis kelamin. Artinya, secara normatif DUHAM tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, sebagai manusia keduanya memiliki hak-hak asasi yang sama. Namun, dalam realitas banyak dijumpai pelanggaran terhadap hak perempuan berupa eksploitasi, diskriminasi, dan berbagai bentuk kekerasan.

Bahkan, walaupun telah ada Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (1979),  tetap saja berlangsung berbagai bentuk perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, seperti perkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan dan perusakan alat reproduksi, pornografi, pelacuran paksa, perdagangan perempuan, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, baik yang terjadi di lingkungan keluarga maupun di masyarakat.  Berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan serta menghambat kemajuan mereka.

Sebagai manusia, perempuan mendambakan perlakuan yang adil dari sesamanya serta terbebaskan dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan oleh siapapun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun. Meresponi kondisi buruk tersebut, kelompok pembela perempuan menyerukan dalam berbagai pertemuan internasional untuk segera mengambil langkah-langkah pencegahan.

Hasilnya, muncul sejumlah konvensi mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, yakni Konvensi tentang pengupahan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang sama nilainya (1951), Konvensi Hak Politik Perempuan (1953), Konvensi Anti Diskriminasi Dalam Pendidikan (1960), dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (1979). Terakhir, dalam Konferensi HAM PBB di Wina tahun 1993 dinyatakan bahwa Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia (Women`s Rights are Human Rights).

Deklarasi dan Program Aksi konferensi ini menegaskan 3 butir penting: 1) Penegasan bahwa Hak Asasi Perempuan dan Anak Perempuan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara menyeluruh; 2) Penegasan akan perlunya partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan: politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional, dan internasional; serta penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin merupakan tujuan utama masyarakat sedunia; dan 3) Penegasan bahwa kekerasan berbasis jender dengan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia dan karenanya harus dihapuskan.

Bagi Indonesia tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan isi Deklarasi dan program aksi tersebut karena penegasan Hak Asasi Perempuan sebagai tercantum dalam Deklarasi Wina sejalan dengan ideologi Pancasila, khususnya sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Adapun landasan konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 yang menjamin persamaan kedudukan dan hak bagi warga negara -laki-laki dan perempuan- baik di depan hukum pemerintahan maupun atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Selain itu, secara hukum perundang-undangan nasional mengakui hal tersebut dalam Undang-Undang No. 68 tahun 1958 tentang pengesahan Konvensi Hak Politik Perempuan 1953, dan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, 1979, serta terikat pada DUHAM.

Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali, termasuk para pengelola P2W ini, secara bersama-sama  berkewajiban untuk proaktif mensosialisasikan pengertian bahwa hak-hak perempuan tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia, dan selanjutnya bersama-sama mewujudkan dan menerapkan ketentuan-ketentuan tentang Hak Asasi Perempuan.

Mengapa perlu penekanan perlindungan HAM terhadap perempuan ? Karena fakta membuktikan bahwa di masyarakat manapun kaum perempuan cenderung selalu menjadi kelompok yang terabaikan hak-haknya. Sebagai contoh, tenaga kerja perempuan. Pelanggaran hak-hak tenaga kerja perempuan secara transparan dapat dilihat dalam bentuk: upah yang rendah untuk jenis dan volume pekerjaan yang sama dengan kaum laki-laki; tunjangan kesejahteraan, lama waktu pensiun, dan pengabaian hak-hak reproduksi mereka.

Contoh lain yang lebih transparan adalah kasus kekerasan terhadap perempuan. Menteri Pemberdayaan Perempuan baru-baru ini melaporkan tingginya tingkat intensitas kekerasan pada perempuan Indonesia. Dari penduduk Indonesia yang berjumlah 217 juta, 11,4 % di antaranya atau sekitar 24 juta perempuan, terutama di pedesaan, mengaku pernah mengalami tindak kekerasan. Sebagian besar kekerasan domestik, seperti penganiayaan, perkosaan, pelecehan, atau suami berselingkuh. Kasus perkosaan di Indonesia  dilaporkan terjadi setiap lima jam.

Untuk itu, arah kebijakan pembangunan nasional, khususnya menyangkut kedudukan dan peranan perempuan, mengacu pada dua hal pokok sebagai berikut. Pertama, meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender. Kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan, serta nilai historis perjuangan kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

Tampaknya, ada dua komponen yang menjadi sasaran utama dari program  nasional pemberdayaan perempuan, yaitu kaum perempuan sendiri selaku subyek, dan organisasi perempuan sebagai wadah mereka berkiprah di lingkungan masyarakatnya.

Penutup

Perempuan Indonesia yang saat ini jumlahnya lebih dari 100 juta jiwa memiliki potensi besar dan tanggung jawab tinggi dalam pembangunan nasional. Mengabaikan dan memarginalkan mereka dalam proses pembangunan bangsa merupakan kesalahan terbesar dalam sejarah kemanusiaan. Perempuan Indonesia harus diberdayakan, antara lain dengan menyadarkan akan hak-hak mereka dan potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut sehingga mereka dapat berpartisipasi aktif membangun masyarakat dan bangsa menuju terciptanya tatanan negara yang adil, damai, dan demokratis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar