Seksualitas adalah sebuah proses sosial yang menciptakan, mengorganisir, mengekspresikan dan mengarahkan hasrat atau berahi. Atau dapat juga dimaknai sebagai ekspresi hasrat erotik yang dikonstruksikan secara sosial (the socially constructed expression of erotic desire).
Seksualitas manusia cenderung dipahami sebagai “sesuatu yang bekerja secara natural” yang hanya bekerja dengan fungsi reproduksi. Vagina, misalnya hanya dipahami sebagai “organ tindakan seks” atau alat seks yang melakukan reproduksi. Dengan demikian seksualitas perempuan diprediksi sebagai “fenomena natural” yang universal dan tidak dapat diubah.
Sejatinya, seksualitas selalu berkaitan dengan konstruksi sosial. Konstruksi sosial mengenai relasi gender masih sangat timpang. Mengapa? Relasi gender masih didominasi oleh ideologi dan sistem patriarki. Sistem patriarki yang bersifat paternalistik masih membelenggu perempuan.
Sistem patriarki membenarkan laki-laki menguasai, mengontrol kehidupan perempuan dalam seluruh aspeknya: sosial, hukum, politik, moral dan agama. Sistem ini pada ujunganya melahirkan pembagian peran dan posisi yang sangat diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Anehnya, masih banyak yang beranggapan sistem yang timpang itu merupakan takdir Tuhan.
Perasaan seksual manusia mengungkapkan bentuk identitas gendernya. Artinya, seksualitas selalu dilatar-belakangi oleh kekuatan sejarah sosial masyarakat. Seksual tidak semata-mata biologi atau tubuh. Tetapi merupakan kombinasi antara struktur anatomi dan psikologi. Seksualitas perempuan adalah segala sesuatu yang intrinsik tentang tubuh dan kenikmatan seksual perempuan. Karena itu, seksualitas perempuan tidak melulu soal vagina dan payudara, melainkan mencakup seluruh tubuhnya.
Gagasan bahwa seksualitas adalah semata soal tubuh menggiring kepada sikap bahwa perempuan harus bersifat passif dan laki-laki bersifat aktif. Perempuan tidak berhak menikmati seks. Sebab, perempuan seharusnya dinikmati. Seksualitas selalu dipahami dalam konteks maskulinitas. Laki-laki selalu harus dalam posisi subyek. Sebaliknya, perempuan hanyalah obyek, obyek seks. Inilah yang membuat masyarakat menginginkan laki-laki harus agresif dan wajar jika perempuan dijadikan obyek seks, dan pada gilirannya pandangan ini melegitimasi laki-laki melakukan pelecehan, perkosaan dan kekerasan seksual.
Seksualitas perempuan adalah suatu hal yang independen dan menjadi hak perempuan sepenuhnya. Moralitas perempuan tidak dapat dinilai dari seksualitasnya, dan tidak dapat dinilai berdasarkan sudut pandang laki-laki. Ia memiliki keunikan sendiri dan juga normalitas sendiri sebagai individu sebagaimana halnya laki-laki. Akan tetapi, ideologi patriarkal memiliki peran yang menentukan dalam menkonstruksi citra publik tentang tubuh perempuan. Konstruksi patriarki tentang tubuh perempuan telah sedemikian merasuk ke dalam benak masyarakat. Tidak heran jika sudut pandang laki-laki lalu menjadi standar nilai dalam melihat tubuh perempuan. Standar inilah kemudian menjadi acuan menilai tubuh perempuan dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam film.
Setiap manusia punya hak atas tubuhnya. Perempuan mempunyai hak atas tubuhnya sendiri, dia berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, melainkan sesuatu yang positif. Perempuan punya hak untuk mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan bukan sumber dosa dan keonaran sebagaimana sering diungkapkan dalam masyarakat. Pikiran dan pandangan yang kotor tentang tubuh itulah sumber malapetaka yang sesungguhnya. Nilai-nilai moral yang dideskripsikan oleh laki-laki ini sangat timpang karena dibuat berdasarkan asumsi laki-laki.
Penilaian moralitas yang tidak adil ini membawa kepada lahirnya berbagai stereotipe tentang tubuh perempuan. Tubuh perempuan selalu dianggap sebagai penggoda, perusak kesucian laki-laki, pembawa bencana, dan sejumlah stereotipe negatif lainnya. Namun, masyarakat sudah terlanjur memposisikan tubuh perempuan sebagai sumber maksiat. Lahirlah nilai-nilai moralitas yang mendapatkan legitimasi agama. Akibatnya, kebijakan dan hukum yang dibuat pun cenderung berpihak pada laki-laki dan merugikan perempuan. Di antaranya, bahwa tubuh perempuan harus ditutup rapat untuk menghindari perkosaan. Perempuan jangan keluar malam dan jangan berjalan sendirian tanpa kawalan laki-laki terhormat dari kerabat mereka.
Sejumlah pertanyaan muncul: Apakah dengan menutup tubuh perempuan lantas hak-hak mereka terlindungi? Apakah dengan mengeliminasi pornografi dan prostitusi lantas tindakan pelecehan, perkosaan, dan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan menurun? Fakta realitas tidak membenarkan asumsi ini. Yang terjadi bahwa semakin hipokrit masyarakat, semakin tinggi angka kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar