Kamis, 31 Agustus 2017

Perempuan Penjaga Rumah Suci

Musdah Mulia[1]
Wacana feminisme menyimpulkan, perempuan adalah kelompok paling diandalkan dalam soal loyalitas, kesetiaan dan kepatuhan. Perempuan juga adalah kelompok paling mudah percaya dan tunduk pada segala hal benuansa agama. Tidak salah jika disimpulkan, perempuan adalah kelompok paling bersahabat dengan agama meski agama seringkali tidak ramah terhadap mereka.
Lihat saja, hampir semua pengajian dan majlis taklim di Indonesia dipenuhi kaum perempuan. Walaupun, umumnya tafsir dan interpretasi keagamaan yang disampaikan dalam forum tersebut sering diskriminatif terhadap mereka. Akibat pengaruh budaya patriarkal dan nilai-nilai bias gender perempuan dianggap lemah dan tidak berdaya sehingga ruang geraknya dibatasi hanya di lingkungan domestik.
Namun, pengalaman saya mengunjungi tiga rumah ibadah di Wuppertal, Jerman mengubah gambaran “miring” tentang perempuan. Aktivitas penuh perempuan dalam gerakan keagamaan, terutama dalam program dialog agama menjadikan rumah ibadah yang biasanya sangat eksklusif menjadi rumah suci yang inklusif, ramah terhadap semua golongan dan funsional bagi upaya-upaya kemanusiaan. Perempuan justru lebih mengedepankan tujuan hakiki semua agama, yaitu memanusiakan manusia. Agama harus menjadikan umat manusia menjadi lebih damai sejahtera dan bahagia, bukan sebaliknya.

Pengalaman unik ini saya temukan ketika menghadiri Konferensi Internasional tentang Perdamaian bertema: Peace among the People: Interreligious Action for Peace and Inclusive Communities di Wuppertal, Jerman, diadakan oleh UEM (United Evangelical Mission). Lokasi kegiatan berada di atas bukit, dikenal dengan The Holy Mount. Acara utama berlangsung 14-17 Juli 2017, dan kunjungan ke rumah-rumah ibadah merupakan prolog konferensi. Peserta lebih dari 100 orang mewakili berbagai agama dan datang dari mancanegara. Dari Indonesia hadir Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia, wakil Islam, Hindu dan Budha.

Sebagian peserta berfose di depan Gedung UEM

Rumah ibadah pertama kami kunjungi adalah sebuah Sinagog di HaKochaw, Unna. Berbeda dengan rumah ibadah Yahudi lainnya, Sinagog dipimpin oleh perempuan bernama Dr. Alexandra Khariakova, asal Ukraina, dulu bagian dari Uni Soviet. Selain itu, ritual keagamaan dipimpin oleh beberapa orang Rabbi (istilah pemimpin agama dalam Yahudi), dua di antaranya adalah perempuan.

Bersama Ketum PGI di Altar Sinagog

Ini pertama kali saya bertemu Rabbi perempuan. Keduanya bernama Natalia Verzhbovska dan Irith Michelson. Menurut mereka, di seluruh Jerman telah ada 7 perempuan Rabbi. Sebuah progres yang masih harus diperjuangkan oleh komunitas Yahudi di tempat lain, termasuk di tempat lahirnya sendiri, Palestina.

Tentu saja keberadaan Rabbi perempuan dalam Sinagog bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, melainkan hasil perjuangan sangat panjang, khususnya para perempuan Yahudi. Mereka selama ini mengalami banyak perlakuan diskriminatif dari Sinagog. Pantaslah mereka bertekad mendirikan Sinagog sendiri yang melayani semua manusia, mengedepankan nilai-nilai persamaan, keterbukaan dan aktif melakukan dialog agama demi membangun perdamaian.

Rabbi perempuan yang energik dan sukses

Di samping Sinagog terdapat monumen Stumbling Stones, sebuah tempat penyelamatan orang-orang Yahudi yang mengingatkan kita pada kekejaman Nazi terhadap kaum Yahudi selama Perang Dunia seperti yg terjadi di Auschwitz, Polandia. Menarik dicatat, bahwa di Jerman semua perilaku kekejaman Nazi didokumentasikan dengan baik agar menjadi peringatan bagi generasi berikut sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama. Never again!!!

Stumbling Stones kini berubah menjadi tempat penampungan para lansia. Orang-orang jompo dari berbagai agama di Jerman dirawat dan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi di tempat ini. Rumah masa depan buat para manula, demikian komentar kami semua.
Kunjungan kedua, ke Petershof, sebuah gereja Roman Katholik di Duisburg Marxloh. Seperti Sinagog tadi, gereja ini juga dipimpin oleh seorang perempuan, Suster Ursula. Gereja ini pun sangat terbuka melayani sesama manusia tanpa sekat agama dan etnis, khususnya kelompok rentan, termasuk para pengungsi dan pencari kerja dari luar Jerman. Aktivitas Gereja, antara lain konseling, pembagian makanan, kursus ketrampilan, konsultasi kerja, dan layanan kesehatan. Berbagai kegiatan dialog agama diselenggarakan dalam gereja ini untuk memelihara keharmonisan dan perdamaian di antara sesama warga yang sangat hetrogen di wilayah itu.
Sambutan dalam Gereja Petershof



Lambang Gereja

Terakhir, kunjungan  ke Merkez-Mosque (sebuah Mesjid terbesar yang dikelola oleh para pendatang asal Turki), lokasinya berdekatan dengan Gereja tadi. Menarik dicatat bahwa  wilayah Marxloh dihuni 70% penduduk non-Jerman. Umumnya berasal dari Turki dan negara-negara Balkan (bekas Uni Soviet). Keunikan mesjid ini lagi-lagi karena dipimpin oleh perempuan, bernama Asma Pinar. Dia dibantu oleh sejumlah tenaga voluntir yang terdiri dari kaum muda, laki-laki dan perempuan. Mereka semua terlihat ramah dan santun.


Mesjid ini pun sangat terbuka dengan aktivitas “interfaith dialogue”. Kalau di mesjid lain sulit menerima kunjungan non-Muslim, di sini semua orang diterima dengan ramah dan kapan pun mereka dapat masuk ke dalam Mesjid. Bahkan, para perempuan tidak harus berkerudung untuk dapat beraktivitas di dalamnya. Seperti halnya Sinagog dan Gereja tadi, Mesjid ini pun bukan diperuntukkan hanya untuk kegiatan ritual, seperti shalat, tapi juga berbagai aktivitas sosial lain, seperti kegiatan pendidikan, layanan kesehatan, konseling dan pembagian makanan pada hari-hari tertentu.
Kunjungan pada tiga rumah suci dalam agama Abrahamic tersebut menyimpulkan bahwa perempuan dapat menjadi aktor utama dalam gerakan keagamaan. Persepsi bahwa agama harus bersipat maskulin agaknya perlu dipikirkan ulang. Ada kesan yang kuat bahwa sebagai pemimpin agama, perempuan lebih mengedepankan sifat-sifat feminin mereka yang membuat suasana dan aktifivitas keagamaan terasa lebih sejuk, lebih dingin dan lebih menyentuh rasa kemanusiaan.
Para perempuan dengan sifat keibuan yang penuh welas-asih dan kasih-sayang menjadikan aktivitas dialog agama berjalan  harmoni penuh kedamaian. Semua sekat perbedaan di antara kami hilang melebur dalam satu komitmen suci agama, yakni menghormati sesama manusia sebagai bentuk penghormatan terhadap Sang Khalik, Pencipta semua manusia.
Konferensi ini juga menggariskan hal penting bahwa damai bukan semata berarti ketiadaan perang atau tiadanya kekerasan fisik, tetapi juga penghapusan situasi-situasi yang memungkinkan kekerasan seperti ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran ataupun intoleransi. Karena itu, damai haruslah dibangun dan diperjuangkan oleh semua elemen dalam masyarakat tanpa kecuali.
Damai yang menjadi tujuan semua agama adalah serangkaian nilai, sikap, moda perilaku dan pandangan hidup yang menghormati hak asasi manusia dan mempromosikan kesetaraan serta menolak semua bentuk kekerasan, termasuk di lingkungan rumah tangga. Karena itu, budaya damai mengusung prinsip keadilan, kesetaraan, demokrasi, toleransi, solidaritas, kooperasi dan pluralisme.
Akhirnya, saya berkesimpulan, dalam aktivitas agama sangat perlu ditumbuhkan sebuah prinsip saling menghargai, saling menghormati dan saling melindungi. Prinsip itulah yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tercinta Indonesia. Prinsip menghargai kemajemukan dan kebhinnekaan merupakan tulang punggung demokrasi dan masyarakat madani (civil society). Prinsip itulah yang diterapkan oleh para pendiri bangsa ini ketika merumuskan ideologi negara, Pancasila.










[1] Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace) dapat dihubungi via m-mulia@indo.net.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar