Musdah
Mulia[1]
Wacana feminisme menyimpulkan,
perempuan adalah kelompok paling diandalkan dalam soal loyalitas, kesetiaan dan
kepatuhan. Perempuan juga adalah kelompok paling mudah percaya dan tunduk pada
segala hal benuansa agama. Tidak salah jika disimpulkan, perempuan adalah
kelompok paling bersahabat dengan agama meski agama seringkali tidak ramah
terhadap mereka.
Lihat saja, hampir semua pengajian
dan majlis taklim di Indonesia dipenuhi kaum perempuan. Walaupun, umumnya
tafsir dan interpretasi keagamaan yang disampaikan dalam forum tersebut sering diskriminatif
terhadap mereka. Akibat pengaruh budaya patriarkal dan nilai-nilai bias gender perempuan
dianggap lemah dan tidak berdaya sehingga ruang geraknya dibatasi hanya di
lingkungan domestik.
Namun, pengalaman saya mengunjungi
tiga rumah ibadah di Wuppertal, Jerman mengubah gambaran “miring” tentang
perempuan. Aktivitas penuh perempuan dalam gerakan keagamaan, terutama dalam
program dialog agama menjadikan rumah ibadah yang biasanya sangat eksklusif
menjadi rumah suci yang inklusif, ramah terhadap semua golongan dan funsional
bagi upaya-upaya kemanusiaan. Perempuan justru lebih mengedepankan tujuan
hakiki semua agama, yaitu memanusiakan manusia. Agama harus menjadikan umat
manusia menjadi lebih damai sejahtera dan bahagia, bukan sebaliknya.
Pengalaman unik ini saya temukan ketika menghadiri Konferensi Internasional tentang Perdamaian bertema: Peace among the People: Interreligious Action for Peace and Inclusive Communities di Wuppertal, Jerman, diadakan oleh UEM (United Evangelical Mission). Lokasi kegiatan berada di atas bukit, dikenal dengan The Holy Mount. Acara utama berlangsung 14-17 Juli 2017, dan kunjungan ke rumah-rumah ibadah merupakan prolog konferensi. Peserta lebih dari 100 orang mewakili berbagai agama dan datang dari mancanegara. Dari Indonesia hadir Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia, wakil Islam, Hindu dan Budha.
Sebagian peserta berfose di depan Gedung UEM |
Rumah
ibadah pertama kami kunjungi adalah sebuah Sinagog di HaKochaw, Unna. Berbeda
dengan rumah ibadah Yahudi lainnya, Sinagog dipimpin oleh perempuan bernama Dr.
Alexandra Khariakova, asal Ukraina, dulu bagian dari Uni Soviet. Selain itu,
ritual keagamaan dipimpin oleh beberapa orang Rabbi (istilah pemimpin agama
dalam Yahudi), dua di antaranya adalah perempuan.
Bersama Ketum PGI di Altar Sinagog |
Ini
pertama kali saya bertemu Rabbi perempuan. Keduanya bernama Natalia Verzhbovska
dan Irith Michelson. Menurut mereka, di seluruh Jerman telah ada 7 perempuan
Rabbi. Sebuah progres yang masih harus diperjuangkan oleh komunitas Yahudi di
tempat lain, termasuk di tempat lahirnya sendiri, Palestina.
Tentu saja keberadaan Rabbi perempuan dalam Sinagog bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, melainkan hasil perjuangan sangat panjang, khususnya para perempuan Yahudi. Mereka selama ini mengalami banyak perlakuan diskriminatif dari Sinagog. Pantaslah mereka bertekad mendirikan Sinagog sendiri yang melayani semua manusia, mengedepankan nilai-nilai persamaan, keterbukaan dan aktif melakukan dialog agama demi membangun perdamaian.
Rabbi perempuan yang energik dan sukses |
Di samping
Sinagog terdapat monumen Stumbling Stones, sebuah tempat penyelamatan
orang-orang Yahudi yang mengingatkan kita pada kekejaman Nazi terhadap kaum
Yahudi selama Perang Dunia seperti yg terjadi di Auschwitz, Polandia. Menarik
dicatat, bahwa di Jerman semua perilaku kekejaman Nazi didokumentasikan dengan
baik agar menjadi peringatan bagi generasi berikut sehingga tidak melakukan
kesalahan yang sama. Never again!!!
Stumbling
Stones kini berubah menjadi tempat penampungan para lansia. Orang-orang jompo
dari berbagai agama di Jerman dirawat dan diperlakukan secara terhormat dan
manusiawi di tempat ini. Rumah masa depan buat para manula, demikian komentar
kami semua.
Kunjungan
kedua, ke Petershof, sebuah gereja Roman Katholik di Duisburg Marxloh. Seperti
Sinagog tadi, gereja ini juga dipimpin oleh seorang perempuan, Suster Ursula.
Gereja ini pun sangat terbuka melayani sesama manusia tanpa sekat agama dan
etnis, khususnya kelompok rentan, termasuk para pengungsi dan pencari kerja
dari luar Jerman. Aktivitas Gereja, antara lain konseling, pembagian makanan,
kursus ketrampilan, konsultasi kerja, dan layanan kesehatan. Berbagai kegiatan
dialog agama diselenggarakan dalam gereja ini untuk memelihara keharmonisan dan
perdamaian di antara sesama warga yang sangat hetrogen di wilayah itu.
Sambutan dalam Gereja Petershof
Lambang Gereja |
Terakhir,
kunjungan ke Merkez-Mosque (sebuah Mesjid
terbesar yang dikelola oleh para pendatang asal Turki), lokasinya berdekatan dengan
Gereja tadi. Menarik dicatat bahwa wilayah
Marxloh dihuni 70% penduduk non-Jerman. Umumnya berasal dari Turki dan negara-negara
Balkan (bekas Uni Soviet). Keunikan mesjid ini lagi-lagi karena dipimpin oleh
perempuan, bernama Asma Pinar. Dia dibantu oleh sejumlah tenaga voluntir yang
terdiri dari kaum muda, laki-laki dan perempuan. Mereka semua terlihat ramah
dan santun.
Mesjid
ini pun sangat terbuka dengan aktivitas “interfaith dialogue”. Kalau di mesjid
lain sulit menerima kunjungan non-Muslim, di sini semua orang diterima dengan
ramah dan kapan pun mereka dapat masuk ke dalam Mesjid. Bahkan, para perempuan tidak
harus berkerudung untuk dapat beraktivitas di dalamnya. Seperti halnya Sinagog
dan Gereja tadi, Mesjid ini pun bukan diperuntukkan hanya untuk kegiatan
ritual, seperti shalat, tapi juga berbagai aktivitas sosial lain, seperti
kegiatan pendidikan, layanan kesehatan, konseling dan pembagian makanan pada
hari-hari tertentu.
Kunjungan pada
tiga rumah suci dalam agama Abrahamic tersebut menyimpulkan bahwa perempuan
dapat menjadi aktor utama dalam gerakan keagamaan. Persepsi bahwa agama harus
bersipat maskulin agaknya perlu dipikirkan ulang. Ada kesan yang kuat bahwa
sebagai pemimpin agama, perempuan lebih mengedepankan sifat-sifat feminin
mereka yang membuat suasana dan aktifivitas keagamaan terasa lebih sejuk, lebih
dingin dan lebih menyentuh rasa kemanusiaan.
Para perempuan
dengan sifat keibuan yang penuh welas-asih dan kasih-sayang menjadikan
aktivitas dialog agama berjalan harmoni
penuh kedamaian. Semua sekat perbedaan di antara kami hilang melebur dalam satu
komitmen suci agama, yakni menghormati sesama manusia sebagai bentuk
penghormatan terhadap Sang Khalik, Pencipta semua manusia.
Konferensi
ini juga menggariskan hal penting bahwa damai bukan semata berarti ketiadaan
perang atau tiadanya kekerasan fisik, tetapi juga penghapusan situasi-situasi
yang memungkinkan kekerasan seperti ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran ataupun
intoleransi. Karena itu, damai haruslah dibangun dan diperjuangkan oleh semua
elemen dalam masyarakat tanpa kecuali.
Damai
yang menjadi tujuan semua agama adalah serangkaian nilai, sikap, moda perilaku
dan pandangan hidup yang menghormati hak asasi manusia dan mempromosikan
kesetaraan serta menolak semua bentuk kekerasan, termasuk di lingkungan rumah
tangga. Karena itu, budaya damai mengusung prinsip keadilan, kesetaraan, demokrasi,
toleransi, solidaritas, kooperasi dan pluralisme.
Akhirnya, saya
berkesimpulan, dalam aktivitas agama sangat perlu ditumbuhkan sebuah prinsip saling
menghargai, saling menghormati dan saling melindungi. Prinsip itulah yang
dibutuhkan dalam kehidupan bersama, terutama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di negeri tercinta Indonesia. Prinsip menghargai kemajemukan dan
kebhinnekaan merupakan tulang punggung demokrasi dan masyarakat madani (civil society). Prinsip itulah yang diterapkan oleh
para pendiri bangsa ini ketika merumuskan ideologi negara, Pancasila.
[1]
Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace) dapat dihubungi
via m-mulia@indo.net.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar