Ada apa dengan perempuan dan mengapa diperebutkan? Para pemerhati perempuan
sepakat menyimpulkan bahwa perempuan diperebutkan tidak lain karena tubuhnya
merupakan perwujudan dari berbagai simbol: simbol kehidupan; simbol kekuasaan,
simbol kebenaran, simbol moralitas, dan simbol kemurnian ajaran agama. Perempuan
menjadi rebutan, baik oleh kalangan sekularis terlebih lagi kalangan islamis.
Sebab, menaklukkan perempuan dapat dimaknai sebagai menguasai kehidupan,
mengontrol kekuasaan, membela kebenaran,
menjaga moralitas, dan juga termasuk mengembalikan kemurnian ajaran agama.
Islamisme adalah gerakan yang menjadikan
Islam sebagai ideologi politik, bukan sekedar ajaran agama. Tujuan utama mereka
adalah mendirikan negara Islam yang formal. Sayangnya, apa yang mereka
maksudkan dengan Islam berbeda dengan konsep Islam yang rahmatan lil ‘alamin,
yang mengapresiasi kelompok lain dan pemikiran keislaman lainnya yang
berbeda. Kelompok ini di Indonesia cenderung anti-Pancasila, anti-HAM, dan anti
demokrasi, serta yang paling menakutkan bagi kelompok perempuan adalah karena
mereka sangat anti kesetaraan dan keadilan gender.
Islamisme bukanlah sekedar impuls
fanatisme keagamaan atau hasrat yang digerakkan oleh keinginan kuat untuk
meraih surga. Islamisme dalam banyak hal merupakan rupture, titik persimpangan penting dalam
rentang panjang sejarah yang berkaitan erat dengan gejala perubahan sosial,
politik, dan ekonomi yang menghampiri berbagai belahan dunia Islam.
Manifestasinya kerap merupakan cermin persinggungan antara dinamika sosial-ekonomi
dan politik yang berlangsung pada tataran global dan konteks sosial politik di
tingkat lokal. Letupan islamisme
mulai memperlihatkan pengaruh pada permulaan abad ke-20, seiring dengan
ekspansi format negara-bangsa modern yang menggantikan sistem kekhalifahan,
keamiran, dan bentuk-bentuk pemerintahan feodal lain berbasis kekeluargaan dan
kesukuan.
Dengan alasan utama pemurnian ajaran agama, aksi bela
Islam gerakan islamisme membatasi kebebasan dasar perempuan dan memasung
hak-hak asasi mereka sebagai manusia. Gagasan kembali ke Islam yang
diperjuangkan kelompok ini selalu bermakna kembali kepada Islam tekstualis,
yakni ajaran Islam yang bertumpu semata-mata pada makna tekstual yang rigid.
Dengan cara demikian, mereka mengabaikan makna kontekstual yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan universal seperti terbaca dalam aspek historisnya.
Slogan mereka “kembali kepada Islam” bermakna kembali kepada karakter ideologis yang statis,
ahistoris, sangat eksklusif, dan bias gender serta bias nilai-nilai patriaki.
Tentu saja, gagasan demikian sangat berseberangan dengan visi otentik Islam
yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif, mengapresiasi
keniscayaan pluralitas (kemajemukan) serta mengakomodasikan perubahan dan
pembaruan demi kesejahteraan, keadilan dan kemaslahatan semua manusia.
Menarik dicatat di sini bahwa
peneguhan subordinasi perempuan selalu terjadi dalam bidang hukum. Perempuan
dan hukum memang selalu tidak bersahabat seperti terlihat dalam sejumlah Perda
Syariat. Sejumlah penelitian mengenai
perempuan dan hukum di Indonesia menyimpulkan betapa marginalnya posisi
perempuan. Indikasi ini membuktikan secara nyata bahwa ketimpangan gender dalam
relasi laki-laki dan perempuan di Indonesia masih sangat kuat. Ketimpangan
gender jelas merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif
dengan menganalisis berbagai faktor yang turut serta melanggengkannya, termasuk
di dalamnya faktor hukum yang kerapkali mendapatkan pembenaran agama.
Analisis
terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang
hukum dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus, yaitu pada materi hukum (content
of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukumnya (structure
of law). Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih
rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan
polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat
dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari
interpretasi agama. Tidak heran jika
selanjutnya agama dituduh sebagai salah satu unsur yang melanggengkan budaya
patriarki dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum.
Hal itu
kemudian diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana
terlihat dalam berbagai peraturan daerah yang akhir-akhir ini menjadi sorotan
publik. Materi hukum dalam sejumlah peraturan daerah sarat dengan muatan
nilai-nilai patriarki yang bias gender. Di antara peraturan-peraturan daerah yang meminggirkan
perempuan dan tidak menghargai keberagaman budaya dan kebebasan beragama
masyarakat sebagai berikut.
Surat Edaran Bupati Pamekasan,
Jawa Timur Nomor 450 Tahun 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan
pemerintah; Surat Edaran Bupati Maros, Sulsel tertanggal 21 Oktober 2002
tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Sinjai yang dibuat
berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemda Sinjai mewajibkan jilbab
bagi karyawan pemerintah; Perda Gowa, Sulsel yang dibuat berdasarkan adat dan
kesepakatan masyarakat tentang wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah.
Peraturan serupa ditemukan juga di daerah Cianjur, Indramayu, Pasaman Barat.
Di daerah yang disebutkan
terakhir mewajibkan para pelajar perempuan mengenakan baju kurung dan jilbab.
Perda serupa ditemukan pula dalam bentuk
surat edaran Bupati Tasikmalaya, No. 451/SE/04/Sos/2001; Perda Solok, Sumbar Tahun 2000; Instruksi Walikota
Padang, Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret berisi perintah wajib jilbab dan busana islami bagi
orang Islam dan anjuran memakainya untuk non-Islam.
Menarik
dicatat di sini bahwa begitu antusiasnya suatu daerah mengusulkan perda Syariat
sampai-sampai ditemukan draft usulan perda syariat dari suatu daerah merupakan
duplikat atau copy paste secara utuh perda daerah lain. Bahkan, ada beberapa perda yang di dalamnya
ditemukan nama daerah asal yang dijiplak itu masih tercantum, belum sempat
dihapus. Sungguh mengherankan bahwa Perda Syariah dibuat dengan cara-cara yang
tidak islami dan melanggar hukum.
Data
terakhir mengungkapkan betapa ambisinya suatu daerah mengimplementasikan perda
syariat tampak dari kegiatan daerah tersebut membangun “Desa Muslim”, desa
percontohan penerapan syariat Islam. Adalah kabupaten Bulukumba yang merupakan
pionir dari implementasi perda syariat di Propinsi Sulawesi Selatan. Bukumba
telah menetapkan 12 desa di wilayahnya yang akan dibina menjadi Desa Muslim
teladan.
Gagasan itu
membuat para pejabat desa berusaha semaksimal mungkin untuk mencitrakan
wilayahnya sebagai daerah Islami. Tujuannya jelas, bukan hanya bercita-cita
terpilih sebagai Desa Muslim teladan, melainkan juga karena ada tujuan lain di
balik itu, yakni menjadi desa Muslim berarti memperoleh tambahan anggaran dari
pemerintah kabupaten. Oleh karena itu, para pejabat desa berlomba-lomba
mempromosikan desanya agar tampil lebih "Islami" di mata publik.
Sayangnya,
indikator keislaman yang ditampilkan masyarakat lebih tertuju kepada hal-hal
yang sifatnya ritual dan sangat simbolistik, seperti banyaknya masyarakat yang shalat
di mesjid, pergi haji berulang kali, mengenakan jilbab, berbaju koko dan sorban
bagi laki-laki, memajang tulisan kaligrafi Arab, menyimpan dana di bank
syariah, menginap di hotel syariah dan sebagainya.
Label
syariah sekarang menjamur pada berbagai komoditi, seperti produk minuman,
makanan, pakaian, kosmetik, sampai perumahan. Sejumlah pengusaha real estate
tidak canggung memasang label syariah dalam memasarkan rumah, ruko dan
apartemen. Mereka inilah sesungguhnya yang diklaim dalam Al-Qur’an sebagai
orang-orang yang menjual agama dengan harga murah.
Mestinya,
indikator keislaman yang ditampilkan lebih mengacu kepada hal-hal substansial,
seperti tersedianya pelayanan publik yang baik dalam bentuk penyediaan air
bersih, listrik, transportasi, pendidikan gratis, terutama bagi anak-anak
terlantar, rumah sakit gratis bagi penderita busung lapar, lansia, fakir
miskin, dan penyandang cacat. Pelayanan publik lainnya dalam wujud perlindungan
warga, khususnya kelompok rentan dari semua bentuk diskriminasi dan eksploitasi
sehingga mendorong mereka menikmati hidup yang lebih sejahtera, adil dan
makmur.
Selain membatasi kebebasan
perempuan dalam berbusana, sejumlah perda membatasi kebebasan perempuan
beraktivitas di ruang publik pada malam hari. Di antaranya, Perda Kabupaten
Gowa No 7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan berjalan sendirian atau berada
di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya, khususnya pada selang waktu pukul
24:00; dan Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan, mencurigai,
menangkap perempuan di tempat umum karena
diduga melacur.
Mengapa
perda-perda tersebut menyasar perempuan dalam implementasinya di lapangan?
Sebab, masyarakat masih kuat memandang perempuan sebagai penyangga moral
sehingga upaya-upaya penegakan moralitas di masyarakat harus dimulai dari
perempuan. Pandangan ini menyalahi ajaran Islam yang menekankan kepada seluruh
manusia mukallaf (dewasa dan waras), baik laki-laki maupun perempuan
agar sungguh-sungguh menjadi manusia bermoral (Lihat misalnya, QS. al-Nur, 24:
30-31 dan al-Mukminun, 23:1-7).
Ayat itu menekankan agar semua manusia dewasa: laki dan perempuan berupaya
menjaga nilai-nilai moral agar tercipta masyarakat yang bermoral dan beradab.
Bukankah
tujuan manusia beragama adalah membangun moralitas yang dalam Islam disebut
akhlak karimah? Konsekuensi logis dari ajaran tersebut membawa kepada
kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan harus sama-sama menjadi penyangga
moral di masyarakat. Tidak akan terbangun masyarakat yang bermoral jika
kewajiban menjaga nilai-nilai moral hanya dibebankan atau diwajibkan kepada
perempuan, sebagaimana terjadi selama ini di masyarakat.
Selain
itu, budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan sebagai obyek hukum,
bukan subyek. Oleh karena itu, perempuan
harus diatur, dikekang dan dibatasi geraknya di ruang publik. Dalam kaitan dengan perda larangan
prostitusi, perempuan mengalami korban dua kali. Sebab, kata pelacur dan
prostitusi di masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan, muncullah istilah
WTS (wanita tuna susila), bukan PTS (pria tuna susila), padahal perempuan dan
laki-laki pelacur keduanya sama-sama tuna susila, dan sama-sama berdosa di
hadapan Tuhan. Konsekuensi logis dari pandangan stereotipe
masyarakat terhadap perempuan dalam pelaksanaan perda-perda tersebut di
lapangan sangat memprihatinkan.
Menolak Formalisasi Syariat Islam
?
Sebagai seorang perempuan Muslim,
penulis yakin dan percaya sepenuhnya bahwa apa yang disyariatkan Allah kepada
manusia pasti merupakan tuntunan yang luhur dan ideal sesuai dengan kebutuhan
manusia. Persoalannya, apa yang disyariatkan Allah itu selalu bersifat umum
sehingga perlu dielaborasi dalam aturan yang bersifat operasional dan spesifik
sesuai kebutuhan dan kondisi manusia atau masyarakat yang akan menggunakannya.
Dengan ungkapan lain, tuntunan agama dalam bentuk nas-nas Al-Qur`an dan hadis
Nabi masih perlu diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam bahasa masyarakat
penggunanya.
Di sinilah problematikanya!
Disadari atau tidak, setiap terjemahan dan tafsiran terhadap nas-nas Al-Qur'an
dan hadis Nabi selalu rentan mengalami bias kepentingan: teologis, politis,
ekonomis, sosiologis dan mungkin juga geografis. Hal itu wajar saja karena para
mufafsir adalah anak zamannya, mereka sulit melepaskan diri sepenuhnya dari
pengaruh situasi dan kondisi sosio-kultural, historis dan politis yang terjadi
di sekitarnya. Kelahiran berbagai mazhab fikih, mazhab tasawuf, mazhab teologi,
mazhab filsafat dan berbagai aliran politik dalam Islam menjelaskan hal itu
dengan sempurna.
Untuk mereduksi kemungkinan bias
dalam penafsiran tersebut, ulama usul fiqhi telah menyusun berbagai kaidah
fiqhi atau metode istinbath berdasarkan pemahaman terhadap prinsip umum
yang terkandung dalam nas Al-Qur'an, khususnya yang berkaitan dengan muamalah,
seperti kaidah al-ashlu fi al-asyya’ al-ibahah (hukum asal dari segala
sesuatu adalah boleh atau mubah). Artinya, sepanjang tidak ditemukan
dalil yang melarang atau mengharamkan, maka sesuatu itu hukumnya mubah
atau boleh (Kaedah ini disusun, antara lain berdasarkan pemahaman terhadap
ayat-ayat berikut: al-Baqarah (2): 29, al-Jasiyah (45):13 dan al-A'raf
(7): 32).
Selain merumuskan kaedah
istinbat, sebagian ulama merumuskan tujuan pokok syariat (maqashid
al-syariah) di antaranya adalah keadilan dan kemaslahatan manusia. Setiap
bentuk istinbat hukum harus mengakomodasikan nilai-nilai keadilan dan
kemaslahatan bagi manusia. Sebab, hukum dibangun untuk kepentingan manusia dan
kemanusiaan, sama sekali bukan dutujukan bagi kepentingan Tuhan. Tuhan tidak
memerlukan apa pun dari manusia karena Dia adalah Zat yang Maha Kuasa dan Maha
sempurna. Kaidah-kaidah istinbat tersebut dirumuskan dalam rangka mewujudkan
nilai-nilai Al-Qur'an sebagai petunjuk abadi dalam segala aspek hidup dan
kehidupan manusia.
Penting dicatat bahwa dalam ilmu
usul fikhi terdapat pembahasan tentang qath’iy dan zhanniy. Qath’i
sering dimaknai sebagai nas-nas yang pasti, jelas dan tegas maknanya dalam
mengemukakan hukum suatu persoalan. Sebaliknya, zhanni, adalah nas-nas
yang masih membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Para ulama sepakat bahwa
persoalan yang belum ditegaskan ketentuan hukumnya dalam nas atau nas yang
mengaturnya bersifat zhanniy maka hukumnya dapat berubah sesuai dengan
perubahan dan perkenbangan zaman. Selanjutnya, dalam pesoalan-persoalan yang
telah ditegaskan hukumnya oleh nas yang bersifat qath’iy, maka umumnya
ulama tidak membolehkan perubahan penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan
dan perubahan kondisi.
Akan tetapi, masalahnya menjadi
rumit karena para ulama tidak sepakat terhadap nas-nas mana yang dikategorikan
sebagai qath’iy dan zhanniy. Akibatnya, muncul perbedaan pendapat
ulama dalam menentukan nas qath’iy dan zhanniy. Suatu nas dinilai
qath’iy oleh ulama tertentu, ternyata dinilai zhanniy oleh ulama
lainnya, demikian sebaliknya. Hal ini terjadi karena penentuan qath’iy dan
zhanniy terhadap sebuah nas merupakan ijtihad ulama, tidak ada jaminan
benar secara absolut.
Menarik dicatat bahwa perbedaan
ulama dalam menentukan qath’iy dan zhanniy sebuah nas sudah
terjadi sejak masa awal Islam. Adalah Umar ibn Khattab, sahabat dan sekaligus
Khalifah Rasyidin yang ketiga menunjukkan keberaniannya berijtihad yang
hasilnya seringkali menyalahi pendapat mainstream. Berbeda dengan
kebanyakan ulama, Umar ibn Khattab berani mengubah ketentuan hukum dari suatu
nas (termasuk nas yang dinilai qath’iy sekali pun), jika kondisi atau
kemaslahatan masyarakat menghendakinya. Pandangannya yang unik itu terlihat,
antara lain dalam kasus-kasus: pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri,
pembagian harta rampasan perang, dan penentuan talak tiga dalam perceraian.
Penjelasan di atas menyimpulkan
bahwa formalisasi Syariat Islam menghendaki ijtihad dalam rangka istinbath
hukum. Masalahnya siapa yang akan melakukan ijtihad? Atas dasar apa dan
berdasarkan legitimasi apa? Kemudian, dalam aspek apa saja formalisasi syariat
tersebut akan diimplementasikan? Apakah juga termasuk dalam pelaksanaan hukum
jinayat, seperti pelaksanaan hukum cambuk, rajam, dan qishas? Terakhir, apakah
dalam perumusan dan pengambilan keputusan publik itu juga melibatkan
partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan? Jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa sangat bervariasi, tergantung
siapa yang menjawab dan untuk kepentingan apa.
Oleh karena itu, menjadi sangat
problematik jika membakukan syariat Islam ke dalam hukum positif.
Kekhawatiran masyarakat, tak
terkecuali kalangan Muslim sendiri terhadap upaya-upaya pemberlakuan syariat
Islam bukan tanpa alasan. Sebab, data-data historis sejarah Islam menunjukkan
bahwa isu syariat Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik
oleh sebagian elite demi mengejar ambisi pribadi atau golongan.
Tidak heran ketika Kemal Attaturk,
pendiri Turki modern tampil sebagai penguasa, program prioritasnya adalah
menghapus institusi khalifah dan sekaligus membubarkan khilafah yang telah berusia
ratusan tahun. Alasannya sederhana saja bahwa selama ini institusi keagamaan
tersebut kerap kali digunakan untuk menjastifikasi kepentingan politik dari
kelompok penguasa dengan dalih agama. Jadi, agama hanya topeng untuk jualan
politik. Wahhhh ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar