Selasa, 29 Agustus 2017

"Memperebutkan" Perempuan Dalam Kebijakan Publik

  

Ada apa dengan perempuan dan mengapa diperebutkan? Para pemerhati perempuan sepakat menyimpulkan bahwa perempuan diperebutkan tidak lain karena tubuhnya merupakan perwujudan dari berbagai simbol: simbol kehidupan; simbol kekuasaan, simbol kebenaran, simbol moralitas, dan simbol kemurnian ajaran agama. Perempuan menjadi rebutan, baik oleh kalangan sekularis terlebih lagi kalangan islamis. Sebab, menaklukkan perempuan dapat dimaknai sebagai menguasai kehidupan, mengontrol  kekuasaan, membela kebenaran, menjaga moralitas, dan juga termasuk mengembalikan kemurnian ajaran agama.

Islamisme adalah gerakan yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik, bukan sekedar ajaran agama. Tujuan utama mereka adalah mendirikan negara Islam yang formal. Sayangnya, apa yang mereka maksudkan dengan Islam berbeda dengan konsep Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengapresiasi kelompok lain dan pemikiran keislaman lainnya yang berbeda. Kelompok ini di Indonesia cenderung anti-Pancasila, anti-HAM, dan anti demokrasi, serta yang paling menakutkan bagi kelompok perempuan adalah karena mereka sangat anti kesetaraan dan keadilan gender.
  
Islamisme bukanlah sekedar impuls fanatisme keagamaan atau hasrat yang digerakkan oleh keinginan kuat untuk meraih surga. Islamisme dalam banyak hal merupakan rupture, titik persimpangan penting dalam rentang panjang sejarah yang berkaitan erat dengan gejala perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menghampiri berbagai belahan dunia Islam. Manifestasinya kerap merupakan cermin persinggungan antara dinamika sosial-ekonomi dan politik yang berlangsung pada tataran global dan konteks sosial politik di tingkat lokal. Letupan islamisme mulai memperlihatkan pengaruh pada permulaan abad ke-20, seiring dengan ekspansi format negara-bangsa modern yang menggantikan sistem kekhalifahan, keamiran, dan bentuk-bentuk pemerintahan feodal lain berbasis kekeluargaan dan kesukuan.

Dengan alasan utama pemurnian ajaran agama, aksi bela Islam gerakan islamisme membatasi kebebasan dasar perempuan dan memasung hak-hak asasi mereka sebagai manusia. Gagasan kembali ke Islam yang diperjuangkan kelompok ini selalu bermakna kembali kepada Islam tekstualis, yakni ajaran Islam yang bertumpu semata-mata pada makna tekstual yang rigid. Dengan cara demikian, mereka mengabaikan makna kontekstual yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti terbaca dalam aspek historisnya.

Slogan mereka “kembali kepada Islam” bermakna kembali kepada karakter ideologis yang statis, ahistoris, sangat eksklusif, dan bias gender serta bias nilai-nilai patriaki. Tentu saja, gagasan demikian sangat berseberangan dengan visi otentik Islam yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif, mengapresiasi keniscayaan pluralitas (kemajemukan) serta mengakomodasikan perubahan dan pembaruan demi kesejahteraan, keadilan dan kemaslahatan semua manusia.

Menarik dicatat di sini bahwa peneguhan subordinasi perempuan selalu terjadi dalam bidang hukum. Perempuan dan hukum memang selalu tidak bersahabat seperti terlihat dalam sejumlah Perda Syariat. Sejumlah penelitian mengenai perempuan dan hukum di Indonesia menyimpulkan betapa marginalnya posisi perempuan. Indikasi ini membuktikan secara nyata bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan di Indonesia masih sangat kuat. Ketimpangan gender jelas merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif dengan menganalisis berbagai faktor yang turut serta melanggengkannya, termasuk di dalamnya faktor hukum yang kerapkali mendapatkan pembenaran agama.

Analisis terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus, yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukumnya (structure of law). Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama. Tidak heran jika selanjutnya agama dituduh sebagai salah satu unsur yang melanggengkan budaya patriarki dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam  bidang hukum.

Hal itu kemudian diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana terlihat dalam berbagai peraturan daerah yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Materi hukum dalam sejumlah peraturan daerah sarat dengan muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender. Di antara peraturan-peraturan daerah yang meminggirkan perempuan dan tidak menghargai keberagaman budaya dan kebebasan beragama masyarakat sebagai berikut.

Surat Edaran Bupati Pamekasan, Jawa Timur Nomor 450 Tahun 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Surat Edaran Bupati Maros, Sulsel tertanggal 21 Oktober 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Sinjai yang dibuat berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemda Sinjai mewajibkan jilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Gowa, Sulsel yang dibuat berdasarkan adat dan kesepakatan masyarakat tentang wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah. Peraturan serupa ditemukan juga di daerah Cianjur, Indramayu, Pasaman Barat.

Di daerah yang disebutkan terakhir mewajibkan para pelajar perempuan mengenakan baju kurung dan jilbab. Perda serupa  ditemukan pula dalam bentuk surat edaran Bupati Tasikmalaya, No. 451/SE/04/Sos/2001; Perda  Solok, Sumbar Tahun 2000; Instruksi Walikota Padang, Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret berisi  perintah wajib jilbab dan busana islami bagi orang Islam dan anjuran memakainya untuk non-Islam.

Menarik dicatat di sini bahwa begitu antusiasnya suatu daerah mengusulkan perda Syariat sampai-sampai ditemukan draft usulan perda syariat dari suatu daerah merupakan duplikat atau copy paste secara utuh perda daerah lain.  Bahkan, ada beberapa perda yang di dalamnya ditemukan nama daerah asal yang dijiplak itu masih tercantum, belum sempat dihapus. Sungguh mengherankan bahwa Perda Syariah dibuat dengan cara-cara yang tidak islami dan melanggar hukum.

Data terakhir mengungkapkan betapa ambisinya suatu daerah mengimplementasikan perda syariat tampak dari kegiatan daerah tersebut membangun “Desa Muslim”, desa percontohan penerapan syariat Islam. Adalah kabupaten Bulukumba yang merupakan pionir dari implementasi perda syariat di Propinsi Sulawesi Selatan. Bukumba telah menetapkan 12 desa di wilayahnya yang akan dibina menjadi Desa Muslim teladan.

Gagasan itu membuat para pejabat desa berusaha semaksimal mungkin untuk mencitrakan wilayahnya sebagai daerah Islami. Tujuannya jelas, bukan hanya bercita-cita terpilih sebagai Desa Muslim teladan, melainkan juga karena ada tujuan lain di balik itu, yakni menjadi desa Muslim berarti memperoleh tambahan anggaran dari pemerintah kabupaten. Oleh karena itu, para pejabat desa berlomba-lomba mempromosikan desanya agar tampil lebih "Islami" di mata publik.

Sayangnya, indikator keislaman yang ditampilkan masyarakat lebih tertuju kepada hal-hal yang sifatnya ritual dan sangat simbolistik, seperti banyaknya masyarakat yang shalat di mesjid, pergi haji berulang kali, mengenakan jilbab, berbaju koko dan sorban bagi laki-laki, memajang tulisan kaligrafi Arab, menyimpan dana di bank syariah, menginap di hotel syariah dan sebagainya. 

Label syariah sekarang menjamur pada berbagai komoditi, seperti produk minuman, makanan, pakaian, kosmetik, sampai perumahan. Sejumlah pengusaha real estate tidak canggung memasang label syariah dalam memasarkan rumah, ruko dan apartemen. Mereka inilah sesungguhnya yang diklaim dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang yang menjual agama dengan harga murah.

Mestinya, indikator keislaman yang ditampilkan lebih mengacu kepada hal-hal substansial, seperti tersedianya pelayanan publik yang baik dalam bentuk penyediaan air bersih, listrik, transportasi, pendidikan gratis, terutama bagi anak-anak terlantar, rumah sakit gratis bagi penderita busung lapar, lansia, fakir miskin, dan penyandang cacat. Pelayanan publik lainnya dalam wujud perlindungan warga, khususnya kelompok rentan dari semua bentuk diskriminasi dan eksploitasi sehingga mendorong mereka menikmati hidup yang lebih sejahtera, adil dan makmur.

Selain membatasi kebebasan perempuan dalam berbusana, sejumlah perda membatasi kebebasan perempuan beraktivitas di ruang publik pada malam hari. Di antaranya, Perda Kabupaten Gowa No 7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya, khususnya pada selang waktu pukul 24:00; dan Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan, mencurigai, menangkap perempuan di tempat umum karena  diduga melacur.

Mengapa perda-perda tersebut menyasar perempuan dalam implementasinya di lapangan? Sebab, masyarakat masih kuat memandang perempuan sebagai penyangga moral sehingga upaya-upaya penegakan moralitas di masyarakat harus dimulai dari perempuan. Pandangan ini menyalahi ajaran Islam yang menekankan kepada seluruh manusia mukallaf (dewasa dan waras), baik laki-laki maupun perempuan agar sungguh-sungguh menjadi manusia bermoral (Lihat misalnya, QS. al-Nur, 24: 30-31 dan al-Mukminun, 23:1-7). Ayat itu menekankan agar semua manusia dewasa: laki dan perempuan berupaya menjaga nilai-nilai moral agar tercipta masyarakat yang bermoral dan beradab.

Bukankah tujuan manusia beragama adalah membangun moralitas yang dalam Islam disebut akhlak karimah? Konsekuensi logis dari ajaran tersebut membawa kepada kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan harus sama-sama menjadi penyangga moral di masyarakat. Tidak akan terbangun masyarakat yang bermoral jika kewajiban menjaga nilai-nilai moral hanya dibebankan atau diwajibkan kepada perempuan, sebagaimana terjadi selama ini di masyarakat.

Selain itu, budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan sebagai obyek hukum, bukan subyek. Oleh karena itu, perempuan  harus diatur, dikekang dan dibatasi geraknya di ruang publik.  Dalam kaitan dengan perda larangan prostitusi, perempuan mengalami korban dua kali. Sebab, kata pelacur dan prostitusi di masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan, muncullah istilah WTS (wanita tuna susila), bukan PTS (pria tuna susila), padahal perempuan dan laki-laki pelacur keduanya sama-sama tuna susila, dan sama-sama berdosa di hadapan Tuhan. Konsekuensi logis dari pandangan stereotipe masyarakat terhadap perempuan dalam pelaksanaan perda-perda tersebut di lapangan sangat memprihatinkan.

Menolak Formalisasi Syariat Islam ?
Sebagai seorang perempuan Muslim, penulis yakin dan percaya sepenuhnya bahwa apa yang disyariatkan Allah kepada manusia pasti merupakan tuntunan yang luhur dan ideal sesuai dengan kebutuhan manusia. Persoalannya, apa yang disyariatkan Allah itu selalu bersifat umum sehingga perlu dielaborasi dalam aturan yang bersifat operasional dan spesifik sesuai kebutuhan dan kondisi manusia atau masyarakat yang akan menggunakannya. Dengan ungkapan lain, tuntunan agama dalam bentuk nas-nas Al-Qur`an dan hadis Nabi masih perlu diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam bahasa masyarakat penggunanya.

Di sinilah problematikanya! Disadari atau tidak, setiap terjemahan dan tafsiran terhadap nas-nas Al-Qur'an dan hadis Nabi selalu rentan mengalami bias kepentingan: teologis, politis, ekonomis, sosiologis dan mungkin juga geografis. Hal itu wajar saja karena para mufafsir adalah anak zamannya, mereka sulit melepaskan diri sepenuhnya dari pengaruh situasi dan kondisi sosio-kultural, historis dan politis yang terjadi di sekitarnya. Kelahiran berbagai mazhab fikih, mazhab tasawuf, mazhab teologi, mazhab filsafat dan berbagai aliran politik dalam Islam menjelaskan hal itu dengan sempurna.

Untuk mereduksi kemungkinan bias dalam penafsiran tersebut, ulama usul fiqhi telah menyusun berbagai kaidah fiqhi atau metode istinbath berdasarkan pemahaman terhadap prinsip umum yang terkandung dalam nas Al-Qur'an, khususnya yang berkaitan dengan muamalah, seperti kaidah al-ashlu fi al-asyya’ al-ibahah (hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh atau mubah). Artinya, sepanjang tidak ditemukan dalil yang melarang atau mengharamkan, maka sesuatu itu hukumnya mubah atau boleh (Kaedah ini disusun, antara lain berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat berikut: al-Baqarah (2): 29, al-Jasiyah (45):13 dan al-A'raf (7): 32).

Selain merumuskan kaedah istinbat, sebagian ulama merumuskan tujuan pokok syariat (maqashid al-syariah) di antaranya adalah keadilan dan kemaslahatan manusia. Setiap bentuk istinbat hukum harus mengakomodasikan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bagi manusia. Sebab, hukum dibangun untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan, sama sekali bukan dutujukan bagi kepentingan Tuhan. Tuhan tidak memerlukan apa pun dari manusia karena Dia adalah Zat yang Maha Kuasa dan Maha sempurna. Kaidah-kaidah istinbat tersebut dirumuskan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai Al-Qur'an sebagai petunjuk abadi dalam segala aspek hidup dan kehidupan manusia.

Penting dicatat bahwa dalam ilmu usul fikhi terdapat pembahasan tentang qath’iy dan zhanniy. Qath’i sering dimaknai sebagai nas-nas yang pasti, jelas dan tegas maknanya dalam mengemukakan hukum suatu persoalan. Sebaliknya, zhanni, adalah nas-nas yang masih membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Para ulama sepakat bahwa persoalan yang belum ditegaskan ketentuan hukumnya dalam nas atau nas yang mengaturnya bersifat zhanniy maka hukumnya dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkenbangan zaman. Selanjutnya, dalam pesoalan-persoalan yang telah ditegaskan hukumnya oleh nas yang bersifat qath’iy, maka umumnya ulama tidak membolehkan perubahan penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.

Akan tetapi, masalahnya menjadi rumit karena para ulama tidak sepakat terhadap nas-nas mana yang dikategorikan sebagai qath’iy dan zhanniy. Akibatnya, muncul perbedaan pendapat ulama dalam menentukan nas qath’iy dan zhanniy. Suatu nas dinilai qath’iy oleh ulama tertentu, ternyata dinilai zhanniy oleh ulama lainnya, demikian sebaliknya. Hal ini terjadi karena penentuan qath’iy dan zhanniy terhadap sebuah nas merupakan ijtihad ulama, tidak ada jaminan benar secara absolut.

Menarik dicatat bahwa perbedaan ulama dalam menentukan qath’iy dan zhanniy sebuah nas sudah terjadi sejak masa awal Islam. Adalah Umar ibn Khattab, sahabat dan sekaligus Khalifah Rasyidin yang ketiga menunjukkan keberaniannya berijtihad yang hasilnya seringkali menyalahi pendapat mainstream. Berbeda dengan kebanyakan ulama, Umar ibn Khattab berani mengubah ketentuan hukum dari suatu nas (termasuk nas yang dinilai qath’iy sekali pun), jika kondisi atau kemaslahatan masyarakat menghendakinya. Pandangannya yang unik itu terlihat, antara lain dalam kasus-kasus: pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri, pembagian harta rampasan perang, dan penentuan talak tiga dalam perceraian.

Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa formalisasi Syariat Islam menghendaki ijtihad dalam rangka istinbath hukum. Masalahnya siapa yang akan melakukan ijtihad? Atas dasar apa dan berdasarkan legitimasi apa? Kemudian, dalam aspek apa saja formalisasi syariat tersebut akan diimplementasikan? Apakah juga termasuk dalam pelaksanaan hukum jinayat, seperti pelaksanaan hukum cambuk, rajam, dan qishas? Terakhir, apakah dalam perumusan dan pengambilan keputusan publik itu juga melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa sangat bervariasi, tergantung siapa yang menjawab dan untuk kepentingan apa.

Oleh karena itu, menjadi sangat problematik jika membakukan syariat Islam ke dalam hukum positif.
Kekhawatiran masyarakat, tak terkecuali kalangan Muslim sendiri terhadap upaya-upaya pemberlakuan syariat Islam bukan tanpa alasan. Sebab, data-data historis sejarah Islam menunjukkan bahwa isu syariat Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh sebagian elite demi mengejar ambisi pribadi atau golongan.

Tidak heran ketika Kemal Attaturk, pendiri Turki modern tampil sebagai penguasa, program prioritasnya adalah menghapus institusi khalifah dan sekaligus membubarkan khilafah yang telah berusia ratusan tahun. Alasannya sederhana saja bahwa selama ini institusi keagamaan tersebut kerap kali digunakan untuk menjastifikasi kepentingan politik dari kelompok penguasa dengan dalih agama. Jadi, agama hanya topeng untuk jualan politik. Wahhhh ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar