“Woow, seumur-umur baru kali ini saya masuk masjid, dan langsung Istiqlal, masjid terbesar di Indonesia.” Demikian komentar Agung, seorang peserta yang berasal dari Bali. Aha… begini toh bentuk masjid umat Islam, kok gak ada kursinya? Jadi, kita duduk melantai, celetuk Tony yang beragama Katolik. Ya beginilah, sahut Rahman, peserta Muslim. Lalu, ia menambahkan: “Kalau ketemu masjid yang ada karpetnya lumayan hangat, tapi gak kebayang jika harus duduk di ubin yang dingin, apalagi waktu Subuh.”
“Ehh pantesan kalau ke masjid kaum Muslim banyak gak pakai sepatu karena ribet bukanya jika berwudhu,” sambung Teguh, aktivis pemuda Gereja. “Bukan gitu, orang-orang males pakai sepatu karena di masjid suka kehilangan, makanya pakai sandal jepit aja, kalau hilang gak terlalu rugi.” Ahmad, anggota majelis taklim masjid Cempaka Putih angkat suara. “Ahh yang bener, masa sih di masjid ada malingnya,” tanya Agung penasaran. Ahmad segera merespon: “yang namanya maling ya ada dimana-mana, seperti setan juga ada dimana-mana. Konon kabarnya setan yang menggoda di rumah ibadah lebih profesional,” he..he…he…. yang lain ikut tertawa karena penjelasan Ahmad tampak sangat masuk akal.
Setelah duduk tertib, para peserta segera mendapatkan penjelasan tentang Islam dari Kyai Muhammad, ulama muda yang dikenal sangat dalam ilmunya, sangat santun dan bijak sikapnya. Penjelasannya tentang Islam sangat memukau peserta, kalimatnya begitu lembut merasuk ke dalam hati yang paling dalam. Para peserta terlihat begitu antusias dan tanpa terasa mereka sudah tiga jam berdiskusi dan berdialog dengan seru dan sesekali diselingi tawa riang.
Ini adalah salah satu program rutin organisasi lintas iman, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Namanya, Sekolah Agama, sebuah bentuk pendidikan agama yang mengedepankan dialog. Pendidikan dikemas dalam bentuk seminar, diskusi dan dialog keagamaan, serta kunjungan atau ziarah ke berbagai institusi keagamaan termasuk rumah ibadah.
Pesertanya, kebanyakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, ada juga beberapa ibu rumah tangga, karyawan perusahaan, bahkan juga pegawai negeri sipil. Mereka terdiri dari beragam pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda, Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Baha’i, Sikh dan juga kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan, Parmalim, Kaharingan. Bahkan, ada yang mengaku dari kelompok Kafir liberal dan Atheis.
Tidak ada materi yang bersifat ritualistik, apalagi bersifat legal-formal disajikan dalam program ini. Lebih banyak materi tentang sejarah agama-agama, kelahiran, perkembangan, perpecahan internal dan pesinggungan antara agama yang satu dan lainnya. Lebih mengedepankan isu agama sebagai fenomena sosial.
Program ini terbuka bagi siapa saja, baik dari kalangan yang mengaku beragama atau pun tidak. Umumnya, peserta program ini tertarik dengan upaya-upaya ICRP mengembangkan pemahaman keagamaan yang lapang, sejuk, damai, humanis dan pluralis. Pemahaman keagamaan yang akan mengantarkan pemeluk agama menjadi lebih berempati kepada sesama manusia, bahkan kepada sesama makhluk di alam semesta. Mereka yakin tujuan akhir agama adalah untuk memanusiakan manusia, membuat manusia lebih respek terhadap sesama, peka lingkungan, dan cinta perdamaian.
Salah satu sesi paling mengesankan peserta adalah kunjungan ke rumah-rumah ibadah. Bukan sekedar kunjungan biasa atau semacam wisata, melainkan sebuah refleksi keagamaan untuk memahami dan menggali lebih jauh tentang makna dan esensi sebuah agama.
Tak kenal maka tak sayang, demikian ungkapan sebuah pepatah. Kecurigaan dan kebencian pada suatu agama, kepercayaan atau ajaran biasanya muncul karena kurangnya pengetahuan tentang agama tersebut, kurang informasi yang konprehensif tentangnya, atau akibat dogma sempit dan pikiran kotor yang didoktrinkan ke dalam diri kita.
Melalui kunjungan ke rumah-rumah ibadah, peserta akan mendapatkan informasi dan pencerahan dari nara sumber yang tepat. Mereka memiliki otoritas dalam bidangnya. Selain itu, peserta mendapatkan pengalaman langsung berada dalam rumah ibadah dan berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan.
Ayyooo segera turun! kita masuk ke Gereja Katedral, demikian suara Boni, pemandu program Sekolah Agama. Para peserta disambut ramah oleh Romo Arman, pastor yang bertugas di gereja tersebut. Para peserta dengan takjub memandangi sekeliling gereja yang penuh hiasan dan ukiran indah. Karena sering masuk gereja, saya bisa membedakan dengan baik pernak-pernik yang membedakan antara gereja Katolik dan Protestan, kata Harun, peserta Muslim.
“Saya agak cemas”, kata Rahmi yang dari tadi diam saja. Kenapa? Tanya Vira penganut Baha’i. “Kami yang Muslim kalau masuk rumah ibadah lain, seperti gereja ini pasti deh pulangnya dituduh kafir atau musyrik.” Bukan hanya kamu, di kelompok Baha’i pun mengalami stigma yang sama, aneh ya masyarakat kita, sampai kapan ini kita biarkan? Sambung Vira. Saya pun juga begitu, pulang ke Kuningan nanti, ada saja yang melapor ke orang tua yang kebetulan pemimpin Sunda Wiwitan, bahwa saya sudah pindah agama karena tadi masuk masjid he…he..he...kata Dewi sambil tertawa.
Para peserta sudah masuk ruangan yang disediakan. Romo menjelaskan: “Banyak orang lalu lalang di depan rumah ibadah agama lain, tapi hanya sedikit mampu mengapresiasi keberadaannya sebagai tempat untuk mengasah spiritualitas manusia. Mestinya, semua rumah ibadah diapresiasi secara positif dan konstruktif karena tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan, kebencian dan permusuhan. Bagi kebanyakan orang, rumah ibadah agama lain bukanlah tempat yang teduh dan nyaman, melainkan lebih sering dianggap sebagai tempat yang asing dan menakutkan. Rasa kebencian terhadap yang berbeda, seringkali tanpa sengaja dibentuk, itulah awal stigma dan prejudice. Tak lama kemudian, peserta terlihat larut dalam ceramah pastor muda yang dikenal sangat toleran.
Aku suka memperhatikan wajah-wajah peserta yang baru pertama kali masuk ke rumah ibadah agama lain. Respon mereka sangat beragam: tidak sedikit kelihatan kaget, diam membisu, berteriak histeris, tertawa riang. Kebanyakan peserta masuk ke rumah ibadah agama lain adalah pengalaman pertama seumur hidup mereka. Sebelumnya, mereka tidak pernah membayangkan masuk ke sana. Tidak heran melihat beberapa peserta sungguh-sungguh histeris, menjerit kegirangan, dan penuh penasaran.
Mengapa itu terjadi? Antara lain, karena pendidikan keagamaan sejak awal telah mengotak-ngotakkan kita sebagai pemeluk agama, ditambah suntikan doktrin bahwa hanya agama kita yang benar, agama lain tidak benar, sesat dan pengikutnya pasti kafir. Dari awal sudah dibangun ketakutan untuk bersentuhan, apalagi berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka yang berbeda. Pokoknya, yang berbeda itu adalah musuh dan ancaman, titik!. Tidak heran jika rumah ibadah agama lain sering dipersepsikan sebagai bangunan angker yang menakutkan.
Aku pun lalu teringat sebuah pengalaman ketika mengantar tujuh anak-anak yang masih Taman Kanak-kanak berwisata ke Ancol. Begitu lewat depan Katedral, hampir semua bersamaan nyeletu: bunda! itu kan rumah ibadah orang kafir ya? Seperti petir menyambar tubuhku, kaget mendengar celetukan anak-anak masih ingusan tadi. “Dari mana kalian tahu bahwa itu rumah ibadah orang kafir?” tanyaku sambil menatap anak-anak satu persatu, “guru agama bilang gitu bunda.” Jantungku seolah berhenti berdetak. Tapi, segera aku tersenyum pada anak-anak sambil berkata: “pulang wisata nanti kita kumpul ya, bunda akan bercerita tentang sejarah gereja.” Wahh, asyikk, asyikk, anak-anak senang.
Akhirnya, wisata spiritual ke berbagai rumah ibadah telah selesai, peserta kembali ke kelas untuk mempresentasikan refleksi pengalaman mereka. Masing-masing peserta membuat tulisan reflektif, menggambarkan suasana spiritual yang mereka alami selama kunjungan tersebut dan mempresentasikannya di depan kelas, yang lain kemudian menanggapi, memberi ulasan dan komentar kritis.
Suasana kelas sangat dinamis, satu sama lain saling belajar dan semua itu memperkaya wawasan keagamaan peserta. Para peserta tampak puas dan gembira. Mereka senang dapat mengenal agama-agama lain dari berbagai perspektif sehingga kini mereka dapat menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Mereka mengapresiasi dan bahkan mencintai keragaman agama dan kepercayaan di antara mereka.
Pesan yang mengemuka dari semua peserta adalah perlunya mengubah materi pendidikan keagamaan dari hal-hal yang bersifat ritualistik dan legal-formal menjadi sebuah refleksi pengalaman sehari-hari. Agama harus nyata dalam keseharian manusia. Agama harus hadir dalam setiap pergulatan kemanusiaan, menjadi pedoman manusia dalam setiap ucapan, tindakan dan perilaku. Agama harus mampu membuat manusia dan masyarakat menjadi lebih damai, bahagia, sejahtera dan beradab.
Lalu, bagaimana itu dapat terjadi? Jawabnya mudah. Pendidikan agama harus dimulai dari keluarga. Pendidikan keagamaan yang mengedepankan internalisasi nilai-nilai kemanusiaan universal harus ditanamkan sejak dini dari keluarga. Keluarga adalah sekolah pertama dan utama tempat anak belajar mengenal nilai-nilai dan norma-norma. Mulailah dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang juga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar