Bersama Pimpinan
UNFPA menyampaikan presentasi tentang Kesehatan Reproduksi di hadapan ulama
Salju turun cukup deras ketika pesawat
Ariana Airlines yang aku tumpangi mendarat di Kabul, Afghanistan. Nyaris
seluruh permukaan bandara tertutup salju tebal. Aku segera keluar dari pesawat
mengikuti penumpang lain menuju bandara tua dan kumuh, kondisi bandaranya
mencerminkan negara ini sangat terkebelakang. Aku terkejut melihat begitu
banyak tentara dengan senapan siap tembak di sekitar bandara, sungguh
mencekam.
“Jangan pernah keluar bandara sebelum
bertemu petugas UN yang menjemput ibu”, demikian kalimat berulang kali disampaikan oleh panitia sebelum
saya berangkat. Untunglah, begitu tiba di ruang pengambilan bagasi, seseorang
menghampiri sambil tersenyum ramah dan menunjukkan identitas dirinya sebagai
petugas UN. Aku pun segera mengikutinya ke mobil yang didesain khusus untuk
anti peluru. Ada perasaan tidak nyaman, tapi kemudian aku segera sadar mengapa
harus menggunakan mobil itu.
Tak lama, mobil kami sudah meluncur di
jalan raya menuju Hotel Serena, satu-satunya hotel yang dianggap layak dan aman
di Kabul. Sepanjang jalan menuju hotel terlihat banyak tentara bersenjata
lengkap. Bahkan, tidak sedikit yang berdiri di atap gedung dengan mata tajam
mengawasi, suasana terasa semakin mencekam.
Perhatianku lalu tertuju kepada sejumlah
pengemis di pinggir jalan, mereka memakai burqah, pakaian khusus untuk
perempuan yang menutupi seluruh tubuh berwarna abu-abu tua. Menurutku,
bentuknya seperti kelambu. Hanya tersedia beberapa lubang kecil di bagian mata
untuk melihat.
Pemandangan di satu sudut kota Kabul, Afghanistan
Perempuan harus memakai burqah
Aku membayangkan, mereka yang mengenakan
burqah pasti merasa tidak nyaman, sulit bergerak, juga sulit untuk memandang
dengan leluasa. Sempat terlihat seorang perempuan menggendong anaknya di dalam
burqah, aku sangat khawatir anaknya akan kekurangan oksigen. Sulit memastikan,
apakah semua pemakai burqah adalah perempuan? Boleh jadi ada laki-laki memakai
burqah untuk mengemis atau untuk tujuan lain.
Semakin lama terlihat pengemis semakin
banyak, ada juga sejumlah anak-anak, usia mereka antara 4-12 tahun, sebagian
nekat mengganduli mobil kami sambil berteriak-teriak minta uang dan makanan
sembari menunjuk mulutnya. Aku merasa iba melihatnya dan tanpa sadar membuka
dompet untuk memberikan beberapa lembar uang dollar. Mendadak petugas UN
memperingatiku, aku pun urung memberikannya.
Kehadiranku di Kabul memenuhi undangan
panitia pelatihan tentang Hak dan Kesehatan Reproduksi yang diadakan oleh
Departemen Kesehatan Afghanistan dengan dukungan United Nations, lembaga
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang selanjutnya dikelola oleh UNFPA. Peserta
pelatihan adalah pimpinan agama, termasuk dari kelompok Taliban.
Pelatihan selama 8 hari itu memang
dikhususkan bagi kalangan agama agar mereka mengerti tentang pentingnya hak dan
kesehatan reproduksi dan kemudian diharapkan mau menjelaskan isu tersebut dalam
khotbah mereka di masjid dan berbagai media dakwah lainnya. Peran pemuka agama
sangat penting dalam perubahan masyarakat, khususnya bagi umat Islam.
Afghanistan adalah negara Islam sangat
miskin dengan kematian ibu melahirkan paling tinggi di Asia, juga dikenal sebagai
negara dengan angka kelahiran sangat tingggi. Inilah negara Islam yang
tercabik-cabik oleh perang dan konflik yang tidak berkesudahan. Berita bom
bunuh diri dan ledakan senjata sudah merupakan menu utama sehari-hari. Aku
ingat sekali ketika chek in di hotel, hal pertama yang dijelaskan oleh
resepsionis adalah letak bunker, tempat pertama yang harus dituju ketika
terjadi serangan bom. Penjelasan itu membuatku merinding dan tidak bisa tidur
lelap selama di berada di sana.
Salah satu faktor yang membuat kondisi
perempuan dan masyarakat umumnya terpuruk adalah tidak terpenuhinya hak dan
kesehatan reproduksi perempuan, yang jumlahnya nota-bene merupakan setengah
dari bangsa Afghanistan. Pemerintah abai terhadap hak dan kebutuhan mendasar
rakyatnya, terutama kaum perempuan. Pemerintah kurang peduli terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi, kurang peduli terhadap kelangsungan hidup warganya.
Sejak Taliban berkuasa, perempuan ditarik
dari ruang publik. Mereka dilarang bekerja dan harus berada di rumah atau ruang
domestik. Para perempuan yang tadinya bekerja sebagai guru, hakim, dokter,
perawat, karyawan perusahaan dan lainnya kini kehilangan pekerjaan. Akibatnya,
kemiskinan semakin mendera masyarakatnya.
Para perempuan yang sebelumnya memiliki
penghasilan tetap, dan bahkan sebagian mereka justru menjadi penyangga utama
ekonomi keluarga kini harus menganggur. Sebagian terpaksa menjadi pelacur dan
pengemis. Anehnya, ketika mengemis dan melacur pemerintah Taliban membiarkan
mereka berada di jalan atau di area publik.
Apakah semua yang memakai burqah itu perempuan?
Pada hari pertama pelatihan, sebagian
peserta memandangiku tidak ramah karena bagi mereka, perempuan tidak pantas
bicara di depan laki-laki apalagi memberikan ceramah dan menggurui. Begitu
mereka tahu aku berasal dari Indonesia, salah seorang peserta berkata: “Muslim
Indonesia semuanya kafir karena mempraktekkan KB (Keluarga Berencana). Muslim
Indonesia kafir karena laki-lakinya tidak pakai gamis, melainkan pakai baju
kafir, baju Amerika. Muslim Indonesia kafir karena laki-laki tidak pelihara
jenggot, padahal itu sunnah Nabi yang paling afdhal. Jadi, kalian kafir.” Aku
tertawa, kupikir dia sedang bergurau.Tapi, dia memandangiku tajam sebagai tanda
bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya itu.
Ketika break, panjang lebar dia
menjelaskan sebuah hadis tentang jenggot, artinya kira-kira demikian: "panjangkanlah
jenggotmu, cukurlah kumis, berbedalah dari orang-orang kafir". Walhasil, mereka
mempraktikkan hadis ini sebagai suatu kewajiban dan menghukum para lelaki yang tidak memanjangkan
jenggot. Bayangkan, gara-gara jenggot, laki-laki bisa masuk penjara!
Demikianlah, jika kita memahami agama
secara tekstual, yang dipentingkan
adalah penerapan lahiriah dari sebuah teks, bukan pesan moral yang terkandung
di balik teks. Aku sangat yakin pesan moral dari teks suci itu pasti mengandung
nilai-nilai penghormatan kepada manusia sebagai karya agung Tuhan, Maha
Pencipta.
Di awal pelatihan, banyak peserta protes
keras dengan penjelasan nara sumber. Sebagian mereka menuduh kami para
pembicara sebagai agen Amerika yang kafir dan berusaha mengubah dan
mendangkalkan akidah umat Islam. Bagiku, mereka yang meyakini itu adalah
kelompok masyarakat yang picik dan kurang gaul. Mereka tidak mau mendengar
pendapat yang berbeda karena selalu memandang pendapat orang lain salah, orang
lain selalu dituduh kafir, murtad dan sesat. Labeling seperti inilah yang
menyulitkan mereka untuk mendengar, belajar, berdialog dan mengedepankan
pemikiran kritis dalam segala hal. Pantaslah jika mereka sulit berubah.
Mestinya, kita selalu membuka ruang untuk
mendengarkan pendapat orang lain dari mana pun datangnya. Perbedaan pendapat
bukanlah ancaman yang harus ditakuti, perbedaan pendapat adalah sebuah modal
sosial yang dapat mengantarkan kita menjadi lebih kritis dan lebih bijak,
terutama untuk lebih memahami eksistensi diri kita sebagai manusia, sebagai
makhluk mulia ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih.
Hari ketiga pelatihan, peserta tampaknya
sudah mulai cair, mereka sudah mau berdialog. Sebagian besar mereka mulai
respek pada penjelasanku, terutama ketika aku menjelaskan ayat-ayat suci
Al-Qur’an yang berbicara tentang pentingnya menghormati sesama manusia,
pentingnya kesetaraan gender, serta pentingnya memenuhi hak dan kesehatan
reproduksi.
Seorang Pimpinan Taliban menyimak ceramah
Beberapa tampak terkesima karena aku
menghapal sejumlah ayat Qur’an terkait isu-isu keluarga dan kehidupan masyarakat
luas. Seorang peserta mengatakan, tidak banyak perempuan bisa menghapal
ayat-ayat Qur’an. Syukurlah, jika kemampuan perempuan menghapal Qur’an menjadi
ukuran untuk respek. Bagiku, itu belum cukup, sebab semua perempuan harus
dihargai tidak peduli mampu atau tidak menghapal Qur’an. Semua perempuan harus
dihargai, baik sebagai warga negara yang merdeka maupun sebagai manusia
seutuhnya.
Sungguh di luar dugaan, pada hari terakhir
pelatihan tiga orang peserta menghampiriku lalu berkata, “maafkan sikap kami
yang tidak ramah dan cenderung kasar di awal pelatihan. Sekarang kami baru
paham apa itu makna demokrasi, apa itu prinsip hak asasi manusia, dan mengapa
hak kesehatan reproduksi itu penting. Kami berterimakasih mendapatkan ilmu
bermanfaat.”
Bukan hanya itu, mereka pun menambahkan:
“Ke depannya, kami siap melakukan ijtihad kemanusiaan, memberikan pencerahan
kepada umat agar mereka mencintai ilmu dan pendidikan. Hanya dengan ilmu dan
pendidikan yang cukup, umat Islam menjadi umat yang berkualitas, menikmati
keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Kami baru sadar, bahwa esensi Islam
adalah penegakan hak asasi manusia, yaitu sungguh-sungguh memanusiakan
manusia.”
Dalam hati aku berkata, inilah pentingnya
pelatihan, pentingnya dialog, dan pentingnya upaya-upaya pemberdayaan
masyarakat. Upaya seperti ini harus banyak dilakukan di berbagai tempat,
terutama di kalangan kelompok Islam radikal yang anti-kemanusiaan dan anti hak
asasi manusia, seperti Taliban.
Keesokan harinya aku meninggalkan bandara
Kabul menuju Dubai untuk segera kembali ke Jakarta. Di bandara aku memerhatikan
sejumlah perempuan masih mengenakan burqah. Namun, begitu mendarat di Dubai,
Uni Emirat Arab, semua perempuan tersebut melepas burqah. Wajah para perempuan
itu terlihat senang dan gembira, mungkin mereka merasa seperti bebas dari
penjara, penjara keyakinan agama yang seringkali lebih menyakitkan.
Aku sangat yakin, semua bentuk pemaksaan,
khususnya pemaksaan dalam agama hanya akan berakhir sia-sia. Selama ajaran
agama dipaksakan pelaksanaannya pasti tidak akan membuahkan kebaikan dan
kemashlahatan bagi manusia dan kemanusiaan. Itulah sebabnya Allah Yang Maha
Penyayang mengingatkan: Berdakwalah dengan penuh hikmah, santun dan
bijak, serta berdebatlah dengan cara yang baik dan beradab. Sesungguhnya hanya
Tuhanlah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan
Dialah juga yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (surah An-Nahl,
125).
Keesokan harinya, aku pun tiba di Jakarta.
Sungguh aku merasa gembira dan juga lega, telah bebas dari kondisi yang
mencekam di Kabul. Semoga umat Islam Indonesia tidak pernah menjadi Taliban.
Jangan pernah!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar