Senin, 16 Januari 2017

Dakwah Hak dan Kesehatan Reproduksi di Taliban

Bersama Pimpinan UNFPA menyampaikan presentasi tentang Kesehatan Reproduksi di hadapan ulama 

Salju turun cukup deras ketika pesawat Ariana Airlines yang aku tumpangi mendarat di Kabul, Afghanistan. Nyaris seluruh permukaan bandara tertutup salju tebal. Aku segera keluar dari pesawat mengikuti penumpang lain menuju bandara tua dan kumuh, kondisi bandaranya mencerminkan negara ini sangat terkebelakang. Aku terkejut melihat begitu banyak tentara dengan senapan siap tembak di sekitar bandara, sungguh mencekam. 

“Jangan pernah keluar bandara sebelum bertemu petugas UN yang menjemput ibu”, demikian kalimat berulang kali disampaikan oleh panitia sebelum saya berangkat. Untunglah, begitu tiba di ruang pengambilan bagasi, seseorang menghampiri sambil tersenyum ramah dan menunjukkan identitas dirinya sebagai petugas UN. Aku pun segera mengikutinya ke mobil yang didesain khusus untuk anti peluru. Ada perasaan tidak nyaman, tapi kemudian aku segera sadar mengapa harus menggunakan mobil itu.

Tak lama, mobil kami sudah meluncur di jalan raya menuju Hotel Serena, satu-satunya hotel yang dianggap layak dan aman di Kabul. Sepanjang jalan menuju hotel terlihat banyak tentara bersenjata lengkap. Bahkan, tidak sedikit yang berdiri di atap gedung dengan mata tajam mengawasi, suasana terasa semakin mencekam.

Perhatianku lalu tertuju kepada sejumlah pengemis di pinggir jalan, mereka memakai burqah, pakaian khusus untuk perempuan yang menutupi seluruh tubuh berwarna abu-abu tua. Menurutku, bentuknya seperti kelambu. Hanya tersedia beberapa lubang kecil di bagian mata untuk melihat.

Pemandangan di satu sudut kota Kabul, Afghanistan
Perempuan harus memakai burqah

Aku membayangkan, mereka yang mengenakan burqah pasti merasa tidak nyaman, sulit bergerak, juga sulit untuk memandang dengan leluasa. Sempat terlihat seorang perempuan menggendong anaknya di dalam burqah, aku sangat khawatir anaknya akan kekurangan oksigen. Sulit memastikan, apakah semua pemakai burqah adalah perempuan? Boleh jadi ada laki-laki memakai burqah untuk mengemis atau untuk tujuan lain.

Semakin lama terlihat pengemis semakin banyak, ada juga sejumlah anak-anak, usia mereka antara 4-12 tahun, sebagian nekat mengganduli mobil kami sambil berteriak-teriak minta uang dan makanan sembari menunjuk mulutnya. Aku merasa iba melihatnya dan tanpa sadar membuka dompet untuk memberikan beberapa lembar uang dollar. Mendadak petugas UN memperingatiku, aku pun urung memberikannya.

Kehadiranku di Kabul memenuhi undangan panitia pelatihan tentang Hak dan Kesehatan Reproduksi yang diadakan oleh Departemen Kesehatan Afghanistan dengan dukungan United Nations, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang selanjutnya dikelola oleh UNFPA. Peserta pelatihan adalah pimpinan agama, termasuk dari kelompok Taliban.

Pelatihan selama 8 hari itu memang dikhususkan bagi kalangan agama agar mereka mengerti tentang pentingnya hak dan kesehatan reproduksi dan kemudian diharapkan mau menjelaskan isu tersebut dalam khotbah mereka di masjid dan berbagai media dakwah lainnya. Peran pemuka agama sangat penting dalam perubahan masyarakat, khususnya bagi umat Islam.

Afghanistan adalah negara Islam sangat miskin dengan kematian ibu melahirkan paling tinggi di Asia, juga dikenal sebagai negara dengan angka kelahiran sangat tingggi. Inilah negara Islam yang tercabik-cabik oleh perang dan konflik yang tidak berkesudahan. Berita bom bunuh diri dan ledakan senjata sudah merupakan menu utama sehari-hari. Aku ingat sekali ketika chek in di hotel, hal pertama yang dijelaskan oleh resepsionis adalah letak bunker, tempat pertama yang harus dituju ketika terjadi serangan bom. Penjelasan itu membuatku merinding dan tidak bisa tidur lelap selama di berada di sana.

Salah satu faktor yang membuat kondisi perempuan dan masyarakat umumnya terpuruk adalah tidak terpenuhinya hak dan kesehatan reproduksi perempuan, yang jumlahnya nota-bene merupakan setengah dari bangsa Afghanistan. Pemerintah abai terhadap hak dan kebutuhan mendasar rakyatnya, terutama kaum perempuan. Pemerintah kurang peduli terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, kurang peduli terhadap kelangsungan hidup warganya.

Sejak Taliban berkuasa, perempuan ditarik dari ruang publik. Mereka dilarang bekerja dan harus berada di rumah atau ruang domestik. Para perempuan yang tadinya bekerja sebagai guru, hakim, dokter, perawat, karyawan perusahaan dan lainnya kini kehilangan pekerjaan. Akibatnya, kemiskinan semakin mendera masyarakatnya.

Para perempuan yang sebelumnya memiliki penghasilan tetap, dan bahkan sebagian mereka justru menjadi penyangga utama ekonomi keluarga kini harus menganggur. Sebagian terpaksa menjadi pelacur dan pengemis. Anehnya, ketika mengemis dan melacur pemerintah Taliban membiarkan mereka berada di jalan atau di area publik.

Apakah semua yang memakai burqah itu perempuan?

Pada hari pertama pelatihan, sebagian peserta memandangiku tidak ramah karena bagi mereka, perempuan tidak pantas bicara di depan laki-laki apalagi memberikan ceramah dan menggurui. Begitu mereka tahu aku berasal dari Indonesia, salah seorang peserta berkata: “Muslim Indonesia semuanya kafir karena mempraktekkan KB (Keluarga Berencana). Muslim Indonesia kafir karena laki-lakinya tidak pakai gamis, melainkan pakai baju kafir, baju Amerika. Muslim Indonesia kafir karena laki-laki tidak pelihara jenggot, padahal itu sunnah Nabi yang paling afdhal. Jadi, kalian kafir.” Aku tertawa, kupikir dia sedang bergurau.Tapi, dia memandangiku tajam sebagai tanda bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya itu.

Ketika break, panjang lebar dia menjelaskan sebuah hadis tentang jenggot, artinya kira-kira demikian: "panjangkanlah jenggotmu, cukurlah kumis, berbedalah dari orang-orang kafir". Walhasil, mereka mempraktikkan hadis ini sebagai suatu kewajiban dan menghukum para lelaki yang tidak memanjangkan jenggot. Bayangkan, gara-gara jenggot, laki-laki bisa masuk penjara!

Demikianlah, jika kita memahami agama secara tekstual, yang  dipentingkan adalah penerapan lahiriah dari sebuah teks, bukan pesan moral yang terkandung di balik teks. Aku sangat yakin pesan moral dari teks suci itu pasti mengandung nilai-nilai penghormatan kepada manusia sebagai karya agung Tuhan, Maha Pencipta.

Di awal pelatihan, banyak peserta protes keras dengan penjelasan nara sumber. Sebagian mereka menuduh kami para pembicara sebagai agen Amerika yang kafir dan berusaha mengubah dan mendangkalkan akidah umat Islam. Bagiku, mereka yang meyakini itu adalah kelompok masyarakat yang picik dan kurang gaul. Mereka tidak mau mendengar pendapat yang berbeda karena selalu memandang pendapat orang lain salah, orang lain selalu dituduh kafir, murtad dan sesat. Labeling seperti inilah yang menyulitkan mereka untuk mendengar, belajar, berdialog dan mengedepankan pemikiran kritis dalam segala hal. Pantaslah jika mereka sulit berubah.

Mestinya, kita selalu membuka ruang untuk mendengarkan pendapat orang lain dari mana pun datangnya. Perbedaan pendapat bukanlah ancaman yang harus ditakuti, perbedaan pendapat adalah sebuah modal sosial yang dapat mengantarkan kita menjadi lebih kritis dan lebih bijak, terutama untuk lebih memahami eksistensi diri kita sebagai manusia, sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih.

Hari ketiga pelatihan, peserta tampaknya sudah mulai cair, mereka sudah mau berdialog. Sebagian besar mereka mulai respek pada penjelasanku, terutama ketika aku menjelaskan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berbicara tentang pentingnya menghormati sesama manusia, pentingnya kesetaraan gender, serta pentingnya memenuhi hak dan kesehatan reproduksi.
Seorang Pimpinan Taliban menyimak ceramah

Beberapa tampak terkesima karena aku menghapal sejumlah ayat Qur’an terkait isu-isu keluarga dan kehidupan masyarakat luas. Seorang peserta mengatakan, tidak banyak perempuan bisa menghapal ayat-ayat Qur’an. Syukurlah, jika kemampuan perempuan menghapal Qur’an menjadi ukuran untuk respek. Bagiku, itu belum cukup, sebab semua perempuan harus dihargai tidak peduli mampu atau tidak menghapal Qur’an. Semua perempuan harus dihargai, baik sebagai warga negara yang merdeka maupun sebagai manusia seutuhnya.

Sungguh di luar dugaan, pada hari terakhir pelatihan tiga orang peserta menghampiriku lalu berkata, “maafkan sikap kami yang tidak ramah dan cenderung kasar di awal pelatihan. Sekarang kami baru paham apa itu makna demokrasi, apa itu prinsip hak asasi manusia, dan mengapa hak kesehatan reproduksi itu penting. Kami berterimakasih mendapatkan ilmu bermanfaat.”

Bukan hanya itu, mereka pun menambahkan: “Ke depannya, kami siap melakukan ijtihad kemanusiaan, memberikan pencerahan kepada umat agar mereka mencintai ilmu dan pendidikan. Hanya dengan ilmu dan pendidikan yang cukup, umat Islam menjadi umat yang berkualitas, menikmati keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Kami baru sadar, bahwa esensi Islam adalah penegakan hak asasi manusia, yaitu sungguh-sungguh memanusiakan manusia.” 

Dalam hati aku berkata, inilah pentingnya pelatihan, pentingnya dialog, dan pentingnya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Upaya seperti ini harus banyak dilakukan di berbagai tempat, terutama di kalangan kelompok Islam radikal yang anti-kemanusiaan dan anti hak asasi manusia, seperti Taliban.


Keesokan harinya aku meninggalkan bandara Kabul menuju Dubai untuk segera kembali ke Jakarta. Di bandara aku memerhatikan sejumlah perempuan masih mengenakan burqah. Namun, begitu mendarat di Dubai, Uni Emirat Arab, semua perempuan tersebut melepas burqah. Wajah para perempuan itu terlihat senang dan gembira, mungkin mereka merasa seperti bebas dari penjara, penjara keyakinan agama yang seringkali lebih menyakitkan.

Aku sangat yakin, semua bentuk pemaksaan, khususnya pemaksaan dalam agama hanya akan berakhir sia-sia. Selama ajaran agama dipaksakan pelaksanaannya pasti tidak akan membuahkan kebaikan dan kemashlahatan bagi manusia dan kemanusiaan. Itulah sebabnya Allah Yang Maha Penyayang mengingatkan: Berdakwalah dengan penuh hikmah, santun dan bijak, serta berdebatlah dengan cara yang baik dan beradab. Sesungguhnya hanya Tuhanlah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah juga yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (surah An-Nahl, 125).

Keesokan harinya, aku pun tiba di Jakarta. Sungguh aku merasa gembira dan juga lega, telah bebas dari kondisi yang mencekam di Kabul. Semoga umat Islam Indonesia tidak pernah menjadi Taliban. Jangan pernah!!
                                           




Tidak ada komentar:

Posting Komentar