Stop Perkawinan Anak !!!
Musdah Mulia
Perkawinan anak adalah
perkawinan yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa atau di bawah usia 18
tahun. Dalam masyarakat umumnya yang terjadi adalah perkawinan anak perempuan
dengan laki-laki dewasa, bahkan kebanyakan adalah laki-laki yang sudah berumur
sehingga lebih pantas menjadi kakek daripada menjadi suami anak tersebut.
Ketentuan internasional dan juga secara nasional menyebutkan bahwa batasan
usia anak adalah 18 tahun. Seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah masuk dalam
kategori anak. Sejumlah peraturan dan perundang-undangan telah lahir, baik di
tingkat nasional maupun internasional, menekankan perlunya proteksi dan
penguatan hak-hak anak. Semuanya demi kemaslahatan anak dan mencegah terjadinya
eksploitasi terhadap anak-anak, terutama anak-anak perempuan melalui modus
operandi perkawinan.
Sejumlah faktor memengaruhi terjadinya perkawinan
anak. Di antaranya, ketimpangan gender, kurangnya pendidikan, kemiskinan,
aneka norma dan keyakinan bias gender. Ketimpangan gender yang dibahas di
sini sebagian besar terkait dengan tafsir budaya tentang maskulinitas dan
feminitas, perkawinan, usia dan seksualitas. Selain penyebab tersebut, faktor
lain yang juga turut bermain yaitu akses ke berbagai pelayanan seperti
pelayanan kesehatan (termasuk kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi),
kurangnya pengetahuan tentang risiko kesehatan pada kehamilan dini dan
bagaimana menangani kesehatan si ibu setelah melahirkan beserta bayinya.
Faktor lain adalah konflik dan migrasi.
Ada semakin banyak bukti menyangkut praktik perkawinan anak di wilayah
pasca-konflik atau di tengah komunitas pengungsi di seluruh dunia. Perubahan
yang terjadi ini juga sangat kasatmata di Indonesia sendiri. Industrialisasi
pedesaan dan di bidang pertanian (misalnya perkebunan kelapa sawit) mengubah
hubungan kerja antara lelaki dan perempuan. Para orangtua bermigrasi untuk
mencari kerja di kota, di sektor informal, di luar negeri, dan anak perempuan
mereka akhirnya menikah muda.
Sejumlah penelitian menyimpulkan, perkawinan anak adalah
sumber dari pelbagai masalah sosial di masyarakat. Paling tidak dijumpai lima
dampak buruk perkawinan anak.
Pertama, perkawinan
anak merupakan penyebab dari tingginya angka perceraian di masyarakat.
Bagaimana anak-anak itu akan bertanggung jawab dalam perkawinan, mereka masih
anak-anak, belum matang dan dewasa, baik fisik, mental, dan spiritualnya
sehingga dalam banyak hal belum mampu menjalankan tanggung jawab sebagai
suami-isteri atau sebagai anggota keluarga.
Kedua, perkawinan anak membawa kepada kemiskinan,
pengangguran dan putus sekolah. Perkawinan menyebabkan terjadinya drop out sekolah, lahirnya bayi stunting
dan malnutrisi. Kesemua ini menjadikan rendahnya kualitas SDM. Kondisi buruknya
kualitas hidup bangsa terlihat jelas pada sejumlah indeks yang ada.
Ketiga, perkawinan
anak membawa kepada kekerasan rumah tangga (KDRT). Mengapa ini terjadi? Sebab,
usia mereka masih sangat muda, penuh emosi sehingga gampang meledak, tidak
berfikir panjang dan belum matang secara mental dan spiritual. KDRT banyak membawa
dampak buruk dalam kehidupan perempuan, terutama terkait dengan kesehatan
reproduksi mereka.
Keempat, perkawinan anak membawa kepada berbagai problem
sosial seperti narkoba, HIV/Aids, aborsi, pelacuran, dan trafficking.
Maraknya penjualan (trafficking) anak, khususnya anak perempuan melalui
modus operandi perkawinan adalah sebuah fakta yang tidak dapat diingkari.
Kekerasan seksual dan penyakit kelamin lain yang dapat menular melalui hubungan
seks, termasuk HIV/AIDS, membawa pengaruh yang dapat merusak kesehatan
anak-anak, dan anak perempuan lebih rentan dibanding anak laki-laki terhadap
akibat-akibat hubungan seksual yang tidak aman dan yang berlangsung pada usia
terlalu dini.
Kelima, perkawinan anak membawa kepada berbagai problem
kesehatan reproduksi. Tingginya AKI (angka kematian ibu melahirkan) disebabkan
terutama oleh kehamilan di usia sangat muda, terlalu sering hamil, dan
ketidakmatangan fungsi-fungsi reproduksi secara biologis dan psikologis; dan rendahnya tingkat kualitas hidup
perempuan di bidang kesehatan. Kehamilan di usia anak sangat beresiko karena
organ-organ reproduksi perempuan belum siap melakukan fungsinya secara optimal.
Melahirkan pada usia muda tetap merupakan persoalan besar dalam meningkatkan
kedudukan perempuan di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial di berbagai
penjuru dunia.
Selain itu, perkawinan anak juga menghambat keberhasilan sejumlah agenda
pemerintah, seperti kesehatan reproduksi, pendidikan dan kemiskinan. Program
pemerintah yang terkait dengan perkawinan anak mencakup: Program Keluarga
Berencana (KB) dan Generasi Berencana (Genre) oleh BKKBN (Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional). Program Pelaksanaan 12 tahun wajib belajar. Program
pengentasan kemiskinan melalui kredit mikro UKM (usaha kecil dan menengah)
untuk keluarga miskin, dan Program Pengarusutamaan Gender (Inpres No. 9/2000).
Perkawinan
membutuhkan kedewasaan dan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis,
melainkan juga kematangan psikologis, sosial, mental dan spiritual. Batas
minimal usia nikah bagi laki-laki dan perempuan sebaiknya 19 tahun. Perkawinan
pada usia dini bagi perempuan dapat menimbulkan berbagai risiko, baik bersifat
biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, janin yang
cacat karena kurang gizi sebab tubuh janin dan tubuh ibunya yang masih dalam
tahap pertumbuhan itu berlomba
mendapatkan asupan gizi dan nutrisi. Selain itu, sang ibu pun dapat mengalami
berbagai risiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi
reproduksi dengan baik.
Rekomendasi dan solusi
- Perlu reformasi peraturan dan UU,
khususnya UU Perkawinan. Usia nikah dalam Undang-Undang Perkawinan harus
dinaikkan menjadi minimal 19 tahun, tanpa pembedaan laki-laki dan
perempuan. Wajib belajar 12 tahun harus dilaksanakan secara serius di
seluruh tanah air agar anak-anak remaja kita terdorong menekuni pendidikan
sebagai bekal hidup di masayarakat.
- Perlu upaya rekonstruksi budaya
melalui pendidikan dalam arti seluasnya. Pendidikan seks yang komprehensif
perlu diajarkan sejak tingkat SLTP dengan menekankan pada aspek kesehatan
reproduksi serta tanggung jawab moral dan sosial. Seks bukan semata-mata soal hubungan
biologis, melainkan lebih pada soal tanggungjawab (responcibility).
Pendidikan seksual terpadu yang diberikan kepada para remaja perlu
mendapat dukungan, bantuan dan pengarahan dari orang tua yang menekankan
tentang tanggung-jawab anak laki-laki dan perempuan atas seksualitas dan
kesuburan mereka sendiri. Hal itu penting karena terdapat lebih dari 15 juta anak perempuan
berusia di antara 15 sampai 19 tahun melahirkan setiap tahunnya.
3.
Terakhir, perlu upaya reinterpretasi ajaran agama
agar tersosialisasi ajaran agama yang lebih humanis, lebih damai dan lebih
ramah terhadap anak dan perempuan. Diperlukan upaya2 serius mereinterpretasi
ajaran agama yang tidak lagi relevan dengan konteks kekinian dan bertentangan
dengan prinsip perlindungan anak perempuan. Misalnya, dalam Islam ada pandangan
bahwa Nabi Muhammad menikahi Aisyah pada usia 7 tahun dan hidup bersama pada
usia 9 tahun. Ternyata, satu-satunya hadis yang menjadi landasan teologis
pandangan ini sangat lemah. Sementara, dijumpai sejumlah hadis yang lebih
rasional menolak pandangan tersebut. Karena itu, mari melakukan perubahan demi
masa depan bangsa dan masyarakat yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar