Ensiklopedia
Muslimah Reformis:
Sebuah
Pendekatan Teologi Feminis
Dr. Atnike Nova Sigiro
(Pemimpin
Redaksi Jurnal Perempuan)
Topik yang beragam dalam buku ini
sejalan dengan judul yang dipilih, sebuah ensiklopedia. Buku ini menuangkan pertanyaan
dan pengalaman penulis sebagai Muslimah. Buku ini dapat dikatakan sebagai
sebuah karya feminis karena standpoint
penulis sebagai perempuan.
Sebagai sebuah karya feminis,
buku tidak hanya mengangkat topik tentang perempuan. Posisi ini juga menjadi
ciri kahas dalam pendekatan feminisi, karena feminisme tidak hanya berkutat
pada persoalan perempuan sebagai dirinya sendiri, tetapi perempuan sebagai
bagian dari situasi yang lebih luas, dalam hal ini Islam dan Indonesia.
Keluasan topik yang ditulis dalam
buku ini membuat karya Musdah Mulia ini tidak hanya relevan bagi perempuan,
bagi umat muslim, tetapi juga agama dan berbagai kelompok, bahkan lebih luas
bagi Indonesia. Dalam buku ini juga dimuat refleksi tentang hubungan umat islam
dengan agama lain dalam konteks Indonesia, topik demokrasi, hak asasi, dll.
Kesemua topik yang diangkat melampaui soal-soal yang spesifik perempuan.
Agama merupakan salah satu topik
yang cukup banyak dibahas dalam diskursus feminisme. Kritisisme pemikiran
feminis terhadap agama umumnya diarahkan pada dominasi maskulinitas dalam
simbol, tafsir, dan praktik kegamaanyang cenderung mengabaikan perempuan.
Pemikiran dan buku tentang
feminisme dan agama masih terbatas. Hal
ini yang patut diapresiasi dari
keberanian penulis untuk mengangkat topik ini. Karena dalam konteks Indonesia,
membicarakan agama bukan sesuatu yang mudah. Di Indonesia, membicarakan isu
agama adalah persoalan sensitif dan penuh resiko. Apalagi ketika dituliskan
oleh seorang perempuan. Ada lapisan resiko yang mungkin perlu dihadapi oleh
penulis.
Dalam kajian feminisme,
setidaknya ada dua pendekatan feminisme dalam memandang agama. Pertama adalah
pendekatan yang memandang agama sebagai objek di luar dirinya. Bagaimana agama
dikonstruksi secara timpang dan menimbulkan ketimpangan terhadap perempuan.
Pendekatan kedua tidak menempatkan agama sebagai objek di luar dirinya, justru
meleburkan feminisme ke dalam diskursus agama itu sendiri.
Buku ini menggunakan pendekatan
yang kedua, dimana penulis tidak menarik batas antara agama dan pandangan
feminisme. Melalui pendekatan ini, buku ini mencoba membangun narasi feminisme
dan humanism terhadap agama. Misalnya pada bab mengenai poligami. Penulis
menggunakan literatur agama, pengalaman sejarah, pengalaman politik di negara
lain, termasuk konsep-konsep keadilan gender untuk memperlihatkan ketidakadilan
gender yang diakibatkan oleh poligami.
Melalui penjelasan yang multi
dimensi tersebut, buku ini memperlihatkan bagaimana diskursus dan praktik agama
terkait poligami bukan merupakan persoalan yang statis. Perkembangan sejarah
memperlihatkan perubahan-perubahan dalam diskursus dan praktik agama. Sehingga
argumen bahwa poligami merupakan situasi yang mutlak terbantahkan.
Beberapa negara dengan mayoritas
penduduk muslim seperti Tunisia misalnya telah menyatakan poligami sebagai
pelanggaran hukum. Buku ini juga memaparkan bagaimana Indonesia pun
sesungguhnya memiliki aspirasi dominan untuk menghapus poligami.
Namun, sistem
politik dan hukum yang koruptif menyebabkan aspirasi untuk menghapus poligami
kerap menghadapi tantangan. Dalam praktek dan kehidupan
sosial manusia memiliki agensi untuk melakukan perubahan dan melakukan
pemaknaan yang adil. Sehingga apa yang dulu dianggap diterima sebagai praktik
umum di dalam masyarakat kemudian dapat diubah.
Melalui interpretasi yang
disertai dengan argumen yang multi dimensi, Musdah Mulia berusaha mengembangkan
sebuah teologi feminis, dimana agama sebagai pandangan hidup diinterpretasi
dengan pandangan yang berkeadilan gender.
Buku ini menawarkan beberapa hal,
yaitu: diskursus mengenai relasi agama
dan perempuan, diskursus mengenai relasi agama dan masyarakat, dan diskursus
mengenai kehidupan agama dan masyarakat di Indonesia. Buku ini menawarkan ruang
emansipasi dengan membuka ruang berpikir tentang agama dengan cara humanis
bahkan nasionalis.
Jika ada ruang yang belum
disediakan dalam buku ini, maka buku ini belum menyediakan ruang untuk memahami
bagaimana dalam upaya mendorong interpretasi agama yang berkeadilan gender
seringkali berhadapan dengan pertarungan politik.
Buku ini juga tidak secara khusus
menjelaskan bagaimana proses ketidakadilan gender dalam diskursus dan praktik
agama dapat terjadi. Buku ini lebih menawarkan nilai-nilai untuk berpikir
kritis, humanis, dan emansipatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar