Membaca
Buku Siti Musdah Mulia:
"Muslimah
Reformis"
Buku “Muslimah Remormis” yang
ditulis Dr. Musdah Mulia menyuguhkan fenomena-fenomena sosial perempuan
Indonesia dengan beragam isu dan problematikanya. Sebagai seorang perempuan
yang cerdas, Musdah, melalui buku itu, berusaha menyingkap realitas-realitas
yang berkaitan dengan isu-isu perempuan yang sedikit sekali atau jarang
terpikirkan atau dipikirkan banyak kalangan. Ia menatap dengan tajam, mendengar
dengan tekun dan merasakan dengan resah wajah-wajah perempuan Indonesia yang
muram.
Ruang-ruang sosial, politik, ekonomi
dan budaya bahkan di ruang privat perempuan hampir sepenuhnya diisi laki-laki.
Gerak perempuan menjadi sempit dan hampir tak bisa bernafas. Boleh jadi
tubuh-tubuh perempuan oleh banyak orang dianggap tidak ada, meski data
statistik kependudukan di negeri ini memperlihatan begitu besar jumlah mereka.
Suara dan pengalaman mereka dianggap sepi dan cenderung dinilai mengada-ada.
Ruang-ruang social, politik, ekonomi dan budaya dengan begitu dalam pikiran
Musda tampak menunjukkan relasi-relasi yang bias, timpang dan tidak adil.
“Posisi perempuan di Indonesia saat ini masih sangat lemah dan terdiskriminasi”
tulis Musda, sambil mengutip hasil-hasil penelitian dari banyak pihak. Dan
Musda jelas ingin menyatakan dengan lantang: “Suara dan pengalaman perempuan
harus didengar, jika ingin negeri ini negeri yang adil”.
Orang-orang di luar Musda dan
teman-teman sepemikirannya yang masih sedikit jumlahnya seringkali terjebak
pada tradisi-tradisi yang berjalan sedemikian rupa sehingga ketimpangan relasi
dan ketertindasan perempuan tidak lagi menjadi sesuatu yang aneh dan mengancam
kehidupan. Semuanya dianggap wajar-wajar saja. Lebih jauh tradisi dan
kebiasaan-kebiasaan tersebut kemudian seringkali dijadikan pijakan untuk
melahirkan kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan semua ruang dan
dimensi kehidupan tersebut di atas. Maka tak pelak lagi bahwa realitas timpang
gender tersebut semakin memperoleh kekuatan untuk tetap berlangsung dan akan
semakin menggigit.
Agaknya masih sulit atau bahkan
takterpikirkan oleh banyak pikiran orang bahwa sejumlah kenyataan tersebut sejatinya
tidak lagi relevan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan.
Sebagian orang boleh jadi juga tak pernah tersentuh bahwa hari-hari ini
kita adalah hari-hari yang sudah terperangkap oleh dan tak bisa melepaskan diri
dari ruang dan waktu modernitas.
Sejarah modernitas telah
menggerakkan perempuan ke ruang laki-laki. Intelektualitas, keperkasaan dan
profesionalitas tidak lagi menjadi monopoli laki-laki. Rendahnya kesadaran
sosial akan hal-hal ini mengakibatkan pula rendah atau lemahnya semangat untuk
melakukan proses-proses perubahan kebijakan ke arah penciptaan realitas baru
yang lebih baik bagi relasi laki-laki dan perempuan.
Musdah dalam buku ini menyingkap
hampir seluruh problem krusial perempuan dan menggugat hampir semua kalangan
pengambil kebijakan publik yang merugikan hak-hak mereka. Beberapa di antaranya
adalah pendidikan berperspektif perempuan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
kesehatan perempuan, hak politik perempuan, hak ekonomi perempuan, perkawinan,
AIDS, trafficking perempuan dan anak dan lain-lain.
Untuk semua isu ini dia tidak hanya
bicara panjang lebar, tetapi juga, memperlihatkan data-data dan
instrumen-instrumen hukum dan mengungkapkan pengalamannya. Dia tentu saja
berharap bahwa pemaparan tentang isu-isu krusial tersebut akan menyentuh
kesadaran orang, lalu dipikirkan dan selanjutnya dilakukan proses transformasi
sosial dalam arti luas.
Muslimah yang Beranian
Musdah Mulia adalah perempuan
intelek sekaligus aktivis. Ia seorang perempuan muslimah yang memiliki basis
intelektual Islam yang cukup kuat. Ia membaca sumber-sumber klasik Islam yang
dalam masyarakat muslim Indonesia acapkali dijadikan acuan merumuskan
kebijakan.
Dengan latar belakang Musdah seperti itu, dia mencoba melakukan
analisis kritis terhadap sejumlah keputusan yang menggunakan terma-terma agama
terhadap isu-isu perempuan di atas pada satu sisi, dan mengarahkan
kebijakan-kebijakan publik di seputar isu yang sama dari perspektif agama yang
dimilikinya pada sisi yang lain.
Tulisan-tulisan Musdah dalam buku
ini memang sarat dengan pikiran-pikiran kritis dan transformatif. Kritik-kritik
Musdah paling tajam antara lain diarahkan kepada sejumlah keputusan fatwa
Majelis Ulama Indonesia, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Terhadap fatwa MUI, Musdah
mempertanyakan dengan nada kritis tentang banyak hal yang sudah dikeluarkannya.
Ia kemudian menyimpulkan; fatwa-fatwa MUI tidak sensitif terhadap isu-isu
perempuan, (ulama di situ) pada umumnya tidak menganggap penting perempuan
terutama dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, (ulama
di situ) pada umumnya menilai konsep kesetaraan gender bertentangan dengan
ajaran Islam dan (ulama di situ) pada umumnya sangat kental dipengaruhi
pandangan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhi.(hal.131). Ini
betul-betul terasa menohok dan telak.
Dalam bagian lain soal pandangan MUI
terhadap aliran Islam lain, Musdah sungguh sangat berani ketika ia mengatakan:
“Kebijakan MUI yang tidak menoleransi pandangan Islam aliran lainnya ini
sungguh merupakan hambatan serius bagi uapaya-upaya demokrasi dan nilai-nilai
pluralisme dalam pembangunan bangsa, terutama bidang agama”.(hal. 133).
Tidak berhenti sampai di sini,
Musdah juga melakukan kritik hampir menyeluruh terhadap UU Perkawinan dan KHI.
Dia melihat bahwa kedua produk hukum positif dan pedoman hakim peradilan agama
ini “mengandung hal-hal yang berseberangan dengan prinsip-prinsip kemaslahatan
keadilan demokrasi, hak asasi manusia pluralisme serta keadilan dan kesetaraan
gender”.
Dan untuk ini dia mempelopori gagasan penyusunan KHI baru yang
disebutnya sebagai ”counter legal drafting”.Isinya merupakan revisi terhadap
kedua perangkat hukum tersebut. Lagi-lagi Musdah sungguh perempuan yang berani,
manakala “Counter Legal Drafting” ini kemudian dilaunching di hadapan
publik dan dipublikasikan oleh media massa. Hasilnya sudah dapat diduga; reaksi
keras muncul di mana-mana dan dari sejumlah tokoh penting dengan nada
emosional, mengecam dan mensitigmatisasi bukan hanya terhadap Musdah tetapi
juga gerakan feminisme secara umum.
Musdah dkk. dianggap telah menyampaikan
pikiran-pikiran keagamaan yang sesat dan menyesatkan.
Ketika konon pejabat tinggi negara
di Departemen Agama kemudian melarang KHI versi CLD ini, saya segera
mengontaknya. Musdah menjawab : “Conter Legal Drafting KHI bukanlah RUU. Itu
adalah tawaran yang perlu dibaca dan dianalisis publik. Kita menghadapi
realitas yang berubah di mana perempuan masih terdiskriminasi. Ini adalah
penemuan ilmiah, hasil kajian. Sejumlah Tesis dan Disertasi juga memperlihatkan
kesimpulan yang sama. Soal diterima atau tidak, itu terserah kepada publik dan
kepada wakil rakyat di DPR.”
Perebutan pemaknaan
Perdebatan di sekitar pemahaman atau
pemaknaan teks merupakan perdebatan yang sangat klasik. Ia muncul sejak awal
Islam bahkan sejak manusia mulai berfikir dan berkebudayaan. Perdebatan
itu telah melahirkan sekte-sekte, aliran-aliran pemikiran bahkan
ideologi-ideologi. Pada dimensi fiqh, dikenal dua aliran besar, ahl al hadits
dan ahl al ra’y. Aliran pertama cenderung lebih tekstualis (harfiah), sementara
yang kedua lebih rasionalis.
Ada pertanyaan-pertanyaan yang
selalu disampaikan orang: apakah teks harus diterima menurut arti lahirnya atau
bisa ditakwil. Apakah hukum-hukum yang terdapat dalam teks bisa dirasionalkan
atau tidak (hal al ahkam mu’allalah bi ‘illah am la). Apakah akal bisa
bertentangan dengan wahyu? Bagaimana jika bunyi teks berlawanan dengan logika
atau dengan realitas, mana yang harus diprioritaskan?
Pertanyaan-pertanyaan ini selalu
saja dijawab dengan pandangan yang beragam. Problem ini juga dikemukakan Musdah
dalam buku ini. Adalah menarik bahwa para tokoh mazhab sepakat bahwa pendapat
kami benar meski mungkin keliru, sementara pendapat orang lain keliru meski
mungkin benar.
Sesungguhnya kedua aliran ini tidak
berbeda dalam semangat dan tujuannya. Semua sepakat bahwa hukum-hukum Islam
adalah untuk keadilan dan kemaslahatan manusia. Kita menemukan paradigma ini
pada semua ahli fiqh Islam. Menegaskan pandangan gurunya Imam al Haramain al
Juwaini, Imam al Ghazali dalam al Mustashfa, mengemukakan kemaslahatan sebagai
tujuan syari’ah. Ia menjelaskan “kemaslahatan” tersebut dengan apa yang
disebutnya sebagai “al ushul al khamsah” prinsip yang lima perlindungan: “hifzh
al din, al nafs al ‘aql al nasl dan al mal”. Mereka adalah tokoh Syafi’i-
Asy’ari.
Ibnu al Qayyim, tokoh salafi
terkemuka pengikut Ahmad bin Hanbal, dengan tegas menyatakan : “syari’ah Islam
dibangun di atas landasan kebijaksanaan, kemaslahatan, keadilan dan kerahmatan
manusia”. Abu al Wafa Ibn Aqil, juga bermazhab Hambali, menyatakan bahwa
“kebijakan publik harus dibangun untuk membawa kemaslahatan manusia dan
menjauhkannya dari kerusakan, meskipun tidak dibuat oleh Nabi dan tidak ada
wahyu yang turun”.(Baca : Ibnu al Qayyim dalam al Thuruq al Hukmiyah).
Begitu juga Al Syathibi, pengikut
aliran Maliki di Andalusia. Tegasnya tidak satupun ulama yang mengingkari
prinsip kemaslahatan sebagai tujuan agama (maqashid al Syari’ah).
Jika demikian, maka kita
sesungguhnya meyakini bahwa keputusan-keputusan hukum yang dilahirkan para
ulama secara berbeda-beda sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab adalah
maslahat.
Keputusan-keputusan mereka yang beragam tersebut merupakan pemahaman
mereka atas teks-teks al Qur-an maupun hadits Nabi saw. Tidak seorang muslimpun
yang ingin menafikan al Qur-an dan Hadits nabi saw. Saya kira adalah menarik
untuk mengemukakan pandangan Faruq Abu Zaid dalam bukunya “Al Syari’ah al
Islamiyah baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin”, bahwa keberagaman interpretasi
atas teks-teks keagamaan adalah refleksi sosio-kultural mereka masing-masing”.
Pertanyaannya adalah apakah
keputusan-keputusan tersebut masih relevan dengan kemaslahatan kita di
Indonesia hari ini?. Saya kira inilah yang dituntut oleh Musdah terhadap semua
aturan hukum dan kebijakan publik yang ada dan masih berlaku. Jika keduanya
tidak lagi memberikan kemaslahatan dan rasa keadilan bagi manusia
termasuk bagi perempuan apakah ia masih harus dipertahankan?
Apa yang diinginkan Musdah dalam
buku “Muslimah Reformis” ini dengan seluruh analisis dan kritiknya saya kira
adalah bagaimana kita, bangsa Indonesia, dapat mewujudkan keadilan dan
kemaslahatan bagi semua orang di negeri ini.
Musdah mengemukakan hal ini sambil
mengutip bunyi ayat al Qur-an: “In Uridu illa al Ishlah wa ma Tauwfiqi illa
billah “alaihi tawakkaltu wa ilaihi unib” (Aku hanyalah ingin perbaikan,
petunjuk hanyalah bagi Allah dan aku pasrahkan kepada-Nya dan kepada Nya aku
akan kembali). Ini artinya dia memang perempuan muslim reformis. Dan dia sudah
menyampaikan keinginannya.
Perebutan pemaknaan atas teks pada
akhirnya harus disudahi melalui mekanisme yang berlaku di negeri ini ;
“musyawarah”, diskusi, dialog, dan “ittifaq al ummah”, (jika tidak ingin kita
katakan “secara demokratis”), bukan dengan jalan sendiri-sendiri apalagi dengan
kekerasan atau “membunuh karakter” orang. Dan Musdah menawarkan sejumlah metode
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar