Musdah Mulia
Sejak tahun 2009 Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menyodorkan potret buram demokrasi. Sebelumnya, kita tidak punya alat untuk mengukur perkembangan demokrasi di negeri ini. Berbagai upaya pengembangan demokrasi telah dilakukan dan sejumlah progres telah dicapai, namun sampai laporan IDI yang dirilis tahun 2017 capaian indeks demokrasi Indonesia masih jauh dari kategori baik. Bahkan, masih berkutat pada level demokrasi prosedural, belum substansial.
Laporan IDI 2016 menyimpulkan, hambatan utama penegakan demokrasi adalah lemahnya kultur demokrasi. Artinya, demokrasi Indonesia berjalan nyaris tanpa penegakan nilai-nilai demokrasi (democratic values) itu sendiri yang intinya adalah nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kesetaraan dan keadaban.
Dengan ungkapan lain, etika demokrasi belum dihayati sedemikian rupa, baik oleh masyarakat, maupun elit politik dan para penyelenggara pemerintahan. Lalu, IDI 2017 memperkuat temuan tahun sebelumnya. Bahwa masalah paling krusial dihadapi bangsa Indonesia dalam penegakan demokrasi adalah rendahnya kualitas partisipasi masyarakatdan buruknya representasi institusi demokrasi. Kondisi ini menjelaskan tidak berjalannya pendidikan politik sebagaimana diharapkan. Tidak heran jika partisipasi masyarakat masih didominasi oleh aksi-aksi demo yang berakhir ricuh penuh kekerasan, intoleransi dan radikalisme. Ekspresi keterlibatan masyarakat justru diungkapkan melalui sikap dan perilaku yang bertentangan dengan demokrasi, bahkan anti demokratik.
Kondisi demokrasi yang rapuh ini diperparah pula oleh buruknya representasi lembaga-lembaga demokrasi, seperti lembaga birokrasi, legislatif, peradilan, dan yang paling menyedihkan adalah lembaga partai politik. Lembaga partai politik cenderung oligarki dan tidak memiliki kader-kader handal. Tidak heran jika pada setiap Pemilu Legislatif hampir semua parpol menyodorkan wajah-wajah asing, bukan wajah yang dibesarkan dalam internal partai. Mereka umumnya adalah para pemilik modal (pengusaha) dan selebriti yang sudah memiliki popularitas di masyarakat.
Apa yang terjadi di Indonesia adalah perubahan dari suatu kondisi ekstrem ke keadaan ekstrem lainnya, dan tidak pernah menyelesaikan masalah. Akibatnya terjadi pergeseran yang radikal dari kekuasaan yang terpusat menjadi tersebar. Pada saat yang sama perubahan radikal tersebut tidak dapat mengatasi permasalahan pada masa transisi. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan kita belum menemukan bangunan pemerintah yang dapat bekerja secara efektif dalam memecahkan masalah. Sejauh ini, institusional set-up dalam disain demokrasi yang diterapkan di Indonesia mengalami berbagai hambatan serius. Dalam kasus Indonesia, perubahan itu belum menghasilkan institusi negara atau pemerintah yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang begitu kompleks. Selain itu, lembaga-lembaga representasi yang berkualitas belum tersedia secara memadai.
Demokrasi belum mampu menjawab problem bangsa secara signifikan, tepat, dan menyentuh akar masalah. Hal ini disebabkan karena kecenderungan proses demokratisasi di Indonesia hanya mengadopsi lembaga dan aturan main demokrasi Barat tapi penerapannya masih disesuaikan dengan kondisi setempat. Seringkali relasi kekuasaan antara aktor politik tidak didasarkan atas faktor strategis rasional tapi diselubungi oleh faktor-faktor lain, seperti primordial (etnisitas), relijiusitas, dan bahkan hal-hal bersifat takhayul dan mitos.
Masyarakat sipil tumbuh, tetapi tidak disertai dengan tumbuhnya nilai-nilai keadaban (virtual values) ketertiban sosial dan keberadaban masyarakat. Kebebasan sipil yang dijamin konstitusi tidak punya arti bagi kelompok minoritas. Demokrasi menjadi tidak liberal. Kebebasan politik mendapat tempat, tetapi kebebasan sipil (civil liberties), khususnya kebebasan beribadah kelompok minoritas, justru terancam (baca kasus Ahmadiyah, Syi’ah dan kelompok penghayat).
Selain itu, penghayatan keagamaan masyarakat umumnya masih bersifat formalistis dan legalistis. Dalam hidup keseharian agama kurang dihayati sebagai nilai-nilai (values) yang menjadi sikap dan perilaku pribadi maupun kelompok. Setidaknya, ada tiga faktor yang saling kait-mengait: Pertama, pemahaman keliru tentang hubungan antara agama dan negara demokrasi. Pemahaman keliru menyebabkan munculnya pemeluk agama yang memaksakan keyakinan pribadinya kepada masyarakat, bahkan menggunakan tangan-tangan pemerintah sebagai alat untuk itu.
Kedua, kedangkalan penghayatan agama. Kita sering bangga menyebut diri sebagai “bangsa religius” dan tempat-tempat ibadah selalu ramai dibanjiri para pemeluk agama. Tetapi seringkali penghayatan keagamaan berhenti di tempat dan waktu beribadat, tidak terefleksi dalam kehidupan nyata.
Ketiga, sikap yang ambigu terhadap fakta pluralitas (kemajemukan). Perbedaan belum dilihat dan dimaknai secara positif sebagai anugerah; malah sebaliknya dianggap sebagai ancaman! Masyarakat juga belum cukup terdidik menerima dan menghargai perbedaan. Konsep ‘toleransi’ hanya dimaknai sekedar mengizinkan, merelakan dan tidak mengganggu. Hakikat toleransi malah tidak diajarkan, yakni akseptansi (mengakui dan menghormati perbedaan).
Akibatnya, berbagai kekerasan berbasis agama terjadi kasat mata seperti pada awal tahun ini. Di antaranya, persekusi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin Kecamatan Legok Kabupaten Tangerang pada 7 Februari 2018. Serangan terhadap peribadatan di Gereja St. Ludwina Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman 11 Februari 2018 menyebabkan Romo Prier dan pengikutnya mengalami luka berat. Sebelumnya juga terjadi serangan brutal terhadap pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka Bandung, KH. Umar Basri pada 27 Januari 2018, dan pembunuhan terhadap Pimpinan Pusat Persis, H. Prawoto pada 1 Februari 2018.
Pada setiap peristiwa politik (terutama pilkada, pileg, pilpres), para calon bersama tim suksesnya selalu menggunakan politik identitas, memanfaatkan sentimen-sentimen primordial SARA, terutama agama sebagai strategi untuk merebut suara pemilih. Belakangan,demokrasi bahkan diwarnai motif-motif balas-dendam dan syahwat kekuasaan yang ‘menghasilkan’ polarisasi sampai bermacam bentuk ketegangan di lembaga (ter)tinggi Negara. Kondisi tersebut menjelaskan betapa politik semakin tidak berbudaya.
Koalisi politik dibangun bukan berdasarkan kesamaan atau kedekatan ideologis, melainkan persamaan kepentingan pragmatis politik jangka pendek. Demokrasi diganti oligarki, kedaulatan rakyat diganti kedaulatan parpol, bahkan direduksi lagi menjadi kedaulatan koalisi yang didikte seorang ‘komandan’ dengan kekuatan duit dan janji kursi-kursi kekuasaan. Jelas sekali, agama disalahgunakan sebagai alat politik untuk kepentingan jangka pendek dari kelompok atau partai politik tertentu.
Berbagai survei mengafirmasi keresahan umum di kalangan masyarakat tentang meningkatnya trend intoleransi sosial.Sejumlah kasus intoleransi dibiarkan berlalu tanpa penyelesaian hukum yang tegas. Beberapa diantaranya, peristiwa kekerasan antara kelompok masyarakat terkait isu agama dan suku dalam pilkada, isu LGBT, dan sejumlah persoalan terkait hambatan menjalankan ibadah ramai dibicarakan.
Belum lagi kehadiran perda-perda bernuansa agama di berbagai wilayah yang penyebarannya begitu cepat bak cendawan di musim hujan. Kita nyaris kehilangan kepercayaan pada pemerintahan Jokowi karena setelah tigatahun memerintah belum tampak upaya-upaya konkret mengikis semua bentuk intoleransi yang sangat menodai wajah demokrasi kita.
Bukan hanya negara, masyarakat pun gagal dalam melindungi dan menegakkan semangat toleransi dan pluralisme sebagai basis demokrasi yang sehat. Modal sosial dan tingkat dukungan terhadap toleransi, khususnya terkait kebebasan beragama kita relatif rendah. Beberapa survei mengungkapkan, masyarakat diliputi pandangan abu-abu terhadap perlindungan kebebasan beragama dan permisif terhadap penggunaan kekerasan.
Pada level personal, masyarakat enggan hidup bertetangga dengan mereka yang berbeda agama. Enggan memberikan kepada mereka kesempatan menjalankan ibadah secara terbuka dalam bentuk rumah ibadah. Sementara dalam konteks Indonesia yang multi agama, prinsip toleransi dan kebebasan beragama tidak hanya mempunyai landasan pijak dalam konstitusi dan undang-undang nasional, melainkan juga berakar kuat dalam tradisi berbagai agama dan kepercayaan yang sudah hidup ribuan tahun di Nusantara.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama kita masih sangat rendah. Fatalnya, kecenderungan ini terlihat pada semua kelompok masyarakat dalam semua kategori pendidikan. Bahkan, dalam hubungannya dengan afiliasi terhadap partai politik, pendukung partai nasionalis dan partai Islam juga tidak menunjukkan perbedaan berarti. Artinya, ideologi partai khususnya nasional, gagal beresonansi dengan pemilihnya. Walau negara tetap merupakan pihak paling bertanggung jawab melindungi prinsip-prinsip negara demokrasi ideal, termasuk dalam monopoli kekerasan, tetapi persepsi masyarakat tentang pluralisme juga penting.
Penegakan Konstitusi
Catatan paling kentara mengenai intoleransi dan kekerasan keagamaan di Indonesia di era Pemerintahan Jokowi adalahkeengganan pemerintah melakukan tindakan tegas demi menegakkan Konstitusi (government inaction). Pemerintah gagal mengambil langkah-langkah memadai untuk menangkal perilaku vigilantisme dalam bentuk tindakan diskriminasi, restriksi, dan penyerangan terhadap kelompokminoritas berbeda. Selain itu, pemerintah pun tak mampu menahan inisiatif pemerintahan daerah untuk melarang, bahkan mencegah vandalisme atas fasilitas-fasilitaskelompok minoritas, misalnya penyerangan terhadap Pesantren Waria di Yogyakarta dan lainnya. Pemerintah juga tidak mengambil langkah konkret mengukuhkan keputusan Mahkamah Agung yang melegalkan pembukaan ulang GKI Yasmin.
Ada tiga faktor yang mengharuskan isu intoleransi menjadi perhatian bersama. Pertama, meningkatnya jumlah kekerasaan dan tindakan diskriminatif, terutama atas nama agama kepada mereka yang berbeda. Simak laporan berbagai institusi pemerhati toleransi dan perdamaian, seperti ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), Setara Institute, Wahid Institute, Ma’arif Institute.Kedua, mayoritas publik Indonesia menilai bahwa presiden, politisi, dan polisi kurang maksimal dalam upaya penegakan nilai-nilai konstitusi. Mayoritas publik tidak puas dengan kinerja presiden, politisi, dan polisi dalam menjaga kebebasan warga negara menjalankan ajaran agama dan keyakinannya. Ketiga, sikap intoleransi publik cenderung semakin menguat. Sikap intoleransi sangat rawan memicu kekerasan primordial yang membuat kekerasan massal mudah meledak.
Selain itu, aparat hukum tampak tumpul dan ditaklukkan intoleransi, terutama ketika berhadapan dengan aksi-aksi kekerasan kolektif (berjamaah). Negara seperti dikalahkan kekerasan. Pelaku kekerasan lebih sering tidak diproses secara hukum, sementara korban justru dikriminalisasi. Ini terjadi, baik dalam kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, maupun Syiah.
Indonesia terlalu penting untuk diserahkan kepada penjahat demokrasi. Indonesia juga terlalu berharga dipertaruhkan sepenuhnya kepada pemerintah dan politisi. Masyarakat perlu segera mengambil sikap. Ketika isu intoleransi dan diskriminasi masih diabaikan, masyarakat dituntut lebih banyak berkontribusi menegakkan nilai-nilai demokrasi.
Masyarakat pun harus lebih aktif mencegah timbulnya sikap intoleransi. Jangan sampai kelompok-kelompok intoleran yang justru lebih terorganisasi berhasilmenggiring pemikiran masyarakat menjadi intoleran. Selama ini, masyarakat yang mendukung toleransi lebih mengambil sikap diam, terciptalah kelompok mayoritas yang diam (silent majority) dan sikap ini merupakan bencana dalam kehidupan demokrasi.
Silent majority tidak akan akan terwujud jika masyarakat benar-benar sudah matang dalam berdemokrasi. Kematangan itu, antara lain terlihat pada sikap percaya diri yang kuat (self confidence). Sebaliknya, ketiadaan rasa percaya diri melahirkan sikap kerdil, ketakutan dan penuh prejudice.
Namun, harapan yang lebih besar tertuju pada negara. Negara harus tegas menegakkan hukum ketika kekerasan terjadi. Pancasila dan Konstitusi adalah acuan utama. Para penegak hukum harus berani bersikap netral dan adil, meski bertentangan dengan keinginan dan kepentingan mayoritas. Kedua sikap ini terbangun hanya jika mereka memahami secara utuh ajaran agamanya, dan juga memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan.
Demokrasi bukan hanya untuk demokrasi, tetapi demokrasi untuk good life. Demokrasi harus berujung pada kesejahteraan, kemashlahatan dan kedamaian seluruh anggota masyarakat, tanpa kecuali. Apa yang menjadi cita-cita Indonesia, seperti tertera pada Pembukaan UUD 1945 harus dicapai dengan jalan demokrasi yang bukan sekedar masalah kebebasan dan prosedur, melainkan substansi. Untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, diperlukan upaya-upaya penguatan di tingkat grass root melalui pendidikan politik yang dilakukan secara terstruktur, sistemik dan massif. Diperlukan juga, diseminasi interpretasi ajaran agama yang humanistik, progressif dan kondusif bagi tegaknya demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar