وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَ
تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ
شَدِيْدُالْعِقَابِ.
{الأنفال، 8: 25}
“Dan
peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang zalim saja
di antara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya.” (QS. al-Anfal,
8: 25).
HIV/AIDS
dan narkoba telah menjadi epidemi bagi masyarakat dunia. Dari aspek manapun
kita melihatnya -aspek kesehatan fisik dan jiwa, aspek sosial, aspek ekonomi
dan politik dan berbagai aspek lainnya- kita sepakat bahwa keduanya merupakan
bencana terbesar bagi peradaban umat manusia di muka bumi, bahkan bahaya
keduanya diprediksikan jauh lebih dahsyat dari dua Perang Dunia yang pernah
terjadi.
Tulisan
ini khusus membicarakan masalah HIV/AIDS dan narkoba dari sisi preventif (pencegahan), bukan dari sisi
kuratif (pengobatan) nya. Sebab, realitas yang ada membuktikan bahwa
dibandingkan pengobatan, upaya-upaya pencegahan terhadap HIV/AIDS dan narkoba
jauh lebih mudah dan murah sehingga dengan demikian menjadi jauh lebih
signifikan untuk dilakukan.
Para pemuka agama dituntut untuk proaktif
mensosialisasikan upaya-upaya pencegahan terhadap kedua epidemi ini karena
sebagaimana disinggung dalam ayat pembuka di atas, fitnah yang boleh jadi
mengambil bentuk HIV/AIDS dan narkoba, bukan hanya
menimpa mereka yang dzalim, melainkan juga akan menimpa orang-orang baik di
antara kita. Bahkan, hadis Nabi berikut
memberikan sinyal yang lebih kuat akan munculnya suatu fenomena yang sangat
memprihatinkan itu. Diriwayatkan dari Ummi Salamah bahwa Nabi saw bersabda:
إِذَا ظَهَرَتْ
الْمَعَاصِى فِى أُمَّتِىْ عَمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْ عِنْدِهِ، قُلْتُ يَا
رَسُوْلَ الله أَمَا فِيْهِمْ يَوْمَئِذٍ نَاسٌ صَالِحُوْنَ؟ قَالَ: بَلَى.
قُلْتُ: كَيْفَ يَصْنَعُ بِهِمْ؟ قَالَ: يُعِيْبُهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ.
“Apabila
kemaksiatan telah nampak di kalangan umatku, maka Allah swt. akan menurunkan
bencana dari sisi-Nya kepada mereka semua. Saya (Ummi Salamah) bertanya: Wahai
Rasulullah apakah ketika itu masih ada juga orang-orang saleh?, Nabi menjawab:
masih ada, lalu bagaimana nasib mereka?,
Nabi menjawab: Allah pun akan menimpakan bencana kepada mereka
sebagaimana ditimpakan kepada pelaku-pelaku maksiat itu (HR. Imam Ahmad).”
Hadis
di atas secara jelas menggambarkan bahwa dampak epidemi itu tidak bersifat
"lokal", melainkan bersifat universal. Wabah epidemi dapat
menjangkiti seluruh masyarakat, baik yang dzalim maupun yang saleh. Mereka yang
dzalim ditimpa wabah karena kedzaliman
mereka, sementara bagi mereka yang saleh juga akan ditimpa wabah karena
ketidakpedulian mereka untuk mencegah meluasnya wabah tersebut. Karena itu,
dalil-dalil di atas menjadi landasan bagi kita umat Islam, khususnya bagi para
pemuka agama, untuk segera peduli dan dan berpartisipasi aktif dalam
upaya-upaya penanggulangan bahaya HIV/AIDS dan narkoba agar masyarakat
terhindar dari bencana yang mengerikan tersebut.
Memahami HIV/AIDS
dan Proses Penularan
Sejauh
ini hasil penelitian mengenai HIV/AIDS menyimpulkan bahwa penularan virus HIV
dapat terjadi melalui tiga cara. Pertama, melalui hubungan seksual; kedua, melalui
parental (alat tusuk atau suntikan); dan ketiga, melalui perinatal
(penularan dari ibu hamil yang terinveksi HIV/AIDS kepada anak yang
dikandungnya).
Hasil
penelitian juga menggarisbawahi bahwa penularan virus HIV lebih banyak terjadi
melalui kontak seksual, sedang melalui parental dan perinatal
sangat sedikit prosentasenya. Karena itu, dapat
dipahami jika hubungan seksual di luar nikah (baca: perzinahan) dan perilaku
seksual yang menyimpang menjadi perhatian yang serius bagi langkah preventif
dan kuratif terhadap menjalarnya virus tersebut di masyarakat.
Masyarakat
Indonesia mayoritas beragama Islam, sementara syariat Islam secara kuat dan
tegas melarang hubungan seksual di luar nikah (Q.S. Al-Isra`, 17:32),
demikian pula dengan segala bentuk perilaku seksual menyimpang. Dengan
demikian, upaya penanggulangan bahaya HIV/AIDS di tengah-tengah masyarakat yang
mayoritas Islam diharapkan akan lebih berhasil jika dilakukan secara
sistematik, dengan bahasa dan pendekatan agamis.
Akan
tetapi, perlu ditegaskan di sini bahwa meskipun diketahui virus HIV itu lebih
banyak menular melalui kontak seksual, khususnya kontak seksual di luar
perkawinan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa penyakit yang mengerikan itu
juga akan menjangkiti orang-orang baik atau orang-orang yang tidak berdosa di
antara kita. Misalnya bayi-bayi yang tertular melalui ibunya, atau penularan
melalui transfusi darah, atau penularan dari suami atau isteri yang mengidap
HIV/AIDS, atau melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan sebagainya.
Karena
itu, sungguh suatu sikap yang sangat tidak etis memberi cap "pembuat
dosa" kepada para pengidap HIV/AIDS tanpa mempertimbangkan tekanan sosial
yang dialami penderita. Kita umat beragama hendaknya tidak memahami agama hanya
dari perspektif tekstual semata, melainkan lebih melihatnya sebagai suara hati
nurani dalam meresponi kehidupan sehari-hari yang kompleks. Itu berarti kita
perlu menumbuhkan kesadaran untuk tidak selalu menganggap diri kita benar,
sedang orang lain salah dan karenanya harus dikutuk. Dengan cara demikian, kita
dapat membangun konsep agama yang lebih santun terhadap persoalan-persoalan
manusia.
Memahami Narkoba
Narkoba adalah sejenis zat yang dapat menyebabkan
sipemakai terganggu akal sehatnya dan hilang ingatan sesuai dengan dosis yang
digunakan. Jika dikonsumsi tanpa dosis yang tepat akan membuat si pemakai
kehilangan stamina tubuh dan kehilangan keseimbangan jiwa. Dalam kondisi yang
sudah parah, jiwa pemakai biasanya tidak
tertolong.
Secara umum narkoba dapat dikategorikan ke dalam tiga
jenis. Pertama, narkotika natural (alami), yaitu terbuat dari tumbuh-tumbuhan,
seperti ganja, opium, koka, alkot, dsb. Kedua, narkotika semi sintetis. Jenis
ini merupakan modifikasi dari bahan-bahan alami yang kemudian diproses secara
kimiawi supaya memberikan pengaruh lebih kuat, seperti morfin, heroin, kokain,
dsb. Ketiga, narkotika sintetis, yaitu
segala macam obat yang terbuat dari bahan kimia murni yang mempunyai pengaruh
dan efek seperti narkotika alami dan semi sintetis. Dikemas dalam beragam
bentuk, seperti pil, kapsul, tablet, minuman, serbuk, cairan injeksi dsb. Di
antaranya mengambil bentuk obat tidur, seperti kapsul signal, Valium 5, obat
penenang, pil-pil perangsang, seperti kiptagon atau amphetamine, dsb. Menurut data terakhir yang dicatat dari
Perancis, jumlah obat-obat terlarang mencapai lebih dari 500 jenis. Fatalnya,
obat-obat terlarang itu dapat diperoleh dengan mudah di sekeliling kita,
bahkan dengan harga yang relatif murah
Narkoba secara hukum dilarang penggunaannya, baik bagi
pemakai, penjual maupun pengedar. Akan tetapi, barang terlarang itu tetap saja
diproduksi karena sekelompok masyarakat masih membutuhkannya sebagai obat,
misalnya sebagai obat bius, obat perangsang (stimulant) atau obat penahan rasa
sakit bagi penderita penyakit tertentu. Persoalannya adalah bagaimana
menertibkan agar zat terlarang dan mematikan itu betul-betul hanya dimanfaatkan
untuk hal-hal positif demi kepentingan kelompok tertentu yang dilindungi
undang-undang. Karena itu, undang-undang yang mengatur soal penggunaan narkoba
harus tegas dan sanksi bagi pelanggarnya pun harus berat dan ketat tanpa pandang bulu. Namun, yang tidak
kurang pentingnya adalah komitmen politik (political will) yang
sungguh-sungguh dari elit penguasa.
Selanjutnya, bagi para orang tua hendaknya mengenal
dengan baik untuk kemudian bersikap waspada terhadap semua yang berkaitan
dengan penyalahgunaan narkoba. Di antaranya, mengenal bentuk-bentuk narkoba
serta efeknya yang negatif bagi tubuh, mengenal ciri-ciri orang yang kecanduan
narkoba, dan mengetahui cara-cara yang biasa dipakai dalam pengedaran narkoba.
Pengetahuan terhadap hal-hal tersebut sedikit banyaknya bermanfaat dalam upaya
menghindarkan anak-anak atau bahkan
orang lain dari ancaman bahaya narkoba. Pemahaman yang benar akan bahaya
narkoba dapat membangun solidaritas dalam masyarakat untuk membangun gerakan
anti narkoba secara efektif di seluruh lapisan masyarakat.
Islam Harus Mampu Mencegah Bahaya HIV/Aids dan Narkoba
Islam
adalah agama yang diturunkan Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. untuk umat
manusia seluruhnya dan berlaku universal sampai di akhir zaman. Islam
diturunkan agar menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin).
Ajaran Islam mengandung seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam mengatur hidup manusia agar mendapatkan kebahagiaan lahir
dan batin di dunia, serta keselamatan di akhirat nanti.
Oleh
karena itu, fungsi pokok Islam adalah membina manusia agar baik dan sehat, secara fisik, psychis, mental dan sosial.
Ajaran Islam secara jelas menunjukkan mana perbuatan yang baik dan membawa kepada kemaslahatan dan
kebahagiaan, dan mana perbuatan yang buruk dan membawa kepada kemudaratan dan
kesengsaraan. Dengan ungkapan lain, tujuan Islam adalah kemaslahatan manusia
dan karenanya semua yang membawa kepada mudarat dan mafsadat bertentangan
dengan hakikat Islam.
Menurut
Imam Al-Ghazali, kemaslahatan itu diukur pada lima hal yang disebutnya dengan Al-Kulliyat
Al-Khams, yakni terpenuhinya lima hak dasar manusia. Kelima hak tersebut
adalah terpenuhinya hak hidup (hifz an-nafs); terpenuhinya hak
berpendapat atau kesehatan akal (hifz al-`aql); terpenuhinya hak
kebebasan beragama (hifz ad-din); terpenuhinya hak reproduksi (hifz
an-nasl); dan terpenuhinya hak kehormatan diri (hifz al-ardl). HIV/AIDS
dan narkoba jelas mengganggu perlindungan terhadap lima hal mendasar dalam diri
manusia; mengganggu kelangsungan hidup manusia, kesehatan akal, pelaksanaan
agama, kesehatan reproduksi, dan kehormatan manusia. Nilai-nilai Islam itu
harus menjadi acuan, baik dalam interaksi manusia dengan penciptanya (hablun
min Allah), maupun dengan sesamanya manusia (hablun min al-naas),
bahkan, dengan alam semesta (hablun min al-alamin).
Islam
mengatur hidup manusia dengan sejumlah ajaran yang harus ditaati sehingga
tujuan tadi tercapai. Di antara ajaran-ajaran yang dimaksud yang paling penting
adalah ajaran moral atau disebut juga ajaran akhlak. Pendidikan akhlak
menduduki posisi sentral dalam Islam. Begitu pentingnya kedudukan akhlak dalam
Islam sehingga Nabi saw. mengatakan: "Aku semata-mata diutus untuk
menyempurnakan akhlak mulia." Dalam hadis lain Nabi bersabda pula: "Tuhan
telah memilih Islam menjadi agamamu maka hiasilah agama itu dengan akhlak mulia."
Al-Qur`an
mengandung sejumlah ayat yang mengajarkan bagaimana seharusnya manusia
berperilaku dalam pergaulan sehari-hari. Hadis Nabi juga banyak membawa
ajaran-ajaran moral. Bahkan, seluruh ibadah, termasuk di dalamnya salat, puasa,
zakat, dan haji pada hakikatnya mengandung ajaran moral, yang pada intinya
mengajarkan agar manusia senantiasa mengerjakan hal-hal yang baik dan terpuji,
dan sebaliknya menghindari hal-hal yang buruk dan tercela.
Di
antara perilaku yang baik dan terpuji adalah memelihara kebersihan diri, baik fisik
maupun mental, menjaga kesucian diri, menjaga pandangan mata dari hal-hal yang
tidak bermanfaat, menghindari pergaulan bebas, menjauhkan diri dari
mengkonsumsi zat-zat yang membahayakan, seperti minuman keras, obat-obat
terlarang, dan narkoba, serta yang tidak kurang pentingnya adalah memelihara
rasa malu. Rasa malu dapat dibangun dengan menghindari segala bentuk perilaku
tercela, seperti mengumbar keinginan hawa nafsu, menonton hiburan porno, membaca tulisan porno, dan berlebihan dalam
memenuhi hasrat badani.
Dalam
kaitan dengan HIV/AIDS dan narkoba, Islam melihat hal ini sebagai akibat dari
perilaku manusia sendiri, yaitu akibat dari ketidaktaatan mereka terhadap
aturan-aturan yang telah digariskan Allah swt. dalam Al-Qur`an dan Sunnah
Nabi-Nya. Kondisi ini telah diisyaratkan oleh Allah swt. dalam Q.S.ar-Ruum,
30:41, yang berbunyi:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْ النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ
الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ. {الروم،
30: 41}
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Wabah
HIV/AIDS dan narkoba boleh jadi merupakan peringatan Allah swt. terhadap umat
manusia akibat kelalaian dan pelanggaran yang mereka perbuat, sebagaimana
diungkap dalam Q.S. al-An`aam, 44 :
فَلَمَّا نَسُوْا مَا
ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَئٍْ حَـتَّى إِذَا
فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ.
{ الأنعام، 6: 44}
Maka
tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami
pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.
Dua
ayat di atas pada prinsipnya menghimbau manusia agar senantiasa berbuat
kebajikan dan kemaslahatan, dan sebaliknya mengingatkan agar tidak berbuat
mudarat dan maksiat dalam keadaan apa pun. Manusia harus berusaha mengatasi
berbagai problem social di sekitarnya sejak dini. Itulah sebabnya, kita tidak
boleh bersikap masa bodoh atau apatis terhadap masyarakat di sekitar kita. Kita
tidak boleh diam atau membisu melihat gejala kemaksiatan terjadi di tengah
kita. Kita harus berbuat paling tidak berdoa secara sungguh-sunguh memohon
bantuan Yang Maha Kuasa.
Sebab,
jika kemaksiatan telah merajalela di tengah-tengah masyarakat, maka bukan hanya
para pelaku kemaksiatan itu yang akan merasakan dampak negatifnya, melainkan
juga masyarakat di sekitarnya akan turut mengalami akibatnya. Realitas yang ada
di masyarakat menjelaskan kondisi tersebut sepenuhnya.