Penegakan Demokrasi melalui Peningkatan Kualitas Hidup Anak
Bagi saya, demokrasi bukan hanya sekedar pemahaman nilai
atau sebuah paradigma berpikir, tapi lebih dari itu harus diwujudkan dalam kerja-kerja
nyata di masyarakat. Seperti diketahui bahwa pilar penting
demokrasi adalah penegakan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok rentan,
minoritas dan tertindas.
Aktivitas saya dalam upaya penegakan demokrasi dimulai
dengan kerja-kerja advokasi dalam isu anak. Hal itu mulai tahun 1985, sejak
aktif di Fatayat NU, sebuah organisasi perempuan muda di lingkungan Nahdlatul
Ulama yang memiliki basis anggota di tingkat akar rumput.
Ketika saya memimpin Fatayat NU Sulawesi Selatan organisasi ini menekuni program PKHA (Program
Kelangsungan Hidup Anak) bekerjasama dengan badan dunia, UNICEF. Tujuan utama
program adalah memberikan advokasi kepada masyarakat, khususnya jamaah NU yang
berada di level grass root tentang pentingnya kesehatan ibu dan anak. Isu ini
merambat ke berbagai masalah lain seperti isu sanitasi lingkungan dan
pentingnya mengolah gizi yang sehat bagi pertumbuhan anak balita, serta
pentingnya imunisasi bagi anak-anak dan program KB bagi pasangan usia subur.
Fakta di lapangan menjelaskan, berbicara soal
kelangsungan hidup anak selalu terkait dengan soal gizi, sanitasi lingkungan,
akses air bersih, program KB, jumlah pendapatan ekonomi keluarga, masalah
pendidikan yang rendah dan nilai-nilai budaya yang menempatkan ibu hanya
sebagai konco wingking dan berfungsi sebagai “mesin produksi“, serta
juga pandangan agama yang masih sangat bias gender. Tidak mudah meyakinkan
masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan anak dan perlunya KB.
Masyarakat telah memiliki
nilai-nilai dan tradisi sendiri yang seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip
kesehatan, seperti minum air yang tidak dimasak terlebih dahulu, memberikan
makanan yang dikunyah terlebih dahulu oleh orang tua kepada anak balita seperti
kebiasaan masyarakat NTB. Selain itu, pola makan dalam keluarga yang
mengutamakan ayah, sisanya baru diberikan kepada anak-anak, terakhir baru
bagian isteri. Tambahan lagi, kemiskinan dan kebodohan masyarakat membuat
mereka tidak memiliki akses pada air bersih dan makanan dengan gizi seimbang.
Pandangan keagamaan juga mempengaruhi keputusan mereka untuk ikut program KB.
Untuk menyukseskan program PKHA tersebut kami berjejaring
dengan tokoh-tokoh masyarakat dan para pemuka agama di pedesaan. Kami juga
memilih pendekatan advokasi dengan menggunakan bahasa agama. Sebab, pendekatan
ini dianggap mampu meluluhkan tradisi dan kepercayaan agama yang tidak
kondusif.
Demi meningkatkan income masyarakat, kami memperkenalkan
program income generating dalam bentuk pemberian modal bergulir kepada
keluarga miskin. Dengan modal tersebut diharapkan para ibu dapat menambah
penghasilan keluarga sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan dan kesehatan
bagi keluarganya. Namun, yang paling penting adalah meyakinkan para orang tua
(ayah dan ibu) bahwa anak adalah amanah Tuhan yang harus dipelihara sedemikian
rupa dan dijaga kelangsungan hidupnya. Anak memiliki sejumlah hak yang harus
dipenuhi oleh orang tua. Karena tanggung jawab terhadap anak sangat berat maka
setiap keluarga harus merencanakan kehidupan keluarga sedemikian rupa, antara
lain melalui program KB (Keluarga Berencana).
Penegakan Demokrasi melalui Penguatan Hak Asasi Perempuan
Bentuk lain dari upaya penegakan demokrasi yang saya
tekuni adalah kerja advokasi penguatan hak-hak asasi manusia, khususnya
perempuan. Kerja-kerja ini sangat terkait dengan PKHA. Saya menyimpulkan bahwa
upaya menjaga kelangsungan hidup anak dalam keluarga harus dimulai dari
penguatan hak-hak asasi perempuan.
Bagaimana perempuan akan melaksanakan tugasnya dengan
baik dalam kapasitasnya sebagai isteri, ibu, dan anggota masyarakat kalau dia
sendiri tidak menyadari hak-hak asasinya sebagai manusia merdeka dan juga
sebagai warga negara penuh serta potensi-potensi yang tersimpan dibalik hak-hak
tersebut. Sementara, realitas sosiologis di lingkungan masyarakat Muslim
menjelaskan secara nyata betapa perempuan masih mengalami diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan. Ironisnya, hampir semua perlakuan destruktif dan
diskriminatif itu dibenarkan dengan alasan agama.
Buktinya sangat kasat mata. Masyarakat sering
menyalahgunakan tafsir agama untuk kepentingan kekuasaan patriarki. Misalnya, atas
nama agama, perempuan diperlakukan semena-mena, tidak diakui sebagai manusia
utuh sehingga mereka tidak berhak merepresentasikani dirinya sendiri dalam akad
nikah. Pernikahan yang terjadi di masyarakat sesungguhnya adalah pernikahan
antara dua laki-laki: ayah (wali) calon mempelai perempuan dan laki-laki calon
suami. Bahkan, dalam beberapa kasus di pesantren, puteri kyai dinikahkan secara
paksa, atau dinikahkan tanpa sepengetahuannya. Perempuan juga tidak berhak
menjadi wali dan saksi dalam perkawinan, meski terhadap anak kandung yang
dibesarkan sendirian dengan penuh duka lara.
Atas nama agama, perempuan dilarang berkiprah di dunia
politik dan juga dilarang menjadi pemimpin karena jika terpilih menjadi kepala
negara dikhawatirkan akan membawa bencana dalam kehidupan bangsa. Bahkan, di
lingkup rumah tangga saja perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Sebab,
kepemimpinan dalam keluarga adalah hak monopoli laki-laki.
Atas dalih
agama, perempuan dipandang makhluk kotor sehingga harus dienyahkan dari rumah
ibadah ketika menstruasi, dan sama sekali tidak diberikan akses untuk memimpin
ritual agama. Atas nama agama, perempuan dipojokkan sebagai makhluk domestik,
hanya berkutat seputar sumur, kasur dan dapur. Atas nama agama, perempuan
dijauhkan dari peluang mendapatkan pendidikan tinggi, meniti karir dan
beraktivitas secara profesional di ruang publik karena perempuan dianggap
kurang akal dan lemah agamanya.
Atas
nama agama, perempuan harus menjadi isteri yang taat pada suami dengan
memuaskan birahi mereka kapan saja dibutuhkan; perempuan harus rela jika suami
berpoligami karena kerelaannya itu menjadi pintu menuju sorga; perempuan harus
menjadi ibu yang sabar merawat anak-anaknya; dan perempuan harus selalu menjaga
nama baik diri dan keluarganya, serta menjadi penyangga moral demi kebaikan
seluruh masyarakat.
Atas
nama agama, perempuan selalu diposisikan sebagai obyek hukum dalam seluruh
peraturan perundang-undangan, khususnya berkaitan dengan hukum keluarga. Atas
nama agama,
perempuan dipandang sebagai makhluk setengah laki-laki sehingga mendapatkan bagian
warisan hanya setengah dari jumlah yang diterima laki-laki; jumlah kambing
untuk akikah anak perempuan setengah dari jumlah kambing untuk anak laki-laki; persaksian dua perempuan dinilai
setara dengan persaksian satu laki-laki dan seterusnya; dan mahar selalu
dimaknai sebagai harga tubuh perempuan.
Menurut saya semua bentuk perlakuan diskriminatif ini adalah bentuk
pemahaman ajaran agama yang tidak holistik dan sangat terikat pada tafsir atau
interpretasi tradisional. Mungkin tafsir tradisional tersebut cocok bagi
masyarakat pada abad-abad pertengahan, dimana perempuan ketika itu masih
terbatas kiprahnya di arena domestik, belum berkiprah di dunia publik seperti
terlihat sekarang. Dengan meningkatnya peran perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan
serta akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan dinamika masyarakat, perilaku
Jahiliyyah yang merendahkan perempuan harus diakhiri.
Saya pikir, pemahaman agama yang menyudutkan perempuan tidak beranjak
sepenuhnya pada praktek kehidupan yang dicontohkan Rasulullah saw. Dijumpai
banyak hadis yang menjelaskan betapa Rasulullah saw sangat menghormati
keberadaan perempuan, bahkan kehadirannya sebagai utusan Allah adalah membawa
perubahan dan perbaikan besar bagi kehidupan perempuan. Di antaranya,
melepaskan perempuan dari semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan
seperti terjadi sebelumnya di zaman Jahiliyyah.
Rasulullah telah memberikan teladan yang indah bagaimana membangun relasi
yang setara dan sederajat dengan perempuan atau isteri. Hal itu terlihat nyata
bagaimana beliau memposisikan isterinya Khadijah sebagai mitra sejajar yang
dihormati dan dikasihi, teman diskusi dan bertukar pendapat, tempat mencurahkan
perasaan sedih dan gembira, dan menjadikannya sebagai sahabat dalam suka dan
duka. Beliau juga memperlakukan anak-anak perempuannya dengan penuh hormat dan
kasih sayang serta membawanya ke berbagai arena publik, perlakuan beliau itu
sangat berbeda dengan tradisi Jahiliyah yang memandang anak perempuan sebagai
aib yang harus dijauhkan dari ruang publik.
Saya sungguh menyadari, melakukan kerja-kerja advokasi untuk penguatan
hak-hak asasi perempuan pasti menghadapi tantangan yang sangat besar dari
masyarakat. Sebabnya antara lain, masyarakat cenderung sulit berubah, khususnya
jika terkait budaya, tradisi dan penafsiran agama. Mereka memandang kerja-kerja
saya tersebut sebagai melawan tradisi dan juga dianggap bertentangan dengan ajaran
agama.
Tugas advokasi yang saya lakukan ibarat menghadang arus yang deras dan
penuh bahaya. Saya mencoba mendekati sejumlah ulama laki-laki yang berpikiran
progres dan demokratis, khususnya di kalangan NU. Di samping itu, saya juga
berusaha membangun lingkaran dan jejaring di antara aktivis organisasi
perempuan, khususnya yang berbasis agama. Kerja ini dimulai dengan melakukan
upaya-upaya rekonstruksi penafsiran agama. Kami mulai dengan mempertanyakan
secara kritis ajaran agama yang berbicara soal status perempuan dan relasi
gender yang tidak seimbang.
Misalnya, kami mempertanyakan bahwa jika prinsip keadilan
dan persamaan merupakan nilai-nilai dasar ajaran Islam, sebagaimana
dikhotbahkan oleh para pemuka agama, lalu mengapa perempuan diperlakukan secara
diskriminatif dalam masyarakat Muslim? Potret buram tentang perlakuan terhadap perempuan
tersebut, akhirnya melahirkan resistensi masyarakat, khususnya kelompok
perempuan terhadap tafsir atau interpretasi agama yang membodohkan dan tidak
kondusif bagi penegakan demokrasi dalam masyarkat.
Sebagai
perempuan Muslim, saya yakin sepenuhnya bahwa Islam adalah agama ideal dan sangat sempurna. Ajarannya mencakup semua
tuntunan luhur bagi kehidupan manusia di muka bumi dalam semua bidang. Tujuan
Islam tidak lain agar manusia selamat dan bahagia dalam kehidupan dunia menuju
kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.
Saya percaya Islam menjanjikan harapan
hidup yang lebih baik kepada semua manusia tanpa membedakan ras, suku,
bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan jender: laki-laki dan perempuan. Oleh
karena itu, Islam
paling vokal bicara soal keadilan dan persamaan antar manusia, termasuk di
dalamnya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Saya
yakin bahwa kehadiran suatu tafsir dan pemahaman
keislaman yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan memperhatikan
perbaikan nasib kaum perempuan di Indonesia merupakan keniscayaan.
Hanya dengan cara itulah umat Islam dapat menampilkan wajah Islam yang sejati
sebagai agama cinta damai, agama yang ramah terhadap perempuan, dan sekaligus
agama yang membawa rahmatan lil-alamin (kasih-sayang terhadap semua
makhluk).
Penegakan Demokrasi melalui Penguatan Hak Politik Perempuan
Kerja advokasi lainnya dalam rangka penegakan demokrasi adalah dalam isu
penguatan hak-hak politik perempuan. Pengalaman saya sebagai koordinator
program pendidikan pemilih (voter education) yang diperuntukkan khusus
bagi perempuan pemilih pada tingkatan akar rumput (grass root), menyongsong
Pemilu tahun 1999 sangat relevan dikemukakan di sini. Ketika itu saya aktif di
Muslimat NU, organisasi perempuan NU yang merupakan kelanjutan dari organisasi Fatayat
NU. Anggota Fatayat NU yang telah berusia 40 tahun dipersilahkan naik kelas ke
Muslimat NU.
Pada tahun 1998 tidak lama setelah tumbangnya Orde Baru yang berkuasa secara
represif lebih dari tiga dekade atau
sekitar 32 tahun, Muslimat NU menangani program pendidikan pemilih, khususnya terhadap para perempuan di tingkat akar
rumput. Pendidikan pemilih ini sangat penting sebab selama beberapa pemilu perempuan
tidak memilih dengan bebas. Sebagian mereka dalam memilih di bilik suara ketika
Pemilu hanya ikut pilihan suami atau keluarga, bahkan di antara mereka masih
banyak yang belum mengerti makna dan tujuan Pemilu dan bagaimana seharusnya
menjadi pemilih yang rasional dan independen pada Pemilu. Dengan ungkapan lain,
mayoritas perempuan masih ’buta politik’ dan belum menyadari hak-hak politik
mereka sebagai warga negara penuh.
Program pendidikan pemilih dilakukan di 16 propinsi dalam rangka
meningkatkan partisipasi politik perempuan, terutama di tingkat pedesaan di
mana mayoritas perempuan berada. Program voter education yang dilakukan
selama hampir setahun itu menyimpulkan beberapa hal menarik sebagai berikut.
Meskipun Indonesia telah merdeka selama lebih dari setengah abad, namun
perempuan pada umumnya belum memahami hak-hak asasi mereka dan potensi-potensi
yang terkandung dibalik hak-hak tersebut, khususnya hak dalam bidang politik.
Mereka juga belum mengerti makna demokrasi dan pentingnya Pemilu sebagai sarana
untuk membangun masa depan Indonesia yang demokratis, serta kehidupan
masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Program itu juga menyadarkan bahwa pendidikan politik bagi perempuan tidak
pernah diselenggarakan secara sungguh-sungguh dan sistemik. Struktur politik
negara masa Orde Baru menegasikan hak politik perempuan sedemikian rupa, baik
secara individual maupun kolektif. Akibatnya, perempuan mengalami depolitisasi
yang luar biasa.
Depolitisasi perempuan tercermin dari pertanyaan dan ungkapan yang spontan
dilontarkan para peserta, seperti : Apakah boleh menyalahi pandangan orang
tua dalam memilih partai ? Apakah sebagai isteri boleh memilih partai yang
berbeda dengan suami ? Apakah tidak berdosa memilih partai yang berbeda
dengan partai yang berkuasa ? Apakah boleh menyalahi pendapat para imam
atau kyai di dalam memilih partai dalam Pemilu nanti ? Apa pentingnya perempuan berkiprah dalam
politik ? Bukankah dunia politik itu kotor, kejam, dan penuh kekerasan
sehingga tidak pantas ditekuni oleh perempuan ? Bukankah politik itu hanya
milik kaum lelaki karena merekalah yang berhak menjadi pemimpin ?
Pengalaman riil dalam voter education itu menyimpulkan bahwa masalah
perempuan dan politik di Indonesia terhimpun sedikitnya dalam tiga problem: problem
keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang publik ; komitmen
partai politik yang belum sensitif gender sehingga kurang memberikan akses
memadai bagi kepentingan perempuan ; dan kendala nilai-nilai budaya dan
interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki.
Penegakan Demokrasi melalui Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
Bentuk
lain dari upaya penegakan demokrasi yang saya tekuni adalah kerja advokasi
untuk amandemen KHI (Kompilasi Hukum Islam). Hal ini saya lakukan dalam posisi
sebagai Staf Ahli Menteri Agama R.I dan juga selaku Koordinator Program Pengarusutamaan
Gender di Kementerian Agama (Tahun 2001-2009). Saya melakukan kerja advokasi
ini dari dalam institusi pemerintahan, dan dengan dukungan legal Menteri Agama
meski kemudian, beliau menafikan sendiri dukungan tersebut.
Sudah
umum diketahui bahwa Indonesia melalui UU No 7 tahun 1984 meratifikasi konvensi
internasional tentang penghapusan segala bentuk perlakuan diskriminatif
terhadap perempuan, dikenal dengan sebutan CEDAW (The Convension on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Salah satu isi
penting konvensi tersebut adalah larangan diskriminasi apa pun dalam kehidupan
perkawinan.
Isu
perkawinan menjadi penting karena bersinggungan dengan nilai-nilai
sosial-budaya yang hidup dan dianut secara luas dalam masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam. Ajaran Islam sangat kuat mempengaruhi nilai-nilai
budaya, ekonomi, sosial dan politik bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya
nilai-nilai yang berkaitan dengan relasi gender, khususnya relasi suami-isteri
dalam kehidupan perkawinan.
Salah
satu bentuk peraturan yang mengikat umat Islam Indonesia dalam hal perkawinan
adalah KHI (Kompilasi Hukum Islam). KHI
terdiri dari tiga bab: Bab Perkawinan, Bab Perceraian dan Bab Wakaf. Timbul
pertanyaan, mengapa kerja advokasi untuk mengeliminasi segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan harus dimulai dengan amandemen KHI?
Paling
tidak, ada empat alasan. Pertama, KHI
dipandang sebagai jantung syariat atau inti ajaran Islam sehingga menjadi
rujukan nilai di masyarakat. Kedua, KHI merupakan panduan hukum hakim agama di
seluruh Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara-perkara keluarga, khususnya
di bidang perkawinan. Ketiga, upaya mengeliminasi semua bentuk diskriminasi
terhadap perempuan harus dimulai dari keluarga. Sebab, keluarga yang katanya
merupakan wilayah paling aman itu justru paling banyak merekam kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Keempat, sejumlah
pasal dalam KHI berseberangan dengan undang-undang, seperti Amandemen UUD 1945,
UU No.7 tentang Rativikasi CEDAW; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia; UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Semua
undang-undang tersebut sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan
hak-hak perempuan menuju terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan gender
dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Bahkan, dua UU yang disebutkan terakhir sangat mengedepankan perlunya perlindungan terhadap
anak dan perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi, eksploitasi dan
kekerasan.
Berdasarkan empat alasan utama tersebut, Tim
Pengrusutamaan Gender di Kementerian Agama yang saya pimpin merumuskan Counter
Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI). Intinya, CLD KHI adalah
rumusan hukum perkawinan Islam model baru berdasarkan prinsip-prinsip dasar
ajaran Islam dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad saw yang sangat menghormati
hak-hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan dan sangat anti
nilai-nilai patriarki, serta mengadvokasikan kesetaraan dan keadilan gender
dalam relasi laki-laki dan perempuan.
Konsep baru hukum perkawinan dimaksudkan sebagai
respon terhadap berbagai persoalan sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat
Indonesia dewasa ini, antara lain berupa tingginya angka kasus kekerasan dalam
rumah tangga; maraknya kasus trafficking in women and children
dengan menggunakan modus operandi perkawinan; merebaknya praktek perkawinan
kontrak dan poligami yang tidak bertanggungjawab dan amat merugikan perempuan
dan anak-anak; meluasnya praktek perkawinan anak-anak; tingginya angka
perkawinan yang tidak dicatatkan; dan menjamurnya praktek prostitusi di
masyarakat serta meluasnya kemiskinan yang sangat merugikan perempuan.
CLD KHI menawarkan paradigma baru dalam perkawinan, dan itu terlihat dari
empat hal, yaitu rumusan definisi, asas, prisnsip dasar, dan tujuan perkawinan.
Pertama, definisi perkawinan dirumuskan sebagai berikut: Perkawinan adalah akad yang sangat
serius (mitsaaqan ghaliidzan), dilakukan secara sadar oleh dua orang
manusia untuk membentuk keluarga, dan pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan
dan kesepakatan kedua belah pihak.
Kedua, asas perkawinan adalah monogami (tawahhud
al-zawj). Ketiga, prinsip dasar perkawinan ada enam, yakni:
prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan ( al-musaawah),
keadilan (al-'adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (al-ta'addudiyyah),
dan demokratis (al-diimuqrathiyyah). Keempat, tujuan perkawinan
adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga bahagia (sa'adah) dan sejahtera (sakinah)
berlandaskan kasih sayang (mawaddah wa rahmah); serta untuk
memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman, dan bertanggungjawab.
Konsep CLD KHI, terutama hukum perkawinan, bertujuan membela hak asasi
perempuan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Selain itu, untuk mengangkat
status dan harkat perempuan sebagai manusia utuh dan warga negara penuh dalam
masyarakat yang demokratis. Sekaligus juga mengeliminasi semua bentuk dominasi,
kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi, terutama terhadap perempuan yang
terjadi sebelum, selama, dan sesudah perkawinan.
CLD KHI menperjuangkan agar tidak ada lagi dominasi, diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan dalam perkawinan oleh siapa pun dan dengan alasan apa
pun. Tidak ada lagi perkawinan terpaksa, tidak ada lagi perkawinan anak-anak,
tidak ada lagi perkawinan tanpa pencatatan atau sirri (bawah tangan),
tidak ada lagi perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab, tidak ada lagi
perkawinan poligami, dan terakhir semua perkawinan hanya sah jika dicatatkan (registered
marriage).
Meskipun Draft CLD KHI ini belum diterima sepenuhnya, namun telah membuka
mata para ulama dan kalangan intelektual Islam bahwa ada banyak hal yang harus
didiskusikan dalam KHI. Herannya, Kementerian Agama menolak CLD KHI tetapi di
lain pihak merumuskan Rancangan Undang-undang Terapan Bidang Perkawinan sebagai
bentuk penyempurnaan KHI Bidang Perkawinan.
Saya sedikit lega karena draft RUU Terapan bidang Perkawinan yang sekarang
sedang digagas di Mahkamah Agung telah memuat sejumlah pasal yang diusulkan
dalam CLD KHI tersebut, seperti perubahan usia nikah, pentingnya pencatatan
perkawinan, perlunya sanksi bagi pelaku poligami tanpa izin isteri terdahulu,
dan perlunya rujuk dengan persetujuan isteri. Sejumlah pasal telah diakomodasi
dalam RUU yang segera disahkan, namun sampai hari ini RUU tersebut belum juga
disahkan.
Satu hal yang pasti adalah meski draft CLD KHI ditolak, namun terbukti siapa
pun tidak mampu menghentikan penyebaran ide-ide dan gagasan yang tertuang dalam
draft tersebut. Sebagai sebuah hasil penelitian, draft itu menjadi milik
masyarakat dan akan terus didiskusikan sepanjang masa. Kini, CLD KHI menjadi
pembahasan ilmiah yang hangat di lingkungan perguruan tinggi Islam, sampai
sekarang telah lahir sebanyak 12 tesis membahas tema penting ini. Akhirnya,
harus diakui bahwa pemikiran umat Islam akan berubah dan harus berubah.
Penegakan Demokrasi melalui Kebebasan Beragama
Salah satu pilar penting
demokrasi adalah jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi seluruh warga
negara tanpa diskriminasi sedikit pun dan untuk alasan apa pun. Itulah sebabnya
mengapa saya terjun dalam kerja-kerja mengadvokasi pemerintah agar memberikan
jaminan kebebasan beragama bagi seluruh warganya.
Kerja saya dalam advokasi
kebebasan beragama ini dimulai tahun 2000 dalam aktivitas saya sebagai salah
satu pendiri ICRP (Indonesian Conference on Religion for Peace). Advokasi
ini berangkat dari kenyataan menguatnya radikalisme agama dan keinginan untuk
formalisasi syariat Islam di Indonesia pasca reformasi.
Sementara, konstitusi
Indonesia dan sejumlah undang-undang nasionalnya secara tegas menyatakan
kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar (non-derogable)
dan negara menjamin kebebasan beragama sebagai hak sipil bagi setiap warga
negara. Jaminan kebebasan beragama ini juga diajarkan dalam semua agama,
termasuk Islam.
Islam mengajarkan bahwa kebebasan
beragama sangat penting bagi kehidupan manusia karena merupakan hak dan
kebutuhan dasar manusia yang dapat menimbulkan rasa aman, tenteram, dan damai.
Pemahaman agama seperti itulah yang mendasari para pendiri republik ini (the
founding fathers) ketika merumuskan dasar negara Pancasila dan UUD 1945,
khususnya pasal 29 tentang kebebasan beragama.
Political will itu sesungguhnya sudah
tercermin dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Amandemen
UUD 1945 yang sangat kuat menyerukan perlunya perlindungan HAM bagi seluruh
warga negara tanpa ada diskriminasi sedikit pun, termasuk diskriminasi agama,
serta UU No. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi Internasional mengenai
Hak-hak Sipil dan Politik.
Oleh karena itu, advokasi
mewujudkan kebebasan beragama sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi
merupakan keniscayaan. Dalam kerja advokasi ini saya mengajak seluruh elemen
bangsa yang pro-demokrasi, seluruh unsur civil society: kelompok
akademisi, korporasi, agamawan, dan budayawan agar membangun sinergi,
bergandeng tangan, bahu membahu untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan
beragama di negeri ini melalui upaya-upaya konkret sebagai berikut.
Pertama, melakukan
upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti yang
seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu
sekali mengubah budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang
kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis. Kedua,
merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi
terwujudnya kebebasan beragama di tanah air. Ketiga, mengembangkan
reinterpretasi ajaran agama yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan
serta lebih kondusif bagi pemenuhan hak kebebasan beragama. Kami berupaya
mensosialisasikan ajaran agama yang membebaskan manusia dari berbagai belenggu
kebencian, ajaran agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Demikianlah sebagian dari
kerja-kerja advokasi yang saya perjuangkan selama ini demi tegaknya nilai-nilai
demokrasi dan Pancasila serta terwujudnya kehidupan beragama yang sejuk, damai
dan harmoni sehingga pada gilirannya nanti terbangun masyarakat yang beradab
dan mencintai perdamaian. Saya senang melakukan semua kerja-kerja kemanusiaan
ini tanpa rasa jemu dan jera meskipun berbagai tantangan dan ancaman saya
hadapi, mulai dari yang ringan sampai dalam bentuk teror mengerikan. Sebab, saya
yakin hidup adalah perjuangan, perjuangan untuk kemanusiaan. Saya sangat yakin,
kesempatan hidup di dunia hanya sekali, karena itu saya ingin mengisi hidup ini
dengan aktivitas bermakna.
Penegakan demokrasi dan pemenuhan hak asasi
manusia dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara tidak terwujud secara
otomatis melainkan harus diperjuangkan. Sebagai penganut agama, sebagai warga
negara, sebagai perempuan dan sebagai manusia, saya harus menyumbangkan apa
yang saya miliki demi tegaknya Indonesia yang demokratis, demi tegaknya Islam
yang humanis dan ramah terhadap perempuan, dan demi tegaknya peradaban manusia
yang menghargai kemanusiaan. Dengan sumbangan yang sekecil apa pun yang dapat
saya berikan, kelak membuat saya tidak menyesal hidup di dunia yang tidak abadi
ini.