Tradisi
Menutup Kepala Dalam Berbagai Agama
Sangat
menyenangkan hadir dalam Internasional Congress on Listening to Asia di
Universitas Urbaniana, Roma. Presentasi saya berjudul Questioning The Book
in the World of to Day, Faith and Hermeunetics: the Contemporary Islamic
Thought. Pertemuan berlangsung di Universitas Urbaniana, Roma, Italia yang
dikenal sebagai sekolah para suster dan pastor.
Kesimpulan
dari presentasi tersebut adalah penting bagi semua umat beragama untuk mengkaji
kembali pesan-pesan moral dalam kitab suci sehingga mereka dapat hidup bersama
dalam keberagaman dengan penuh damai dan harmoni.
Pertemuan akbar ini dihadiri peserta dari berbagai bangsa, agama dan kepercayaan, warna kulit dan model pakaian. Pluralitas manusia sungguh suatu fakta yang tidak dapat disangkal. Pluralitas itulah yang abadi. Semua upaya untuk menyeragamkan manusia, termasuk menyeragamkan busana, pasti berakhir sia-sia.
Saya
duduk di tengah-tengah biarawati yang menggunakan tutup kepala. Warnanya ada
yang putih, coklat, krem, hitam, abu-abu, dan lain-lain. Bentuk tutup kepala
pun beragam beberapa di antaranya sedikit terbuka sehingga rambut di kepala
bagian depan kelihatan. Namun, tidak sedikit pula yang tutup kepalanya menutup
rapat seluruh kepala sampai ke pundak. Ada tutup kepala yang hanya satu lapis,
lalu ada juga yang berlapis-lapis sehingga terkesan berat di kepala.
Para
biarawati itu berasal dari berbagai belahan dunia. Dari Eropa, Afrika, Australia,
Amerika, dan tidak sedikit dari bangsa-bangsa di Asia, seperti China, India,
Melayu, bahkan beberapa dari Indonesia. Saya memerhatikan mereka dapat hidup
bersama dalam damai, melampaui perbedaan etnik, bangsa, warna kulit, dan
tradisi.
Gereja
ternyata mampu menjadikan perbedaan dan keanekaragaman tersebut menjadi
landasan untuk hidup bersama dalam pelayanan manusia. Mestinya, hal serupa
dapat pula diciptakan di luar gereja. Hanya dengan cara itu, masa depan
kemanusiaan yang penuh damai dapat terwujud.
Realitas
sosial di seluruh dunia mengungkapkan, perempuan yang menutup kepala dijumpai
dalam berbagai komunitas agama: Islam, Khatolik, Kristen Orthodox, Kristen
Koptik, Jana, Jahudi Orthodox. Karena itu, mengklaim tradisi tutup kepala
sebagai monopoli suatu komunitas adalah keliru besar.
Karena
itu, dalam urusan tutup kepala, berilah kebebasan seseorang memilih secara
kritis dan cerdas apakah akan memakai tutup kepala atau tidak. Faktanya, tidak
sedikit yang memakai tutup kepala hanya sebagai fashion belaka. Bahkan, ada
trend di Indonesia jika sudah berurusan dengan hukum barulah pakai tutup kepala
untuk membangun image bahwa dirinya tidak bersalah.
Yang
jelas, keimanan dan kesalehan seseorang tidak bisa hanya diukur dari tutup
kepala yang dikenakannya, melainkan sejauh mana dia sebagai manusia berguna dan
memberikan manfaat bagi sesama serta peduli pada lingkungan sekitarnya.
Sudah
waktunya mengajak masyarakat beragama secara esensial, tidak terpaku pada
hal-hal yang artifisial dan simbolik. Mari saling memahami satu sama lain
sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang harmoni dan saling menghargai.
Agama harus dapat membimbing manusia menjadi lebih manusiawi. Wallahu a’lam bi
al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar