Selasa, 25 Oktober 2016

Agama Otoritarian dan Agama Humanistik


Pertanyaan yang akhir-akhir ini banyak muncul adalah jika agama betul menjadi sumber kekerasan, apakah manusia harus dilarang beragama? Tampaknya sangat mustahil. Sebab, manusia tidak mungkin lepas sama sekali dari agama, setinggi apa pun kemajuan yang dicapainya. Ada ruang spiritualitas dalam diri manusia, karena ia bukan hanya homo-sapiens melainkan juga homo-religious.
Mungkin pertanyaan yang relevan adalah mengapa muncul ekspresi keagamaan yang berwujud perilaku negatif, biadab, sadis dan destruktif? Bukankah sebaliknya, ekspresi keagamaan harus melahirkan perilaku positif, sejuk, damai dan konstruktif? Fenomena Ilahiyah seperti apa dalam bentuk teks, ritual, image tentang Tuhan yang ada di benak pemeluk agama tertentu sehingga mereka merasa bangga melakukan kekerasan terhadap orang yang berbeda (khususnya perempuan)? Demikian juga sebaliknya, sehingga mengadvokasi pendekatan konsiliatoris (damai)?
Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoritarian dan agama humanistik. Unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan merupakan dosa paling besar. Dengan latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani dalam agama otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti dan serba-dependen. Sikap submisif kepada otoritas ini dianggap sebagai suatu jalan lurus bagi manusia untuk melepaskan dirinya dari keterasingan, ketersendiriaan dan keterbatasan dirinya.  Dalam proses submisi (kepasrahan total) ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas diri sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan.
Problemnya, ketaatan kepada Tuhan dalam agama otoritarian seringkali diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan organisasi keagamaan, termasuk di dalamnya taat pada semua bentuk interpretasi keagamaan yang dikembangkan. Jadi, sesungguhnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan,  bukan pada Tuhan itu sendiri. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung pada pemimpin dan sangat loyal pada organisasinya. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus dan fundamentalisme. Akibatnya, para pemimpin agama cenderung bersikap otoritarian, berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun cenderung bersikap anarkis, melakukan kekerasan dan kezaliman. Dan itu dilakukan atas nama Tuhan.
Dalam kasus ini, sikap otoritarian lalu dikembangkan hanya boleh bagi kaum lelaki yang selalu ditempatkan lebih tinggi dari perempuan. Berbagai interpretasi keagamaan digunakan sebagai pembenaran, yang sudah sangat umum adalah interpretasi keagamaan terkait penciptaan, kepemimpinan, perkawinan, perceraian, pewarisan, persaksian, dan bahkan kematian.
Sebaliknya, agama humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk mulia dan memiliki pilihan bebas. Manusia selalu diingatkan pada tanggung jawab individu dan sosial sekaligus. Dalam agama bercorak humanistik, keyakinan selalu didasarkan pada nalar kritis dan pertimbangan hati nurani manusia, bukan dengan bertaqlid buta kepada otoritas agama. Selain itu, suasana keagamaan humanistis adalah damai, sejuk, gembira dan optimis.
Sebaliknya, keberagamaan humanistik menekankan pada pengakuan secara tulus-ikhlas terhadap adanya kesamaan dan kesatuan manusia (humanisme universal). Beragama secara humanistik adalah menghayati agama secara mendalam dalam kerangka membangun peradaban manusia. Model keberagamaan inilah yang mendorong manusia menciptakan lingkungan damai, penuh kasih sayang. Bukan lingkungan yang membiarkan kekerasan, apapun bentuknya.
Berbagai penelitian menjelaskan, pelaku kekerasan agama selalu berasal dari kelompok keagamaan yang bercorak otoritarian dan ekstrinsik. Karena itu, ke depan tugas kita adalah bagaimana mendorong masyarakat agama, apa pun agama dan kepercayaan mereka, agar memilih dan mengembangkan interpretasi keagamaan yang humanistik dan intrinsik.
Dan hal yang tidak kurang pentingnya adalah negara berkewajiban mendorong semua umat beragama di negeri ini agar mempromosikan corak agama yang humanistik. Selain itu, negara juga harus memastikan tersosialisasinya interpretasi keagamaan yang humanistik sesuai nilai-nilai Pancasila dan amanat Konstitusi. Hanya dengan cara itu, kekerasan berbasis agama terhadap perempuan dapat dieliminasi, insya Allah.

Wallahu a’lam bi shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar