Pertanyaan
yang akhir-akhir ini banyak muncul adalah jika agama betul menjadi sumber
kekerasan, apakah manusia harus dilarang beragama? Tampaknya sangat mustahil.
Sebab, manusia tidak mungkin lepas sama sekali dari agama, setinggi apa pun
kemajuan yang dicapainya. Ada ruang spiritualitas dalam diri manusia, karena ia
bukan hanya homo-sapiens melainkan juga homo-religious.
Mungkin
pertanyaan yang relevan adalah mengapa muncul ekspresi keagamaan yang berwujud perilaku
negatif, biadab, sadis dan destruktif? Bukankah sebaliknya, ekspresi keagamaan harus
melahirkan perilaku positif, sejuk, damai dan konstruktif? Fenomena Ilahiyah
seperti apa dalam bentuk teks, ritual, image tentang Tuhan yang ada di benak pemeluk
agama tertentu sehingga mereka merasa bangga melakukan kekerasan terhadap orang
yang berbeda (khususnya perempuan)? Demikian juga sebaliknya, sehingga mengadvokasi
pendekatan konsiliatoris (damai)?
Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan
masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoritarian dan
agama humanistik. Unsur hakiki dari agama otoritarian adalah
sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya,
ketidaktaatan merupakan dosa paling besar. Dengan
latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani dalam agama
otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti dan serba-dependen.
Sikap submisif kepada otoritas ini dianggap sebagai suatu jalan lurus bagi
manusia untuk melepaskan dirinya dari keterasingan, ketersendiriaan dan
keterbatasan dirinya. Dalam proses
submisi (kepasrahan total) ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas
diri sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan
kedekatan dengan Tuhan.
Problemnya,
ketaatan kepada Tuhan dalam agama otoritarian seringkali
diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan organisasi keagamaan, termasuk
di dalamnya taat pada semua bentuk interpretasi keagamaan yang dikembangkan.
Jadi, sesungguhnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil
Tuhan, bukan pada Tuhan itu sendiri.
Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung pada pemimpin dan sangat loyal
pada organisasinya. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus dan
fundamentalisme. Akibatnya, para
pemimpin agama cenderung bersikap otoritarian, berlaku sewenang-wenang dan
pengikutnya pun cenderung bersikap anarkis, melakukan kekerasan dan kezaliman.
Dan itu dilakukan atas nama Tuhan.
Dalam kasus ini, sikap otoritarian lalu dikembangkan
hanya boleh bagi kaum lelaki yang selalu ditempatkan lebih tinggi dari
perempuan. Berbagai interpretasi keagamaan digunakan sebagai pembenaran, yang
sudah sangat umum adalah interpretasi keagamaan terkait penciptaan,
kepemimpinan, perkawinan, perceraian, pewarisan, persaksian, dan bahkan
kematian.
Sebaliknya, agama humanistik memandang manusia
dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk
mulia dan memiliki pilihan bebas. Manusia selalu diingatkan pada tanggung jawab
individu dan sosial sekaligus. Dalam agama bercorak humanistik, keyakinan selalu
didasarkan pada nalar kritis dan pertimbangan hati nurani manusia,
bukan dengan bertaqlid buta kepada otoritas agama. Selain itu, suasana
keagamaan humanistis adalah damai, sejuk, gembira dan optimis.
Sebaliknya, keberagamaan humanistik menekankan pada
pengakuan secara tulus-ikhlas terhadap adanya kesamaan dan kesatuan manusia (humanisme
universal). Beragama secara humanistik adalah menghayati agama secara
mendalam dalam kerangka membangun peradaban manusia. Model
keberagamaan inilah yang mendorong manusia menciptakan lingkungan damai, penuh
kasih sayang. Bukan lingkungan yang membiarkan kekerasan, apapun bentuknya.
Berbagai
penelitian menjelaskan, pelaku kekerasan agama selalu berasal dari kelompok
keagamaan yang bercorak otoritarian
dan ekstrinsik. Karena itu, ke depan tugas kita adalah
bagaimana mendorong masyarakat agama, apa pun agama dan kepercayaan mereka,
agar memilih dan mengembangkan interpretasi keagamaan yang humanistik
dan intrinsik.
Dan hal yang tidak kurang pentingnya adalah negara
berkewajiban mendorong semua umat beragama di negeri ini agar mempromosikan
corak agama yang humanistik. Selain itu, negara juga harus memastikan
tersosialisasinya interpretasi keagamaan yang humanistik sesuai nilai-nilai
Pancasila dan amanat Konstitusi. Hanya dengan cara itu, kekerasan berbasis
agama terhadap perempuan dapat dieliminasi, insya Allah.
Wallahu
a’lam bi shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar