Sikap Terhadap ODHA, Belajar dari Pengalaman Nyata
Ada perasaan sedih mendalam membaca laporan Komisi Nasional Penanggulangan HIV/Aids. Di dalam laporan itu dinyatakan bahwa penderita HIV/Aids justru merebak di kalangan ibu-ibu yang sehari-hari dikenal sebagai “orang baik-baik”, mereka bukanlah seperti diduga banyak orang.
Pengalaman saya berkaitan dengan HIV/Aids dan mereka yang terinfeksi virus HIV (ODHA) dimulai sejak 27 tahun lalu, persisnya tahun 1989 ketika saya masih aktif di Fatayat NU, sebuah organisasi perempuan Islam di lingkungan Nahdlatul Ulama yang memiliki cabang di seluruh Indonesia.
Fatayat NU sangat intensif melakukan upaya-upaya penguatan hak-hak perempuan dengan perspektif kesetaraan gender. Waktu itu Fatayat sedang mengelola program kelangsungan hidup ibu dan anak bekerjasama dengan UNICEF. Sasaran utama program ini adalah kaum perempuan yang berada dalam usia subur, dan karena tuntutan program saya berkeliling ke seluruh pelosok Indonesia menjumpai kaum perempuan, terutama terdiri dari ibu-ibu muda untuk memberikan penyuluhan dan pemberdayaan.
Program ini menggunakan pendekatan keagamaan dalam mempromosikan pentingnya menjaga kelangsungan hidup ibu dan anak melalui kegiatan penyadaran tentang hak dan kesehatan reproduksi, pentingnya imunisasi bagi ibu dan anak, serta pentingnya makanan bergizi bagi ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita. Melalui pendekatan agama, program ini diterima dengan baik oleh seluruh elemen masyarakat, khususnya di tingkat pedesaan di mana mayoritas anggota Fatayat berdomisili.
Dalam pelaksanaan program itulah, secara tidak sengaja saya berjumpa dengan tiga orang ibu yang terinfeksi virus HIV dan anehnya mereka semua awalnya tidak tahu dan bahkan tidak pernah menyangka kalau dirinya telah terinfeksi. Ketika itu masih kuat anggapan bahwa penyakit HIV hanya menghinggapi mereka yang dikenal memiliki reputasi moral yang buruk dan sering berganti-ganti pasangan. Sementara ketiga ibu itu dikenal luas di masyarakat sebagai perempuan baik-baik. Perempuan yang sehari-harinya mengabdikan hidup untuk mengurus keluarga, melayani suami dan merawat anak-anak.
Dari wawancara mendalam terhadap ketiganya, terungkap bahwa perempuan pertama terinfeksi HIV karena transfusi darah yang dijalaninya ketika melahirkan anak pertama; perempuan kedua terinfeksi karena tertular oleh suaminya yang suka ganti-ganti pasangan; dan yang ketiga terinfeksi karena perkosaan yang dilakukan oleh majikan dimana dia bekerja sebelum menikah. Ketiga ibu tadi baru tahu penyebabnya setelah mereka dinyatakan positif mengidap HIV.
Sejumlah pertanyaan kritis muncul: Apakah ibu-ibu yang tidak bersalah itu harus menanggung resiko dipermalukan karena sesuatu yang terjadi di luar kemauan mereka? Apakah pantas ibu-ibu itu dicap sebagai pendosa? Atau andaikata seseorang menderita HIV karena perbuatan dosa yang dilakukannya apakah mereka akan kita stigma lagi? Apakah adil jika orang sakit (ODHA) masih harus menderita akibat stigma dan berbagai label negatif yang dilekatkan pada dirinya? Apakah manusiawi menghakimi orang sakit (ODHA)? Apakah manusiawi mengucilkan mereka (ODHA) dari keluarga dan masyarakatnya?
Pengalaman nyata itu menyadarkan saya akan perlunya memahami secara holistik tentang HIV/Aids; perlunya melakukan advokasi dan pendampingan terhadap mereka yang terinfeksi HIV (ODHA), termasuk anak-anak mereka yang pasti tidak bersalah.
Sejak itu rasa empati terhadap kelompok ODHA tertanam kuat dalam diri saya dan juga komitmen kemanusiaan untuk melakukan penyadaran terhadap masyarakat agar semua stigma dan perlakuan negatif serta merugikan terhadap kelompok ODHA harus diakhiri.
Karena itu, waspadai penularan HIV/Aids, namun tetap sayangi mereka yang telah menjadi korban. Lakukanlah sesuatu yang dapat meringankan beban penderitaan mereka.
Mari mengasihi sesama manusia!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar