Bagian III
Musdah Mulia
International Da’wah Conference 2017, held by
Faculty of Da’wah and Communication, Sunan Kalijaga State Islamic University,
4-5 Oct 2017 in Yogyakarta.
Reformulasi
dakwah: Menjembatani keragaman dan menguatkan kemanusiaan
Sebelumnya,
saya sungguh mengapresiasi semua upaya yang telah dilakukan banyak pihak untuk
meningkatkan kualitas dakwah di Indonesia, termasuk seminar internasional yang
dilakukan UIN Sunan Kalijaga hari ini. Saya mengakui banyak kemajuan telah
dicapai terkait peningkatan kualitas dakwah berkat kerja keras banyak pihak,
khususnya para pegiat dakwah.
Namun, harus
pula diakui bahwa keberhasilan yang ada belum memenuhi harapan, khususnya
dikaitkan dengan kondisi obyektif umat Islam. Menurut saya, reformulasi dakwah
mendesak dilakukan agar dakwah mampu menjembatani keragaman dan menguatkan kemanusiaan (bridging
diversity and enriching humanity).
Dalam reformulasi dakwah,
setidaknya ada lima unsur dakwah yang harus ditingkatkan kualitasnya, yaitu:
Pertama, unsur pelaku dakwah (da’i/da’iyah). Seorang pelaku dakwah,
siapa pun dia, selayaknya memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang
memadai terkait dakwah. Para pelaku dakwah bukan hanya memiliki kompetensi,
melainkan yang terpenting adalah integritas[1] dan passion
kemanusiaan.
Mereka harus punya
komitmen menebarkan interpretasi keagamaan yang baru yang lebih humanis,
demokratis dan rasional selaras dengan kondisi obyektif masyarakat yang dihadapi.[2] Dalam konteks Indonesia,
dibutuhkan da’i yang mengerti falsafah Pancasila dan Konstitusi, serta
nilai-nilai universal hak asasi manusia. Selain itu, juga mengenali nilai-nilai
kearifan lokal yang sudah membudaya di masyarakat.
Umat Islam membutuhkan
da’i yang mampu menghidupkan nilai-nilai moral dalam diri individu dan
masyarakat sehingga masyarakat terdorong untuk selalu berpikir positif dan
aktif berkarya demi kemaslahatan semua manusia. Jika nilai-nilai moral tersebut
hidup dan aktif, manusia terdorong melakukan upaya-upaya amar ma’ruf nahy
munkar dengan cara-cara yang santun dan beradab sesuai kapasitas
masing-masing.
Umat Islam membutuhkan
da’i yang berkomitmen memajukan masyarakat dengan menebar kasih-sayang dan
merajut perdamaian.[3]
Bukan da’i yang pemarah, senang memprovokasi masyarakat dengan ujaran kebencian
dan permusuhan serta menggiring umat kepada kehancuran peradaban.
Kedua, unsur penerima
dakwah (mad’u,
audience). Masyarakat penerima dakwah, walaupun sesama umat
Islam, namun kondisi mereka sangat beragam: antara lain beragam etnis, ras,
bahasa, adat-istiadat, gender, tingkat intelektual, pemahaman keislaman, dan
pilihan politik.
Dakwah seharusnya
mengedukasi mereka menjadi lebih spiritual dan beradab melaui upaya menghidupkan
nilai-nilai moral agama. Jika penerima dakwah terdiri dari orang-orang yang
berpikiran terbuka, kritis, dinamis, senang belajar, ingin berubah, dakwah
merupakan pemicu yang akan mempercepat terjadinya transformasi masyarakat.
Sebaliknya, jika penerima
dakwah terdiri dari orang-orang yang skeptis, apatis, mudah diprovokasi, tidak
kritis dan tidak rasional, maka kegiatan dakwah tidak banyak membantu mereka
melakukan transformasi. Jika demikian kondisinya, maka dakwah akan berubah
bentuk dari tuntunan menjadi tontonan dan menjadikan penerima dakwah sebagai
obyek tontonan atau bahkan hanya menjadi obyek politik untuk pemenangan partai
atau kelompok tertentu.
Ketiga, unsur materi
dakwah (maddah) atau disebut juga pesan-pesan dakwah. Materi dakwah
setidaknya menjelaskan nilai-nilai moral keagamaan yang harus dihidupkan dalam
diri setiap manusia agar menjadi manusia berakhlak karimah. Sebab, itulah
tujuan utama dari misi kenabian. Sesuai sabda Nabi Muhammad saw: ”aku diutus
semata untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” Minimal menjelaskan nilai
keadilan dan kesetaraan manusia, termasuk keadilan dan kesetaraan gender.
Sebab, pengingkaran terhadap nilai tersebut membawa kepada berbagai
ketidakadilan dalam masyarakat.
Dakwah akan berhasil
manakala materinya memenuhi kebutuhan masyarakat penerima dakwah. Misalnya,
konten dakwah terhadap masyarakat petani hendaknya dikaitkan dengan upaya-upaya
peningkatan kualitas hasil pertanian mereka. Materinya lebih banyak berisi
pesan-pesan moral agama yang mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai pekerja
dan pengabdi kemanusiaan. Konten dakwah hendaknya memberikan harapan hidup yang
lebih baik, kepastian dan janji kebahagiaan, bukan berisi ancaman, provokasi
kebencian, makian dan cerita horor yang penuh hoax dan kebohongan.
Keempat, unsur media
dakwah (wasilah). Dikenal beragam wasilah, seperti dakwah dengan
lisan, tulisan, lukisan, dan audiovisual dalam bentuk film dan video singkat,
meme, foto dan kaligrafi. Kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang
telekomunikasi dan informatika menawarkan begitu banyak ragam media yang dapat
digunakan untuk melakukan dakwah.
Para pelaku dakwah
hendaknya berani dan mampu menggunakan semua media untuk tujuan keberhasilan
dakwah, bahkan mereka perlu menciptakan media baru yang lebih efektif untuk
dakwah. Apa pun media yang dipilih yang penting adalah tetap konsisiten
menggunakan bahasa yang santun dan menyentuh empati kemanusiaan.
Kelima, unsur metode
dakwah (thariqah). Alquran secara jelas
mengemukakan metode dakwah mengandung tiga prinsip: hikmah, maw’izhati`l-hasanah,
dan mujadalah bi`l-latî hiya ahsan.
Perlu dicatat bahwa pemberian maw’izhah harus dilakukan dengan cara-cara
yang baik (hasanah) dan mujadalah harus dilakukan dengan
cara-cara yang lebih baik lagi (bi`l-lati
hiya ahsan). Sangat perlu diingat, dalam Islam cara sama pentingnya dengan
tujuan. Islam tidak membenarkan penggunaan cara-cara keji dan batil, seperti
berita hoax, data palsu dan informasi bohong demi mencapai tujuan, walaupun
tujuan yang sangat mulia sekali pun.
Abdullah Syihhata
mengartikan kata الحكمة dengan
memperhatikan sasaran dakwah sehingga materi yang disampaikan tidak
memberatkan, serta mengajak mereka sesuai dengan kondisi dan tingkat keadaannya.
Kata الموعظة
الحسنة diartikan dengan memberi pelajaran yang baik, halus,
lembut, tanpa kekerasan dan kemarahan.[4] Sedang pakar tafsir, al-Maraghi
mengartikan kata المجادلة dengan tukar pikiran dan
perdebatan untuk mencapai kesepakatan.[5]
Berbeda
dengan yang di atas, M. Natsir lebih menekankan ketiga metode tersebut dengan
situasi dan kondisi sasaran dakwah, yang terdiri atas golongan pelajar/siswa,
ilmuwan dan golongan awam. Kata الحكمة lebih ditekankan kepada taktik berdakwah,
sedang kata الموعظة
الحسنة dan المجادلة ditekankan
pada bentuk-bentuk dakwah yang dipergunakan.[6]
Khusus untuk metode terakhir (المجادلة), perlu
ditegaskan bahwa diskusi itu bukan bertujuan mengalahkan mereka, tetapi hanya
untuk memberi peringatan, pengertian dan memadukan pendapat untuk menemukan
kebenaran. Berdiskusi dengan baik adalah dengan cara agar pihak lain merasa
dirinya tidak tersinggung dari prinsip dan harga diri.
Saya yakin jika upaya
reformulasi dakwah dilakukan sesuai dengan tawaran peningkatan kualitas
unsur-unsur dakwah tadi, maka dakwah mampu menjembatani keragaman dan
menguatkan kemanusiaan (bridging diversity and enriching humanity). Akhirnya, dakwah akan berhasil mengubah umat Islam
menjadi umat terdepan dalam memajukan peradaban manusia dan menjaga perdamaian
dunia.
Pengalaman
panjang yang saya temukan dalam banyak dialog agama menyimpulkan, semua agama
(baca penganut) memiliki musuh yang sama, yaitu ketidakadilan. Ketidakadilan
mewujud dalam banyak bentuk, seperti korupsi, kesenjangan sosial, kemiskinan,
pengangguran, sistem politik yang tiranik dan despotik yang membawa kepada
kolonialisme dan imperialisme. Ketidakadilan juga melahirkan pendewaan diri
melalui perilaku konsumeristik, individualistik, dan hedonistik. Ketidakadilan
mewujud dalam bentuk relasi tidak setara yang pada gilirannya melahirkan
dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan beragam kekerasan dan kebiadaban.
Karena
itu, dakwah dalam semua agama hendaknya diarahkan untuk mengeliminasi musuh
yang sama agar terwujud masyarakat bermoral dan berkeadaban, yaitu masyarakat
yang mencintai keadilan. Untuk dapat mencintai keadilan, seseorang atau
masyarakat harus memiliki spiritualitas yang kuat, dan ini diperoleh dengan
berupaya menghidupkan nilai-nilai moral yang sudah ada dalam diri setiap
manusia sebagai anugerah Tuhan.
Kesimpulannya,
dakwah harus mampu menghidupkan nilai-nilai
moral agama yang esensinya adalah nilai-nilai universal kemanusiaan.
Dengan menghidupkan nilai-nilai tersebut, akan terbangun relasi kemanusiaan
yang hangat, akrab, intens dan bermakna, dimulai dari diri sendiri dalam
keluarga. Dakwah harus berujung pada terwujudnya masyarakat yang damai dan
bahagia, dalam term Alqur’an disebut baldatun
thayyibah wa Rabbun ghafur.
Akhirnya, saya sangat ingin suatu saat nanti
memberikan testimoni akan keberhasilan dakwah dalam mentransformasi masyarakat
menjadi lebih baik, sebagaimana testimoni yang disampaikan oleh Jafar ibn Abu
Thalib yang saya utarakan di awal tulisan ini. Semoga!
[1] Muhammad
Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-Islam (Ttp.: Dar al-Fikr al-Arabi, t.thn.),
h. 138-140.
[3] Q.S. al-Shaf,
61:3.
[4]
Penjelasan yang lebih rinci dapat dilihat pada Abdullah Syihhata, al-Da’wat
al-Islamiyat wa al-I’lam al-Diniyah, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Ibrahim Hosen et. al. Dengan judul Dakwah Islamiyah
(Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perg. Tinggi Agama/IAIN, 1986),
h. 6-7.
[5] Lihat
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz XIV (Mesir: Mustafa
al-Babi al-Halabi wa Auladuh, t.thn.), h. 157-158.
[6]
Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada M. Natsir, Fiqhud Da’wah
(Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1978), h. 165.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^