Bagian I
Musdah Mulia
International Da’wah Conference 2017, held by Faculty of Da’wah and
Communication, Sunan Kalijaga State Islamic University, 4-5 Oct 2017 in
Yogyakarta.
Dakwah hakikatnya adalah upaya-upaya
transformasi untuk meningkatkan kualitas akhlak dan hidup manusia -baik secara
individual maupun kelompok- ke arah yang lebih positif, konstruktif dan
produktif. Dakwah untuk
melakukan transformasi diri dan masyarakat ini jelas terinspirasi dari
Al-Qur’an (ar-Ra’d,11).
Contoh konkret dari transformasi sosial sebagai bentuk keberhasilan
dakwah Nabi Muhammad saw adalah testimoni atau penuturan sahabat Nabi yang juga
adalah sepupu beliau bernama Ja’far ibn Abi Thalib (629 M). Beliau menuturkan:”
Kami dahulu adalah kaum jahiliyah yang menyembah patung, memakan bangkai,
mengerjakan perbuatan-perbuatan keji, memutuskan hubungan kekeluargaan,
memusuhi tetangga, kelompok yang kuat menindas yang lemah. Demikianlah keadaan
kami hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kalagan kami sendiri,
yang kami kenal asal keturunan, kejujuran, amanah dan kesuciannya. Lalu Rasul
mengajak kami untuk menerapkan ajaran tauhid, hanya menyembah kepada Allah
semata, meninggalkan semua bentuk penyembahan terhadap selain Allah, seperti
mempertuhankan berhala, ras, suku dan keturunan. Rasul juga mengajak kami menegakkan
keadilan, berkata jujur, memelihara amanah dan kesucian diri. Rasul pun
mengajak kami menyambung hubungan keluarga, menjaga hubungan tetangga dengan
baik, menjauhi kejahatan dan semua bentuk pertumpahan darah. Rasul juga
melarang kami melakukan perbuatan keji dan bersumpah palsu, mengeksploitasi dan
menelantarkan anak-anak yatim, serta melakukan kekerasan terhadap perempuan,
termasuk memfitnah perempuan suci.[1]
Nabi Muhammad saw melakukan dakwah dengan jalan
damai tanpa paksaan sama sekali. Akidah Islam disebarkan di atas prinsip la
ikraha fi al-din (Q.S. al-Baqarah/2: 256). Dalam hal ini,
Rasulullah menekankan faktor simpati yang merupakan salah satu faktor
psikologis yang turut mempengaruhi jalannya suatu komunikasi (dakwah), di
samping faktor-faktor lainnya, misalnya faktor imitasi (peniruan), sugesti, dan
identifikasi. Di sini Nabi Muhammad tampil sebagai aktor da’wah yang ulung dengan
perilaku terpuji yang dapat dijadikan contoh teladan (uswah hasanah),
sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Ahzab, 33: 21. Kunci utama menjadi pelaku
da’wah adalah mampu memberikan teladan, bukan hanya sekedar mampu menyampaikan
ceramah.
Testimoni Ja’far ibn Abi Thalib tersebut memotret secara jelas
reformasi yang dilakukan Nabi di masanya, yakni mengubah masyarakat jahiliyah
menjadi masyarakat islami dengan berbagai perubahan kondisi ke arah positif, konstruktif
dan produktif. Jika keberhasilan Nabi dalam berdakwah diukur melalui penuturan
atau testimoni sahabat, maka keberhasilan dakwah kita sekarang dapat dilakukan
dengan berbagai model survey. Dalam konteks ini saya mengusulkan untuk memakai
survey Indeks Kota Islami yang dikembangkan oleh Ma’arif Institute.
Indeks Kota Islami tersebut ingin mengukur sejauhmana nilai-nilai
Islam diterapkan dalam kehidupan warga kota, dan bagaimana nilai-nilai islami
dijadikan acuan dalam pembangunan dan pengembangan kota tersebut. Indeks ini menggunakan
3 aspek utama, yaitu keamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan penduduk. Dimensi
keislaman berupa aspek keamanan diderivasikan ke dalam beberapa variabel
seperti kebebasan kehidupan beragama, perlindungan hukum, kepemimpinan,
pemenuhan hak politik perempuan, hak anak dan hak kelompok difabel. Lalu, aspek
kesejahteraan dielaborasikan ke dalam beberapa variabel seperti pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, dan kesehatan. Terakhir, aspek kebahagiaan diderivasikan ke dalam beberapa variabel
seperti kesediaan berbagi, kesetiakawanan, dan harmoni dengan alam. Menarik
dicatat, kota-kota yang menerapkan Syariat Islam atau memiliki Perda Syariah
tidak mencapai skor IKI yang tinggi.
Bentuk pengukuran keberhasilan dakwah dalam bentuk indeks ini tentu
bukan hal mutlak, ini hanya sebuah gagasan. Kita semua dapat mengembangkan bentuk
pengukuran yang lebih baik. Intinya, perlu ada ukuran untuk melihat
keberhasilan upaya-upaya dakwah. Dengan begitu dapat dinilai secara terukur
apakah suatu dakwah berhasil mengubah masyarakat penerima dakwah. Apakah da’wah
telah berhasil alat transformasi diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Pengukuran ini penting sebagai alat evaluasi, koreksi, dan
introspeksi diri bagi semua kalangan yang terlibat dalam kegiatan dakwah. Yang
penting semua pihak, terutama para pelaku dakwah harus memiliki keterbukaan dan
kelapangan menerima koreksi dan selanjutnya berupaya untuk melakukan
pembaharuan, meningkatkan kualitas dakwah di masa depan. Sebab, jika da’wah
belum berhasil mengubah kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik, pasti ada
yang keliru dengan da’wah tersebut dan di sinilah perlunya upaya-upaya konkret
mereformulasi da’wah di masyarakat.
[1] Muhammad Abdul
Malik ibn Hisyam, Sirah an-Nabi, Dar al-Fikr, Beirut, 1981, Jilid ke-1,
Vol. ke-1, hal. 358-359.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^