Kamis, 14 September 2017

Perspektif Perempuan Terhadap Ayat-ayat Jihad

Perspektif Perempuan Terhadap Ayat-ayat Jihad[1]
Musdah Mulia[2]

Pendahuluan

Para ulama membagi ajaran Islam dalam dua kategori; ajaran dasar dan non-dasar. Ajaran dasar Islam termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw. Inilah yang disebut teks-teks suci. Teks-teks suci bersifat absolut, mutlak dan tidak dapat diubah dengan alasan apa pun karena diyakini berasal dari Allah swt.
Adapun ajaran non-dasar berbentuk pemahaman dan penafsiran manusia terhadap teks-teks suci tersebut dan itulah yang dimaksud ijtihad. Tentu saja ijtihad tidaklah bersifat mutlak karena hasil pemikiran manusia sejak Nabi masih hidup sampai sekarang. Ajaran non-dasar itu ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, kitab tafsir, dan kitab-kitab keagamaan lainnya sejak zaman klasik Islam. Ajaran jenis kedua ini bersifat relatif, nisbi, dan bisa diubah.  

Salah satu hasil ijtihad yang paling banyak disalahpahami umat Islam adalah terkait isu jihad. Kata jihad di masyarakat lebih banyak berkonotasi negatif dalam bentuk kekerasan dan upaya-upaya destruktif menghancurkan bangunan kebudayaan dan peradaban serta nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, akhir-akhir ini kata jihad cenderung digunakan dalam kaitan dengan aksi-aksi radikalisme dan terorisme. Fatalnya lagi, tidak sedikit perempuan Muslim menjadi teroris dengan alasan jihad.
Karena itu, sangat mendesak melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep jihad agar umat Islam kembali mengedepankan inti sari ajaran Islam yang penuh kasih sayang dan nilai-nilai perdamaian abadi. Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah ijtihad agar makna jihad dipahami secara proporsional sesuai esensi Islam yang penuh damai.

Analisis makna jihad dalam tulisan ini menggunakan perspektif perempuan, yakni sebuah pendekatan yang menggunakan prinsip kesetaraan dan keadilan gender. Mengapa prinsip kesetaraan dan keadilan gender penting dalam melihat makna ayat-ayat jihad? Sebab, berdasarkan laporan banyak negara, PBB menyimpulkan, masalah diskriminasi atau ketidakadilan gender merupakan faktor penting kemunduran peradaban suatu bangsa. Solusi mengatasi masalah itu harus dengan menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam penafsiran keagamaan.

Kemunduran peradaban akibat ketimpangan gender terlihat pada sejumlah indikasi berikut: rendahnya kualitas hidup masyarakat, khususnya kaum perempuan; tingginya angka kemiskinan, tingginya angka kebodohan dan keterbelakangan, banyaknya anak-anak mengalami kondisi gizi buruk, rendahnya tingkat kesehatan reproduksi perempuan, banyaknya penderita HIV/aids dan penyakit menular seksual lainnya, serta rendahnya kesadaran lingkungan.

Indikasi lain berupa tingginya pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam bentuk kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan, maraknya perkosaan dan perdagangan perempuan dan anak perempuan, tingginya angka perkawinan anak dan  perkawinan paksa, tingginya angka perceraian dan poligami, banyaknya kasus inces, tingginya angka penelantaran anak dan pengabaian hak-hak asasi manusia lanjut usia, terutama perempuan.

Memaknai ulang pengertian jihad

Kata  jihad pada masa awal-awal Islam digunakan secara signifikan untuk mendorong umat Islam mencapai puncak kejayaan kebudayaan dan peradaban. Perintah berjihad dimaknai sebagai upaya-upaya positif-konstruktif dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, sosial dan politik demi membangun kualitas diri dan masyarakat. Tidak heran jika umat Islam segera dikenal sebagai umat yang membawa rahmat dan kemashlahatan bagi manusia dan lingkungannya. Namun, dalam perkembangannya jihad mengalami degradasi makna, lebih banyak diartikan sebagai perintah berperang. Kata jihad kemudian identik dengan makna negatif dalam bentuk kekerasan dan upaya-upaya destruktif menghancurkan bangunan peradaban dan kemanusiaan.
Istilah jihad dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 41 kali dalam Al-Qur'an. Akar kata jihad berasal dari juhd dan jahd, berarti "kekuatan, kemampuan, kesulitan, dan kelelahan". Maknanya, jihad membutuhkan kekuatan dalam bentuk tenaga, pikiran dan harta atau materi. Berjihad pada umumnya mengandung resiko kesulitan dan kelelahan dalam pelaksanaannya.

Kata al-juhd` hanya dijumpai sekali dalam Al-Qur'an yakni dalam Q.S. at-Taubah, 9:79. Ayat ini berbicara mengenai sikap dan penghinaan orang munafik terhadap orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan kata al-jahd, ditemukan 5 kali dalam Al-Qur'an, masing-masing dalam surah al-Maidah, 5:53, al-An’am, 6:109, an-Nahl, 16:38, an-Nuur, 24:53, dan Faatir, 35:42. Kelima ayat tersebut berbicara dalam konteks sumpah, baik sumpah yang benar maupun sumpah palsu.

Dalam terminologi Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan secara sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan. Dengan begitu, istilah jihad tidak selalu berkonotasi perang fisik.  Menarik dicatat bahwa tidak semua ayat jihad berkonotasi perang, khususnya ayat-ayat Makkiyah, seperti al-'Ankabuut, 29:6 dan 69. Jihad dalam ayat-ayat tersebut bermakna mencurahkan seluruh kemampuan demi mencapai ridha Allah. Mencurahkan segenap kemampuan tidak selamanya berarti perang, melainkan lebih banyak mengarah kepada upaya-upaya rekonstruksi sosial untuk meningkatkan kualitas kehidupan dalam berbagai bidang, seperti agama, pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, perdagangan, sains dan teknologi serta bidang antariksa.

Faktanya, selama Nabi saw berada di Mekkah mengembangkan misi kerasulan, beliau tidak pernah melakukan kontak senjata, termasuk dengan orang-orang musyrik dan kafir yang selalu menghalangi dakwah Nabi. Bahkan, ketika mereka melakukan tekanan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin, Nabi tetap bersikap damai, tidak melawan dengan berperang. Beliau menyatakan kepada sahabatnya: “bersabarlah kalian karena aku belum mendapat perintah berperang”. Dengan begitu, perintah berjihad dalam ayat-ayat Makkiyah bukanlah berarti berperang. 

Perintah berjihad terhadap orang-orang kafir diimplementasikan dalam bentuk berdakwah menyampaikan ajaran Islam dengan cara-cara bijak dan santun atau dengan pendekatan lainnya yang dapat menarik perhatian mereka kepada Islam. Dan terbukti banyak orang kafir  masuk Islam karena pendekatan yang lembut dan simpatik.

Jihad disalahpahami sebagai hanya kewajiban berperang

Kata jihad sering disalahpahami maknanya sebagai qital. Kata ini dengan berbagai derivasinya, baik fi`il (kata kerja) maupun isim (kata benda) ditemukan dalam berbagai tempat di dalam Al-Qur'an. Kata qital disebut 13 kali dalam 7 surat. Semua kata qital digunakan Al-Qur'an hanya untuk pengertian "perang" atau "peperangan", dan digunakan dalam berbagai konteks pembicaraan. Di antaranya, dalam surat al-Baqarah, 2: 116 dan 117, perang atau peperangan merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang-orang beriman. Kewajiban itu dipahami dari adanya kata kutiba yang dihubungkan dengan kata qital. Meski peperangan adalah kewajiban, namun pada waktu-waktu tertentu seperti bulan Ramadhan, perang tidak boleh dilakukan. Berperang pada bulan itu termasuk kategori dosa besar (al-Baqarah, 2: 117).

Mengenai perang, Al-Qur'an menggariskan beberapa ketentuan sebagai berikut: Pertama, perang hanya boleh dilakukan demi mempertahankan diri dari serangan musuh, jadi dilarang mendahului peperangan  (al-Baqarah, 2: 190); Kedua, untuk membalas serangan musuh (al-Hajj, 22:39); Ketiga, menentang semua bentuk ketidakadilan dan penindasan (an-Nisa', 4: 75);  Keempat, mempertahankan kemerdekaan beragama (al-Baqarah, 2: 191); Kelima, menghilangkan semua bentuk diskriminasi dan eksploitasi (al-Baqarah, 2: 193); Keenam, menegakkan kebenaran (al-Bara'ah, 9:12).

Penjelasan tersebut menggarisbawahi bahwa pada prinsipnya perang dalam Islam bersifat defensif (mempertahankan diri). Umat Islam tidak diperkenankan mengambil inisiatif untuk berperang terlebih dahulu. Akan tetapi, bila terjadi perang, umat Islam harus berjuang menegakkan kebenaran. Walau dalam perang sekali pun, tetap harus memperhatikan kondisi anak-anak, perempuan, kaum lansia, serta dilarang menghancurkan sumber-sumber daya alam yang vital dan kelestarian lingkungan. Jika dalam suatu peperangan umat Islam berada di pihak yang menang, Islam mengajarkan agar tidak berlaku semena-mena terhadap pihak yang kalah (al-Mumtahinah, 60: 7-8).

Kemudian terhadap tawanan perang, Islam memberi dua alternatif, yaitu membebaskan mereka tanpa tebusan atau membebaskan dengan meminta tebusan (Muhammad, 47: 4). Islam menjelaskan tentang harta rampasan perang, antara lain pada al-Anfal, 8: 1-10, Ali `Imran, 3: 140, dan al-Baqarah, 2: 143. Di dalam ayat-ayat ini disebutkan bahwa seperlimanya diperuntukkan bagi Allah, Rasul-Nya, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Sedang bagian terbanyak, yaitu empat perlima diberikan kepada mereka yang berperang.

Kata jihad dapat pula mengambil bentuk peperangan, tetapi jihad dalam pengertian ini bersifat kondisional, bukan pengertian satu-satunya. Yang jelas bahwa jihad sebagai cara untuk memelihara dan mempertahankan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat harus dilaksanakan secara terus menerus dalam bentuk dakwah yang santun dan penuh hikmah.

Al-Qur'an selalu menggarisbawahi bahwa jihad dalam bentuk pengerahan tenaga, pikiran, dan harta benda secara optimal tetap tidak boleh menyimpang dari ketentuan Allah, seperti diisyaratkan dalam beberapa ayat, misalnya: Q.S. al-Baqarah, 2:218, al-Ma'idah, 5:35, al-Taubah, 9:19, 24, dan 41, al-Hajj, 22:78, al-Hujurat, 49:15, dan surat as-Saff, 61:11. Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk bahwa orang yang mengerahkan tenaga, pikiran, dan harta benda dengan niat yang tulus dan ikhlas akan memperoleh ridla Allah swt.

Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Zar menjelaskan dengan sangat konkret bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu. Hadis itu justru dijelaskan Rasul seusai Perang Badar, dimana umat Islam mendapatkan kemenangan luar biasa. Bagi Rasul, kedahsyatan perang tersebut tidak seberapa bermakna dibandingkan dahsyatnya perang melawan hawa nafsu.

أفضـل الجهـاد أن يجـاهـد الـرجـل نفسـه وهـواه.  (رواه ابن الثجـاز عن أبى  ذ ر)
انمـا المـؤمنـون الـذ ين  آمنـوا باللـه ورسـوله لم يرتابـوا وجـاهدوا بأمـوالهـم  وأنفسهـم فى سبيـل اللـه ألئـك هـم الصـادقـون.  (الحجـرات: 15)

Manusia sebagai khalifah fil ardh

Islam memandang manusia sebagai makhluk terhormat dan bermartabat. Satu-satunya makhluk Tuhan yang diberi tanggung jawab untuk mengelola kehidupan di muka bumi atau dalam istilah Al-Qur’an disebut sebagai khalifah fil ardh. Sebagai khalîfah, tugas utama manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan li al-‘âlamîn). Sebagai manusia yang mengemban tugas kekhalifahan yang sama, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh Tuhan untuk bekerja sama melaksanakan misi kemanusiaan. Misi dimaksud adalah melakukan amar ma’rûf (upaya-upaya transformasi dan rekonstruksi) dan nahyi munkar (upaya-upaya humanisasi) demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik, dan indah dalam naungan ridha Allah.

Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks suci, baik al-Quran maupun al-Hadits. Kata rahmah, rahmân, rahîm, dan derivasinya disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar. Jumlahnya lebih dari 90 ayat. Makna genuine kata itu adalah kasih sayang atau cinta kasih.

Selain itu jika memperhatikan dengan seksama sifat-sifat Tuhan, akan terlihat bahwa sifat-sifat feminin lebih mendominasi. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah menegaskan: “Anâ ar-rahmân. Anâ ar-rahîm” (Aku Sang Maha Pengasih dan Penyayang). Hal ini jelas mengindikasikan, Islam adalah agama yang sangat mengedepankan aspek feminin dalam bentuk kelembutan, kesantunan dan kedamaian, bukan aspek maskulin yang penuh kekerasan, kebrutalan, dan kezaliman.

Tujuan hakiki Islam adalah mewujudkan damai
Hubungan antar-individu dan antar-bangsa menurut ajaran Islam adalah hubungan yang bersifat damai. Perang merupakan kondisi khusus (yakni kondisi bersyarat) yang hanya boleh dilakukan pada masa-masa tertentu dan dalam keadaan tertentu.  Tujuan Allah menjadikan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah agar manusia saling memahami satu sama lain dan hidup harmoni (al-Hujurat, 49:13). Karena itu, Allah swt mengingatkan, menabur permusuhan dan kebencian di antara manusia merupakan pekerjaan Setan: Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi (al-Maidah, 5:91).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jihad lebih dekat kepada upaya-upaya  transformasi dan rekonstruksi individu dan masyarakat (sosial) menuju kondisi yang lebih positif dan konstruktif demi mendapatkan keridlaan Allah swt. Kalaupun di dalam makna jihad terkandung pengertian memerangi orang-orang kafir maka secara historis bukanlah dimaksudkan untuk memaksa orang kafir memeluk Islam. Jihad yang dimaksudkan di sini adalah upaya perluasan wilayah dan kekuasaan politik umat Islam atau upaya pembelaan diri dari serangan musuh.

Penutup

Bagi perempuan, makna jihad adalah upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan semua potensi dan tetap mengedepankan cara-cara yang santun dan beradab, baik secara individual maupun komunal untuk mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan, kezaliman, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap sesama manusia, khususnya terhadap kelompok rentan, seperti perempuan. Semua upaya itu diyakini sebagai jihad yang hakiki atau kewajiban suci agama demi mewujudkan kemashlahatan dan kebahagiaan seluruh masyarakat.

Kesimpulannya, jihad lebih mengarah kepada semua bentuk upaya transformasi dan rekonstruksi, baik untuk meningkatkan kualitas kebaikan diri sendiri, keluarga maupun masyarakat luas menuju terciptanya baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. Itulah  masyarakat ideal yang disebutkan Al-Qur’an, masyarakat yang adil, makmur dan beradab dalam ridha Allah swt. Jihad tiada lain upaya menegakkan Islam yang rahmatan lil alamin.

Rekomendasi
1. Menawarkan sebanyak mungkin interpretasi dan tafsir keagamaan yang kompatibel dengan nilai-nilai universal kemanusiaan, sejalan dengan ideologi Pancasila dan Konstitusi serta prinsip kesetaraan dan keadilan gender.
2. Membangun program pendidikan kewarganegaraan yang berbasis kebhinnekaaan, toleransi dan pluralisme.
3. Membangun media yang sejuk dan bertanggungjawab, serta ramah terhadap perempuan dan kelompok rentan, mengedepankan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan perdamaian.
4. Memperkuat jaringan kerjasama antar civil society dan berbagai elemen bangsa melalui kegiatan dialog kebangsaan, dialog kebudayaan, serta dialog antar-iman dan agama.
5. Membuka diskusi dengan kelompok-kelompok radikal agar secara bertahap muncul kesepahaman di antara anak bangsa yang begitu beragam.




Daftar Pustaka


Departemen Agama R.I., Al-Qur'an dan Terjemahnya, 1984/1985, Jakarta.

Gonzalez-Perez, Margaret. 2008. Women and Terrorism: Female Activity in Domestic and International Terror Groups, Routledge.
Hafez, Mohammed. 2003. Why Muslims Rebel: Repression and Resistancein the Islamic World. Boulder, CO: Lynne Rienner.
Kararah, Abbas. al-Din wa al-Mar’ah, Mesir: t.pn., 1337 H.
Kepel, Gilles. 2002. Jihad: The Trail of Political Islam. London: Tauris.
Marty, Martyn E. 1992. What is Fundamentalism? Theological Perspective, dalam Hans Kung dan Jurgen Moltmann, Fundamentalism as an Ecumenical Challenge, London: SCM Press.
Mernissi, Fatima, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society, Rev. ed. Bloomington, 1987.
Mulia, Musdah, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina, Jakarta, 2000.
---------, Potret Perempuan Dalam Lektur Agama, (Pidato Pengukuhan sebagai Professor Riset atau Ahli Peneliti Utama), Departemen Agama, Jakarta, 1999.
---------, Islam Menggugat Poligami, Gramedia, Jakarta, 2004.
---------, Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005
---------, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan,  Mizan,  Bandung, 2005
---------, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yogyakarta, 2007.
----------, Islam dan Hak Asasi Manusia, Naufan Press, Yogyakarta, 2010.
Al-Naim, Dekonstruksi Syari`ah (terjemahan), LKiS, Yogyakarta, 1995.
Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasat fi Ulum al-Qur`an, al-Haiyah al-Mishriyyah al`Ammah li al-Kitab, Kairo, 1993.
Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, Aquarian, London, 1994.Nasution, Harun, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Leiden-Jakarta, 2002.
Al-Qahthany, Muhammad Saeed. Tanpa tahun. Al-Walla wa Al-Barra’ min Mafahim ‘Aqidah Al-Salaf, Muqaddimah.
Speckhard, Anne and Khapta Akhmedova. 2004. Black Widows: The Chechen Suicide Terrorist, McLean, VA: Advances Press.
Speckhard, Anne. 2015. Bride of ISIS: One Young Women’s Path into Homegrown Terrorism, McLean, VA: Advances Press.
Tibi, Bassam. 2008. Religious Extremism or Religionization of Politics: The Ideological Foundations of Political Islam, dalam Frisch, Hillel dan Efraim Inbar (eds), Radical Islam and International Security: Challenges and Responses. London: Routledge.
Wiktorowicz, Quintan, 2006. Anatomy of the Salafi Movement, dalam studies in Conflict and Terrorism, Vol 29.
Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir, Dar al-Fikr al-Muasir, Beirut, Lebanon, 1991.
Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, Dar al-Fikr, Beirut, t,t.







[1]Disampaikan pada Halaqah Kyai Nusantara bertema: Jihad Kyai Menangkal Radikalisme Agama, diselenggarakan oleh Pusat Studi Pesantren, Hotel ARCH, Bogor, tanggal 29 Agustus 2017.
[2] Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar