Perspektif
Perempuan Terhadap Ayat-ayat Jihad
Pendahuluan
Para ulama membagi ajaran Islam dalam dua
kategori; ajaran dasar dan non-dasar. Ajaran dasar Islam termaktub dalam kitab
suci Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw. Inilah yang disebut teks-teks suci.
Teks-teks suci bersifat absolut, mutlak dan tidak dapat diubah dengan alasan
apa pun karena diyakini berasal dari Allah swt.
Adapun ajaran non-dasar berbentuk pemahaman dan
penafsiran manusia terhadap teks-teks suci tersebut dan itulah yang dimaksud ijtihad.
Tentu saja ijtihad tidaklah bersifat mutlak karena hasil pemikiran manusia sejak
Nabi masih hidup sampai sekarang. Ajaran non-dasar itu ditemukan dalam
kitab-kitab fiqh, kitab tafsir, dan kitab-kitab keagamaan lainnya sejak zaman
klasik Islam. Ajaran jenis kedua ini bersifat relatif, nisbi, dan bisa diubah.
Salah satu hasil ijtihad yang paling banyak
disalahpahami umat Islam adalah terkait isu jihad. Kata jihad di
masyarakat lebih banyak berkonotasi negatif dalam bentuk kekerasan dan
upaya-upaya destruktif menghancurkan bangunan kebudayaan dan peradaban serta
nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, akhir-akhir ini kata jihad cenderung digunakan
dalam kaitan dengan aksi-aksi radikalisme dan terorisme. Fatalnya lagi, tidak
sedikit perempuan Muslim menjadi teroris dengan alasan jihad.
Karena itu, sangat
mendesak melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep jihad agar umat Islam
kembali mengedepankan inti sari ajaran Islam yang penuh kasih sayang dan
nilai-nilai perdamaian abadi. Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah ijtihad
agar makna jihad dipahami secara proporsional sesuai esensi Islam yang penuh
damai.
Analisis makna
jihad dalam tulisan ini menggunakan perspektif perempuan, yakni sebuah
pendekatan yang menggunakan prinsip kesetaraan dan keadilan gender. Mengapa
prinsip kesetaraan dan keadilan gender penting dalam melihat makna ayat-ayat
jihad? Sebab, berdasarkan laporan banyak negara, PBB menyimpulkan, masalah
diskriminasi atau ketidakadilan gender merupakan faktor penting kemunduran peradaban
suatu bangsa. Solusi mengatasi masalah itu harus dengan menegakkan prinsip
kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam
penafsiran keagamaan.
Kemunduran
peradaban akibat ketimpangan gender terlihat pada sejumlah indikasi berikut:
rendahnya kualitas hidup masyarakat, khususnya kaum perempuan; tingginya angka
kemiskinan, tingginya angka kebodohan dan keterbelakangan, banyaknya anak-anak
mengalami kondisi gizi buruk, rendahnya tingkat kesehatan reproduksi perempuan,
banyaknya penderita HIV/aids dan penyakit menular seksual
lainnya, serta rendahnya kesadaran
lingkungan.
Indikasi lain
berupa tingginya pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam
bentuk kasus-kasus pelecehan
seksual terhadap perempuan, maraknya perkosaan dan perdagangan perempuan dan
anak perempuan, tingginya angka perkawinan anak dan perkawinan paksa, tingginya angka perceraian
dan poligami, banyaknya kasus inces, tingginya angka penelantaran anak dan pengabaian hak-hak asasi manusia lanjut usia, terutama perempuan.
Memaknai ulang
pengertian jihad
Kata jihad pada masa awal-awal Islam digunakan
secara signifikan untuk mendorong umat Islam mencapai puncak kejayaan
kebudayaan dan peradaban. Perintah berjihad dimaknai sebagai upaya-upaya
positif-konstruktif dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan,
ekonomi, sosial dan politik demi membangun kualitas diri dan masyarakat. Tidak
heran jika umat Islam segera dikenal sebagai umat yang membawa rahmat dan
kemashlahatan bagi manusia dan lingkungannya. Namun, dalam perkembangannya
jihad mengalami degradasi makna, lebih banyak diartikan sebagai perintah
berperang. Kata jihad kemudian identik dengan makna negatif dalam bentuk
kekerasan dan upaya-upaya destruktif menghancurkan bangunan peradaban dan kemanusiaan.
Istilah jihad dalam berbagai bentuknya
terulang sebanyak 41 kali dalam Al-Qur'an. Akar kata jihad berasal dari juhd
dan jahd, berarti "kekuatan, kemampuan, kesulitan, dan
kelelahan". Maknanya, jihad membutuhkan kekuatan dalam bentuk tenaga,
pikiran dan harta atau materi. Berjihad pada umumnya mengandung resiko
kesulitan dan kelelahan dalam pelaksanaannya.
Kata al-juhd` hanya dijumpai sekali
dalam Al-Qur'an yakni dalam Q.S. at-Taubah, 9:79. Ayat ini berbicara
mengenai sikap dan penghinaan orang munafik terhadap orang-orang beriman yang
memberikan sedekah dengan sukarela sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Sedangkan kata al-jahd, ditemukan 5 kali dalam Al-Qur'an, masing-masing dalam
surah al-Maidah, 5:53, al-An’am, 6:109, an-Nahl, 16:38, an-Nuur,
24:53, dan Faatir, 35:42. Kelima ayat tersebut berbicara dalam konteks
sumpah, baik sumpah yang benar maupun sumpah palsu.
Dalam terminologi Islam, jihad diartikan
sebagai perjuangan secara sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala potensi dan
kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan. Dengan begitu, istilah jihad
tidak selalu berkonotasi perang fisik. Menarik
dicatat bahwa tidak semua ayat jihad berkonotasi perang, khususnya
ayat-ayat Makkiyah, seperti al-'Ankabuut, 29:6 dan 69. Jihad dalam ayat-ayat
tersebut bermakna mencurahkan seluruh kemampuan demi mencapai ridha Allah. Mencurahkan
segenap kemampuan tidak selamanya berarti perang, melainkan lebih banyak
mengarah kepada upaya-upaya rekonstruksi sosial untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dalam berbagai bidang, seperti agama, pendidikan, kesehatan, ekonomi,
politik, perdagangan, sains dan teknologi serta bidang antariksa.
Faktanya, selama Nabi saw berada di Mekkah
mengembangkan misi kerasulan, beliau tidak pernah melakukan kontak senjata,
termasuk dengan orang-orang musyrik dan kafir yang selalu menghalangi dakwah
Nabi. Bahkan, ketika mereka melakukan tekanan dan penyiksaan terhadap kaum
muslimin, Nabi tetap bersikap damai, tidak melawan dengan berperang. Beliau
menyatakan kepada sahabatnya: “bersabarlah kalian karena aku belum mendapat
perintah berperang”. Dengan begitu, perintah berjihad dalam ayat-ayat Makkiyah bukanlah
berarti berperang.
Perintah berjihad terhadap orang-orang
kafir diimplementasikan dalam bentuk berdakwah menyampaikan ajaran Islam dengan
cara-cara bijak dan santun atau dengan pendekatan lainnya yang dapat menarik
perhatian mereka kepada Islam. Dan terbukti banyak orang kafir masuk Islam karena pendekatan yang lembut dan
simpatik.
Jihad disalahpahami sebagai hanya kewajiban
berperang
Kata jihad sering disalahpahami
maknanya sebagai qital. Kata ini dengan berbagai derivasinya, baik fi`il
(kata kerja) maupun isim (kata benda) ditemukan dalam berbagai tempat di
dalam Al-Qur'an. Kata qital disebut 13 kali dalam 7 surat. Semua kata qital
digunakan Al-Qur'an hanya untuk pengertian "perang" atau
"peperangan", dan digunakan dalam berbagai konteks pembicaraan. Di
antaranya, dalam surat al-Baqarah, 2: 116 dan 117, perang atau
peperangan merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang-orang
beriman. Kewajiban itu dipahami dari adanya kata kutiba yang dihubungkan
dengan kata qital. Meski peperangan adalah kewajiban, namun pada
waktu-waktu tertentu seperti bulan Ramadhan, perang tidak boleh dilakukan. Berperang
pada bulan itu termasuk kategori dosa besar (al-Baqarah, 2: 117).
Mengenai perang, Al-Qur'an menggariskan
beberapa ketentuan sebagai berikut: Pertama, perang hanya boleh
dilakukan demi mempertahankan diri dari serangan musuh, jadi dilarang
mendahului peperangan (al-Baqarah,
2: 190); Kedua, untuk membalas serangan musuh (al-Hajj, 22:39); Ketiga,
menentang semua bentuk ketidakadilan dan penindasan (an-Nisa', 4: 75); Keempat, mempertahankan kemerdekaan
beragama (al-Baqarah, 2: 191); Kelima, menghilangkan semua bentuk
diskriminasi dan eksploitasi (al-Baqarah, 2: 193); Keenam,
menegakkan kebenaran (al-Bara'ah, 9:12).
Penjelasan tersebut menggarisbawahi bahwa
pada prinsipnya perang dalam Islam bersifat defensif (mempertahankan diri). Umat
Islam tidak diperkenankan mengambil inisiatif untuk berperang terlebih dahulu.
Akan tetapi, bila terjadi perang, umat Islam harus berjuang menegakkan
kebenaran. Walau dalam perang sekali pun, tetap harus memperhatikan kondisi
anak-anak, perempuan, kaum lansia, serta dilarang menghancurkan sumber-sumber
daya alam yang vital dan kelestarian lingkungan. Jika dalam suatu peperangan
umat Islam berada di pihak yang menang, Islam mengajarkan agar tidak berlaku
semena-mena terhadap pihak yang kalah (al-Mumtahinah, 60: 7-8).
Kemudian terhadap tawanan perang, Islam
memberi dua alternatif, yaitu membebaskan mereka tanpa tebusan atau membebaskan
dengan meminta tebusan (Muhammad, 47: 4). Islam menjelaskan tentang harta
rampasan perang, antara lain pada al-Anfal, 8: 1-10, Ali `Imran,
3: 140, dan al-Baqarah, 2: 143. Di dalam ayat-ayat ini disebutkan bahwa
seperlimanya diperuntukkan bagi Allah, Rasul-Nya, kerabat Rasul, anak yatim,
orang miskin dan ibnu sabil. Sedang bagian terbanyak, yaitu empat perlima diberikan
kepada mereka yang berperang.
Kata jihad dapat pula mengambil
bentuk peperangan, tetapi jihad dalam pengertian ini bersifat
kondisional, bukan pengertian satu-satunya. Yang jelas bahwa jihad
sebagai cara untuk memelihara dan mempertahankan ajaran Islam dalam kehidupan
masyarakat harus dilaksanakan secara terus menerus dalam bentuk dakwah yang
santun dan penuh hikmah.
Al-Qur'an selalu menggarisbawahi bahwa jihad
dalam bentuk pengerahan tenaga, pikiran, dan harta benda secara optimal tetap tidak
boleh menyimpang dari ketentuan Allah, seperti diisyaratkan dalam beberapa
ayat, misalnya: Q.S. al-Baqarah, 2:218, al-Ma'idah, 5:35, al-Taubah,
9:19, 24, dan 41, al-Hajj, 22:78, al-Hujurat, 49:15, dan surat as-Saff,
61:11. Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk bahwa orang yang mengerahkan tenaga,
pikiran, dan harta benda dengan niat yang tulus dan ikhlas akan memperoleh ridla
Allah swt.
Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Abu Zar menjelaskan dengan sangat konkret bahwa jihad terbesar adalah melawan
hawa nafsu. Hadis itu justru dijelaskan Rasul seusai Perang Badar, dimana umat
Islam mendapatkan kemenangan luar biasa. Bagi Rasul, kedahsyatan perang tersebut
tidak seberapa bermakna dibandingkan dahsyatnya perang melawan hawa nafsu.
أفضـل الجهـاد
أن يجـاهـد الـرجـل نفسـه وهـواه. (رواه
ابن الثجـاز عن أبى ذ ر)
انمـا
المـؤمنـون الـذ ين آمنـوا باللـه ورسـوله
لم يرتابـوا وجـاهدوا بأمـوالهـم وأنفسهـم
فى سبيـل اللـه ألئـك هـم الصـادقـون. (الحجـرات:
15)
Manusia sebagai khalifah
fil ardh
Islam memandang manusia sebagai makhluk terhormat dan bermartabat.
Satu-satunya makhluk Tuhan yang diberi tanggung jawab untuk mengelola kehidupan
di muka bumi atau dalam istilah Al-Qur’an disebut sebagai khalifah fil ardh.
Sebagai khalîfah,
tugas utama manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan
kemuliaan di alam semesta (rahmatan li al-‘âlamîn). Sebagai
manusia yang mengemban tugas kekhalifahan yang sama, laki-laki dan perempuan diperintahkan
oleh Tuhan untuk bekerja sama melaksanakan misi kemanusiaan. Misi dimaksud
adalah melakukan amar ma’rûf (upaya-upaya transformasi dan rekonstruksi)
dan nahyi munkar (upaya-upaya humanisasi) demi menciptakan tatanan dunia
yang benar, baik, dan indah dalam naungan ridha Allah.
Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Pesan
kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks suci, baik al-Qur’an maupun al-Hadits. Kata rahmah, rahmân, rahîm, dan derivasinya
disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar. Jumlahnya lebih dari 90
ayat. Makna genuine kata itu adalah kasih sayang atau cinta kasih.
Selain itu jika memperhatikan dengan seksama sifat-sifat Tuhan, akan
terlihat bahwa sifat-sifat feminin lebih mendominasi. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah menegaskan: “Anâ ar-rahmân. Anâ ar-rahîm” (Aku Sang Maha Pengasih
dan Penyayang). Hal ini jelas mengindikasikan, Islam adalah agama
yang sangat mengedepankan aspek feminin dalam bentuk kelembutan, kesantunan dan
kedamaian, bukan aspek maskulin yang penuh kekerasan, kebrutalan, dan kezaliman.
Tujuan hakiki Islam adalah mewujudkan damai
Hubungan antar-individu dan antar-bangsa menurut ajaran Islam
adalah hubungan yang bersifat damai. Perang merupakan kondisi khusus (yakni
kondisi bersyarat) yang hanya boleh dilakukan pada masa-masa tertentu dan dalam
keadaan tertentu. Tujuan Allah menjadikan umat manusia berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku adalah agar manusia saling memahami satu sama lain dan hidup
harmoni (al-Hujurat, 49:13). Karena itu, Allah swt mengingatkan, menabur
permusuhan dan kebencian di antara manusia merupakan pekerjaan Setan: Sesungguhnya
setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi (al-Maidah, 5:91).
Dari
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jihad lebih dekat kepada upaya-upaya
transformasi dan rekonstruksi individu
dan masyarakat (sosial) menuju kondisi yang lebih positif dan konstruktif demi
mendapatkan keridlaan Allah swt. Kalaupun di dalam makna jihad terkandung
pengertian memerangi orang-orang kafir maka secara historis bukanlah
dimaksudkan untuk memaksa orang kafir memeluk Islam. Jihad yang dimaksudkan di
sini adalah upaya perluasan wilayah dan kekuasaan politik umat Islam atau upaya
pembelaan diri dari serangan musuh.
Penutup
Bagi perempuan, makna jihad adalah upaya
sungguh-sungguh dengan mengerahkan semua potensi dan tetap mengedepankan
cara-cara yang santun dan beradab, baik secara individual maupun komunal untuk
mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan, kezaliman, diskriminasi, eksploitasi
dan kekerasan terhadap sesama manusia, khususnya terhadap kelompok rentan,
seperti perempuan. Semua upaya itu diyakini sebagai jihad yang hakiki atau kewajiban
suci agama demi mewujudkan kemashlahatan dan kebahagiaan seluruh masyarakat.
Kesimpulannya, jihad lebih mengarah kepada
semua bentuk upaya transformasi dan rekonstruksi, baik untuk meningkatkan
kualitas kebaikan diri sendiri, keluarga maupun masyarakat luas menuju
terciptanya baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. Itulah masyarakat ideal yang disebutkan Al-Qur’an,
masyarakat yang adil, makmur dan beradab dalam ridha Allah swt. Jihad tiada
lain upaya menegakkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Rekomendasi
1. Menawarkan sebanyak mungkin interpretasi dan tafsir keagamaan yang kompatibel dengan nilai-nilai universal kemanusiaan, sejalan dengan ideologi Pancasila dan Konstitusi serta prinsip kesetaraan dan keadilan gender.
2. Membangun program pendidikan kewarganegaraan yang berbasis kebhinnekaaan, toleransi dan pluralisme.
3. Membangun media yang sejuk dan bertanggungjawab, serta ramah terhadap perempuan dan kelompok rentan, mengedepankan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan perdamaian.
4. Memperkuat jaringan kerjasama antar civil society dan berbagai elemen bangsa melalui kegiatan dialog kebangsaan, dialog kebudayaan, serta dialog antar-iman dan agama.
5. Membuka diskusi dengan kelompok-kelompok radikal agar secara bertahap muncul kesepahaman di antara anak bangsa yang begitu beragam.
Daftar Pustaka
Departemen Agama R.I., Al-Qur'an dan
Terjemahnya, 1984/1985, Jakarta.
Gonzalez-Perez, Margaret. 2008. Women
and Terrorism: Female Activity in Domestic and International Terror Groups,
Routledge.
Hafez, Mohammed. 2003. Why Muslims
Rebel: Repression and Resistancein the Islamic World. Boulder, CO: Lynne
Rienner.
Kararah, Abbas. al-Din wa al-Mar’ah, Mesir:
t.pn., 1337 H.
Kepel, Gilles. 2002. Jihad: The Trail
of Political Islam. London: Tauris.
Marty, Martyn E.
1992. What is Fundamentalism? Theological Perspective, dalam Hans Kung
dan Jurgen Moltmann, Fundamentalism as an Ecumenical Challenge, London: SCM
Press.
Mernissi, Fatima, Beyond
the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society, Rev. ed.
Bloomington, 1987.
Mulia, Musdah, Negara
Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina, Jakarta, 2000.
---------, Potret
Perempuan Dalam Lektur Agama, (Pidato Pengukuhan sebagai Professor Riset
atau Ahli Peneliti Utama), Departemen Agama, Jakarta, 1999.
---------, Islam
Menggugat Poligami, Gramedia, Jakarta, 2004.
---------, Perempuan
dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005
---------, Muslimah
Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan,
Mizan, Bandung, 2005
---------, Islam
dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yogyakarta, 2007.
----------,
Islam dan Hak Asasi Manusia, Naufan Press, Yogyakarta, 2010.
Al-Naim, Dekonstruksi
Syari`ah (terjemahan), LKiS, Yogyakarta, 1995.
Nasr, Seyyed
Hossein, Ideals and Realities of Islam, Aquarian, London, 1994.Nasution,
Harun, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,
INIS, Leiden-Jakarta, 2002.
Al-Qahthany, Muhammad Saeed. Tanpa tahun. Al-Walla
wa Al-Barra’ min Mafahim ‘Aqidah Al-Salaf, Muqaddimah.
Speckhard, Anne and Khapta Akhmedova. 2004. Black Widows: The Chechen Suicide
Terrorist, McLean, VA: Advances Press.
Speckhard, Anne. 2015. Bride of ISIS: One Young Women’s Path into
Homegrown Terrorism, McLean, VA: Advances Press.
Tibi,
Bassam. 2008. Religious Extremism or Religionization of Politics: The
Ideological Foundations of Political Islam, dalam Frisch, Hillel dan Efraim
Inbar (eds), Radical Islam and International Security: Challenges and
Responses. London: Routledge.
Wiktorowicz, Quintan, 2006. Anatomy
of the Salafi Movement, dalam studies in Conflict and Terrorism, Vol 29.
Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir,
Dar al-Fikr al-Muasir, Beirut, Lebanon, 1991.
Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf,
Dar al-Fikr, Beirut, t,t.