Pengertian Gender
Apa itu gender? Mengacu kepada Women's Studies Encyclopedia,[1]
di sana dijelaskan bahwa gender adalah seperangkat sikap,
peran, fungsi dan tanggung jawab yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan
akibat bentukan budaya atau pengaruh lingkungan masyarakat di mana manusia itu
tumbuh dan dibesarkan. Jadi, dalam pengertian ini, gender merupakan sesuatu
yang socially-constructed (dibentuk secara sosial), bukan sesuatu yang given
atau kodrati dalam diri manusia.
Perbedaan gender laki-laki dan
perempuan sebenarnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan
ketidakadilan. Akan tetapi, dalam realitasnya perbedaan gender telah menimbulkan sejumlah
ketidakadilan dan ketimpangan, terutama bagi perempuan dalam bentuk perlakuan
yang diskriminatif, subordinasi, marginalisasi, dan juga pemberian beban kerja
(burden) yang lebih berat dan perilaku kekerasan (violence) dalam berbagai bentuk: kekerasan fisik, psikis,
ekonomi, seksual, baik di ranah
keluarga maupun di ranah publik.
Kelompok feminis di London mulai
memperkenalkan istilah gender sebagai konsep sosiologi sejak paruh kedua abad
ke-20, tepatnya tahun 1977.[2]
Sejak itu para feminis tidak lagi menggunakan isu-isu patriarkal atau sexist
melainkan memakai isu gender. Dalam konteks ini, gender diartikan lebih
dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dari perspektif sosial-budaya.
Gender dimaknai sebagai konsep analisis dalam memahami dan menjelaskan sesuatu,
seperti masalah ketimpangan sosial dalam masyarakat. Dari sini kemudian lahir
sebuah alat analisis baru yang dikenal
dengan analisis gender.
Pentingnya Analisis Gender
Analisis gender adalah sebuah alat
analisis untuk memahami realitas sosial. Sebagai teori, tugas utama analisis
gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktik hubungan
baru antara kaum laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan
sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dapat
dilihat jika kita menggunakan alat analisis sosial lainnya, seperti analisis
kelas, analisis kultural, dan analisis diskursus. Jadi, analisis gender
merupakan kacamata baru untuk menambah dan melengkapi analisis sosial yang
telah ada.[3]
Di seluruh
dunia perempuan secara terus menerus mengalami perlakuan diskriminasi,
eksploitasi, dan kekerasan yang berbasis gender, bahkan untuk alasan-alasan
yang tidak masuk akal. Sebagai manusia, perempuan mendambakan perlakuan yang
adil dari sesama manusia serta terbebaskan dari perlakuan diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan oleh siapa pun, dimana pun, dan atas alasan apa pun.
Demi mencapai kondisi yang didambakan itu, kelompok pembela perempuan
menyerukan dalam berbagai pertemuan internasional untuk segera menyusun
instrumen Hak Asasi Manusia sebagai landasan bagi upaya penegakan dan
perlindungan dan pemajuan hak asasi perempuan.
Karena
kesadaran masyarakat dunia sudah semakin tinggi dalam upaya perlindungan hak
asasi manusia, sebagai hasilnya, muncul sejumlah konvensi mengenai pembelaan
terhadap hak-hak asasi perempuan. Di antaranya, Konvensi tentang Pengupahan
yang Sama bagi Perempuan dan Laki-laki untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya
(1951), Konvensi tentang Hak Politik Perempuan (1953), Konvensi tentang
Kewarganegaraan Perempuan yang Menikah (1957), Konvensi Anti Diskriminasi Dalam
Pendidikan (1960), Konvensi tentang Persetujuan Perkawinan, Umur Minimum bagi
Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan (1962), dan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (1979). Terakhir dalam Konferensi HAM
PBB di Wina tahun 1993 ditegaskan bahwa Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi
Manusia (Women‘s Rights are Human Rights). Artinya, perempuan dan
laki-laki diakui setara sebagai manusia, keduanya memiliki hak dan kewajiban
yang sama. Keduanya mempunyai nilai kemanusiaan yang sama.
Dengan
jaminan instrumen Hak Asasi Manusia ini, perempuan mampu dengan bebas melangkah
dalam konteks penegakan hak-hak anak yang belakangan ini menjadi perhatian dan
tuntutan komunitas internasional. Selain itu, persoalan anak juga terkait dengan
perempuan. Bukan hanya karena anak itu lahir dari rahim perempuan, yang
membesarkan dan mengasuhnya hingga dewasa, tetapi juga karena banyaknya
kasus-kasus diskriminasi atau pelanggaran terhadap perempuan melibatkan sang
anak. Artinya, pengurangan atau penafian hak-hak perempuan membawa akibat pada
pengurangan atau penafian hak-hak anak. Bahkan, sang anak menjadi korban yang
lebih besar dibandingkan orang dewasa. Apalagi kalau anak itu adalah anak
perempuan.
Kesetaraan
dan Keadilan Gender
Untuk konteks
Indonesia, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, perbincangan tentang gender sudah semakin
merebak, tetapi dari berbagai pengamatan, ternyata pemahaman masyarakat tentang
konsep gender masih rancu. Fatalnya, kesalahpahaman tersebut bukan hanya terjadi
di kalangan awam, melainkan terjadi juga di kalangan terpelajar. Masalahnya, istilah gender sering kali dirancukan dengan istilah jenis
kelamin, dan lebih rancu lagi, gender diartikan dengan jenis kelamin perempuan.
Begitu disebut gender, yang terbayang adalah sosok manusia dengan jenis kelamin
perempuan. Padahal, istilah gender mengacu pada jenis kelamin laki-laki dan
perempuan.
Karena itu, penting
sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan
gender. Jenis kelamin (sex) dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis
hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan. Jenis
kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan
perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum, dan rahim. Perbedaan biologis
tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tak satupun yang dapat
mengubahnya. Boleh jadi, dewasa ini akibat kemajuan teknologi, seseorang
dimungkinkan mengubah jenis kelaminnya, tetapi betapapun perubahan itu tidak
sampai mengubah fungsinya. Diciptakannya makhluk dengan jenis kelamin berbeda,
sesungguhnya dimaksudkan untuk saling melengkapi, saling menghormati, dan
saling mengasihi agar tercipta kehidupan damai dan bahagia.
Konsep gender mengacu
kepada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang
melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau
lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Timbullah
dikotomi maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan). Di masyarakat, laki-laki
selalu digambarkan dengan sifat-sifat maskulin, seperti perkasa, berani,
rasional, dan tegar. Sebaliknya, perempuan digambarkan dengan sifat-sifat
feminin, seperti lemah, pemalu, penakut, emosional, rapuh, dan lembut-gemulai.
Maskulinitas dan feminitas
ini sesungguhnya merupakan hasil konstruksi sosial, bukan hal yang kodrati.
Buktinya, dalam realitas sosiologis di masyarakat ditemukan tidak sedikit
laki-laki penakut, emosional, pemalu, lemah, dan lembut. Sebaliknya, cukup
banyak perempuan kuat, berani, perkasa, pantang menyerah, rasional, dan sangat
tegar. Dengan ungkapan lain, sifat-sifat tersebut bukanlah kodrati, melainkan
dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain.
Ringkasnya, masyarakatlah
yang membentuk laki-laki menjadi kuat dan berani, sedangkan perempuan dibentuk
menjadi lemah dan penakut. Sejak masih dalam kandungan sampai tua renta, bahkan
sampai ke liang kubur, laki-laki diperlakukan sedemikian rupa agar mereka
terbentuk menjadi makhluk yang superior. Hal yang sebaliknya diperlakukan pada
perempuan, sehingga mereka menjadi inferior. Fatalnya, bentukan ini dibakukan
sedemikian rupa melalui berbagai norma tradisi, adat, budaya, dan hukum, bahkan
agama, sehingga seolah-olah semuanya itu merupakan kodrat atau pemberian Tuhan
yang harus diterima apa adanya, dan tidak boleh dipertanyakan lagi.
Perbedaan gender
sesungguhnya merupakan hal yang biasa saja sepanjang tidak menimbulkan
ketimpangan-ketimpangan gender (gender inequalities). Akan tetapi,
realitas di masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan
berbagai bentuk ketimpangan atau ketidakadilan, baik bagi laki-laki dan
terlebih lagi bagi perempuan. Ketimpangan gender terwujud dalam banyak bentuk,
di antaranya berupa burden atau
pemberian beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat kepada
perempuan, terutama perempuan pekerja. Sebab, mereka selain dituntut mampu
menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, yang di masyarakat selalu dipersepsikan
sebagai kewajiban perempuan, mereka juga
harus menunjukkan prestasi kerja yang baik di tempat kerja. Timbullah istilah
"beban ganda" bagi perempuan pekerja. Sebaliknya, bagi laki-laki
pekerja tidak ada istilah "beban ganda," karena mereka pada umumnya
memang tidak bekerja ganda. Mereka tidak dituntut menyelesaikan tugas-tugas di
rumah tangga sebagaimana halnya perempuan.
Bentuk lain dari
ketidakadilan gender adalah kekerasan (violence). Perlakuan kekerasan
terhadap perempuan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori; kekerasan di
ranah domestik dan kekerasan di ranah publik. Intensitas kekerasan pada
perempuan Indonesia dinilai sangat tinggi. Perhatikan saja laporan resmi
pemerintah, dalam hal ini laporan dari Kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan KOMNAS PEREMPUAN, demikian pula laporan tahunan sejumlah LSM pemerhati
perempuan, seperti LBH APIK, KAPAL Perempuan, Solidaritas Perempuan, Koalisi
Perempuan Indonesia, Mitra Perempuan.
Kekerasan domestik
tersebut, antara lain mengambil bentuk penganiayaan, pemaksaan hubungan seksual
dalam kehidupan suami-isteri, pelecehan, atau suami berselingkuh. Bahkan, kasus
perkosaan di Indonesia dilaporkan terjadi setiap lima jam. Dapat dipastikan
bahwa data kekerasan yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya
dilaporkan, ibarat gunung es, yang terlihat hanya sedikit di permukaan.
Alasannya, tidak semua perempuan yang mengalami kekerasan bersedia melaporkan
kasusnya, sebagian besar menutup diri karena takut atau malu atau demi menutup
aib keluarga.
Ketimpangan gender dapat juga mengambil
bentuk subordinasi, yakni anggapan bahwa
perepuan itu tidak penting, melainkan sekedar pelengkap dari kepentingan
laki-laki. Di masyarakat masih kuat
anggapan bahwa perempuan itu tidak rasional dan lebih banyak menggunakan
emosinya, sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin. Perempuan itu
tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya kembali ke dapur juga.
Ketidakadilan gender
sering pula mengambil wujud stereotip (pelabelan negatif) yang dilekatkan pada
diri perempuan. Misalnya, perempuan sering diberi label sebagai makhluk
penggoda sehingga di masyarakat sering kali terdengar ucapan sebagai berikut:
"Hati-hati terhadap perempuan karena godaannya jauh lebih dahsyat dari
godaan syetan." Implikasi sosial dari pelabelan negatif seperti itu terlihat,
misalnya pada kasus pelecehan seksual atau perkosaan, masyarakat selalu
berkecenderungan menyalahkan perempuan, padahal mereka sesungguhnya hanyalah
korban.
Timbul pertanyaan,
mengapa ketidakadilan gender terjadi semakin luas dan menyelimuti hampir semua
kelompok perempuan di dunia, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Hal ini sangat berkaitan dengan kesadaran dan kepekaan masyarakat, baik secara
individual, maupun kolektif. Kalau masyarakat memandang kondisi ini sebagai
suatu kewajaran—karena meyakini hal itu terkait dengan takdir—maka mereka akan
menerima saja ketidakadilan gender tersebut dengan pasrah.
Akan tetapi, dalam
kelompok masyarakat yang kritis tentu akan melihat ketimpangan itu sebagai
suatu akibat dari struktur sosial dan budaya yang berlaku. Karena itu,
diperlukan upaya-upaya untuk mengubah struktur dan budaya yang ada menuju
sistem yang lebih egaliter, adil, dan
demokratis. Tentu saja, hal ini hanya dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh
lapisan masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.
Untuk memahami lebih baik
peran gender laki-laki dan perempuan, perlu dipilah-pilah mana bidang
produktif, reproduktif, dan kemasyarakatan. Hanya dengan demikian dapat
diperoleh pemahaman tentang kebutuhan-kebutuhan laki-laki dan perempuan serta
keterlibatan mereka dalam proses-proses kekuasaan dan pengambilan keputusan.
Dengan demikian, kebutuhan spesifik laki-laki dan perempuan dapat diketahui
dengan tepat dan selanjutnya dapat dirumuskan dalam tahapan-tahapan
pembangunan, sejak tahap perencanaan sampai pada evaluasi.
Tujuan akhir dari upaya
membangun kesetaraan dan keadilan gender adalah agar seluruh warga masyarakat:
perempuan dan laki-laki dapat memberikan kontribusinya yang positif dan
konstruktif, baik sebagai individu, anggota keluarga, maupun sebagai warga
negara dan bahkan warga dunia demi terciptanya
kehidupan yang lebih baik, lebih adil, lebih sejahtera, dan lebih beradab.
[1] Helen Tierney (Ed.), Women's Studies Encyclopedia, Green Wood Press, New York , h. 153.
[2] Pembahasan yang luas mengenai
konsep gender ini dapat dilihat antara lain pada Elain Showalter (Ed.), Speaking
of Gender, Routledge , New York , 1989.
[3] Mansour Fakih, Analisis Gender
dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta ,
1997, h. xii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar