Kamis, 25 Mei 2017

MEMAHAMI MAKNA GENDER


Pengertian Gender
Apa itu gender? Mengacu kepada Women's Studies Encyclopedia,[1] di sana dijelaskan bahwa gender adalah seperangkat sikap, peran, fungsi dan tanggung jawab yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau pengaruh lingkungan masyarakat di mana manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Jadi, dalam pengertian ini, gender merupakan sesuatu yang socially-constructed (dibentuk secara sosial), bukan sesuatu yang given atau kodrati dalam diri manusia.
Perbedaan gender laki-laki dan perempuan sebenarnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan. Akan tetapi, dalam realitasnya perbedaan gender telah menimbulkan sejumlah ketidakadilan dan ketimpangan, terutama bagi perempuan dalam bentuk perlakuan yang diskriminatif, subordinasi, marginalisasi, dan juga pemberian beban kerja (burden) yang lebih berat dan perilaku kekerasan (violence) dalam berbagai bentuk: kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual,  baik di ranah keluarga maupun di ranah publik.
Kelompok feminis di London mulai memperkenalkan istilah gender sebagai konsep sosiologi sejak paruh kedua abad ke-20, tepatnya tahun 1977.[2] Sejak itu para feminis tidak lagi menggunakan isu-isu patriarkal atau sexist melainkan memakai isu gender. Dalam konteks ini, gender diartikan lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dari perspektif sosial-budaya. Gender dimaknai sebagai konsep analisis dalam memahami dan menjelaskan sesuatu, seperti masalah ketimpangan sosial dalam masyarakat. Dari sini kemudian lahir sebuah alat analisis baru  yang dikenal dengan analisis gender.

Pentingnya Analisis Gender
Analisis gender adalah sebuah alat analisis untuk memahami realitas sosial. Sebagai teori, tugas utama analisis gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktik hubungan baru antara kaum laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dapat dilihat jika kita menggunakan alat analisis sosial lainnya, seperti analisis kelas, analisis kultural, dan analisis diskursus. Jadi, analisis gender merupakan kacamata baru untuk menambah dan melengkapi analisis sosial yang telah ada.[3]
Di seluruh dunia perempuan secara terus menerus mengalami perlakuan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan yang berbasis gender, bahkan untuk alasan-alasan yang tidak masuk akal. Sebagai manusia, perempuan mendambakan perlakuan yang adil dari sesama manusia serta terbebaskan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan oleh siapa pun, dimana pun, dan atas alasan apa pun. Demi mencapai kondisi yang didambakan itu, kelompok pembela perempuan menyerukan dalam berbagai pertemuan internasional untuk segera menyusun instrumen Hak Asasi Manusia sebagai landasan bagi upaya penegakan dan perlindungan dan pemajuan hak asasi perempuan.
Karena kesadaran masyarakat dunia sudah semakin tinggi dalam upaya perlindungan hak asasi manusia, sebagai hasilnya, muncul sejumlah konvensi mengenai pembelaan terhadap hak-hak asasi perempuan. Di antaranya, Konvensi tentang Pengupahan yang Sama bagi Perempuan dan Laki-laki untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (1951), Konvensi tentang Hak Politik Perempuan (1953), Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan yang Menikah (1957), Konvensi Anti Diskriminasi Dalam Pendidikan (1960), Konvensi tentang Persetujuan Perkawinan, Umur Minimum bagi Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan (1962), dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (1979). Terakhir dalam Konferensi HAM PBB di Wina tahun 1993 ditegaskan bahwa Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia (Women‘s Rights are Human Rights). Artinya, perempuan dan laki-laki diakui setara sebagai manusia, keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Keduanya mempunyai nilai kemanusiaan yang sama.
Dengan jaminan instrumen Hak Asasi Manusia ini, perempuan mampu dengan bebas melangkah dalam konteks penegakan hak-hak anak yang belakangan ini menjadi perhatian dan tuntutan komunitas internasional. Selain itu, persoalan anak juga terkait dengan perempuan. Bukan hanya karena anak itu lahir dari rahim perempuan, yang membesarkan dan mengasuhnya hingga dewasa, tetapi juga karena banyaknya kasus-kasus diskriminasi atau pelanggaran terhadap perempuan melibatkan sang anak. Artinya, pengurangan atau penafian hak-hak perempuan membawa akibat pada pengurangan atau penafian hak-hak anak. Bahkan, sang anak menjadi korban yang lebih besar dibandingkan orang dewasa. Apalagi kalau anak itu adalah anak perempuan.




Kesetaraan dan Keadilan Gender

Untuk konteks Indonesia, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir,  perbincangan tentang gender sudah semakin merebak, tetapi dari berbagai pengamatan, ternyata pemahaman masyarakat tentang konsep gender masih rancu. Fatalnya, kesalahpahaman tersebut bukan hanya terjadi di kalangan awam, melainkan terjadi juga di kalangan terpelajar. Masalahnya, istilah gender sering kali dirancukan dengan istilah jenis kelamin, dan lebih rancu lagi, gender diartikan dengan jenis kelamin perempuan. Begitu disebut gender, yang terbayang adalah sosok manusia dengan jenis kelamin perempuan. Padahal, istilah gender mengacu pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Karena itu, penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan gender. Jenis kelamin (sex) dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum, dan rahim. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tak satupun yang dapat mengubahnya. Boleh jadi, dewasa ini akibat kemajuan teknologi, seseorang dimungkinkan mengubah jenis kelaminnya, tetapi betapapun perubahan itu tidak sampai mengubah fungsinya. Diciptakannya makhluk dengan jenis kelamin berbeda, sesungguhnya dimaksudkan untuk saling melengkapi, saling menghormati, dan saling mengasihi agar tercipta kehidupan damai dan bahagia.
Konsep gender mengacu kepada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Timbullah dikotomi maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan). Di masyarakat, laki-laki selalu digambarkan dengan sifat-sifat maskulin, seperti perkasa, berani, rasional, dan tegar. Sebaliknya, perempuan digambarkan dengan sifat-sifat feminin, seperti lemah, pemalu, penakut, emosional, rapuh, dan lembut-gemulai.
Maskulinitas dan feminitas ini sesungguhnya merupakan hasil konstruksi sosial, bukan hal yang kodrati. Buktinya, dalam realitas sosiologis di masyarakat ditemukan tidak sedikit laki-laki penakut, emosional, pemalu, lemah, dan lembut. Sebaliknya, cukup banyak perempuan kuat, berani, perkasa, pantang menyerah, rasional, dan sangat tegar. Dengan ungkapan lain, sifat-sifat tersebut bukanlah kodrati, melainkan dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain.
Ringkasnya, masyarakatlah yang membentuk laki-laki menjadi kuat dan berani, sedangkan perempuan dibentuk menjadi lemah dan penakut. Sejak masih dalam kandungan sampai tua renta, bahkan sampai ke liang kubur, laki-laki diperlakukan sedemikian rupa agar mereka terbentuk menjadi makhluk yang superior. Hal yang sebaliknya diperlakukan pada perempuan, sehingga mereka menjadi inferior. Fatalnya, bentukan ini dibakukan sedemikian rupa melalui berbagai norma tradisi, adat, budaya, dan hukum, bahkan agama, sehingga seolah-olah semuanya itu merupakan kodrat atau pemberian Tuhan yang harus diterima apa adanya, dan tidak boleh dipertanyakan lagi.
Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal yang biasa saja sepanjang tidak menimbulkan ketimpangan-ketimpangan gender (gender inequalities). Akan tetapi, realitas di masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketimpangan atau ketidakadilan, baik bagi laki-laki dan terlebih lagi bagi perempuan. Ketimpangan gender terwujud dalam banyak bentuk, di antaranya berupa burden atau  pemberian beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat kepada perempuan, terutama perempuan pekerja. Sebab, mereka selain dituntut mampu menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, yang di masyarakat selalu dipersepsikan sebagai kewajiban perempuan, mereka  juga harus menunjukkan prestasi kerja yang baik di tempat kerja. Timbullah istilah "beban ganda" bagi perempuan pekerja. Sebaliknya, bagi laki-laki pekerja tidak ada istilah "beban ganda," karena mereka pada umumnya memang tidak bekerja ganda. Mereka tidak dituntut menyelesaikan tugas-tugas di rumah tangga sebagaimana halnya perempuan.
Bentuk lain dari ketidakadilan gender adalah kekerasan (violence). Perlakuan kekerasan terhadap perempuan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori; kekerasan di ranah domestik dan kekerasan di ranah publik. Intensitas kekerasan pada perempuan Indonesia dinilai sangat tinggi. Perhatikan saja laporan resmi pemerintah, dalam hal ini laporan dari Kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan KOMNAS PEREMPUAN, demikian pula laporan tahunan sejumlah LSM pemerhati perempuan, seperti LBH APIK, KAPAL Perempuan, Solidaritas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Mitra Perempuan.
Kekerasan domestik tersebut, antara lain mengambil bentuk penganiayaan, pemaksaan hubungan seksual dalam kehidupan suami-isteri, pelecehan, atau suami berselingkuh. Bahkan, kasus perkosaan di Indonesia dilaporkan terjadi setiap lima jam. Dapat dipastikan bahwa data kekerasan yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan, ibarat gunung es, yang terlihat hanya sedikit di permukaan. Alasannya, tidak semua perempuan yang mengalami kekerasan bersedia melaporkan kasusnya, sebagian besar menutup diri karena takut atau malu atau demi menutup aib keluarga.
 Ketimpangan gender dapat juga mengambil bentuk  subordinasi, yakni anggapan bahwa perepuan itu tidak penting, melainkan sekedar pelengkap dari kepentingan laki-laki.  Di masyarakat masih kuat anggapan bahwa perempuan itu tidak rasional dan lebih banyak menggunakan emosinya, sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin. Perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya kembali ke dapur juga.
Ketidakadilan gender sering pula mengambil wujud stereotip (pelabelan negatif) yang dilekatkan pada diri perempuan. Misalnya, perempuan sering diberi label sebagai makhluk penggoda sehingga di masyarakat sering kali terdengar ucapan sebagai berikut: "Hati-hati terhadap perempuan karena godaannya jauh lebih dahsyat dari godaan syetan." Implikasi sosial dari pelabelan negatif seperti itu terlihat, misalnya pada kasus pelecehan seksual atau perkosaan, masyarakat selalu berkecenderungan menyalahkan perempuan, padahal mereka sesungguhnya hanyalah korban.
Timbul pertanyaan, mengapa ketidakadilan gender terjadi semakin luas dan menyelimuti hampir semua kelompok perempuan di dunia, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Hal ini sangat berkaitan dengan kesadaran dan kepekaan masyarakat, baik secara individual, maupun kolektif. Kalau masyarakat memandang kondisi ini sebagai suatu kewajaran—karena meyakini hal itu terkait dengan takdir—maka mereka akan menerima saja ketidakadilan gender tersebut dengan pasrah.
Akan tetapi, dalam kelompok masyarakat yang kritis tentu akan melihat ketimpangan itu sebagai suatu akibat dari struktur sosial dan budaya yang berlaku. Karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk mengubah struktur dan budaya yang ada menuju sistem yang  lebih egaliter, adil, dan demokratis. Tentu saja, hal ini hanya dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.
Untuk memahami lebih baik peran gender laki-laki dan perempuan, perlu dipilah-pilah mana bidang produktif, reproduktif, dan kemasyarakatan. Hanya dengan demikian dapat diperoleh pemahaman tentang kebutuhan-kebutuhan laki-laki dan perempuan serta keterlibatan mereka dalam proses-proses kekuasaan dan pengambilan keputusan. Dengan demikian, kebutuhan spesifik laki-laki dan perempuan dapat diketahui dengan tepat dan selanjutnya dapat dirumuskan dalam tahapan-tahapan pembangunan, sejak tahap perencanaan sampai pada evaluasi.
Tujuan akhir dari upaya membangun kesetaraan dan keadilan gender adalah agar seluruh warga masyarakat: perempuan dan laki-laki dapat memberikan kontribusinya yang positif dan konstruktif, baik sebagai individu, anggota keluarga, maupun sebagai warga negara dan bahkan warga dunia demi terciptanya kehidupan yang lebih baik, lebih adil, lebih sejahtera, dan lebih beradab.



[1] Helen Tierney (Ed.), Women's Studies Encyclopedia, Green Wood Press, New York, h. 153.
[2] Pembahasan yang luas mengenai konsep gender ini dapat dilihat antara lain pada Elain Showalter (Ed.), Speaking of Gender, Routledge, New York, 1989.
[3] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, h. xii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar