Sabtu, 27 Mei 2017

KONSEP DUALISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM





Pendahuluan
Sebelum berbicara jauh soal konsep dualisme dalam pendidikan, penulis ingin terlebih dahulu mengajak kita semua melihat dan menyimak kembali pentingnya pendidikan sebagai media peningkatan SDM dan pentingnya pendidikan  dalam ajaran Islam. Hal ini dimaksudkan agar kita semua memiliki visi yang sama tentang pentingnya pendidikan, termasuk dalam agama Islam, untuk selanjutnya mengkritisi akibat dari penyelenggaraan sistem pendidikan yang umumnya masih menggunakan konsep dualisme.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen bahwa upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang niscaya dan seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Perlunya peningkatan SDM tersebut, terutama karena rendahnya tingkat kualitas manusia Indonesia sebagaimana terbaca dalam laporan resmi badan dunia UNDP.
UNDP melalui Human Development Report tahun 2002 melaporkan tingkat kemajuan manusia di seluruh dunia. Ukuran kemajuan ini didasarkan pada penilaian terhadap tiga variable utama, yaitu tingkat kesehatan dan usia hidup manusia (long and healthy life); pengetahuan (knowledge) dan kelayakan standard hidup manusia (a decent standard of living).
Untuk tingkat Asia dijumpai laporan berikut. Human Development Index (HDI) tahun 2010 Indonesia menduduki peringkat ke-109 dengan nilai akumulatif 0,688. China 0,762 (peringkat ke-96), Filipina 0,754 (peringkat ke-77), Thailand 0,752 (peringkat ke-70), Malaysia, 0,782 (peringkat ke-59), Brunei Darussalam 0,856 (peringkat ke-32), Singapura 0,885 (peringkat ke-25), Jepang 0,933 (peringkat ke-9). Laporan tersebut seharusnya membuka mata kita untuk mengakui secara jujur bahwa di tingkat Asia saja Indonesia berada pada urutan 109, hanya setingkat di atas negara-negara Afrika yang miskin dan dilanda perang.
Sementara itu, dilaporkan pula bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selama 200 tahun terakhir mengalami kemajuan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari apa yang pernah diprediksikan para pakar. Perkembangan iptek 200 tahun belakangan ternyata jauh lebih cepat dari perkembangan iptek 2000 tahun sebelumnya. Tentu saja perubahan ini berdampak besar terhadap pola perilaku manusia, termasuk di dalamnya perilaku sosial keagamaan mereka. Umat Islam  harus merespon perubahan tersebut melalui pendidikan.
Mengapa pendidikan? Sebab, pendidikan merupakan bentuk investasi atau penanaman modal untuk suatu bangsa yang amat penting. Di antara semua bentuk investasi yang dilakukan suatu bangsa, pendidikan yang baik dan profesional merupakan investasi yang paling penting, paling produktif dan paling menjanjikan. Karena itu sudah sangat sewajarnya jika pendidikan diposisikan pada puncak skala prioritas pembangunan bangsa dan negara.
Untuk merealisasikan hal ini tentu dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari para pimpinan negara, terlebih lagi karena pendidikan merupakan jenis investasi jangka panjang. Rata-rata hasil pembangunan bidang pendidikan baru terlihat setelah suatu jangka waktu tertentu, umumnya setelah 20 tahun atau satu generasi. Itulah tantangannya sehingga investasi di bidang pendidikan ini sering tidak menarik kalangan investor yang ingin cepat-cepat meraih keuntungan.
Evaluasi dari sejumlah negara menjelaskan, keberhasilan pendidikan hanya dapat dicapai melalui kerja keras, kesabaran, keuletan, dan kegigihan dari semua elemen masyarakat, termasuk ketabahan menunda berbagai harapan kesenangan. Tidak ada yang instant dalam perjuangan. Sekedar catatan, bahwa Indonesia tercatat sebagai negara yang paling rendah menginvestasikan diri dalam pendidikan.
Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha sadar yang sengaja dikemas untuk mempersiapkan manusia agar mampu memecahkan pelbagai problem sosial yang dihadapinya sehari-hari sehingga pada gilirannya nanti mereka berhasil hidup di zamannya dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, institusi pendidikan menempati posisi yang amat strategis dalam menghadapi perubahan-perubahan dalam masyarakat akibat kemajuan iptek dan tuntutan dinamika manusia.
Mengapa pendidikan sangat relevan dalam upaya-upaya peningkatan SDM suatu bangsa? Sebab, ada ungkapan populer, knowledge is power (ilmu pengetahuan adalah kekuatan). Pendidikan yang berhasil merupakan sumber energi yang luar biasa bagi masyarakat, bangsa dan negara. Keberhasilan suatu bangsa atau negara diukur salah satunya dari unsur keterdidikan masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat keterdidikan suatu bangsa semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup bangsa tersebut.
Pendidikan memiliki paling sedikit dua macam dampak posistif. Pertama, meningkatkan kemampuan kerja manusia dengan keahlian dan profesionalisme. Pendidikan membekali manusia dengan sejumlah keahlian dan profesionalisme sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri menurut bidang-bidang yang dikembangkan, seperti manajemen, kesehatan, pertanian, keguruan, dan teknologi. Kedua, pendidikan mempunyai dampak besar dalam upaya peningkatan kemajuan berpikir dan bertindak rasional. Pendidikan memiliki andil dalam memperluas cakrawala berpikir dan memperdalam wawasan di segala bidang kehidupan, tak terkecuali dalam kehidupan keagamaan.
Pendidikan memudahkan manusia mengakses informasi seluas-luasnya. Perpaduan informasi dan ilmu pengetahuan merupakan kekuatan yang dahsyat.  Sementara itu, dengan memiliki informasi dan pengetahuan yang luas, masyarakat dalam suatu bangsa akan lebih mudah mengenali berbagai alternatif tindakan yang tersedia sehingga pada gilirannya mempermudah mereka untuk menemukan solusi bagi problem yang dihadapinya.



Pentingnya Pendidikan Dalam Islam
Islam sejak semula diyakini sebagai agama yang menaruh perhatian dan kepedulian yang sangat besar pada aspek pendidikan. Bukan hal kebetulan jika Al-Qur'an, kitab suci umat Islam memulai tuntunannya dengan ayat-ayat yang berisi perintah membaca.[1] Membaca merupakan media utama dalam pendidikan karena membaca merupakan jendela ilmu pengetahuan.
Hanya dengan membacalah pikiran dan wawasan manusia dapat terbuka dan tercerahkan sehingga pada gilirannya diharapkan membentuk manusia menjadi lebih arif bijaksana, dan lebih berkualitas dalam semua hal, terutama akhlaknya. Jadi, tujuan akhir yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan agama Islam itu sendiri, yaitu mewujudkan manusia yang berakhlak karimah.
Islam secara tegas mengajarkan bahwa ilmu dan iman merupakan syarat bagi kesuksesan hidup di dunia menuju kehidupan akhirat yang abadi. Karena itu, Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu ke tingkat yang sangat tinggi. Ada jaminan Tuhan bahwa mereka yang memiliki iman dan ilmu akan selalu bijaksana dan bersikap lapang dada karena mereka memiliki wawasan yang luas dan pengetahuan yang dalam. Mereka akan bersikap empati, peduli dan toleran terhadap sesama manusia, sekali pun berbeda agama dan kepercayaan.[2]
Umat Islam secara normatif meyakini bahwa pendidikan sangat penting bagi manusia, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ditemukan sejumlah ayat dan hadis menjelaskan betapa tingginya posisi orang-orang yang menekuni pendidikan dan bidang keilmuan, salah satunya dapat dirujuk pada ayat:  Allah swt. mengangkat derajat  orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan. Adapun dalam hadis Nabi, antara lain: ”menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan”  atau seruan Nabi kepada segenap kaum muslim: laki-laki dan perempuan “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.”  
Akan tetapi,  nilai-nilai ideal Islam yang begitu luhur pada tataran normatif tersebut tidak berlanjut ke tataran empiris sebagaimana terlihat dalam realitas kehidupan umat Islam di berbagai wilayah, khususnya di Indonesia.  Ironis sekali, meskipun ajaran Islam sangat kuat mendorong umatnya menekuni dan mengembangkan pendidikan, namun faktanya di berbagai belahan dunia dijumpai cukup banyak penganut Islam tidak tersentuh pendidikan. Angka partisipasi mereka dalam semua level pendidikan, khususnya pendidikan tinggi sangat rendah, terlebih lagi bagi kaum perempuan. Sebagian besar umat Islam  tidak memiliki akses, tidak mampu berpatisipasi dalam upaya-upaya pendidikan, serta tidak mampu mengambil manfaat atau menikmati hasil-hasil pembangunan dalam bidang pendidikan. Akibatnya, seperti yang banyak diungkap selama ini, umat Islam masih menempati posisi yang lemah dan terkebelakang, khususnya dalam bidang sains dan teknologi. [3]

Esensi Pendidikan Islam
Para pakar menawarkan beragam rumusan mengenai pendidikan yang pada esensinya dapat dikategorikan pada dua aliran. Pertama, aliran yang mendefinisikan pendidikan sebagai proses pewarisan atau enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial yang telah mapan di masyarakat. Kedua, aliran yang memahami pendidikan sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan tergalinya sejumlah potensi manusia agar dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan hidup mereka. Kedua sudut pandang yang berbeda, dan bahkan bertolak belakang dalam memahami pendidikan tersebut, masing-masing memiliki implikasi yang luas terhadap pelaksanaan pendidikan di masyarakat.
Aliran pertama mengandaikan peserta didik sebagai obyek pasif dalam pendidikan. Pandangan ini memandang peserta didik ibarat kertas kosong yang kemudian digoresi dengan berbagai tulisan oleh pendidiknya. Sebaliknya, aliran kedua mengasumsikan peserta didik sebagai subyek yang harus terlibat aktif dalam seluruh proses dan tahapan pendidikan. Keberhasilan pendidikan menurut aliran kedua ini, bukan hanya ditentukan oleh pihak pendidik, melainkan juga oleh keaktifan peserta didik. Umumnya, teori-teori  pendidikan yang diterapkan dewasa ini mengadopsi aliran kedua.
Pendidikan Islam yang diuraikan dalam tulisan ini juga cenderung mengambil corak aliran kedua. Mengapa demikia? Sebab, sejalan dengan filsafat pendidikan Islam yang menempatkan manusia sebagai subyek yang penting, yakni khalifah fi al-ardh. Manusia adalah subyek penting yang menerima amanah untuk mengelola kehidupan dunia dengan berbasis keimanan kepada Allah swt. Oleh karena itu, pendidikan Islam menempatkan manusia atau peserta didik sebagai pusat atau subyek yang amat penting dalam seluruh proses pendidikan.

Tujuan Pendidikan Islam
Para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa Tujuan utama pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Muslim sehingga terwujud manusia yang bermoral atau berakhlak mulia. Pendidikan harus mampu mewujudkan cita-cita Islam yang mencakup pengembangan potensi rohani dan jasmani manusia sehingga membentuk manusia beriman dan berilmu secara seimbang.
 Perlu diberi catatan di sini bahwa keimanan dan ketakwaan manusia, sebagaimana yang ingin diwujudkan dalam pendidikan Islam hendaknya jangan diukur atau dilihat secara sempit. Keimanan dan ketakwaan seseorang, misalnya tidak dapat diukur hanya pada hal-hal yang sifatnya legal formal, seperti pelaksanaan ibadah salat, puasa dan haji atau rajin menghadiri majelis taklim atau kumpulan zikir dan seterusnya. Lebih fatal lagi kalau diukur dari hal-hal yang bersifat sangat simbolistik, seperti panjangnya janggut bagi laki-laki, panjangnya jilbab buat perempuan,  atau seringnya menggunakan label-label syariah dan sebagainya.
Namun, indikasi keimanan dan ketakwaan seseorang terefleksikan pada seberapa besar empati dan komitmen seseorang pada upaya-upaya berikut: membangun lingkungan yang bersih, baik secara material maupun moral; menolong fakir-miskin; membantu anak-anak dan perempuan terlantar serta kelompok rentan lainnya; mengentaskan kemiskinan; menghindari perilaku korupsi; menjauh dari semua tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dengan dalih apa pun, termasuk kekerasan yang menggunakan alasan agama sekalipun.
Agar pendidikan Islam dapat mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa dengan sejumlah indikasi yang disebutkan tadi, pendidikan hendaknya menyentuh dan mengaktualkan ketiga aspek penting dalam diri manusia secara bersamaan, yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Inilah problemnya, karena dalam realitas sosial di masyarakat pendidikan Islam pada umumnya baru menyentuh aspek kognitif, dan itu pun belum optimal.
 Akibat dari pendidikan yang hanya mementingkan sisi kognitif belaka adalah  seperti yang dewasa ini kita saksikan. Pendidikan Islam pada umumnya hanya mewujudkan manusia-manusia yang mengerti Islam, tetapi kurang mampu atau bahkan tidak mampu menginternalisasikan atau menghayati makna hakiki ajaran Islam, apalagi mengimplementasikan pengetahuan keagamaannya atau keislamannya itu ke dalam perilaku islami sehari-hari.
Konsekuensi logis dari pelaksanaan pendidikan Islam yang demikian adalah munculnya ribuan sarjana Muslim tetapi belum memberikan kontribusi positif yang optimal bagi bangunan peradaban Islam atau ketamaddunan Islam masa kini. Dengan ungkapan lain, para sarjana Muslim tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan solusi yang signifikan terhadap berbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat Muslim dewasa ini.
Karena itu, ke depan pendidikan Islam harus mampu mengubah dan mengembangkan ketiga potensi dasar manusia: pengetahuan, sikap dan perilaku ke arah lebih baik, lebih positif, lebih arif dan lebih manusiawi. Pendidikan harus mengubah pengetahuan dan wawasan manusia menjadi lebih luas dan terbuka; mengubah sikap manusia ke arah lebih inklusif, lebih toleran, lebih pluralis, dan lebih humanis sehingga menjadi lebih empati terhadap sesama, serta lebih peduli pada kelestarian lingkungan dan alam semesta; dan mengubah perilaku manusia ke arah perilaku lebih santun dan bermoral. Ringkasnya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah membentuk manusia berbudi-pekerti luhur atau berakhlak mulia.
Pertanyaan muncul, apa saja indikasi nyata dari berakhlak mulia itu? Paling tidak, indikasinya dapat dilihat pada dua aspek. Pertama, sikap senantiasa taat dan patuh kepada Allah swt. dengan  melakukan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga selalu tergugah untuk menyelesaikan problem-problem kemanusiaan yang terjadi di sekitarnya, menghormati sesama manusia tanpa melihat kepada status sosial, warna kulit, suku bangsa, jenis kelamin, dan bahkan tanpa memandang agamanya; dan menyayangi makhluk lain; serta memelihara kelestarian lingkungan.
Dengan ungkapan lain, tujuan pendidikan Islam adalah memanusiakan manusia; menjadikan manusia lebih manusiawi; manusia yang bukan hanya memiliki kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial. Manusia yang meyakini keberadaan dan keesaan Tuhan, serta memiliki empati kepada sesama manusia. Empati terhadap sesama manusia diwujudkan dalam bentuk sikap pemihakan terhadap kelompok masyarakat yang rentan, yakni kelompok manusia yang termarjinalkan (mustadh'afin), seperti anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak korban perang dan konflik, fakir miskin, para penyandang cacat (disable people), perempuan, buruh kasar, para pengungsi, dan orang-orang yang mengalami kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi.

Materi pendidikan Islam
Materi pendidikan Islam, khususnya di tingkat perguruan tinggi hendaknya dikemas dengan mengacu kepada epistemologi atau filsafat keilmuan agama Islam. Epistemologi ini perlu diperkenalkan sejak dini kepada mahasiswa pada masing-masing fakultas oleh setiap dosen bidang studi sehingga proses humanisasi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu keagamaan dapat berlangsung sejak awal. Pengenalan itu perlu dalam rangka mengantarkan keilmuan studi keislaman berdialog dengan disiplin ilmu lain, seperti keilmuan sosial dengan fondasi epistemologi dan filsafat keilmuan studi keislaman corak baru.
M. Amin Abdullah, pakar pendidikan nasional menegaskan spesialisasi keilmuan apa pun, termasuk ilmu-ilmu agama Islam, yang terlalu kaku dan rigid tidak lagi menarik bagi generasi ilmuan studi Keislaman kontemporer. Sebaliknya, diperlukan pendekatan multi dan interdisiplin ilmu untuk mengembangkan dan memperkaya wawasan keilmuan ilmu-ilmu agama Islam serta membongkar ketertutupan dan kekakuan disiplin keilmuan agama yang hidup di dalam bilik-bilik sempit epistemologi dan institusi fakultas yang dibangun sejak dini di fakultas-fakultas yang ada di perguruan tinggi Islam, seperti STAIN.
Akibatnya, para alumni fakultas Ushuluddin pada umumnya tidak mengenal atau kurang peduli terhadap paradigma keilmuan Syari'ah begitu pula sebaliknya. Kalau terhadap paradigma keilmuan yang masih serumpun, seperti keilmuan Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah sudah tidak saling mengenal dan tidak saling menunjang, apalagi terhadap keilmuan bidang-bidang studi umum, seperti MIPA, Kedokteran, Biologi. Realitas ini membawa implikasi yang luas dalam kehidupan sosial, di antaranya para alumni perguruan tinggi Islam akan gamang menghadapi realitas kehidupan keilmuan di luar dirinya, dan menjadi kurang percaya diri menghadapi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan di luar bidang ilmu digelutinya.
Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir Islam kontemporer, membagi corak epistemologi ilmu agama pada tiga kelompok dasar, yaitu epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani. Corak Epistemologi Bayani didukung oleh pemikiran Fikih dan Kalam, sedangkan corak Epistemologi Irfani diimplementasikan dalam model pemikiran tasawuf. Sementara itu, corak Epistemologi Burhani bersumber pada realitas (al-waqi'), baik realitas alam, sosial, humanitas maupun realitas keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi Burhani disebut sebagai al-ilm al-husuli, yakni ilmu yang dikonstruksikan melalui premis-premis logika, bukan melalui otoritas teks seperti dalam corak keilmuan Bayani, bukan pula melalui otoritas intuisi seperti dalam corak Irfani.
Menilik dari sumber ilmunya, dapat dijelaskan perbedaan ketiga corak keilmuan tadi sebagai berikut. Sumber ilmu dari corak epistemologi Bayani adalah teks, sedangkan sumber ilmu untuk corak epistemologi Irfani adalah pengalaman langsung. Adapun, corak epistemologi Burhani sumber ilmunya berasal dari realitas (al-waqi'). Lalu, bukan hanya sumber keilmuan dari ketiga corak keilmuan itu yang berbeda, melainkan juga tolok ukur validitas keilmuan masing-masing.
Tolok ukur epistemologi bayani sangat tergantung pada keintiman hubungan dengan teks dan realitas. Epistemologi irfani justru mendasarkan tolok ukur mereka pada kematangan dan kedewasaan sosial seseorang, yang tersirat dalam sifat-sifat: empati dan simpati. Berbeda dengan tolok ukur kedua corak keilmuan terdahulu, epistemologi burhani menekankan pada korespondensi atau kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan akal manusia dan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi atau keruntutan berfikir logis dan upaya yang terus menerus demi memperbaiki dan menyempurnakan  teori-teori yang telah dibangun dan dikonstruksikan oleh akal manusia.
Corak pemikiran keislaman model Bayani mendominasi hampir seluruh materi pengajaran agama Islam di perguruan tinggi, baik di UIN, IAIN, STAIN, maupun perguruan tinggi umum tanpa ada perbedaan antara negeri dan swasta. Bukan hanya itu, pengajaran agama di pesantren-pesantren juga secara dominan menggunakan model Bayani. Masalahnya, penggunaan model Bayani itu bersifat hegemonik sehingga menafikan keberadaan dan kehadiran kedua corak pemikiran keislaman lainnya, yaitu Irfani, dan Burhani. Akibat dominasi pola pikir tekstual Bayani dalam pendidikan Islam terlihat perilaku keberagamaan masyarakat umumnya sangat rigid dan kaku. Mereka kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual.
Kelemahan paling mendasar dari epistemologi Bayani atau tradisi nalar tekstual adalah ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas agama lain. Mereka yang menganut pola pikir model tekstual-bayani pada umumnya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif, apologis dan polemis. Nalar epistemologi Bayani selalu mencurigai akal pikiran karena dianggap akan menodai kebenaran tekstual. Oleh karena itu, sudah waktunya merumuskan kembali bangunan materi pendidikan dan keilmuan Islam dengan mempertimbangkan ketiga corak epistemologi tadi: epistemologi  Bayani, Irfani dan Burhani.

Mengeliminasi Konsep Dualisme Sebagai Solusi
Ke depan upaya-upaya untuk mereformasi pendidikan Islam sehingga dapat mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang berakhlak karimah haruslah bersifat holistik. Maksudnya, reformasi itu bukan hanya menyangkut tujuan dan materi pendidikan Islam, melainkan hendaknya lebih dalam dari pada itu, yakni perlu mengeliminasi konsep dualisme dalam pendidikan itu sendiri.
Mengapa ini perlu dikedepankan? Sebab, realitas yang ada dewasa ini menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan di berbagai masyarakat Islam, termasuk di Indonesia masih menerapkan konsep dikotomi atau konsep dualisme yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Bahkan, di Indonesia, pengelolaan ilmu-ilmu agama ditangani oleh institusi yang berbeda: Departemen Agama, sedangkan ilmu-ilmu non-agama dikelola oleh Departemen Pendidikan. Hasilnya, lahir sarjana-sarjana ilmu agama yang tidak mengerti sama sekali tentang ilmu-ilmu umum demikian pula sebaliknya.
Seiring dengan perkembangan demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru, terutama di Era Reformasi, pemerintah melakukan upaya reformasi di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Pada 1999 lahir kebijakan otonomisasi pendidikan yang memberikan wewenang luas kepada institusi perguruan tinggi untuk mengembangkan dirinya. Perkembangan ini menunjukkan bahwa IAIN dituntut untuk tidak saja mengembangkan SDM yang memiliki kemampuan akademik dan profesional dalam bidang ilmu-ilmu keislaman yang selama ini sudah terbakukan dalam lima fakultas yang ada, melainkan juga harus mampu mengembangkan  ilmu-ilmu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti ilmu ekonomi, politik, perdagangan, kedokteran dan sebagainya dengan dasar Islam. Bahkan, diharapkan tidak ada lagi dikotomi ilmu: agama dan non-agama (ilmu umum) secara rigid dan kaku. Kedua bidang ilmu: ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang sebelumnya diajarkan secara berbeda harus saling berinteraksi secara intens dengan menggunakan metodologi kajian historis-empiris.
Selain itu, perlunya mengeliminasi konsep dualisme dalam pendidikan ini juga didasarkan pada hasil sejumlah evaluasi terhadap lembaga pendidikan Islam, khusunya IAIN. Hasil evaluasi dimaksud menyimpulkan tiga hal;
Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akademik, birokrasi, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Di antara ketiga lingkungan tersebut tampaknya peran IAIN masih lebih besar pada masyarakat (social expectations) karena kuatnya orientasi kepada dakwah.
Kedua, kurikulum IAIN masih terlalu berat pada ilmu-ilmu yang bersifat normatif sehingga belum mampu meresponi perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Kelemahan tersebut disebabkan karena bidang kajian agama yang menjadi spesialisasi IAIN kurang mengalami interaksi dengan ilmu-ilmu umum, bahkan sangat dikotomis.
Ketiga, kelemahan IAIN yang mendasar adalah profesionalisme yang rendah karena institusi ini kurang membangun komunikasi timbal balik dengan dunia pasar kerja, khususnya menyangkut jenis profesi yang dikembangkan. Misalnya, alumni fakultas Syariah yang menekuni bidang hukum Islam masih jarang yang  bisa tampil sebagai pengacara atau konsultan hukum, padahal lapangan pekerjaan untuk kedua bidang tersebut sangat terbuka di Pengadilan Agama yang merupakan area IAIN. Evaluasi ini akhirnya membawa kepada gagasan mengubah IAIN menjadi UIN.
Untuk kasus Indonesia, upaya mengeliminasi konsep dualisme dalam pendidikan sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum dimulai dengan mengubah konsep pendidikan IAIN menjadi UIN. Perubahan IAIN menjadi UIN dimulai dari IAIN Jakarta tahun 2001 disusul kemudian 4 IAIN lainnya, yaitu Yogya, Malang, Riau dan Makassar.  Dengan menyebut diri sebagai universitas (UIN), lembaga pendidikan ini dituntut membuka fakultas baru, yaitu fakultas ilmu-ilmu umum. UIN Jakarta, misalnya membuka Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi, dan Psikologi.
Substansi utama yang ada dibalik perubahan nama UIN itu adalah reapproachment antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum; dan agar kajian keilmuan menjadi lebih kontekstual dan relevan dengan perkembangan zaman. Pengembangan UIN ke depan dimaksudkan bukan hanya meningkatkan kualitas fakultas dan jurusan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama  Islam saja, melainkan juga kualitas fakultas dan jurusan yang mengajarkan ilmu-ilmu humaniora, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu eksakta.








[1] Q.S. al-Alaq, 1-6.
[2] Q.S, 58:11.

[3] Lihat misalnya Laporan Pengembangan Manusia yang dibuat Badan PBB (Human Depelovment Report 2002). Dalam laporan tersebut tampak bahwa negara-negara Islam dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki nilai Human Development Index (HDI) yang rendah.  HDI merupakan gabungan tiga kriteria dalam melihat pembangunan manusia di berbagai negara, yakni  usia harapan hidup dan kesehatan manusia, kelayakan standar hidup, dan kemajuan pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar