Pendahuluan
Sebelum berbicara jauh
soal konsep dualisme dalam pendidikan, penulis ingin terlebih dahulu mengajak
kita semua melihat dan menyimak kembali pentingnya pendidikan sebagai media
peningkatan SDM dan pentingnya pendidikan
dalam ajaran Islam. Hal ini dimaksudkan agar kita semua memiliki visi
yang sama tentang pentingnya pendidikan, termasuk dalam agama Islam, untuk
selanjutnya mengkritisi akibat dari penyelenggaraan sistem pendidikan yang umumnya
masih menggunakan konsep dualisme.
Pemerintah Indonesia
telah berkomitmen bahwa upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM) merupakan
hal yang niscaya dan seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan
bangsa. Perlunya peningkatan SDM tersebut, terutama karena rendahnya tingkat
kualitas manusia Indonesia
sebagaimana terbaca dalam laporan resmi badan dunia UNDP.
UNDP melalui Human
Development Report tahun 2002 melaporkan tingkat kemajuan manusia di
seluruh dunia. Ukuran kemajuan ini didasarkan pada penilaian terhadap tiga
variable utama, yaitu tingkat kesehatan dan usia hidup manusia (long and
healthy life); pengetahuan (knowledge) dan kelayakan standard hidup
manusia (a decent standard of living).
Untuk tingkat Asia dijumpai laporan berikut. Human Development
Index (HDI) tahun 2010 Indonesia
menduduki peringkat ke-109 dengan nilai akumulatif 0,688. China 0,762 (peringkat ke-96), Filipina 0,754
(peringkat ke-77), Thailand
0,752 (peringkat ke-70), Malaysia ,
0,782 (peringkat ke-59), Brunei Darussalam 0,856 (peringkat ke-32), Singapura
0,885 (peringkat ke-25), Jepang 0,933 (peringkat ke-9). Laporan tersebut
seharusnya membuka mata kita untuk mengakui secara jujur bahwa di tingkat Asia
saja Indonesia
berada pada urutan 109, hanya setingkat di atas negara-negara Afrika yang
miskin dan dilanda perang.
Sementara itu, dilaporkan
pula bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selama 200 tahun
terakhir mengalami kemajuan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari apa yang
pernah diprediksikan para pakar. Perkembangan iptek 200 tahun belakangan
ternyata jauh lebih cepat dari perkembangan iptek 2000 tahun sebelumnya. Tentu
saja perubahan ini berdampak besar terhadap pola perilaku manusia, termasuk di
dalamnya perilaku sosial keagamaan mereka. Umat Islam harus merespon perubahan tersebut melalui
pendidikan.
Mengapa pendidikan?
Sebab, pendidikan merupakan bentuk investasi atau penanaman modal untuk suatu
bangsa yang amat penting. Di antara semua bentuk investasi yang dilakukan suatu
bangsa, pendidikan yang baik dan profesional merupakan investasi yang paling
penting, paling produktif dan paling menjanjikan. Karena itu sudah sangat
sewajarnya jika pendidikan diposisikan pada puncak skala prioritas pembangunan
bangsa dan negara.
Untuk merealisasikan hal
ini tentu dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari para pimpinan negara,
terlebih lagi karena pendidikan merupakan jenis investasi jangka panjang.
Rata-rata hasil pembangunan bidang pendidikan baru terlihat setelah suatu
jangka waktu tertentu, umumnya setelah 20 tahun atau satu generasi. Itulah
tantangannya sehingga investasi di bidang pendidikan ini sering tidak menarik
kalangan investor yang ingin cepat-cepat meraih keuntungan.
Evaluasi dari sejumlah
negara menjelaskan, keberhasilan pendidikan hanya dapat dicapai melalui kerja
keras, kesabaran, keuletan, dan kegigihan dari semua elemen masyarakat,
termasuk ketabahan menunda berbagai harapan kesenangan. Tidak ada yang instant
dalam perjuangan. Sekedar catatan, bahwa Indonesia tercatat sebagai negara
yang paling rendah menginvestasikan diri dalam pendidikan.
Pendidikan pada dasarnya
adalah suatu usaha sadar yang sengaja dikemas untuk mempersiapkan manusia agar
mampu memecahkan pelbagai problem sosial yang dihadapinya sehari-hari sehingga
pada gilirannya nanti mereka berhasil hidup di zamannya dengan penuh tanggung
jawab. Dengan demikian, institusi pendidikan menempati posisi yang amat
strategis dalam menghadapi perubahan-perubahan dalam masyarakat akibat kemajuan
iptek dan tuntutan dinamika manusia.
Mengapa pendidikan sangat
relevan dalam upaya-upaya peningkatan SDM suatu bangsa? Sebab, ada ungkapan
populer, knowledge is power (ilmu pengetahuan adalah kekuatan). Pendidikan
yang berhasil merupakan sumber energi yang luar biasa bagi masyarakat, bangsa
dan negara. Keberhasilan suatu bangsa atau negara diukur salah satunya dari
unsur keterdidikan masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat keterdidikan suatu
bangsa semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup bangsa tersebut.
Pendidikan memiliki
paling sedikit dua macam dampak posistif. Pertama, meningkatkan kemampuan
kerja manusia dengan keahlian dan profesionalisme. Pendidikan membekali manusia
dengan sejumlah keahlian dan profesionalisme sesuai dengan tujuan pendidikan
itu sendiri menurut bidang-bidang yang dikembangkan, seperti manajemen,
kesehatan, pertanian, keguruan, dan teknologi. Kedua, pendidikan mempunyai
dampak besar dalam upaya peningkatan kemajuan berpikir dan bertindak rasional.
Pendidikan memiliki andil dalam memperluas cakrawala berpikir dan memperdalam
wawasan di segala bidang kehidupan, tak terkecuali dalam kehidupan keagamaan.
Pendidikan memudahkan manusia mengakses informasi seluas-luasnya. Perpaduan
informasi dan ilmu pengetahuan merupakan kekuatan yang dahsyat. Sementara itu, dengan memiliki informasi dan pengetahuan
yang luas, masyarakat dalam suatu bangsa akan lebih mudah mengenali berbagai
alternatif tindakan yang tersedia sehingga pada gilirannya mempermudah mereka
untuk menemukan solusi bagi problem yang dihadapinya.
Pentingnya
Pendidikan Dalam Islam
Islam sejak semula diyakini sebagai agama yang menaruh perhatian dan
kepedulian yang sangat besar pada aspek pendidikan. Bukan hal kebetulan jika
Al-Qur'an, kitab suci umat Islam memulai tuntunannya dengan ayat-ayat yang
berisi perintah membaca.[1] Membaca merupakan media
utama dalam pendidikan karena membaca merupakan jendela ilmu pengetahuan.
Hanya dengan membacalah pikiran dan wawasan manusia dapat terbuka dan
tercerahkan sehingga pada gilirannya diharapkan membentuk manusia menjadi lebih
arif bijaksana, dan lebih berkualitas dalam semua hal, terutama akhlaknya.
Jadi, tujuan akhir yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam adalah identik
dengan tujuan agama Islam itu sendiri, yaitu mewujudkan manusia yang berakhlak
karimah.
Islam secara tegas mengajarkan bahwa ilmu dan iman merupakan syarat bagi
kesuksesan hidup di dunia menuju kehidupan akhirat yang abadi. Karena itu,
Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu ke tingkat yang
sangat tinggi. Ada jaminan Tuhan bahwa mereka yang memiliki iman dan ilmu akan
selalu bijaksana dan bersikap lapang dada karena mereka memiliki wawasan yang
luas dan pengetahuan yang dalam. Mereka akan bersikap empati, peduli dan toleran terhadap
sesama manusia, sekali pun berbeda agama dan kepercayaan.[2]
Umat Islam secara normatif meyakini bahwa pendidikan sangat penting bagi
manusia, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ditemukan sejumlah
ayat dan hadis menjelaskan betapa tingginya posisi orang-orang yang menekuni
pendidikan dan bidang keilmuan, salah satunya dapat dirujuk pada ayat: Allah swt. mengangkat derajat orang-orang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang berilmu pengetahuan. Adapun dalam hadis Nabi,
antara lain: ”menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi laki-laki dan
perempuan” atau seruan Nabi kepada
segenap kaum muslim: laki-laki dan perempuan “tuntutlah ilmu walau sampai ke
negeri Cina.”
Akan tetapi, nilai-nilai ideal Islam
yang begitu luhur pada tataran normatif tersebut tidak berlanjut ke tataran
empiris sebagaimana terlihat dalam realitas kehidupan umat Islam di berbagai
wilayah, khususnya di Indonesia. Ironis
sekali, meskipun ajaran Islam sangat kuat mendorong umatnya menekuni dan
mengembangkan pendidikan, namun faktanya di berbagai belahan dunia dijumpai
cukup banyak penganut Islam tidak tersentuh pendidikan. Angka partisipasi
mereka dalam semua level pendidikan, khususnya pendidikan tinggi sangat rendah,
terlebih lagi bagi kaum perempuan. Sebagian besar umat Islam tidak memiliki akses, tidak mampu
berpatisipasi dalam upaya-upaya pendidikan, serta tidak mampu mengambil manfaat
atau menikmati hasil-hasil pembangunan dalam bidang pendidikan. Akibatnya,
seperti yang banyak diungkap selama ini, umat Islam masih menempati posisi yang
lemah dan terkebelakang, khususnya dalam bidang sains dan teknologi. [3]
Esensi
Pendidikan Islam
Para pakar menawarkan beragam rumusan mengenai pendidikan yang pada
esensinya dapat dikategorikan pada dua aliran. Pertama, aliran yang
mendefinisikan pendidikan sebagai proses pewarisan atau enkulturasi dan sosialisasi
perilaku sosial yang telah mapan di masyarakat. Kedua, aliran yang memahami
pendidikan sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan tergalinya sejumlah
potensi manusia agar dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
hidup mereka. Kedua sudut pandang yang berbeda, dan bahkan bertolak belakang
dalam memahami pendidikan tersebut, masing-masing memiliki implikasi yang luas
terhadap pelaksanaan pendidikan di masyarakat.
Aliran pertama mengandaikan peserta didik sebagai obyek pasif dalam pendidikan.
Pandangan ini memandang peserta didik ibarat kertas kosong yang kemudian
digoresi dengan berbagai tulisan oleh pendidiknya. Sebaliknya, aliran kedua
mengasumsikan peserta didik sebagai subyek yang harus terlibat aktif dalam
seluruh proses dan tahapan pendidikan. Keberhasilan pendidikan menurut aliran
kedua ini, bukan hanya ditentukan oleh pihak pendidik, melainkan juga oleh
keaktifan peserta didik. Umumnya, teori-teori
pendidikan yang diterapkan dewasa ini mengadopsi aliran kedua.
Pendidikan Islam yang diuraikan dalam tulisan ini juga cenderung mengambil
corak aliran kedua. Mengapa demikia? Sebab, sejalan dengan filsafat pendidikan
Islam yang menempatkan manusia sebagai subyek yang penting, yakni khalifah
fi al-ardh. Manusia adalah subyek penting yang menerima amanah untuk
mengelola kehidupan dunia dengan berbasis keimanan kepada Allah swt. Oleh
karena itu, pendidikan Islam menempatkan manusia atau peserta didik sebagai
pusat atau subyek yang amat penting dalam seluruh proses pendidikan.
Tujuan Pendidikan
Islam
Para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa Tujuan utama pendidikan Islam
adalah membentuk kepribadian Muslim sehingga terwujud manusia yang bermoral
atau berakhlak mulia. Pendidikan harus mampu mewujudkan cita-cita Islam yang
mencakup pengembangan potensi rohani dan jasmani manusia sehingga membentuk
manusia beriman dan berilmu secara seimbang.
Perlu diberi catatan di sini bahwa
keimanan dan ketakwaan manusia, sebagaimana yang ingin diwujudkan dalam
pendidikan Islam hendaknya jangan diukur atau dilihat secara sempit. Keimanan
dan ketakwaan seseorang, misalnya tidak dapat diukur hanya pada hal-hal yang
sifatnya legal formal, seperti pelaksanaan ibadah salat, puasa dan haji atau
rajin menghadiri majelis taklim atau kumpulan zikir dan seterusnya. Lebih fatal
lagi kalau diukur dari hal-hal yang bersifat sangat simbolistik, seperti
panjangnya janggut bagi laki-laki, panjangnya jilbab buat perempuan, atau seringnya menggunakan label-label
syariah dan sebagainya.
Namun, indikasi keimanan dan ketakwaan seseorang terefleksikan pada
seberapa besar empati dan komitmen seseorang pada upaya-upaya berikut:
membangun lingkungan yang bersih, baik secara material maupun moral; menolong
fakir-miskin; membantu anak-anak dan perempuan terlantar serta kelompok rentan
lainnya; mengentaskan kemiskinan; menghindari perilaku korupsi; menjauh dari
semua tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dengan dalih apa pun,
termasuk kekerasan yang menggunakan alasan agama sekalipun.
Agar pendidikan Islam dapat mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa
dengan sejumlah indikasi yang disebutkan tadi, pendidikan hendaknya menyentuh
dan mengaktualkan ketiga aspek penting dalam diri manusia secara bersamaan,
yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Inilah problemnya, karena
dalam realitas sosial di masyarakat pendidikan Islam pada umumnya baru
menyentuh aspek kognitif, dan itu pun belum optimal.
Akibat dari pendidikan yang hanya
mementingkan sisi kognitif belaka adalah
seperti yang dewasa ini kita saksikan. Pendidikan Islam pada umumnya
hanya mewujudkan manusia-manusia yang mengerti Islam, tetapi kurang mampu atau
bahkan tidak mampu menginternalisasikan atau menghayati makna hakiki ajaran
Islam, apalagi mengimplementasikan pengetahuan keagamaannya atau keislamannya itu
ke dalam perilaku islami sehari-hari.
Konsekuensi logis dari pelaksanaan pendidikan Islam yang demikian adalah
munculnya ribuan sarjana Muslim tetapi belum memberikan kontribusi positif yang
optimal bagi bangunan peradaban Islam atau ketamaddunan Islam masa kini. Dengan
ungkapan lain, para sarjana Muslim tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan
solusi yang signifikan terhadap berbagai problem sosial kontemporer yang
dihadapi masyarakat Muslim dewasa ini.
Karena itu, ke depan pendidikan Islam harus mampu mengubah dan
mengembangkan ketiga potensi dasar manusia: pengetahuan, sikap dan perilaku ke
arah lebih baik, lebih positif, lebih arif dan lebih manusiawi. Pendidikan
harus mengubah pengetahuan dan wawasan manusia menjadi lebih luas dan terbuka;
mengubah sikap manusia ke arah lebih inklusif, lebih toleran, lebih pluralis,
dan lebih humanis sehingga menjadi lebih empati terhadap sesama, serta lebih
peduli pada kelestarian lingkungan dan alam semesta; dan mengubah perilaku
manusia ke arah perilaku lebih santun dan bermoral. Ringkasnya, tujuan akhir
pendidikan Islam adalah membentuk manusia berbudi-pekerti luhur atau berakhlak
mulia.
Pertanyaan muncul, apa saja indikasi nyata dari berakhlak mulia itu? Paling
tidak, indikasinya dapat dilihat pada dua aspek. Pertama, sikap senantiasa taat
dan patuh kepada Allah swt. dengan
melakukan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, memiliki
kepekaan sosial yang tinggi sehingga selalu tergugah untuk menyelesaikan
problem-problem kemanusiaan yang terjadi di sekitarnya, menghormati sesama
manusia tanpa melihat kepada status sosial, warna kulit, suku bangsa, jenis
kelamin, dan bahkan tanpa memandang agamanya; dan menyayangi makhluk lain;
serta memelihara kelestarian lingkungan.
Dengan ungkapan lain, tujuan pendidikan Islam adalah memanusiakan manusia;
menjadikan manusia lebih manusiawi; manusia yang bukan hanya memiliki kesalehan
individual, tetapi juga kesalehan sosial. Manusia yang meyakini keberadaan
dan keesaan Tuhan, serta memiliki empati kepada sesama manusia. Empati terhadap
sesama manusia diwujudkan dalam bentuk sikap pemihakan terhadap kelompok
masyarakat yang rentan, yakni kelompok manusia yang termarjinalkan (mustadh'afin),
seperti anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak korban perang dan
konflik, fakir miskin, para penyandang cacat (disable people),
perempuan, buruh kasar, para pengungsi, dan orang-orang yang mengalami
kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi.
Materi
pendidikan Islam
Materi pendidikan Islam, khususnya di tingkat perguruan tinggi hendaknya
dikemas dengan mengacu kepada epistemologi atau filsafat keilmuan agama Islam.
Epistemologi ini perlu diperkenalkan sejak dini kepada mahasiswa pada
masing-masing fakultas oleh setiap dosen bidang studi sehingga proses
humanisasi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu keagamaan dapat berlangsung sejak
awal. Pengenalan itu perlu dalam rangka mengantarkan keilmuan studi keislaman
berdialog dengan disiplin ilmu lain, seperti keilmuan sosial dengan fondasi
epistemologi dan filsafat keilmuan studi keislaman corak baru.
M. Amin Abdullah, pakar pendidikan nasional menegaskan spesialisasi
keilmuan apa pun, termasuk ilmu-ilmu agama Islam, yang terlalu kaku dan rigid
tidak lagi menarik bagi generasi ilmuan studi Keislaman kontemporer.
Sebaliknya, diperlukan pendekatan multi dan interdisiplin ilmu untuk
mengembangkan dan memperkaya wawasan keilmuan ilmu-ilmu agama Islam serta
membongkar ketertutupan dan kekakuan disiplin keilmuan agama yang hidup di
dalam bilik-bilik sempit epistemologi dan institusi fakultas yang dibangun
sejak dini di fakultas-fakultas yang ada di perguruan tinggi Islam, seperti
STAIN.
Akibatnya, para alumni fakultas Ushuluddin pada umumnya tidak mengenal atau
kurang peduli terhadap paradigma keilmuan Syari'ah begitu pula sebaliknya.
Kalau terhadap paradigma keilmuan yang masih serumpun, seperti keilmuan
Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah sudah tidak saling mengenal dan tidak saling
menunjang, apalagi terhadap keilmuan bidang-bidang studi umum, seperti MIPA,
Kedokteran, Biologi. Realitas ini membawa implikasi yang luas dalam kehidupan
sosial, di antaranya para alumni perguruan tinggi Islam akan gamang menghadapi
realitas kehidupan keilmuan di luar dirinya, dan menjadi kurang percaya diri
menghadapi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan di luar bidang ilmu digelutinya.
Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir Islam kontemporer, membagi corak
epistemologi ilmu agama pada tiga kelompok dasar, yaitu epistemologi Bayani,
Irfani, dan Burhani. Corak Epistemologi Bayani didukung oleh
pemikiran Fikih dan Kalam, sedangkan corak Epistemologi Irfani
diimplementasikan dalam model pemikiran tasawuf. Sementara itu, corak
Epistemologi Burhani bersumber pada realitas (al-waqi'), baik
realitas alam, sosial, humanitas maupun realitas keagamaan. Ilmu-ilmu yang
muncul dari tradisi Burhani disebut sebagai al-ilm al-husuli,
yakni ilmu yang dikonstruksikan melalui premis-premis logika, bukan melalui
otoritas teks seperti dalam corak keilmuan Bayani, bukan pula melalui
otoritas intuisi seperti dalam corak Irfani.
Menilik dari sumber ilmunya, dapat dijelaskan perbedaan ketiga corak
keilmuan tadi sebagai berikut. Sumber ilmu dari corak epistemologi Bayani adalah
teks, sedangkan sumber ilmu untuk corak epistemologi Irfani adalah
pengalaman langsung. Adapun, corak epistemologi Burhani sumber ilmunya
berasal dari realitas (al-waqi'). Lalu, bukan hanya sumber keilmuan dari
ketiga corak keilmuan itu yang berbeda, melainkan juga tolok ukur validitas
keilmuan masing-masing.
Tolok ukur epistemologi bayani sangat tergantung pada keintiman
hubungan dengan teks dan realitas. Epistemologi irfani justru
mendasarkan tolok ukur mereka pada kematangan dan kedewasaan sosial seseorang,
yang tersirat dalam sifat-sifat: empati dan simpati. Berbeda dengan tolok ukur
kedua corak keilmuan terdahulu, epistemologi burhani menekankan pada
korespondensi atau kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan akal manusia
dan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi atau
keruntutan berfikir logis dan upaya yang terus menerus demi memperbaiki dan menyempurnakan teori-teori yang telah dibangun dan
dikonstruksikan oleh akal manusia.
Corak pemikiran keislaman model Bayani mendominasi hampir seluruh
materi pengajaran agama Islam di perguruan tinggi, baik di UIN, IAIN, STAIN,
maupun perguruan tinggi umum tanpa ada perbedaan antara negeri dan swasta.
Bukan hanya itu, pengajaran agama di pesantren-pesantren juga secara dominan
menggunakan model Bayani. Masalahnya, penggunaan model Bayani itu
bersifat hegemonik sehingga menafikan keberadaan dan kehadiran kedua corak
pemikiran keislaman lainnya, yaitu Irfani, dan Burhani. Akibat
dominasi pola pikir tekstual Bayani dalam pendidikan Islam terlihat
perilaku keberagamaan masyarakat umumnya sangat rigid dan kaku. Mereka kurang
peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual.
Kelemahan paling mendasar dari epistemologi Bayani atau tradisi
nalar tekstual adalah ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang
dimiliki oleh komunitas agama lain. Mereka yang menganut pola pikir model
tekstual-bayani pada umumnya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik,
defensif, apologis dan polemis. Nalar epistemologi Bayani selalu
mencurigai akal pikiran karena dianggap akan menodai kebenaran tekstual. Oleh
karena itu, sudah waktunya merumuskan kembali bangunan materi pendidikan dan
keilmuan Islam dengan mempertimbangkan ketiga corak epistemologi tadi:
epistemologi Bayani, Irfani dan
Burhani.
Mengeliminasi Konsep Dualisme
Sebagai Solusi
Ke depan upaya-upaya untuk
mereformasi pendidikan Islam sehingga dapat mengantarkan peserta didik menjadi
manusia yang berakhlak karimah haruslah bersifat holistik. Maksudnya, reformasi
itu bukan hanya menyangkut tujuan dan materi pendidikan Islam, melainkan
hendaknya lebih dalam dari pada itu, yakni perlu mengeliminasi konsep dualisme
dalam pendidikan itu sendiri.
Mengapa ini perlu dikedepankan?
Sebab, realitas yang ada dewasa ini menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan di
berbagai masyarakat Islam, termasuk di Indonesia masih menerapkan konsep
dikotomi atau konsep dualisme yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu
non-agama. Bahkan, di Indonesia, pengelolaan ilmu-ilmu agama ditangani oleh
institusi yang berbeda: Departemen Agama, sedangkan ilmu-ilmu non-agama
dikelola oleh Departemen Pendidikan. Hasilnya, lahir sarjana-sarjana ilmu agama
yang tidak mengerti sama sekali tentang ilmu-ilmu umum demikian pula
sebaliknya.
Seiring dengan perkembangan
demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru, terutama di Era Reformasi, pemerintah
melakukan upaya reformasi di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Pada
1999 lahir kebijakan otonomisasi pendidikan yang memberikan wewenang luas
kepada institusi perguruan tinggi untuk mengembangkan dirinya. Perkembangan ini
menunjukkan bahwa IAIN dituntut untuk tidak saja mengembangkan SDM yang
memiliki kemampuan akademik dan profesional dalam bidang ilmu-ilmu keislaman
yang selama ini sudah terbakukan dalam lima fakultas yang ada, melainkan juga
harus mampu mengembangkan ilmu-ilmu yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti ilmu ekonomi, politik, perdagangan,
kedokteran dan sebagainya dengan dasar Islam. Bahkan, diharapkan tidak ada lagi
dikotomi ilmu: agama dan non-agama (ilmu umum) secara rigid dan kaku. Kedua
bidang ilmu: ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang
sebelumnya diajarkan secara berbeda harus saling berinteraksi secara intens
dengan menggunakan metodologi kajian historis-empiris.
Selain itu, perlunya
mengeliminasi konsep dualisme dalam pendidikan ini juga didasarkan pada hasil
sejumlah evaluasi terhadap lembaga pendidikan Islam, khusunya IAIN. Hasil
evaluasi dimaksud menyimpulkan tiga hal;
Pertama, IAIN belum berperan
secara optimal dalam dunia akademik, birokrasi, dan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Di antara ketiga lingkungan tersebut tampaknya peran IAIN masih
lebih besar pada masyarakat (social expectations) karena kuatnya
orientasi kepada dakwah.
Kedua, kurikulum IAIN masih
terlalu berat pada ilmu-ilmu yang bersifat normatif sehingga belum mampu
meresponi perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks.
Kelemahan tersebut disebabkan karena bidang kajian agama yang menjadi
spesialisasi IAIN kurang mengalami interaksi dengan ilmu-ilmu umum, bahkan
sangat dikotomis.
Ketiga, kelemahan IAIN yang
mendasar adalah profesionalisme yang rendah karena institusi ini kurang
membangun komunikasi timbal balik dengan dunia pasar kerja, khususnya
menyangkut jenis profesi yang dikembangkan. Misalnya, alumni fakultas Syariah
yang menekuni bidang hukum Islam masih jarang yang bisa tampil sebagai pengacara atau konsultan
hukum, padahal lapangan pekerjaan untuk kedua bidang tersebut sangat terbuka di
Pengadilan Agama yang merupakan area IAIN. Evaluasi ini akhirnya membawa kepada
gagasan mengubah IAIN menjadi UIN.
Untuk kasus Indonesia , upaya mengeliminasi
konsep dualisme dalam pendidikan sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu
agama dan ilmu umum dimulai dengan mengubah konsep pendidikan IAIN menjadi UIN.
Perubahan IAIN menjadi UIN dimulai dari IAIN Jakarta tahun 2001 disusul
kemudian 4 IAIN lainnya, yaitu Yogya, Malang, Riau dan Makassar. Dengan menyebut diri sebagai universitas
(UIN), lembaga pendidikan ini dituntut membuka fakultas baru, yaitu fakultas
ilmu-ilmu umum. UIN Jakarta, misalnya membuka Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi, dan
Psikologi.
Substansi utama yang ada dibalik
perubahan nama UIN itu adalah reapproachment antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum; dan agar kajian keilmuan menjadi lebih kontekstual dan relevan
dengan perkembangan zaman. Pengembangan UIN ke depan dimaksudkan bukan hanya
meningkatkan kualitas fakultas dan jurusan yang mengajarkan ilmu-ilmu
agama Islam saja, melainkan juga
kualitas fakultas dan jurusan yang mengajarkan ilmu-ilmu humaniora, ilmu-ilmu
sosial, dan ilmu-ilmu eksakta.
[2] Q.S, 58:11.
[3]
Lihat misalnya Laporan Pengembangan Manusia yang dibuat Badan PBB (Human
Depelovment Report 2002). Dalam laporan tersebut tampak bahwa negara-negara
Islam dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki nilai Human
Development Index (HDI) yang rendah. HDI
merupakan gabungan tiga kriteria dalam melihat pembangunan manusia di berbagai
negara, yakni usia harapan hidup dan
kesehatan manusia, kelayakan standar hidup, dan kemajuan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar