Jumat, 14 April 2017

Indonesia di Persimpangan: Negara Pancasila vs Negara Agama





Kemana negara ini mengarah? Itulah pertanyaan yang mengusik kami akhir-akhir ini dengan mencermati berbagai kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya yang terjadi dalam lima bulan terakhir. Apakah akan membiarkan negara terbang tanpa arah yang pasti bagai layang-layang putus? Dalam sejarah Indonesia memang selalu ada usaha untuk mengganti Pacasila dengan ideologi lain, namun belum pernah sekritis kondisi sekarang.

Di tengah kita membangun demokrasi yang diharapkan semakin terkonsolidasi, ronrongan radikalisme agama semakin menguat. Masalahnya, kini kelompok sektarianisme agama bersekongkol dengan kaum fundamentalisme pasar dan diperparah lagi oleh sebagian elit politik yang gamang sehingga tidak lagi berpijak pada nilai-nilai Pancasila.

Kondisi inilah yang melatarbelakangi pemilihan tema semiloka: Indonesia di Persimpangan: Negara Pancasila vs Negara Agama. Pelaksanaan semiloka ini merupakan aksi bersama dari beberapa elemen civil society pemerhati perdamaian dan pluralisme, yaitu Interfidei Yogyakarta, ANBTI, Maarif Institute, JAII, SEJUK dan Media Indonesia.
Setidaknya ada tiga isu pokok yang akan dibahas: negara, radikalisme agama, dan fundamentalisme pasar.



Pertama, isu negara. Konstitusi sangat tegas menyebutkan: Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Intinya, negara mengurus kepentingan bersama, tak satu pun kelompok boleh diabaikan dan itulah demokrasi. Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk hanya dapat dibangun dengan prinsip bhinneka tunggal ika, yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kesetaraan, dan kebebasan yang bertanggungjawab.

Kita sungguh patut berbangga karena the founding fathers and mothers telah memilih Pancasila sebagai landasan ideologi negara, bukan landasan agama apa pun. Pancasila adalah rumah bersama dimana kita merawat keberagaman dan kebhinekaan, baik dalam agama, kepercayaan, suku, maupun ras secara kodrati sejak awal sampai kini. Akan tetapi, meski Indonesia tahun ini berumur 72 tahun, nilai-nilai ideal Pancasila belum sepenuhnya berhasil diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Buktinya sangat kasat mata; menguatnya intoleransi dan fundamentalisme, merebaknya kasus mega korupsi seperti kasus e-KTP, lemahnya good governance, rendahnya kesadaran membayar pajak, buruknya kualitas pelayanan publik, maraknya kriminalitas dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, merajalela pengedaran narkoba, miras dan obat terlarang, parahnya kerusakan lingkungan, serta minimnya pemenuhan hak asasi manusia, terutama bagi perempuan dan anak, kelompok rentan, minoritas dan disabel. Walaupun tetap kami akui sejumlah kemajuan dan keberhasilan pemerintah sekarang.

Bagi kami, tidak ada pilihan lain, negara Pancasila perlu dan harus dirawat dengan komitmen teguh menegakkan nilai-nilai esensial yang terkandung di dalam kelima silanya. Jika tidak, Negara Pancasila akan mengalami kerapuhan akibat gempuran dari luar berupa radikalisme agama dan fundamentalisme pasar. Sementara gempuran dari dalam berupa sikap dan perilaku sebagian elit politik yang tidak bermoral, rakus dan tidak manusiawi. Mereka itulah pembajak demokrasi.

Kedua, isu radikalisme agama. Sejak runtuhnya Orde Baru dan dimulainya era demokratisasi, ICRP menangkap sinyal kuat radikalisme membajak demokrasi. Sistem demokrasi memang rentan sebagai lahan subur radikalisme. Atas nama demokrasi, mereka memanfaatkan peluang demokrasi untuk mengekpresikan ide dan gagasan yang justru anti-demokrasi. Banyak peneliti menyebutnya sebagai anak haram demokrasi.

Mengapa radikalisme berbahaya? Ideologi radikal dalam agama apa pun, termasuk Islam selalu membawa virus pemaksaan, permusuhan, kebencian dan intoleransi. Gerakan radikalisme Islam di Indonesia memaksakan ideologi anti demokrasi, anti-keberagaman, anti Pancasila dan anti NKRI. Mereka menyebut semua itu dengan satu istilah, thagut (musuh Islam). Mereka juga memandang negara Pancasila sebagai negara gagal dan sangat bernafsu mengubah Indonesia menjadi negara Islam atau khilafah.

Belajar pada kasus Taliban di Afghanistan, Bokoharam di Nigeria, ISIS di Irak dan Suriah, awalnya mereka hanyalah gerakan radikalisme Islam yang kecil dan tidak diperhitungkan. Namun, karena mayoritas masyarakat tidak peduli dan mengambil sikap diam maka mereka memperoleh amunisi untuk berkembang pesat dan akhirnya menaklukkan pemerintah berkuasa. Kelompok radikal hanya dapat ditaklukkan ketika bentuknya masih kecil. Jika sudah besar dan berkuasa, mereka akan menghancurkan semua sendi peradaban bangsa yang dibangun dengan derita dan susah payah.

Tanggal 8 April 2013 adalah hari kelahiran ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) oleh Abu Bakar Al-Baghdadi. Namun, kita berkumpul di sini bukan untuk merayakan ISIS, melainkan meneguhkan penolakan terhadapnya dan semua afiliasinya. Perlu dipahami dengan benar, menolak ISIS tidak berarti menolak Islam. ICRP dan seluruh stake holders menghargai Islam sebagai agama cinta damai. Kami yakin sepenuhnya, Islam sesuai namanya, agama yang mengedepankan keselamatan dan perdamaian, mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan sekaligus rahmatan lil alamin.

ISIS harus ditolak karena aksi-aksi terornya yang biadab. Teknologi komunikasi menjadi sarana efektif bagi jaringan teroris untuk menyebarkan paham radikal sambil  melakukan rekrutmen anggota. Brooking Institute menyebutkan, tahun 2014 saja ada 46.000 akun twitter atas nama ISIS dan masing2 memiliki rata-rata 1000 pengikut. Setiap hari, setidaknya 90.000 konten bermuatan hate speech, kekerasan dan ekstrimisme dimuat ke ranah internet dan pengguna twitter di Indonesia menyumbang 20% atas percakapan tersebut. Analisis intelijen mengamati bahwa mereka paling canggih menggunakan internet serta mengisinya dengan beragam konten propaganda yang dibuat secara profesional.

Kelompok radikal bekerja 24 jam untuk tujuan merekrut pengikut baru. Dan hasilnya memang sangat fantastis, dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun merekrut sekitar 40.000 jihadis dan mayoritas mereka adalah kalangan muda, termasuk perempuan dan anak-anak di bawah umur. Sebagian berasal dari wilayah Indonesia. Sejumlah penelitian terbaru mengungkapkan, siswa Indonesia di berbagai sekolah malah mengidolakan para jihadis dan teroris. Sungguh memalukan!!

Dalam konteks merebaknya radikalisme agama, dua ormas keislaman terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, yakni NU dan Muhammadiyah seakan lumpuh. Ironisnya, berbagai fasilitas milik kedua ormas besar itu pun telah disalahgunakan kelompok radikal. Misalnya, mereka menyebar paham radikal dengan menggunakan sejumlah sekolah Muhammadiyah dan masjid-masjid yang didirikan NU dengan susah payah. Bahkan, mereka merekrut para guru PNS yang digaji negara dengan uang rakyat untuk menyuarakan aspirasi negara khilafah yang mencabik-cabik kedaulatan NKRI.

Dengan ungkapan lain, kelompok radikal telah memanfaatkan semua institusi, baik milik negara, NU dan Muhammadiyah untuk radikalisme. Mereka melakukan itu secara terstruktur, sistematik dan massif. Sementara, kebanyakan kita justru bersikap tidak peduli dan memilih berdiam diri. Kondisi silent majority justru mengangkat gerakan radikalisme agama berada di atas angin. Kegelisahan kami bukannya mereda, melainkan semakin menguat karena upaya tegas dari negara dan pemerintah belum terlihat. Meskipun, Presiden Jokowi menghimbau agar persoalan politik dipisahkan dari agama (Kompas.com, 24 Maret 2017).

Ketiga, isu modal atau fundamentalisme pasar. Sejumlah penelitian menyimpulkan, gerakan radikalisme dalam semua agama, tak terkecuali Islam, bukan sekadar masalah ideologis, tetapi merupakan gejala modern yang sangat kompleks. Radikalisme terkait erat dengan sejarah, dinamika politik, pergeseran geostrategis, serta masalah sosial-ekonomi akibat proses modernisasi dan globalisasi. Bukan rahasia lagi, bahwa pertumbuhan ekonomi kita menimbulkan kesenjangan yang luar biasa antara kaya dan miskin dan menyuburkan politik uang yang memenangkan penjahat mafia dan kartel. Fatalnya lagi, sebagian pemilik modal mengambil manfaat dari kondisi yang mencekam ini untuk kepentingan jangka pendek mereka. Mereka pantas disebut pengkhianat Pancasila dan perampok demokrasi.
Kelompok fundamentalisme pasar adalah kaum pemodal yang mengeksploitasi kekayaan negara untuk kepentingan sendiri. Mereka menggantungkan kehidupan rakyat dalam kungkungan hegemoni kapital-pasar sehingga ruang artikulasi kaum miskin terpinggirkan. Itulah salah satu penyebab kemiskinan merajalela, serta ketidakadilan dan kesenjangan sosial terbuka lebar. Akibatnya, negara tak berdaya memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan selanjutnya rakyat pun semakin tertutup aksesnya untuk berperan aktif dalam kehidupan bersama.

Kondisi ini membuktikan keroposnya konsolidasi kebangsaan di antara para elit dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan kekayaan bangsa yang begitu berlimpah. Jangan salahkan, jika sejumlah kelompok merasa kecewa dan frustrasi atau bahkan dendam. Sebab, pengalaman keseharian berinteraksi dengan ketidakadilan, ketertindasan, kebohongan dan kepalsuan membuat mereka muak dengan jargon demokrasi, Pancasila, NKRI, lalu berbalik arah mencari model dan alternatif lain. Walau demikian, hal itu tidak boleh kita biarkan. Kita harus bersikap bijak merangkul mereka kembali
.


Sebaiknya, marilah kita dengan rendah hati mengakui bahwa demokrasi Indonesia memang baru sebatas prosedural, belum sampai pada tahapan substansial (Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2015). Sejumlah indikasi: masih adanya hambatan kebebasan sipil, khususnya terkait kebebasan beragama, ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi masih menganga tajam, pelayanan publik belum menjangkau seluruh rakyat, kerusakan dan pencemaran lingkungan merajalela, banyaknya demo berakhir kekerasan, minimnya perlindungan terhadap buruh, kaum perempuan dan anak serta belum optimalnya fungsi institusi demokrasi, seperti birokrasi, DPR dan DPD, parpol, dan lembaga peradilan. Namun, hal paling mengerikan yang harus kita cegah adalah menguatnya perselingkuhan antara elit politik, kaum sektarian agama dan kaum fundamentalisme pasar.

Menghadapi kondisi memprihatinkan ini, ICRP dan segenap mitra yakin tidak ada solusi mudah dan tunggal. Kita semua perlu duduk bersama dalam semiloka ini, berdialog mencari solusi terbaik, merumuskan langkah konkret dan strategis demi membantu pemerintah meneguhkan Pancasila di negara Indonesia tercinta. Selain itu, peran media sangat diperlukan untuk melawan semua bentuk intoleransi dan kezaliman. Media harus berpihak pada nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Semoga Tuhan YME meridhai usaha kita, amin!








Tidak ada komentar:

Posting Komentar