Minggu, 02 April 2017

Pemimpin Ideal Indonesia




Pendahuluan
Indonesia merupakan kasus unik. Meskipun berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, yakni sekitar 200 juta, namun Indonesia bukan negara Islam. Para pendiri republik ini yang umumnya tokoh Muslim terkenal tidak memilih Islam sebagai ideologi negara, melainkan Pancasila. Menurut Syafii Ma'arif, hanya 20% atau sekitar 15 orang dari anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia menghendaki ideologi Islam.

Memilih Islam sebagai dasar negara akan sangat problematik karena Islam sebagai agama tidak memiliki penafsiran tunggal. Konsekuensinya, akan terjadi perdebatan sengit dalam memilih penafsiran Islam yang mana kelak dijadikan rujukan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, ada beberapa provinsi di negeri ini dimana Muslim bukanlah mayoritas dan itu mencakup wilayah yang cukup luas.

Tentu saja pilihan para pendiri negara tersebut bukan pilihan yang mudah. Rekaman sejarah mengenai perdebatan tiga kelompok: nasionalis, sekuler dan Islamis di konstituante tahun 1945 menjelaskan hal itu secara terang benderang. Sejarah juga mencatat, tidak semua umat Islam setuju dengan pilihan tersebut, buktinya sepanjang berdirinya negara ini, selalu saja muncul upaya-upaya untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Islam. Hanya saja selama ini upaya tersebut tidak mendapatkan dukungan kuat dari seluruh warga negara Indonesia.

Tahun ini Indonesia berusia 72 tahun dan Pancasila terbukti mampu mempersatukan warga negara yang begitu heterogen. Mereka terdiri dari lebih 300 suku, 700 bahasa, mendiami lebih dari 17.000 pulau, membentang dari Sabang di ujung barat sampai Merauke di ujung timur yang memerlukan waktu 10 jam terbang dengan pesawat udara. Jaraknya hampir sejauh antara London dan Teheran.



Setiap orang yang mengaku warga negara Indonesia seharusnya sadar bahwa negara tempat dia berpijak adalah sebuah negara-bangsa berbentuk kesatuan, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara. Jelas, Indonesia bukan negara federal, bukan negara kerajaan atau negara militer, dan juga bukan negara agama. Boleh jadi seseorang atau sekelompok orang merasa tidak nyaman bahkan tidak setuju dengan konsep NKRI tersebut. Hal itu wajar saja. Bagi mereka silakan membentuk negara baru atau keluar dari wilayah NKRI. Sebab, NKRI merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa (the founding fathers and mothers), ketika Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Sebagai kelompok mayoritas, salah satu keunikan kelompok Muslim di Indonesia adalah kemampuan mereka menyelaraskan antara keislaman dan kemoderenan; keislaman dan kebangsaan; serta keislaman dan demokrasi. Yang menarik bahwa kunci untuk melakukan penyelarasan itu tidak lain adalah Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila yang secara esensial selaras dengan nilai-nilai universal Islam.

Keberislaman masyarakat Indonesia berbeda dengan keberislaman masyarakat Arab atau bangsa lainnya di dunia ini, yakni keberislaman yang selalu memperhatikan nilai-nilai budaya lokal. Keberislaman masyarakat Indonesia merupakan sebuah proses yang dinamis, bukan statis. Sepanjang sejarah Indonesia terlihat selalu saja ada golongan yang ingin melakukan perubahan terhadap bentuk keberislaman tersebut. Namun, fakta sejarah pun mencatat bahwa kelompok Islam moderat adalah kelompok yang diterima publik dan menjadi alternatif.
Masalahnya, Pancasila dalam era lalu menjadi ideologi tertutup dan dipakai untuk kepentingan kelompok penguasa, bukan untuk kepentingan dan kemaslahatan publik. Karena itu, giliran kita sekarang melakukan pemaknaan ulang terhadap Pancasila yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat demokrasi. Sejumlah upaya perlu dilakukan. Misalnya, memperluas kajian Pancasila pada tema-tema kontemporer, seperti demokrasi, HAM, gender, civil society dan good governance.
Lalu, seperti apa gambaran pemimpin ideal Indonesia? Menurut hemat saya, paling tidak ada 5 prinsip utama yang harus dijadikan pedoman oleh para pemimpin Indonesia. Kelima prinsip dimaksud berpijak kuat pada landasan ideal negara yakni Pancasila.

Pertama, prinsip spiritual
Pemimpin Indonesia tidak bisa mengabaikan prinsip utama dalam Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini tidak mengacu kepada ajaran agama tertentu, melainkan merupakan rangkuman ajaran teologi dari semua agama dan kepercayaan yang tumbuh di Nusantara.

Sila ini bermakna pentingnya prinsip spiritual dalam seluruh tahapan dan semua bidang pembangunan. Yang dimaksudkan dengan nilai-nilai spiritual adalah nilai-nilai keilahian yang terdapat dalam semua agama dan kepercayaan dan itulah nilai-nilai universal kemanusiaan, seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, kedamaian, kebersihan dan keindahan. Pancasila mengarahkan agar semua warga negara yang berbeda agama dan kepercayaan dapat hidup bersama secara damai, rukun dan  harmonis, saling membantu, saling menghargai dan menghormati keyakinan masing-masing.


Tujuan pembangunan bangsa yang utama adalah meningkatkan kualitas spiritual bangsa yang ditunjukkan dengan sejumlah indikasi seperti menguatnya rasa tanggung jawab, solidaritas, kepedulian, kemandirian dan persatuan di masyarakat. Meningkatnya perilaku adil, jujur, toleransi dan gotong-royong di antara warga yang sangat beragam. Berkurangnya perilaku korupsi, nepotisme dan mark up angka-angka proyek. Semakin rendahnya angka tawuran, perkelahian, konflik dan kriminalitas. Semakin berkurangnya perilaku individualistik, hedonistik, budaya pamer dan konsumtif di masyarakat. Semakin menurunnya angka diskriminasi dan kekerasan, termasuk kekerasan berbasis agama untuk alasan apa pun, berkurangnya kesenjangan sosial dan berbagai problem sosial yang endemik, seperti narkoba, perkosaan, penelantaran anak, prostitusi, trafficking, khususnya perempuan dan anak perempuan, perkawinan paksa, slavery, kebodohan, kemiskinan dan pengangguran.
Dalam hal pembangunan bidang agama, pemimpin hendaknya mengedepankan penguatan nilai-nilai spiritual, bukan terpaku pada hal-hal yang simbolistik, seperti penambahan rumah ibadah. Pemimpin harus bersikap netral dan adil terhadap semua penganut agama dan kepercayaan. Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan substansi ajaran setiap agama dan kepercayaan. Pemerintah cukup menjamin agar setiap warga dapat mengekspressikan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing secara aman, nyaman dan bertanggung jawab.
Pemerintah tidak berhak mengakui mana agama yang resmi dan tidak resmi atau agama yang diakui atau tidak diakui. Semua penganut agama memiliki posisi setara di hadapan hukum dan perundang-undangan. Semua warga adalah pemilik sah negeri ini. Karena itu, sikap pemerintah membiarkan perilaku diskriminatif, bahkan eksploitatif terhadap berbagai kelompok agama minoritas, seperti penganut Kristen, penganut agama di luar 6 agama yang katanya “diakui”, seperti Baha’i; penghayat kepercayaan serta kelompok Islam yang berbeda dengan mainstream, seperti Syi’ah dan Ahmadiyah, jelas bertentangan dengan Pancasila.
Pancasila adalah pedoman dalam mengatur hubungan antara agama dan negara di Indonesia. Memang benar, Indonesia adalah negara yang melindungi agama, tetapi bukan negara yang merepresentasikan agama. Indonesia bukan negara agama!! Pedoman ini menggariskan bahwa hak beragama dan berkepercayaan merupakan hak asasi setiap manusia sekaligus hak sipil bagi setiap warga negara. Semua warga negara dijamin kemerdekaannya dalam beragama dan berkepercayaan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tanpa ada diskriminasi sedikit pun.

Karena itu atas dasar Pancasila, pemimpin harus berani menolak semua bentuk penyeragaman dalam kehidupan agama dan kepercayaan; menolak semua bentuk diskriminasi  dan kekerasan atas nama agama untuk alasan apa pun. Karena itu, pemimpin dan seluruh penganut agama dan kepercayaan harus bersinergi dan bersatu padu melawan musuh agama yang paling nyata, yaitu ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kebodohan dan perilaku despotik.

Kedua, prinsip kemanusiaan
Pancasila adalah pedoman negara dalam mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemimpin harus mampu memenuhi, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia setiap warga berdasarkan prinsip keadilan dan keadaban. Atas dasar Pancasila, Indonesia telah menerima Deklarasi Universal HAM, meratifikasi sejumlah Kovenan Internasional terkait hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta mengesahkan sejumlah UU nasional tentang perlindungan HAM.
Selain masalah ketidakadilan ekonomi, masalah lain dari bergesernya nilai-nilai Pancasila adalah memudarnya semangat persaudaraan yang berujung pada terancamnya pluralisme, keberagaman, dan kemajemukan. Sejumlah lembaga pemerhati agama dan demokrasi menyimpulkan bahaya intoleransi yang semakin menguat di negeri ini. Sikap intoleransi tersebut umumnya berujung pada berbagai tindakan anarkis, diskriminasi  dan kekerasan, baik atas dasar agama, maupun etnis, pilihan politik, gender, orientasi seksual dan lainnya. Semangat Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi menjadi ikon yang menyatukan bangsa dalam rasa persaudaraan sebangsa dan solidaritas kemanusiaan.
Masalah lain yang harus ditegakkan oleh pemimpin Indonesia adalah hak kebebasan beragama. Sejumlah kasus ketidakbebasan beribadah dan beragama di Indonesia sungguh merupakan pelanggaran serius terhadap UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU. No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan politik, dan peraturan hukum lainnya yang menjamin dan melindungi hak atas kebebasan beribadah dan beragama. Belum terhitung berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi berbasis etnis, gender, pilihan politik dan seterusnya yang menghambat kebebasan warga dalam berkumpul, berpendapat dan berekspresi. Perlindungan terhadap kelompok minoritas yang rentan harus menjadi prioritas pemimpin Indonesia.

Ketiga, prinsip demokrasi     
Pancasila adalah pedoman negara dalam membangun persatuan Indonesia. NKRI tidak boleh dibiarkan tercabik dan terluka oleh keinginan segelintir orang yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara agama. NKRI yang demokratis tidak boleh dinodai pikiran sektarian yang mengusung ideologi teokratis dan totalitarianisme. Indonesia tidak boleh menjadi negara teokrasi karena akan menyeret bangsa yang besar ini ke dalam kancah perang saudara dan pertumpahan darah atas nama agama seperti terjadi di Afghanistan, Pakistan, Suriah dan Irak.
Demokrasi sangat sejalan dengan nilai-nilai fundamental agama, termasuk Islam, yakni keadilan, kesetaraan, kejujuran dan kebebasan. Demokrasi selaras dengan kepemimpinan yang tidak otoriter, keterbukaan dan transparansi keuangan, keikutsertaan seluruh elemen masyarakat dalam seluruh proses politik, termasuk kelompok perempuan, persamaan di depan hukum, dan supremasi hukum. Kita harus meyakinkan semua umat beragama, tak terkecuali umat Islam bahwa demokrasi merupakan pilihan terbaik untuk masa kini.
Lalu, bagaimana seharusnya wujud politik Indonesia berdasarkan Pancasila? Pertama, membangun politik yang berorientasi pada kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh warga, bukan pada kekuasaan semata. Kedua, politik yang menjadikan substansi demokrasi sebagai pilar utama, bukan sebatas demokrasi prosedural. Pemimpin harus mampu mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh warga melalui pelayanan publik yang ramah dan terjangkau, terutama mereka yang berdomisili di wilayah pedesaan terpencil.

Keempat, prinsip kerakyatan
Pancasila adalah pedoman untuk mewujudkan solidaritas kemanusiaan dan kemaslahatan hidup bersama melalui sikap toleransi, inklusif, solidaritas dan empati kemanusiaan. Hal itu sangat jelas dinyatakan dalam sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Pancasila mengarahkan negara membangun suatu tatanan sosial yang terbuka, adil dan beradab.
Pemimpin harus mampu membaca kebutuhan mendasar seluruh warga, khususnya kelompok tertindas yang sering dilupakan. Pembangunan ekonomi harus mampu menyejahterahkan seluruh warga tanpa kecuali dan mentradisikan dialog interaktif dan konstruktif di antara berbagai elemen bangsa sehingga terbangun kesamaan visi melihat Indonesia ke depan.
Pemimpin Indonesia harus memastikan tidak boleh ada diskriminasi antar warga karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, gender, orientasi seksual dan pilihan politik. Pemimpin Indonesia harus memiliki keberpihakan yang kuat pada kepentingan seluruh rakyat, selalu mengutamakan sikap dialog dan musyawarah dalam merumuskan suatu kebijakan publik atau regulasi yang akan mengikat semua warga.

Kelima, prinsip keadilan sosial
Pancasila adalah pedoman negara dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tugas utama negara seperti terbaca dalam preambule UUD 1945 sangat jelas, yaitu menyejahterakan kehidupan bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan ungkapan lain, tugas utama negara adalah mengeliminasi kemiskinan dan kebodohan (illiteracy), dan selanjutnya membuat seluruh warga negara sejahtera dan cerdas. Pebangunan pendidikan harus dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa kecuali. Negara harus menjamin agar semua anak Indonesia menikmati pendidikan yang berkualitas agar menjadi sumber daya manusia yang handal dan berkualitas.
Tantangan paling berat dihadapi para pemimpin Indonesia adalah membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Dalam konteks ini diakui bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa sangat minim diimplementasikan. Mengapa? Karena selama bertahun-tahun sebelumnya dalam penyelenggaraan dan pengelolaan negara para pemimpin cenderung berpihak kepada kepentingan kaum pemodal (kapitalis) daripada kepentingan nasional (rakyat Indonesia).
Realitas ini disebabkan, antara lain pengaruh negara-negara maju sehingga tidak ada kedaulatan pemerintah Indonesia dalam menentukan arah kebijakan nasional, khususnya kebijakan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dalam tatanan politik nasional pemerintah lebih mengedepankan demokrasi prosedural (pertumbuhan partai politik, lancarnya pemilu, pemilukada, dan lain-lain) daripada demokrasi substantif (redistribusi ekonomi) demi menghapus kesenjangan sosial yang semakin menganga lebar.
Harus diakui bahwa selama ini pola pembangunan Indonesia hampir sepenuhnya bertumpu pada paradigma ekonomi pasar yang kurang memperhatikan aspirasi bangsa yang tersimpul dalam rangkaian sila-sila Pancasila. Hasil-hasil pembangunan lebih bermuatan produk-produk kuantitatif dan kurang bermakna kualitatif. Produk Domestik Bruto meningkat namun membenamkan masyarakat dalam lumpur ketimpangan pendapatan, yang kaya semakin menumpuk kekayaannya, sebaliknya yang miskin semakin terpuruk tanpa daya.
Selama ini telah terjadi pemiskinan sistemik. Dari tahun ke tahun jumlah orang miskin semakin meningkat jumlahnya. Fatalnya, kondisi timpang itu menumpulkan rasa keadilan dalam penegakkan hukum serta menumbuhkan budaya politik partai yang rapuh landasan ideologinya. Akibatnya, pemerintah gagal memberikan layanan publik yang memadai dan itu terlihat dari banyaknya demo yang berakhir dengan kekerasan. Kebutuhan dasar masyarakat bawah terabaikan, mulai dari pemenuhan air bersih, listrik, transportasi publik, pelayanan kesehatan, pendidikan dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak.
Untuk itu pemimpin Indonesia harus berani melawan berbagai bentuk mafia dan kartel yang merugikan rakyat, demikian juga harus berani menghadapi premanisme, termasuk bertopeng agama sekalipun.

Penutup
Tugas dan tujuan utama negara seperti terbaca dalam preambule UUD 1945 sangat jelas, yaitu  mensejahterahkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memberikan perlindungan maksimal. Dengan ungkapan lain, tugas utama negara adalah mengeliminasi kemiskinan dan kebodohan (illiteracy), dan selanjutnya berusaha membuat seluruh warga, khususnya yang terpinggirkan menjadi sejahtera dan cerdas.

Tiada pilihan lain, para pemimpin Indonesia harus kembali menjadikan Pancasila dan Konstitusi Indonesia sebagai paradigma pembangunan. Tujuannya, membangun sumber daya manusia yang memiliki kualitas spiritual yang tinggi, baik sebagai individu maupun sebagai kesatuan sosial masyarakat. Meningkatkan kesejahteraan, daya inovasi dan kreatifitas mereka sehingga memiliki daya saing di tingkat global serta mampu mengatasi beragam ancaman dan gangguan alam menuju terbentuknya Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar