Selasa, 27 November 2018

Stop Perkawinan Anak !!!

Stop Perkawinan Anak !!!



Bertempat di Aula Fakultas Hukum UI, diselenggarakan Seminar dan Launching buku berjudul: Menikah Muda di Indonesia: Suara, Hukum dan Praktek. Buku ini merupakan hasil lokakarya pada tahun 2017 tentang penelitian perkawinan anak. Terdapat 12 bab yang menelisik praktik kehidupan nyata dewasa ini terkait perkawinan anak di Indonesia. Buku ini juga memberikan pemahaman baru tentang perkembangan keragaman perkawinan anak di Indonesia dan memaparkan lebih banyak strategi yang dibuat secara khusus untuk dapat memberi perlindungan yang terintegrasi dengan pemberdayaan. Ternyata isu perkawinan anak bukan hanya masalah hak asasi manusia seperti yang kita kenal sekarang, melainkan isu ini dan pencegahannya sudah ada dalam agenda pemerintah kolonial.

Buku ini terdiri dari tiga bagian, yang dipilah ke dalam tiga gugus: pengalaman pengantin anak, payung hukum yang bocor dan aktor/pelaku di balik praktik perkawinan anak. Dalam bagian pengantar, dibahas masalah definisi, prevalensi, penggunaan statistik, keragaman perkawinan anak, hubungan yang mendua antara sebab dan akibat, masalah-masalah yang lebih luas seputar sebelum dan sesudah perkawinan, ikhtisar lengkap tentang berbagai peraturan dan hukum terkait perkawinan anak, diakhiri dengan reformasi hukum dan program-program pemerintah terkini.

Perkawinan anak adalah setiap perkawinan formal atau persatuan informal di mana salah satu atau kedua pihak berusia di bawah 18 tahun. Umumnya, pihak perempuan yang selalu berusia di bawah 18 tahun dan menikah dengan laki-laki yang sudah berumur, bahkan tidak sedikit yang sudah berusia lanjut sehingga pantas menjadi kakeknya. 

Komite CEDAW PBB (1994) berpandangan bahwa usia minimum perkawinan haruslah 18 tahun baik untuk lelaki maupun perempuan, dengan mempertimbangkan dampak pengaruhnya pada pendidikan, kesehatan dan otonomi ekonomi anak-anak. Komite Hak-Hak Anak PBB (2003) mencapai kesimpulan yang sama, dan menyebutkan tambahan dampak negatif perkawinan anak pada kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi.

Ada tiga temuan utama. Pertama, latar belakang mereka dikawinkan dipicu oleh adanya sistem yang saling mengunci antara ekonomi, budaya, dan agama. Kedua, anak perempuan yang sudah masuk ke dalam sebuah perkawinan harus menjalankan kompleksitas hidup dengan beberapa peran, yaitu sebagai perempuan dan menantu muda, namun juga sebagai istri anak dan tidak lama kemudian sebagai ibu dari anak yang dilahirkan. Terakhir, ada sebuah perjuangan panjang yang harus ditempuh anak perempuan untuk perlahan-lahan membangun kuasa atas tubuh dan hidup mereka. Perjuangan yang telah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun menunjukkan betapa merugikan praktik perkawinan anak bagi kehidupan anak perempuan. Namun riwayat hidup tersebut juga menunjukkan bahwa mereka telah mengambil sendiri keputusan penting bagi hidup mereka guna membangun kuasa atas tubuh dan hidupnya. Mereka berjuang agar mandiri dan berdaya secara ekonomi, melanjutkan pendidikan secara informal dan mengasah potensi, menikmati hidup sesuai dengan cara yang mereka inginkan, bahkan jika hal itu sampai dalam bentuk menggugat cerai sang suami. Perempuan terbukti memiliki agensi yang bukan sekadar bertahan hidup melainkan juga mengembangkan potensi diri serta menjalani hidup dengan agensi penuh.

Temuan penting lainnya, menunjukkan bagaimana orangtua memengaruhi dan terlibat dalam keputusan anak-anak mereka untuk menikah. Sebaliknya, perkawinan anak berakibat pada orangtua juga, seperti beban keuangan, beban pengasuhan anak dan hilangnya prospek pendidikan untuk anak-anak mereka.

Selain itu, buku ini juga menelaah persepsi kaum muda itu sendiri tentang perkawinan anak, yang juga sangat memengaruhi pilihan yang dibuat anak seturut agensi mereka sendiri. Bahkan, terdapat tulisan menarik tentang masalah seputar kehamilan karena kekerasan dalam pacaran. Tidak banyak yang peduli bahwa sebagian anak-anak perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan dalam pacaran.

Selain itu, hukum adat dan hukum agama terkait masalah ini kadang-kadang bertentangan dan mengesampingkan hukum negara, yang bermuara pada kontestasi yang berkesinambungan tentang perkawinan anak. Tulisan lain dalam buku ini melukiskan pengaruh kuat hukum agama beserta teks sucinya terhadap pemahaman orang tentang perkawinan (anak). Jika ditelisik lebih jauh, dijumpai teks-teks suci hadis yang lebih humanis dan tidak mendukung adanya perkawinan anak. Persoalannya, apakah kita mau berubah ke arah yang lebih rasional?

Bagian terakhir buku ini menganalisis peran para kiai, yakni para lelaki pemimpin agama, baik dalam mendukung maupun menentang kebiasaan perkawinan anak, dan diandaikan bahwa beragam pandangan religiositas dalam agama Islam seyogianya dipertimbangkan untuk mencapai penerapan kebijakan secara efektif. 

Sumber-sumber internasional dan Indonesia menandaskan bahwa sebab utama perkawinan anak adalah ketimpangan gender, kurangnya pendidikan, kemiskinan, aneka norma dan keyakinan. Ketimpangan gender yang dibahas di sini sebagian besar terkait dengan tafsir budaya tentang maskulinitas dan feminitas, perkawinan, usia dan seksualitas. Selain penyebab tersebut, faktor lain juga turut bermain yaitu akses ke berbagai pelayanan seperti pelayanan kesehatan (termasuk kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi), kurangnya pengetahuan tentang risiko kesehatan pada kehamilan dini dan bagaimana menangani kesehatan si ibu setelah melahirkan beserta bayinya. 

Faktor lain adalah konflik dan migrasi. Ada semakin banyak bukti menyangkut praktik perkawinan anak di wilayah pasca-konflik atau di tengah komunitas pengungsi di seluruh dunia. Perubahan yang terjadi ini juga sangat kasatmata di Indonesia sendiri. Industrialisasi perdesaan dan di bidang pertanian (misalnya perkebunan kelapa sawit) mengubah hubungan kerja antara lelaki dan perempuan. Para orangtua bermigrasi untuk mencari kerja di tempat-tempat lain, di kota, di sektor informal, di luar negeri, dan anak perempuan mereka akhirnya menikah muda.

Ada ambiguitas yang berkepanjangan antara sebab dan akibat perkawinan anak. Sebagai misal, kurangnya pendidikan dan kemiskinan, yang sering kali ditampilkan sebagai penyebab perkawinan anak, bisa jadi juga merupakan akibatnya. Anak-anak perempuan tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka karena kurangnya akses, atau beban orangtua mereka terlalu berat untuk membiayai pendidikan semua anak mereka, atau karena norma menyangkut pendidikan yang layak untuk anak perempuan, sehingga mereka sering kali terpuruk ke dalam pernikahan muda.

Akibat negatif dari perkawinan anak: berkurangnya kesempatan pendidikan, bahaya kesehatan reproduksi, peningkatan risiko kematian para pengantin anak dan bayi-bayi mereka, kemiskinan antargenerasi, isolasi/keterasingan, trauma fisik dan psikologis, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual, serta perdagangan orang.

Perkawinan anak juga menghambat keberhasilan aneka agenda pemerintah yang berbeda, seperti kesehatan reproduksi, pendidikan dan kemiskinan. Program pemerintah yang terkait dengan perkawinan anak mencakup: Program Keluarga Berencana (KB) dan Generasi Berencana (Genre) oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Program Pelaksanaan 12 tahun wajib belajar. Program pengentasan kemiskinan melalui kredit mikro UKM (usaha kecil dan menengah) untuk keluarga miskin, dan Program Pengarusutamaan Gender (Inpres No. 9/2000).

Hal menggembirakan, beberapa prakarsa yang berhasil dilakukan di tingkat Pemda untuk mencegah maraknya perkawinan anak:
• Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, memberlakukan Peraturan Daerah No. 36/2015 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
• Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, memberlakukan Peraturan Daerah No. 9/2016 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
• Pada tahun 2016, Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menerbitkan Surat Edaran Gubernur (NTB) No. 150/1138/Kum yang menganjurkan usia layak nikah pada umur 21 tahun baik untuk perempuan maupun lelaki.
• Pada tahun 2018, Gubernur Bengkulu menetapkan Peraturan Gubernur No. 33/2018 tentang pencegahan perkawinan anak.
• Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah sedang bersiap untuk memberlakukan instrumen hukum guna menghentikan perkawinan anak.
• KUA (Kantor Urusan Agama, kantor yang mencatat perkawinan untuk kaum Muslim) dapat membuat kebijakan lokal, seperti KUA di Kecamatan Tomoni Timur di Sulawesi Selatan yang menetapkan usia layak nikah 19 tahun untuk perempuan dan 21 tahun untuk lelaki (lihat Bab 4).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar