Perkawinan
Menurut Islam[1]
Prof.
Dr. Musdah Mulia[2]
Pendahuluan
Ajaran
Islam mempunyai dua aspek penting: aspek vertikal dan horinzontal. Aspek
vertikal menjelaskan kewajiban manusia kepada Tuhan (hablun minallah),
sementara aspek horisontal mengatur hubungan di antara sesama manusia (hablun
min al-nas), termasuk hubungan dengan sesama makhluk dan alam semesta.
Begitu pentingnya aspek horisontal ini sehingga Al-Qur`an dan Hadis Nabi padat
dimuati ajaran-ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan,
misalnya ajaran tentang kesetaraan manusia tanpa melihat gender, jenis kelamin,
suku, ras, bahasa, status sosial, dan bahkan agamanya (Q.S al-Hujurat,
49:13).
Masalahnya,
dalam beragama manusia lebih mengedepankan aspek vertikal daripada aspek
horisontal sehingga dimensi humanisme yang merupakan refleksi aspek vertikal
Islam kurang mendapat perhatian umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu
terlihat, antara lain dalam kehidupan perkawinan. Hasilnya, aturan perkawinan
Islam terkesan maskulin, keras, kasar, dan tidak ramah terhadap perempuan.
Perkawinan
adalah Amanah
Islam
menegaskan bahwa pernikahan merupakan amanat dari Allah swt. Amanat adalah
sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari
pemberinya karena yakin bahwa apa yang diamanatkannya itu akan dipelihara
dengan baik. Istri adalah amanat Allah swt. kepada suami, demikian pula
sebaliknya. suami merupakan amanat Allah swt kepada istri.
Al-Qur`an
membahas isu perkawinan secara rinci dalam banyak ayat. Tidak kurang dari 104
ayat, baik dengan menggunakan kosa kata nikah (berhimpun) yang terulang
sebanyak 23 kali, maupun kata zauwj (pasangan) yang dijumpai berulang 80
kali. Memahami hakikat perkawinan dalam Islam harus dilakukan dengan mengurai
seluruh ayat yang berbicara tentang perkawinan dengan menggunakan metode tafsir
tematik dan holistik sekaligus. Kemudian, mencari benang merah yang menjadi
intisari atau pesan moral dari seluruh penjelasan ayat-ayat tersebut.
Kajian
mendalam terhadap keseluruhan ayat-ayat perkawinan tersebut menyimpulkan lima
prinsip dasar perkawinan. Pertama, prinsip mitsaqan ghaliza.[3] Kedua,
prinsip mawaddah wa rahmah.[4]
Ketiga, prinsip kesetaraan untuk saling melengkapi dan melindungi.[5] Keempat, prinsip mu`asyarah bil
ma`ruf (pergaulan yang sopan dan
santun), baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi kemanusiaa,[6]
dan kelima, prinsip musyawarah[7].
Kelima prinsip dasar ini akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Prinsip Mitsaqan
ghaliza (Komitmen Suci)
Al-Qur`an menggambarkan ikatan perkawinan dengan istilah mitsaqan
ghalidzan, yakni sebagai perjanjian suci dan serius di antara kedua
pihak (laki-laki dan perempuan) yang setara dan penuh diliputi cinta dan kasih
sayang. Oleh karena itu, para pihak berkewajiban menjaga kesucian dan
kelanggengan perjanjian tersebut.
Janji inilah
yang dimaksud dalam Al-Qur`an dengan mitsaqan ghaliza. Istilah itu dapat
dimaknai dengan komitmen suci atau perjanjian yang teguh. Lihat QS an-Nisa 4:21:
وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ
أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا
Pernikahan
dalam Islam bukan hanya melibatkan aspek biologis dan hal-hal yang bersifat
material semata, melainkan jauh lebih luas dari itu. Pernikahan pun melibatkan
aspek spiritual terdalam dari diri manusia.
Itulah
sebabnya, setiap pasangan: isteri atau suami jika dalam kehidupan pernikahan
mengalami hal-hal yang membuatnya sedih, galau dan cemas hendaknya segera beristighfar
memohon ampunan kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Sebaliknya, jika pasangan
merasakan hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan hendaknya banyak
bersyukur ke hadirat-Nya. Kehidupan perkawinan ibarat permainan ombak di
pantai, penuh gejolak dan sering menimbulkan hal-hal yang tak terduga
sebelumnya.
Sebuah kisah
menarik terjadi pada masa Umar ibn Khattab. Suatu hari datang seorang suami
mengeluh kepadanya sambil berkata: "Wahai Umar, cintaku kepada isteriku
telah memudar dan karenanya aku berniat untuk menceraikannya.” Tanpa pikir panjang, Umar langsung
menjawab: "sungguh jelek niatmu. Apakah menurutmu rumah tangga hanya
membutuhkan cinta? Di mana rasa takwa
dan janjimu kepada Allah? Di mana pula perasaan malumu kepada-Nya? Bukankah
kalian sebagai suami-isteri telah bergaul secara intim, dan ketahuilah bahwa
kalian telah memateri perjanjian yang kuat?" Pernyataan di atas
diucapkan oleh seorang khalifah yang dikenal sangat tegas dan keras, namun
terhadap derita perempuan ia tetap memiliki empati yang sangat dalam. Bagi
Umar, ikatan suami-isteri dalam rumah tangga bukan semata-mata dilandasi cinta
belaka, melainkan dilandasi komitmen yang sangat kokoh (mitsaqan galiza),
seperti disebutkan dalam Al-Qur’an.
Komitmen itu
harus diaplikasikan dalam wujud rasa takwa dan malu kepada Allah, Sang
Pencipta. Suami yang memiliki rasa takwa dan malu kepada Allah tidak akan
melakukan perbuatan kasar dan tercela terhadap isterinya. Demikian pula sebaliknya.
Bahkan, jika suami mendapati isterinya mempunyai kekurangan-kekurangan,
Al-Qur’an masih meminta suami tetap bersabar. Sebab, boleh jadi di balik
kekurangan itu tersimpan hikmah yang sangat besar (QS Al-Nisa’ [4]:19).
2. Prinsip mawaddah
wa rahmah (Cinta dan kasih yang tak bertepi )
Mawaddah
secara bahasa berarti 'cinta kasih', sedangkan rahmah berarti 'kasih
sayang', kedua istilah itu menggambarkan perasaan batin manusia yang sangat
luhur. Mawaddah juga menggambarkan suasana psikologis manusia yang dapat
menerima orang lain apa adanya. Mawaddah wa rahmah terbentuk dari
suasana hati yang penuh keikhlasan dan kerelaan berkorban demi kebahagiaan
bersama. Sejak akad nikah suami-isteri seharusnya telah dipertautkan oleh
perasaan mawaddah wa rahmah sehingga keduanya tidak mudah goyah dalam
mengarungi samudra kehidupan rumah tangga yang seringkali penuh gejolak.
Mawaddah wa
rahmah merupakan anugerah Allah swt. dan hanya dilimpahkan kepada
hamba-hamba-Nya yang dikehendaki agar mereka dapat menikmati kehidupan suami
isteri dengan penuh sakinah (kedamaian). Hal itu dipaparkan, antara lain
dalam firman Allah berikut: “Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan)
Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan agar kalian memperoleh
kedamaian dari pasangan tadi, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan
rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir (QS. ar-Rum, 30: 21).
3. Prinsip mu`asyarah
bil ma`ruf (Prilaku santun dan beradab)
Ditemukan
sejumlah tuntunan dalam Al-Qur`an dan hadis agar suami memperlakukan isterinya
dengan penuh sopan santun, di antaranya berikut ini: Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari
apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S
an-Nisa 19).
Selanjutnya
dari hadis dijumpai pesan-pesan moral sebagai berikut: "Bertakwalah
kalian kepada Allah swt. berkaitan dengan urusan perempuan. Kalian telah
mengambil mereka sebagai amanat Allah, dan kalian juga telah memperoleh (dari
Tuhan) kehalalan atas kehormatan mereka dengan kalimat Allah" (HR.
Bukhari).
4. Prinsip Musawah
(Kesetaraan dan keadilan gender)
Al-Qur`an menegaskan hubungan egalitarian
suami-istri, seperti terbaca pada ayat-ayat: az-Zariyat, 49; Fatir,11;
an-Naba`, 78; an-Nisa`, 20; Yasin, 36;
as- Syura, 11; az-Zukhruf, 12; al-Baqarah, 187; dan
an-Najm, 53. Penegasan relasi yang setara tersebut ditemukan pula dalam sejumlah
hadis Nabi. Kesemua ayat dan hadis tersebut secara tegas menyimpulkan bahwa
perkawinan dalam Islam lebih merupakan suatu akad atau kontrak.[8]
Kontrak itu terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul
(penerimaan).
Kebahagiaan
hidup dalam pernikahan hanya dapat diwujudkan dalam kehidupan keluarga manakala
suami-isteri berada pada posisi yang setara dan sederajat. Itulah yang sekarang
diistilahkan dengan kesetaraan dan keadilan gender. Sebab, bagaimana mungkin
suami isteri bisa saling menghargai, saling menghormati, dan saling terbuka
jika sang suami memandang isteri lebih rendah atau lebih tinggi. Atau sebaliknya,
isteri memandang suami lebih tinggi atau lebih rendah.
Keduanya harus
memandang satu sama lain sebagai manusia yang bermartabat, yang harus dihargai
dan dihormati apa pun posisi dan statusnya. Keduanya harus menghargai
nilai-nilai kemanusiaan. Di hadapan Allah swt. semua manusia sama derajatnya,
yang membedakan di antara mereka hanyalah prestasi takwanya, itupun hanya Allah
yang berhak menilai, bukan manusia.
Prinsip musawah
atau kesetaraan suami-isteri, antara lain didasarkan pada firman Allah: "isteri-isterimu
adalah pakaian untuk kamu (para suami), demikian pula sebaliknya, kalian (para
suami) adalah pakaian bagi mereka (para isteri)" (QS. S.
Al-Baqarah, 2:187). Ayat tersebut mengisyaratkan perlunya suami-isteri
saling membantu dan saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada manusia yang
sempurna dalam segala hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba tidak sempurna.
Suami isteri pasti saling membutuhkan. Masing-masing harus dapat berfungsi
memenuhi atau menutupi kebutuhan pasangannya, ibarat pakaian menutupi tubuh.
5. Prinsip Musyawarah
(Komunikasi yang hangat dan intens)
Prinsip ini
didasarkan, antara lain pada firman Allah: "Bermusyawaralah di antara
kamu (suami dan isteri) mengenai segala sesuatu dengan cara yang baik"
QS. at-Thalaq, 65:6). Atas dasar prinsip musyawarah ini, suami atau
isteri tidak boleh mengambil keputusan penting, khususnya menyangkut kehidupan
keluarga, secara sepihak melainkan senantiasa perlu dirundingkan atau
dimusyawarahkan bersama. Dengan memegang teguh prinsip ini diharapkan bahwa
manakala ada masalah, maka suami isteri bertanggung jawab. Tidak ada pihak yang
akan mengelak dari tanggung jawab karena semua keputusan diambil berdasarkan
kesepakatan bersama demi kepentingan dan kemaslahatan semua keluarga.
Membangun
komunikasi yang hangat dan intens di antara suami-isteri menjadi kunci
kebahagiaan dalam perkawinan. Masalahnya, kebanyakan kita lebih mudah dan juga
lebih suka membangun hubungan yang hangat dengan orang lain ketimbang dengan
pasangan sendiri. Memang tidak mudah, tapi komunikasi harus dibangun dan
dilanggengkan sepanjang hayat dengan pasangan. Khalifah Umar ibn al-Khattab
mengibaratkan ikatan suami isteri dengan seutas benang yang mudah sekali putus,
sangat peka. Karena itu, jika yang satu menarik, yang lain mengulur. Jika yang
satu mengencangkan, yang lain mengendorkan, demikian seterusnya. Dengan
ungkapan lain, diperlukan seni berkomunikasi dalam relasi pernikahan.
Rasulullah saw.
seringkali menyebutkan: bayti jannati (rumahku adalah surgaku). Dibalik
sabdanya itu, Rasul hendak mengingatkan kita, para pengikutnya, agar berusaha
menjadikan rumah masing-masing seindah dan senyaman surga. Surga dalam
kehidupan rumah tangga harus diciptakan, dan itu perlu kerjasama yang serius
dan sungguh-sungguh dari kedua suami-isteri, tidak mungkin hanya sepihak saja.
Apa itu
perkawinan anak?
Perkawinan anak
adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa atau di bawah
usia 18 tahun. Umumnya yang terjadi adalah perkawinan anak perempuan dengan laki-laki
dewasa, bahkan kebanyakan adalah laki-laki yang sudah berumur sehingga lebih
pantas menjadi kakek daripada menjadi suami anak tersebut.
Ketentuan internasional dan juga secara nasional dinyatakan,
bahwa batasan usia anak adalah 18 tahun. Seseorang yang berusia 18 tahun ke
bawah masuk dalam kategori anak. Sejumlah peraturan dan perundang-undangan
telah lahir, baik di tingkat nasional maupun internasional, menekankan perlunya
proteksi dan penguatan hak-hak anak. Semuanya demi kemaslahatan anak, dan
mencegah terjadinya eksploitasi terhadap anak-anak, melalui modus operandi
perkawinan, terutama anak-anak perempuan.
Lalu, mengapa perkawinan anak dikatakan sangat beresiko,
bahkan dikategorikan sebagai penyebab pelbagai problem sosial? Sejumlah penelitian
menyimpulkan, perkawinan anak adalah sumber dari pelbagai masalah sosial di
masyarakat. Paling tidak dijumpai lima dampak buruk perkawinan anak. Pertama,
perkawinan anak merupakan penyebab dari tingginya angka perceraian di
masyarakat. Perkawinan membawa konsekuensi tanggung jawab bagi kedua
suami-isteri sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dalam keluarga.
Bagaimana anak-anak itu akan bertannggung jawab dalam perkawinan, mereka masih
anak-anak, belum matang dan dewasa, baik fisik, mental, dan spiritualnya
sehingga dalam banyak hal belum mampu menjalankan tanggung jawab sebagai
suami-isteri atau sebagai anggota keluarga. Perceraian sangat rentan terjadi
pada pasangan yang sangat muda usia, apalagi mereka yang berada pada usia anak.
Kehidupan keluarga menuntut adanya peran dan tanggungjawab yang besar bagi
kedua pasangan, laki-laki dan perempuan.
Kedua, perkawinan anak membawa kepada putus sekolah yang pada
gilirannya dapat menyebabkan kemiskinan dan pengangguran. Sebab, seharusnya
mereka masih perlu menuntut ilmu dan belajar sejumlah keterampilan sebagai
bekal hidup kelak dalam keluarga dan masyarakat. Perkawinan menyebabkan mereka putus sekolah sehingga
tidak memiliki ijazah yang cukup untuk mencari pekerjaan yang memadai, di
samping juga umumnya mereka tidak punya banyak keterampilan dan pengalaman
karena masih sangat muda. Akibatnya, mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang
dapat menopang kebutuhan hidup dalam keluarga yang pada gilirannya dapat
membuat mereka jatuh miskin, menganggur dan kondisi tersebut tidak sedikit
menggiring mereka melakukan kejahatan.
Ketiga, perkawinan anak membawa kepada kekerasan rumah
tangga (KDRT). Mengapa ini terjadi? Sebab, usia mereka masih sangat muda, penuh
emosi sehingga gampang meledak, tidak berfikir panjang dan belum matang secara
mental dan spiritual. Kondisi demikian menyebabkan kehidupan keluarga dan rumah
tangga mereka sering ”meledak” yang pada gilirannya membawa kepada perilaku
kekerasan domestik. Kekerasan yang dialami istri yang masih anak-anak ini sangat
beragam, mulai dari kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual. Dan bentuk
yang terakhir itu membawa dampak buruk dalam kehidupan perempuan, terutama
terkait dengan kesehatan reproduksi mereka.
Keempat, perkawinan anak membawa kepada berbagai problem
sosial seperti narkoba, HIV/Aids, aborsi, pelacuran, dan trafficking.
Maraknya penjualan (trafficking) anak, khususnya anak perempuan melalui
modus operandi perkawinan adalah sebuah fakta yang tidak dapat diingkari. Mengalami
kekerasan seksual dan tertular penyakit kelamin melalui hubungan seks, termasuk
HIV/AIDS, membawa pengaruh yang dapat merusak kesehatan anak-anak, dan anak
perempuan lebih rentan dibanding anak laki-laki terhadap akibat-akibat hubungan
seksual yang tidak aman dan yang berlangsung pada usia terlalu dini. Anak
perempuan seringkali menghadapi tekanan dalam melakukan kegiatan seksual.
Disebabkan oleh faktor-faktor seperti usia muda, tekanan sosial, kurangnya
undang-undang perlindungan dari kejahatan seksual. Tidak heran anak perempuan
lebih rentan terhadap berbagai kekerasan, terutama kekerasan seksual, termasuk
pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan, dan penjualan organ-organ dan
jaringan sel (tissues) mereka, serta juga menghadapi kerja paksa.
Kelima, perkawinan anak membawa kepada berbagai problem
kesehatan reproduksi. Tingginya AKI (angka kematian ibu melahirkan) disebabkan
terutama oleh kehamilan di usia sangat muda, terlalu sering hamil, dan
ketidakmatangan fungsi-fungsi reproduksi secara biologis dan psikologis; dan rendahnya tingkat kualitas hidup
perempuan di bidang kesehatan. Kehamilan di usia anak sangat beresiko karena
organ-organ reproduksi perempuan belum siap melakukan fungsinya secara optimal.
Melahirkan pada usia muda tetap merupakan persoalan besar dalam meningkatkan
kedudukan perempuan di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial di berbagai
penjuru dunia. Secara keseluruhan, pernikahan dan melahirkan pada usia muda
dapat membatasi peluang anak perempuan untuk memperoleh keterampilan, pendidikan
dan pekerjaan, dan pada akhirnya membawa dampak negatif pada jangka panjang
terhadap mutu kehidupan mereka dan anak-anak mereka. Perkawinan pada
usia dini bagi perempuan dapat menimbulkan berbagai risiko, baik bersifat biologis
seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, janin yang cacat
karena kurang gizi sebab tubuh janin dan tubuh ibunya yang masih dalam tahap
pertumbuhan itu berlomba mendapatkan
asupan gizi dan nutrisi. Selain itu, sang ibu pun dapat mengalami berbagai
risiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi
dengan baik.
Hasil penelitian PSW UIN Jakarta (2000) mengungkapkan
temuan bahwa rata-rata usia ideal perempuan untuk menikah adalah berkisar 19,9
tahun dan usia ideal laki-laki adalah
23,4 tahun. Yang penting dicatat bahwa kematangan usia tersebut idealnya berupa
hasil akumulasi kesiapan fisik, mental dan kejiwaan, serta budaya, ekonomi,
sosial, dan spiritual.
Perkawinan membutuhkan kedewasaan dan kematangan yang
bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga kematangan psikologis, sosial,
mental dan spiritual. Batas minimal usia nikah bagi laki-laki dan perempuan
sebaiknya 19 tahun, kira-kira setelah lulus SLTA.
Betulkan Rasul menikahi Aisyah ketika berumur 7 tahun?
Alasan
yang paling mengemuka dari maraknya perkawinan anak adalah alasan agama,
khususnya menunjuk kasus perkawinan Nabi Muhammad saw dengan Aisyah. Hampir
semua ustadz dan ustadzah menceramahkan bahwa Aisyah baru berumur 7 tahun
ketika dinikahi Nabi dan berusia 9 tahun ketika hidup bersama sebagai
suami-isteri. Mereka yang setuju perkawinan anak, kasus Aisyah merupakan dalil
pembenaran. Mereka tidak peduli dengan berbagai dampak sosial, mental-psikologis
dan kesehatan seksual yang dialami anak
perempuan akibat perkawinan tersebut.
Terus
terang penulis merasa tidak nyaman dan tidak dapat memercayai hal itu. Rasanya
sangat tidak bijak seorang Rasul mulia yang begitu gencar membela hak dan
kepentingan anak, lalu melanggar sendiri ajarannya. Karena itu, penulis mencoba
memaparkan sejumlah data yang termuat di berbagai kitab klasik terkait isu
tersebut. Faktanya, hadis yang menjelaskan bahwa usia Aisyah baru 7 tahun
ketika dinikahi Nabi, hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi, yaitu Hisyam
ibn ‘Urwah. Seharusnya, minimal ada dua atau tiga perawi yang mencatat hadits
serupa. Adalah aneh, bahwa tak ada seorang pun di Madinah, di mana Hisyam ibn
Urwah tinggal, meriwayatkan hadis tersebut, padahal di Madinah dikenal sejumlah
ulama hadis ternama, seperti Malik ibn Anas. Lebih aneh lagi karena Hisyam baru
meriwayatkan hadis tersebut setelah pindah ke Iraq dan ketika itu usianya sudah
71 tahun. Sejumlah riwayat menjelaskan, beliau sudah uzur dan ingatannya sangat
lemah.
Tahzibu'l
Tahzib, salah satu buku yang cukup terkenal, berisi catatan
para periwayat hadits, di sana tertulis
sebagai berikut. Hisyam sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima,
kecuali setelah pindah ke Iraq. Malik ibn Anas menolak riwayat Hisyam yang
dicatat dari orang-orang Iraq. Artinya, semua hadis yang diriwayatkan Hisyam
bin Urwah setelah bermukim di Iraq diragukan validitasnya karena beliau
mengalami uzur dan ingatannya terganggu.
Mizanu'l
I’tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup para
periwayat hadits Nabi saw. mencatat: "Ketika sudah tua, ingatan Hisyam
mengalami kemunduran yang mencolok." Berdasarkan referensi ini, dapat
diketahui, bahwa ingatan Hisyam sangatlah jelek dan begitu juga hadis-hadis
yang diriwayatkannya setelah pindah ke Iraq. Kesimpulannya, hadis yang diriwayatkan
Hisyam mengenai umur Aisyah ketika menikah adalah tidak kredibel.
Pembuktian
lain adalah melalui sejarah Islam. Diketahui bahwa masa Jahiliya (pra-Islamic
era) adalah masa sebelum turun wahyu (610 M). Tahun 610 M turun wahyu
pertama, Khadijah dan Abu Bakr menerima Islam. Tahun 613 M: Nabi Muhammad mulai
mengajar ke Masyarakat. 615 M: Hijrah ke Abessinia. Tahun 616 M: Umar bin al
Khattab menerima Islam. Tahun 620 M Nabi meminang Aisyah. Tahun 622 M Nabi hijrah
ke Yathrib kemudian dinamai Madinah. Tahun 623 M Nabi saw menikahi Aisyah.
Selisih tiga tahun antara Nabi meminang dan menikahi Aisyah. Menurut At-Thabari,
pakar sejarah Islam, semua anak Abu Bakar (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah
dari kedua isterinya. Berdasarkan tulisan Ath-Tabari, Aisyah seharusnya
dilahirkan sebelum 610 M. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya
minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika menikah.
Selain itu, perlu juga membandingkan umur Aisyah dengan Fatimah, puteri Rasulullah. Menurut Ibn Hajar, Fatimah dilahirkan ketika Ka’bah dibangun kembali, ketika Nabi Muhammad saw. berusia 35 tahun. Banyak riwayat menyebutkan, umur Fatimah 5 tahun lebih tua daripada Aisyah. Jika statement Ibn Hajar adalah faktual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi Muhammad berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi pada saat usia Nabi 56 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 16 tahun, bukan 7 tahun.
Menarik pula membandingkan umur Aisyah dengan kakak kandungnya, Ashma binti Abu Bakar. Menurut Abdurrahman ibn Abi Zanna'd, Asma lebih tua 10 tahun dibandingkan Aisyah. Demikian pula Ibn Katsir menyebutkan, Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya. Ibn Katsir juga menjelaskan, Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal dalam usia 100 tahun. Ibn Hajar al-Asqalani membenarkan, Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada tahun 73 H. Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, saudara tertua Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun, pada tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 tahun ketika hijrah (622M). Jika Asma berusia 27 ketika hijrah (ketika Aisyah menikah), maka Aisyah seharusnya berusia 17 tahun.
Perlu pula mengaitkan usia Aisyah dengan peristiwa perang Badar dan perang Uhud. Dijelaskan dalam hadits Muslim, Aisyah, ketika menceritakan salah satu momen penting dalam perjalanan selama perang Badar mengatakan: "Ketika kita mencapai Shajarah". Dari pernyataan ini tampak jelas, bahwa Aisyah ikut dalam perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat lain mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Uhud tercatat dalam buku Imam Bukhari. Anas mencatat, bahwa pada perang Uhud, orang-orang tidak dapat berdiri di dekat Nabi saw. Tetapi, hari itu saya melihat Aisyah dan Ummu Sulaim berada dekat dengan Nabi, mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya (untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tersebut). Lagi-lagi, hal ini menunjukkan, bahwa Aisyah turut serta dalam perang Badar dan Uhud. Diriwayatkan oleh Bukhari, Abdullah ibn Umar menyatakan, Nabi tidak mengijinkan dirinya ikut dalam Perang Uhud karena masih berusia 14 tahun. Ketika perang Khandaq, Nabi mengijinkannya karena sudah berusia 15 tahun. Berdasarkan riwayat di atas berarti Aisyah berumur 15 tahun karena sudah boleh ikut dalam perang Badar dan Uhud. Di samping itu, para perempuan yang ikut dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan menambah beban.
Sebuah riwayat dari Ahmad ibn Hanbal mengatakan, sesudah meninggalnya Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati beliau untuk menikah lagi. Nabi Muhammad bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: "Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang perempuan yang pernah menikah (thayyibah)". Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut, Khaulah menyebutkan nama Aisyah. Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat, bahwa kata bikr dalam Bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah jariyah. Oleh karena itu, tampak jelas, bahwa gadis belia 9 tahun belum dinamai bikr. Riwayat tersebut menkonfirmasikan bahwa usia Aisyah ketika menikah bukan 9 tahun, melainkan di atas 14 tahun.
Seluruh muslim setuju, bahwa Al-Quran adalah kitab petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Al-Qur'an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat hadis. Apakah Al-Quran mengijinkan atau melarang pernikahan anak berusia 7 tahun? Tak ada ayat yang secara eksplisit menjelaskan isu ini. Namun, ada sebuah ayat yang menuntun kita dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Al-Qur'an tersebut sebagai berikut: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik (Qs. An-Nisa: 5).
وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ
أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا
وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا
Kemudian
lebih dipertegas lagi pada ayat berikut. Dan ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.
Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan
(janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang
siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari
memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan
harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada
mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi
mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (Qs. An-Nisa: 6).
وَٱبۡتَلُواْ
ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ
رُشۡدٗا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا
وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيّٗا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ
فَقِيرٗا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ
أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا
Kedua
ayat tersebut memberi tuntunan bahwa jika seorang anak ditinggal orang tuanya, maka
kaum muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan, (b) memberi pakaian, (c) memberi
pendidikan dan (d) menguji kedewasaan mereka sampai usia menikah sebelum
mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan. Di sini, ayat Qur'an
menyatakan tentang perlunya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan
intelektual dan fisik melalui hasil tes yang obyektif sebelum memasuki usia
nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta benda kepada mereka.
Ayat tersebut sangat jelas menghimbau kaum beriman agar memperhatikan kedewasaan seorang anak sebelum mereka diberikan tanggungjawab. Karena itu, tidak ada seorang muslim pun yang bertanggung jawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, maka gadis tersebut jelas tidak memenuhi syarat secara mental, intelektual maupun fisik untuk menikah.
Adalah tidak terbayangkan, bahwa Abu Bakar, seorang laki-laki cerdas, akan berpikir dan menerima persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 56 tahun. Serupa dengan ini, Nabi Muhammad tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadits Muslim masih suka bermain-main dengan bonekanya. Selain itu, terkait pendidikan anak, sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan: "Berapa banyak di antara kita yang percaya, bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?" Tentu kita sepakat mengatakan tidak ada. Logika sehat akan berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak dengan memuaskan akan diserahkan kepada mereka yang masih anak-anak.
Kesimpulannya,
perkawinan Aisyah dan Nabi saw tidak terjadi ketika Aisyah masih anak-anak
sebab dalil teologisnya sangat lemah. Sayangnya, kebanyakan umat Islam menerima
informasi tersebut tanpa upaya mengkritisi riwayatnya. Tidak heran jika masih
dijumpai umat Islam mempraktekkan perkawinan anak hanya karena percaya pada
hadist yang lemah tadi.
Umat
Islam harus mengedepankan ajaran Islam yang esensial dengan nalar kritis dan
logika sehat dalam hal apa pun, terutama terkait perkawinan. Islam telah
menggariskan lima prinsip dasar mengenai perkawinan dan kelima prinsip dasar
tersebut hanya dapat dipenuhi oleh mereka yang berumur dewasa dan matang, baik
fisik maupun mental-spiritual, bukan mereka yang masih berusia anak.
Al-Qur'an (ayat
an-Nisa' (4): 6) menegaskan perlunya paling tidak dua syarat: kedewasaan
jasmani (balighah) dan kematangan mental-spiritual (rasyidah).
Ayat itu menegaskan perlunya melakukan pengujian terhadap anak untuk memastikan
apakah anak tersebut sudah dewasa dan matang, atau sudah pantas menikah. Jika
sudah memenuhi syarat kedewasaan dan kematangan barulah mereka (anak-anak
yatim) itu berhak mendapatkan harta yang dititipkan kepada para walinya.
Mengapa diperlukan pengujian? Tidak lain tujuannya adalah untuk mengeliminasi
segala bentuk eksploitasi terhadap anak. Meskipun ayat ini lebih fokus pada
pembicaraan soal anak yatim dan para wali yang menyimpan harta warisan mereka,
namun sangat tepat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan anak karena
sangat beresiko mendapatkan eksploitasi.
Perkawinan anak
adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Perkawinan anak cenderung menjadi
sumber bencana kemanusiaan dalam masyarakat. Sebab, perkawinan anak sering
berdampak kepada berbagai problema sosial yang krusial, seperti perceraian, trafficking
(perdagangan anak), kekerasan domestik, kematian ibu melahirkan, kematian
balita, busung lapar, kemiskinan, pengangguran dan masih banyak lagi.
Dampak lain
dari perkawinan anak bagi perempuan, antara lain muncul berbagai resiko, baik
bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, dan
resiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi
dengan baik. Kehidupan keluarga menuntut adanya peran dan tanggungjawab yang
besar bagi laki-laki dan perempuan. Karena itu, membolehkan perkawinan anak
dengan dalih ajaran agama, berarti menodai kesucian agama itu sendiri.
Penutup
Islam diyakini pemeluknya sebagai agama yang
sempurna karena ajarannya diyakini sudah mencakup semua tuntunan yang
diperlukan bagi kehidupan manusia di bumi, termasuk tuntunan mengenai kehidupan
perkawinan. Semua
ajaran itu dimaksudkan agar manusia selamat dan bahagia, baik secara duniawi
maupun ukhrawi.
Pernikahan merupakan amanat dari Allah swt. Amanat adalah sesuatu
yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya
karena yakin bahwa apa yang diamanatkannya itu akan dipelihara dengan baik.
Isteri adalah amanat Allah kepada suami, demikian pula sebaliknya, suami
merupakan amanat Allah kepada isteri. Suami isteri telah berjanji dengan nama
Allah untuk menjaga amanah itu.
Terkait perkawinan anak, sejumlah saran sebagai solusi
mengatasinya.Pertama, pentingnya pendidikan seksual yang komprehensif diajarkan
sejak dini di tingkat PAUD. Jangan alergi mendengar istilah seksual. Pendidikan
seksual yang dimaksudkan di sini adalah akumulasi dari pendidikan tentang
anatomi tubuh, kesehatan reproduksi, hak-hak seksual, pendidikan moralitas, dan
pendidikan agama yang mengedepankan tanggungjawab dan martabat manusia.
Seks bukan semata-mata soal hubungan biologis, melainkan
lebih luas dari itu, mencakup isu tanggungjawab (responcibility),
moralitas dan kesehatan reproduksi. Pendidikan seksual terpadu perlu mendapat
dukungan, bantuan dan pengarahan dari orang tua yang menekankan tentang
tanggung-jawab anak laki-laki dan
perempuan atas seksualitas dan kesuburan mereka sendiri. Hal itu penting karena terdapat lebih dari 15 juta anak
perempuan (masih berusia di antara 15 sampai 19 tahun) melahirkan setiap
tahunnya. Mereka menjadi ibu pada usia yang sangat muda, mereka juga dapat mengalami
komplikasi selama masa hamil dan pada saat melahirkan.
Kedua, mendorong pemerintah dan masyarakat sipil memperbanyak Balai latihan kerja dan
ketrampilan bagi anak-anak remaja. Siapkan tempat-tempat magang bagi anak-anak
remaja agar mereka dapat bekerja paruh waktu sambil menyelesaikan studi mereka
di sekolah-sekolah formal atau non-formal. Galakkan aktivitas olah raga, seni
dan kegiatan spiritual bagi remaja agar mereka sehat secara fisik dan mental. Wallahu
a’lam bi as-shawab.
[1]
Disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Perempuan Mengatasi Kawin Anak, diadakan
oleh Yayasan Jaringan Relawan Independen, di Bandung 5 Desember 2019.
[2]
Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), Dosen UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, dapat
dihubungi via m-mulia@indo.net.id
[3] An-Nisa`, 4:21.
[4] Ar-Ruum, 30:21
[5] Al-Baqarah, 2:187