Menakar Peran Politik Perempuan di Indonesia
Siti
Musdah Mulia adalah salah satu aktivis Feminisme yang cukup konsisten
memperjuangkan hak-hak sosial dan politik kaum perempuan di Indonesia.
Lewat
buku Menuju Kemandirian Politik Perempuan, perempuan pertama yang meraih doktor
dalam bidang Pemikiran Politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah (1997) ini
berbagi pengalaman dan bertukar pikiran dalam rangka membela kaumnya.
Berdasarkan catatan pengalaman selama melakukan proses advokasi, pendampingan,
dan pendidikan, Musdah Mulia sedang menakar seberapa besar peran dan posisi
kaum perempuan di Indonesia di pentas politik nasional.
Nilai-nilai
kemanusiaan universal merupakan paradigma yang harus diterapkan dalam upaya
menjelaskan hakekat kehidupan ini tanpa diskriminasi. Sebuah paradigma
kemanusiaan yang melampaui batas-batas etnis, suku, ras, agama, bahkan sampai
jenis kelamin. Termasuk dalam konteks buku ini, sesungguhnya Musdah Mulia
sedang mengritik diskriminasi dan pandangan bias terhadap peran dan posisi
perempuan di Indonesia, khususnya di ranah publik. Karena kekeliruan paradigma
tersebut, maka catatan sepanjang sejarah umat Islam di Indonesia selalu ditemui
sekian banyak bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal
tersebut. Kaum perempuan selalu saja dinomorduakan.
Musdah
Mulia memahami kedudukan perempuan dalam tiga kategori: sebagai anak, sebagai
istri, dan sebagai warga negara. Sebagai anak, seorang perempuan dinilai sejajar
dengan kaum laki-laki. Sebagai istri, seorang perempuan bertanggung jawab
secara adil terhadap keluarga. Dan sebagai warga Negara, seorang perempuan
mendapat hak-hak dan tanggung jawab yang setara dengan kaum laki-laki (hlm.
127-134).
Akan
tetapi, dalam semua posisi, khususnya sebagai warga negara, kaum perempuan
belum mendapat peran dan posisi yang layak. Harus diakui, peran dan posisi
perempuan di ranah publik merupakan wacana aktual yang hingga saat ini terus
menjadi perdebatan sengit. Terlebih lagi ketika perdebatan tersebut sudah
memasuki wilayah agama, khususnya agama Islam.
Lewat
pendekatan historis, Musdah Mulia membaca secara kritis teks-teks sejarah yang
nyata-nyata bias gender. Dalam konteks sejarah umat Islam, peran kaum perempuan
di wilayah publik cenderung dinomorduakan. Padahal, menurut Musdah Mulia, Nabi
Muhammad sendiri sama sekali tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki dan
perempuan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) di wilayah
publik. Atas dasar inilah, Musdah Mulia berusaha melakukan dekonstruksi
terhadap tafsir-tafsir keagamaan yang cenderung bias gender dan bias
nilai-nilai patriarkhal. Justru, menurut Musdah Mulia, menempatkan peran dan
posisi kaum perempuan secara diskriminatif dan bias gender sama artinya sedang
mengembalikan tradisi yang pernah berlangsung pada zaman jahiliyah (hlm.
28-31).
Dalam
konteks politik, peran dan posisi kaum perempuan cukup kentara mengalami
diskriminasi. Menurut Musdah Mulia, kaum perempuan di beberapa negara masih
buta terhadap politik. Tidak hanya di negara-negara Islam, tetapi negara-negara
non Islam pun masih banyak didapati perempuan yang tidak memahami wilayah
politik kekuasaan. Termasuk di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk
agama Islam, kaum perempuan berada dalam posisi marginal.
Sesungguhnya,
masalah peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik merupakan bagian dari
hak-hak asasi yang setiap manusia berhak memilikinya. Namun yang cukup ironis,
kaum perempuan justru banyak yang belum memahami tentang hak-hak mereka. Dalam
rangka menjawab problem diskriminasi dan pandangan bias gender ini, Musdah
Mulia menganggap perlunya advokasi, pendampingan, dan pendidikan politik,
khususnya bagi kaum perempuan di Indonesia.
Musdah
Mulia menulis buku ini dalam konteks perpolitikan di Indonesia yang masih sarat
dengan diskriminasi gender. Harus diakui bahwa kaum perempuan di Indonesia,
yang merupakan mayoritas, masih buta terhadap wacana politik. Peran dan posisi
mereka di wilayah pengambil kebijakan masih sangat minim. Bahkan, terdapat
stigma yang menempatkan peran dan posisi kaum perempuan amat disepelekan.
Misalnya
pada perdebatan apakah seorang perempuan berhak menjabat sebagai pemimpin atau
tidak. Perdebatan semacam ini mengingatkan kita semua sewaktu sosok Megawati
Soekarno Putri, putri mendiang presiden
pertama RI (Soekarno), mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 1999. Dan
memang perdebatan semacam ini merupakan konsekuensi logis dari rakyat Indonesia
yang mayoritas beragama Islam. Karena dalam catatan sejarah umat Islam,
keberadaan kaum perempuan cenderung dipahami secara diskriminatif, maka umat
Islam di Indonesia pun mempermasalahkan sosok Megawati mencalonkan diri sebagai
presiden.
Penulis
buku ini juga memaparkan secara kritis bahwa kaum perempuan belum proporsional
menempati jabatan publik. Misalnya data tahun 2009 yang memaparkan peran kaum
perempuan di lembaga legislatif. Untuk posisi kaum perempuan di MPR baru 9%.
Sementara posisi kaum perempuan di DPR malah baru 8%. Belum lagi di tingkat
propinsi atau kabupaten. Musdah Mulia menilai, rata-rata kaum perempuan masih
menempati posisi yang minim (hlm. 193).
Cukup
menarik di sini bahwa Musdah Mulia bersama teman-temannya (aktivis Feminisme)
mencatat perjuangan quota 30% dalam UU No. 12 Tahun 2003 pasal 65. Menurutnya,
pasal ini masih dinilai “setengah hati.” Tetapi tampaknya Musdah Mulia dan
kawan-kawan boleh bergembira dengan disahkannya UU Pemilu tentang kewajiban
partai-partai mengusung quota 30% bagi kaum perempuan baru-baru ini.
Menurut
hemat penulis, kehadiran buku karya Musdah Mulia cukup tepat berkenaan dengan
dikukuhkannya UU Pemilu dan Parpol tentang quota 30% bagi kaum perempuan
baru-baru ini. Di samping memang ditulis oleh pakar dan aktivis feminisme yang
cukup masyhur, kehadiran buku ini bisa menjadi sumber rujukan penting bagi
siapa saja yang hendak menganalisis peta politik kaum perempuan di Indonesia
menjelang pemilu 2014 nanti.
Penulis
adalah mantan editor, penggiat Komunitas Aksara Yogyakarta (KAY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar