Kamis, 02 Maret 2017

Pentingnya Prinsip Kesetaraan Gender dalam Ajaran Agama dan Penegakan Hukum



Pendahuluan
Mengapa prinsip kesetaraan gender menjadi isu penting dalam pembangunan bangsa? Jawabnya tiada lain, berdasarkan laporan banyak negara, PBB menyimpulkan bahwa masalah diskriminasi atau ketidakadilan gender merupakan faktor penting kemunduran  peradaban suatu bangsa. Solusi mengatasi masalah itu harus dengan menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek pembangunan.
Kemunduran peradaban itu terlihat pada sejumlah indikasi berikut: rendahnya kualitas hidup masyarakat, khususnya kaum perempuan; tingginya angka kemiskinan, tingginya angka kebodohan dan keterbelakangan, banyaknya anak-anak mengalami kondisi gizi buruk, rendahnya tingkat kesehatan reproduksi perempuan, banyaknya penderita HIV/aids dan penyakit menular seksual lainnya, serta rendahnya kesadaran lingkungan.
Indikasi lain berupa tingginya pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam bentuk kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan, maraknya perkosaan dan perdagangan perempuan dan anak perempuan, tingginya angka perkawinan anak dan  perkawinan paksa, tingginya angka perceraian dan poligami, banyaknya kasus inces, tingginya angka penelantaran anak dan pengabaian hak-hak asasi manusia lanjut usia, terutama perempuan.

Pengertian diskriminasi gender 
Diskriminasi adalah cara menyikapi perbedaan (pembedaan) yang merugikan.  Pada umumnya kata diskriminasi digunakan untuk pembedaan yang berkonotasi negatif atau merugikan pihak yang dibedakan. Pembedaan yang dilakukan secara sengaja untuk tujuan positif atau menguntungkan biasanya tidak disebut sebagai diskriminasi melainkan suatu perlakuan khusus (affirmative action). 

Undang-undang  No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan, diskriminasi adalah setiap  pembatasan, pelecehan, atau, pengecualian, pembatasan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam seluruh bidang kehidupan.

Lebih tegas lagi, Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW Tahun 1979) menyebutkan, diskriminasi terhadap perempuan adalah pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,  sipil, dan lainnya.

Kesimpulannya, diskriminasi atau ketidakadilan gender adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar konstruksi sosial tentang jenis kelamin yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,  sipil, atau apa pun lainnya pada jenis kelamin tertentu. 

Diskriminasi terhadap gender perempuan muncul dalam beragam bentuk, di antaranya: Pertama, Stereotype atau pelabelan negatif. Misalnya perempuan itu lemah, cengeng, dan emosional, sementara laki-laki dianggap kuat, tabah, dan rasional. Oleh karena itu, tempat perempuan adalah di ranah privat (domestik) dan laki-laki di ranah publik, dan perempuan tidak bisa menjadi pemimpin karena lemah, sedangkan laki-laki  mampu dan berhak menjadi pemimpin. Kedua, Subordinasi atau posisi di bawah. Misalnya menganggap perempuan lebih rendah, kurang penting, dan kurang bernilai dibandingkan dengan laki-laki. Dampaknya adalah posisi strategis pada umumnya didominasi oleh laki-laki sehingga keputusan dalam keluarga, masyarakat, agama, negara, hingga dunia global didominasi pula oleh laki-laki.

Ketiga, marjinalisasi (peminggiran). Misalnya peminggiran perempuan dalam dunia politik dan ekonomi.  Perempuan yang diberi label lemah dan emosional dan diposisikan di bawah laki-laki, pada gilirannya dipingkirkan /terpinggirkan dalam dunia politik formal. Perempuan yang dilabelkan sebagai ibu rumah tangga kemudian juga dipinggirkan dalam pembangunan ekonomi. Marginalisasi perempuan petani dalam pertanian modern adalah bagian yang tidak terpisahkan dari praktek diskriminasi gender. Keempat, double burden (beban ganda). Misalnya perempuan yang bekerja mencari nafkah tetap dibebani dengan tugas rumah tangga meskipun ketika suaminya tidak bekerja sama sekali. Kelima, kekerasan, yaitu setiap perbuatan yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.

Diskriminasi gender bukan hanya dapat menghambat penegakan hak asasi manusia, melainkan juga menghambat program pembangunan di segala bidang. Misalnya beberapa hal berikut: Tidak diakuinya kemampuan perempuan; Pekerjaan domestik tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif yang perlu dilindungi undang-undangUpah perempuan lebih rendah daripada laki-laki; Perempuan tidak dianggap sebagai pencari nafkah, meskipun faktanya sebagian perempuan adalah penyangga utama ekonomi keluarga; Perempuan tidak banyak memiliki akses untuk menjadi pemimpin di dunia publik atau politik; Perempuan menanggung beban ganda; Perilaku kekerasan (KDRT) terhadap perempuan dianggap wajar; dan Perempuan korban sering dipersalahkan; Tubuh perempuan dipersalahkan (dianggap sebagai penyebab masalah kekerasan seksual). Tentu saja berbagai kondisi negatif tersebut menghambat kemajuan perempuan dan sekaligus juga berarti menghambat kemajuan bangsa dan negara.

Pentingnya menghapus diskriminasi gender
Ada banyak upaya dapat dilakukan untuk menghapus diskriminasi atau ketidakadilan gender terhadap perempuan, yang paling mengemuka ada dua pendekatan. Pertama, pendekatan struktural melalui penegakan hukum, penguatan institusi, dan penyediaan kebijakan-kebijakan serta peraturan-peraturan yang memastikan adanya keadilan gender dan penghapusan diskriminasi. Kedua, pendekatan kultural melalui serangkaian kegiatan edukasi yang mencerahkan dan menyadarkan masyarakat, seperti diskusi, pelatihan, seminar, workshop dan kegiatan seni budaya.

Pengalaman di tingkat internasional mengajarkan bahwa pihak yang paling berkompeten menghapus diskriminasi gender adalah institusi negara. Hal itu karena negara memiliki kekuasaan yang sangat besar. Negara wajib mempromosikan, memenuhi, memberikan perlindungan, dan menjamin terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam semua kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan. Termasuk di dalamnya, tindakan khusus sementara yang mencakup akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan dan penikmatan manfaat yang sama dan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam semua tahapan pembangunan.

Kewajiban-kewajiban dimaksud dilaksanakan oleh lembaga negara termasuk Lembaga Pemerintah non Kementerian, Lembaga non Pemerintah, Lembaga Masyarakat dan Korporasi dengan melibatkan partisipasi seluruh warga negara. Kewajiban tersebut meliputi upaya-upaya berikut: 1) mempromosikan, memenuhi segala bentuk perlindungan, dan jaminan pemenuhan hak asasi perempuan; 2)  melakukan upaya peningkatan partisipasi masyarakat, khususnya perempuan; 3) menentukan strategi pelaksanaannya; 4) melakukan penelitian dan pengkajian untuk memastikan perspektif gender terintegrasi dalam peraturan perundang-undangan dan perumusan kebijakan pembangunan; 5) melakukan pemantauan dan evaluasi hasil pelaksanaan kesetaraan dan keadilan gender dalam semua sektor pembangunan.

Selain kewajiban negara, setiap warga negara juga punya kewajiban, antara lain dalam bentuk:1) Memberikan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada pihak yang berwenang jika mengetahui terjadinya diskriminasi berbasis gender; 2) Mencegah terjadinya diskriminasi berbasis gender; dan 3) Melakukan upaya perlindungan korban diskriminasi berbasis gender.

Di samping itu, negara pun harus memastikan terpenuhinya hak-hak dasar perempuan yang meliputi: 1) hak perempuan atas perlindungan kesehatan reproduksi; 2) hak pendidikan; 3) Hak jaminan sosial; 4) Hak ekonomi dan ketenagakerjaan; 5) Hak partisipasi di bidang politik dan hubungan internasional; 6) Hak atas keterwakilan perempuan dalam proses dan lembaga perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan publik; 7) Hak atas perkawinan dan hubungan keluarga; dan 8) Hak atas proses dalam penegakan hukum. Hak-hak dimaksud berlaku juga bagi semua perempuan di pedesaan, perempuan kepala keluarga, dan perempuan kelompok rentan atau minoritas.

Hak konstitusional perempuan dan penegakannya di bidang hukum
Hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia. Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk setiap warga negara: laki-laki maupun perempuan. Bahkan, UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.” Dengan demikian, jika terdapat ketentuan atau tindakan yang mendiskriminasikan warga negara tertentu, hal itu melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, dan dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh karena itu, setiap perempuan Indonesia memiliki hak konstitusional sama dengan laki-laki. Perempuan juga memiliki hak untuk tidak diperlakukan diskriminatif atas dasar gender, atau pun atas dasar perbedaan lainnya. Semua hak konstitusional yang telah diuraikan sebelumnya merupakan hak konstitusional setiap perempuan warga negara Indonesia. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi terutama terkait dengan hak konstitusional perempuan. Hal ini semakin penting karena kendalanya ternyata berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang masih sangat patriarkal. Akar budaya tersebut melahirkan dua hambatan: baik dari sisi perempuan itu sendiri maupun dari masyarakat secara umum.[1]
Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dan dapat memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Hanya dengan perlakuan khusus tersebut, dapat dicapai persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara.  Oleh karena itu, UUD 1945 menjamin perlakuan khusus tersebut sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Pasal 28H Ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Salah satu kelompok warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus adalah perempuan. Tanpa adanya perlakuan khusus, perempuan tidak akan dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya karena perbedaan dan pembedaan yang selama ini dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarki. Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan cenderung mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu mencapai keadilan gender. Pentingnya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan melalui perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai kesetaraan dan keadilan gender telah diakui secara internasional.
Penghapusan diskriminasi melalui pemajuan perempuan menuju kesetaraan gender bahkan dirumuskan sebagai kebutuhan dasar pemajuan hak asasi manusia dalam Millenium Development Goals (MDG’s) sekarang disebut Sustainability Development Goals (SDG’s). Hal itu diwujudkan dalam delapan area upaya pencapaian di antaranya; mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender, meningkatkan keberdayaan perempuan, dan meningkatkan kesehatan ibu. Rumusan tersebut berpijak pada kenyataan bahwa perempuan mewakili setengah dari jumlah penduduk dunia, serta sekitar 70% penduduk miskin dunia adalah perempuan.
Pada tingkat nasional upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan mencapai kesetaraan gender telah dilakukan walaupun pada tingkat pelaksanaan masih membutuhkan kerja keras dan perhatian serius. CEDAW telah diratifikasi sejak 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984[2]. Upaya memberikan perlakuan khusus untuk mencapai persamaan gender juga telah dilakukan melalui beberapa peraturan perundang-undangan, baik berupa prinsip-prinsip umum, maupun dengan menentukan kuota tertentu. Bahkan, untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan yang sering menjadi korban kekerasan telah dibentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga[3].



Tantangan penegakan kesetaraan gender di bidang hukum
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) akhir tahun 2016 menjelaskan, terdapat lebih dari 400 produk hukum di Indonesia yang isinya mengandung unsur diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, analisis terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum[4] dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus, yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukumnya (structure of law).
Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama.
Hal itu kemudian diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana terlihat dalam berbagai peraturan daerah yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Materi hukum dalam sejumlah peraturan daerah sarat dengan muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender. Di antara peraturan-peraturan daerah yang meminggirkan perempuan adalah aturan tentang kewajiban berjilbab bagi perempuan karyawan pemerintah; aturan yang mewajibkan para pelajar perempuan mengenakan baju kurung dan jilbab. Aturan wajib jilbab dan busana islami bagi orang Islam dan anjuran memakainya untuk non-Islam. Selain terkait busana, dijumpai juga aturan yang melarang perempuan keluar malam tanpa disertai muhrimnya, aturan yang membolehkan poligami dan aturan yang melarang perempuan menjadi pemimpin di suatu daerah. Semua produk hukum yang bias gender tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi Indonesia.
Selain dari substansi aturan hukum, gugatan terhadap ketidakadilan gender juga diarahkan pada sistem dan struktur hukum yang masih bias gender. Artinya, pokok persoalan korelasi antara laki-laki dan perempuan terletak pada sistem dan stuktur hukum (subtance) yang belum seimbang.[5] Hal itu misalnya terkait dengan proses hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebagai korban atau saksi, perempuan memerlukan kondisi tertentu untuk dapat memberikan keterangan dengan bebas tanpa tekanan. Untuk itu, proses perkara mulai dari penyelidikan hingga persidangan perlu memperhatikan kondisi tertentu yang dialami perempuan. Di antaranya, saat penyidikan, perempuan korban kekerasan tentu membutuhkan ruang tersendiri, apalagi jika terkait kekerasan seksual. Tidak semua perempuan mampu menyampaikannya secara terbuka. Demikian pula terkait dengan persidangan yang membutuhkan jaminan keamanan baik fisik maupun psikis.

Berdakwah dengan ajaran agama yang sensitif gender
Pemerintah melalui Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memprediksikan sejumlah kendala yang dihadapi dalam upaya pemberdayaan perempuan, dan salah satu kendala utama adalah agama. Tepatnya, tafsir atau interpretasi agama. Bicara tentang agama hakikatnya bicara tentang tafsir atau interpretasi, dan dalam semua agama tidak pernah dijumpai satu tafsir tunggal, melainkan selalu ada beragam tafsir atau interpretasi.  
Mengapa muncul kendala dalam bidang agama? Paling tidak ada dua faktor: pertama, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai nilai-nilai agama yang menjelaskan peran dan fungsi perempuan; dan kedua, masih banyak penafsiran ajaran agama yang merugikan kedudukan dan peran perempuan.
Dalam studi gender, institusi Agama selalu dituduh sebagai salah satu faktor penting yang melanggengkan diskriminasi gender. Sebagai orang beragama, penulis yakin tuduhan itu tidak benar. Sebab semua agama hadir membawa pesan-pesan moral untuk kebaikan dan kemashlahatan seluruh manusia, tanpa kecuali. Jadi tidak mungkin agama membawa pesan diskriminasi dan ketidakadilan gender. Agama pasti datang untuk memanusiakan manusia. Agama pasti tidak membenarkan semua bentuk ketidakadilan, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan untuk alasan apa pun.
Terkait konsep keadilan gender, semua agama secara normatif  mengakui bahwa Tuhan telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Agama juga mengajarkan bahwa perbedaan keduanya hanya terletak pada aspek biologis semata, bukan bersifat esensial. Perbedaan itu tidak mengubah hakikat status, harkat dan martabat manusia. Kesimpulannya semua manusia adalah setara di hadapan Tuhan.
Masalahnya, wahyu ilahi dalam bentuk teks-teks suci yang turun ke bumi dan kemudian dibaca dan dipahami oleh para penganutnya dalam perkembangannya mengalami kontaminasi atau sejumlah reduksi, baik sengaja maupun tidak. Para pemuka agama ketika menafsirkan atau membuat interpretasi tidak sedikit yang terpengaruh oleh budaya patriarki yang berkembang di masyarakatnya, belum lagi pengaruh kepentingan politik yang melingkupi kehidupan mereka. Tambahan lagi, karena godaan keserakahan dan hawa nafsu, sebagian manusia terjerumus melakukan tindak kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi, khususnya terhadap perempuan. Fatalnya, mereka tidak segan-segan menjadikan  agama sebagai dalil pembenaran.
Akibatnya, cukup banyak dijumpai tafsir atau interpretasi agama yang tidak ramah terhadap perempuan, bahkan beberapa terkesan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Misalnya, tafsir ajaran agama yang memandang perempuan sebagai manusia kelas dua karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam); ajaran agama yang melarang perempuan menjadi imam atau pemimpin; ajaran agama yang membolehkan laki-laki berpoligami; ajaran agama yang membolehkan pemaksaan anak perempuan untuk menikah; ajaran agama yang membolehkan pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan dalam perkawinan; ajaran agama yang melarang perempuan keluar tanpa muhrim (pengawal laki-laki) atau melarang perempuan bekerja di area publik, serta sejumlah ajaran lainnya yang sangat misoginis (penuh kebencian) terhadap perempuan.
Sayangnya, tafsir atau interpretasi agama yang bias gender itu lebih banyak disosialisasikan atau diajarkan di masyarakat. Mengapa? Karena tafsir yang diskriminatif tersebut menguntungkan banyak pihak di masyarakat, termasuk juga menguntungkan sebagian perempuan yang selama ini berada di zona nyaman dan merasa beruntung dapat menindas sesamanya perempuan.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia karena diberi hidayah berupa agama. Ajaran agama mana pun pada hakikatnya memberikan tuntunan pada manusia bagaimana menjalani hidup di dunia agar selamat dan bahagia lahir-batin sampai di akhirat kelak. Selain hidayah berupa agama, manusia juga diberi hidayah lain dalam bentuk akal. Akal menjadi  senjata yang amat ampuh bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Sebagai makhluk yang berakal,  manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan yang dilakukannya selama hidup. Dengan ungkapan lain, manusia adalah makhluk yang bertanggungjawab.
Karena itu, manusia (perempuan dan laki-laki) perlu mendapatkan pencerahan agar kembali kepada fitrahnya semula; menghargai orang lain sebagaimana ia menghargai diri sendiri: menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Tidak berbuat pada manusia lain hal-hal yang membuatnya sakit jika itu dilakukan terhadap dirinya. Manusia harus memiliki perasaan cinta, kasih sayang, empati dan toleransi yang mendalam terhadap sesama tanpa kecuali. Hal itu sangat tidak mudah dan seringkali dijumpai banyak hambatan. Namun, hanya dengan cara itulah akan tercipta masyarakat sipil yang egaliter, demokratis, dan mencintai keberagaman secara tulus.

Solusi konkret
Lalu, apa solusi utama untuk mengikis diskriminasi atau ketimpangan gender? Pengalaman membuktikan tidak ada solusi tunggal dan mudah. Sebab, ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender muncul karena berbagai faktor yang saling berkelindan, di antaranya faktor budaya, penafsiran nilai-nilai agama yang bias gender, dan hegemoni negara yang begitu dominan dalam bentuk berbagai produk kebijakan dan hukum yang bias gender. Seluruh elemen pembentuk kebudayaan kita memiliki watak yang memihak pada atau didominasi oleh kekuasaan berciri maskulin. Demikian pula interpretasi agama masih sangat bias gender dan bias nilai-nilai patriarkat.
Sebagai solusi ditawarkan dua hal. Pertama, melakukan counter ideology (ideologi tandingan). Counter ideology dilakukan dengan membongkar seluruh akar budaya, termasuk akar-akar teologis, yang menjadi alat legitimasi untuk mengesahkan dominasi laki-laki atas perempuan, dominasi masyarakat terhadap perempuan, dominasi negara terhadap perempuan, dan dominasi agama terhadap perempuan. Kaum perempuan menghadapi tantangan yang sangat beragam sehingga dalam satu jurus perempuan harus mengikis empat jenis dominasi sekaligus, yakni dominasi laki-laki, dominasi masyarakat, dominasi negara, serta dominasi agama.
Kedua, melakukan  counter hegemony. Hal ini  perlu dilakukan mengingat berbagai kebijakan hukum yang ada sangat bias nilai-nilai patriarkal dan bias ideologi gender. Kebijakan negara yang diwarisi secara turun-temurun sejak masa kolonial, didasarkan pada dua prinsip, yakni prinsip pluralisme hukum dan prinsip ketidaksetaraan rasial. Dua prinsip ini yang menjadi landasan utama dan cenderung dihidupkan terus-menerus oleh negara. Dengan demikian, persoalan diskriminasi yang dihadapi kaum perempuan bukan hanya persoalan-persoalan yang bersifat permukaan, melainkan sangat mendalam, yakni merupakan persoalan struktural yang sangat akut.
Beberapa upaya konkret mendesak dilakukan, di antaranya upaya peningkatan kualitas hidup perempuan melalui perbaikan sistem pendidikan, sistem hukum dan sistem budaya, serta perlunya reinterpretasi agama. Upaya mengubah dan merekonstruksi nilai-nilai budaya: dari budaya patriarki ke budaya egalitarian. Upaya perlindungan perempuan dari segala bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Dan yang tidak kurang pentingnya adalah menyebarluaskan tafsir atau interpretasi agama yang ramah terhadap perempuan, atau tafsir yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Ajaran agama harus berada paling depan membentengi manusia, khususnya perempuan dari semua perlakuan tidak adil, diskriminasi, ekspoloitasi dan kekerasan.
Upaya tersebut harus dijabarkan dalam aksi-aksi nyata meningkatkan kesadaran perempuan akan jati dirinya sebagai manusia utuh ciptaan Tuhan, kesadaran perempuan akan hak asasi mereka sebagai manusia merdeka dan sebagai warga negara penuh; menghapus kemiskinan karena kemiskinan selalu berwajah perempuan; meningkatkan akses perempuan dalam dunia pendidikan dan dunia kerja; meningkatkan kualitas kesehatan perempuan, terutama terkait kesehatan reproduksi; menurunkan angka kematian balita dan angka kematian ibu melahirkan (AKI); mencegah terjadinya perkawinan anak, perkawinan paksa, perkawinan kontrak (sirri) serta semua bentuk perdagangan perempuan; mengendalikan infeksi HIV/Aids, dan semua penyakit menular; serta meningkatkan kesadaran perempuan menjaga kelestarian lingkungan.
Jika upaya-upaya tersebut dilakukan secara simultan dengan bekerjasama antara pemerintah dan masyarakat sipil, maka akselerasi pembangunan bangsa dapat segera dicapai. Hal itu pada gilirannya mendorong kemajuan peradaban bangsa seperti diimpikan oleh semua anak bangsa.





DAFTAR PUSTAKA
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, Bentang, Yogyakarta, 1994.
Al-'Aqqad, Abbas Mahmud, Al-Mar'ah fi Al-Qur'an , Dar al-Hilal,  Cairo, 1962.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia.  Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Azis, Asmaeny. Dilema Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen (Suatu Pendekatan Hukum yang persepektif Gender), Yogyakarta : Rangkang Educartion, 2013
Badawi, Jamal, Gender Equity in Islam, American Trust, Indiana, 1995.
Baehr, Peter and Pieter van Dijk dkk. (eds). Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Ferejohn, John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Julia Cleves Mosse, Gender Dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
MacKinnon, Catherine A, Toward a Feminist Theory of The State, Harvard, London, 1991.
Mulia,  Musdah,  Islam Menggugat Poligami, Gramedia, Jakarta, 2004.
-------------------,  Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005.
-------------------, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan,  Bandung, 2005.
-------------------, Islam and Violence Against Women: Promoting Gender Equality in Indonesia, LKAJ, Jakarta, 2006.
-------------------, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yogyakarta, 2007.
-------------------,Konsep Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Jakarta, 2007.
-------------------, Menuju Kemandirian Politik Perempuan, Kibar Press, Yogyakarta, 2008.
-------------------, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, Naufan Pustaka, Yogyakarta, 2010.
-------------------, Membangun Surga di Bumi: Kiat-kiat Membina Keluarga Ideal Dalam Islam, Gramedia, Jakarta, 2011.
An-Naim, Abdullahi, Dekonstruksi Syari`ah (terjemahan), LKiS, Yogyakarta, 1995.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995.
Ruth A. Wallace, Feminism And Sociological Theory, Sage Publications, California, 1989.
Siddiguc, Kaukab, Liberation of Woman in Islam, Thinkers Library, Singapore, 1990.









[1]Musdah Mulia, Indahnya Islam menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Naufan Pustaka, Yogyakarta, 2014, hal.72. Lihat juga Samijati Salaha, Mainstream Gender dan Upaya Pemberdayaan Perempuan di Bidang Hukum, Badan  Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manuasia RI, Jakarta, 2001,  hal. 45.  
[2] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277.
[3] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun  2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419.
[4] Kasus-kasus ketimpangan gender dalam bidang hukum di Indonesia dipaparkan secara  rinci dalam Nursyahbani Katjasungkana dan Mumtahanan, Kasus-Kasus Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan, LBH APIK, Jakarta,  2002.
[5] Lihat Asmaeny Azis, Dilema Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen (Suatu Pendekatan Hukum yang persepektif Gender), Rangkang Educartion, Yogyakarta, 2013. hal 3. 

1 komentar: