Minggu, 26 Februari 2017

Mengapa Perlu Buku Muslimah Reformis?



Motivasi Penulisan Buku
Alih-alih mendapatkan apresiasi, sebuah hasil penelitian berjudul Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) malah dicaci dan dihujat. Jangankan dibaca dan dikomunikasikan secara ilmiah, draft itu justru direspon dengan penuh kemarahan dan kebencian, terutama dari kelompok islamisme, seperti FPI, HTI dan FUI dan semacamnya.

Kehadiran draft itu menggemparkan kalangan penganut Islam yang tekstualis, dan memandang penelitian itu sebagai suatu dosa dan kemaksiatan yang tak terampuni. Menurut kami, mestinya dan seharusnya, kemarahan dan kebencian tersebut dialamatkan kepada para pelaku dosa dan berbagai bentuk kemaksiatan nyata di masyarakat, seperti pelaku perkosaan, pelecehan di ruang-ruang publik, pelaku KDRT, para koruptor, para mafia migas, para rentenir dan para elit yang mengeksploitasi kekayaan negara. Pertanyaan yang selalu muncul, mengapa kemaksiatan yang berlapis-lapis dan bergulung-gulung bagai awan hitam itu tidak menimbulkan kemarahan kalangan agama?

Draft yang disusun tahun 2004 oleh Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama dan melibatkan sejumlah ulama, pakar hukum dan gender, serta para aktivis itu sejatinya adalah sebuah ijtihad kemanusiaan. Ijtihad atau upaya sungguh-sungguh untuk mengkritisi undang-undang perkawinan Islam yang tercakup di dalam Kompilasi Hukum Islam (1991).

Menurut kami, setidaknya ada 14 isu dalam UU Perkawinan tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat dan prinsip demokrasi. Di antaranya, definisi nikah, posisi suami-isteri, kewajiban suami-isteri, poligami, anak di luar nikah, batas minimum usianikah bagi perempuan. Karena itu, kami melakukan ijtihad, pengkajian dan penelusuran pada sumber hukum Islam yang otoritatif dan hasilnya kami tawarkan dalam bentuk draft undang-undang perkawinan baru (CLD KHI).

Tentu tidak semua menolak, ada cukup banyak kalangan yang setuju dan bahkan mengapresiasi CLD KHI. Sayangnya, kebanyakan kelompok ini memilih bersikap diam, tidakberani bersuara.Sikap diam dan membisu terkadang menjadi bencana dalam masyarakat.Sebab, kelompok yang tidak setuju lalu mengambil ruang publik dan menghegemoni pendapat mayoritas.Akibatnya, mayoritas dianggap menolak, walaupun sebetulnya yang menolak hanya segelintir.Meski segelintir, namun sangat vokal bersuara,membuat seolah-olah CLD KHI tidakdidukung mayoritas.
Faktanya, CLD KHI justru menarik bagi kalangan akademik di luar negeri.Tidak lama setelah dirilis, kami mendapat undangan dari Islamic Law Faculty, Harvard University untuk memaparkan hasil temuan tersebut. Selanjutnya, tim kami sibuk melayani permintaan berbagai universitas ternama di Belanda, Austria, Kanada, Perancis, Italia, Australia dan Amerika, serta beberapa negara Islam, seperti Marokko, Malaysia, dan Mesir. Beberapa pasal dari CLD KHI menimbulkan decak kagum para akademisi di negara tersebut. Masyarakat ilmiah memandang CLD KHI sebagai terobosan besar dalam dunia Islam, upaya reformasi hukum keluarga yang menjadi impian komunitas pembaru keagamaan, khususnya kelompok perempuan di seluruh dunia.

Di tanah air sendiri, meskipun ditolak MUI dan Kemenag, CLD KHI tetap didiskusikan dan dibahas di berbagai tempat, termasuk juga di berbagai universitas Islam terkemuka.Sebagai sebuah karya ilmiah danhasil penelitian, sangat naif kalau itu dilarang. Negara sekalipun tidak berhak melarang publikasi sebuah temuan riset yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pembahasan tentang CLD KHI melahirkan puluhan tesis mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, negeri dan swasta, baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan, beberapa dosen mata kuliah hukum menjadikan CLD KHI sebagai salah satu materi perkuliahan di jurusan mereka.

Akhirnya, dari berbagai diskusi disimpulkan, CLD KHI dapat diterima jika masyarakat dibekali pengetahuan yang agak memadai tentang berbagai isu yang dibicarakan di dalamnya.Sebab, umat Islam umumnya hanya mengetahui sedikit sekali tentang ajaran Islam. Terlebih lagi pengetahuan mereka lebih banyak diperoleh secara lisan, bukan melalui penelitian dan penelusuran mendalam terhadap sumber-sumber yang otoritatif.

Sudah bukan rahasia, bahwa pendidikan keagamaan yang diselenggarakan pada sekolah formal mulai dari SD sampai perguruan tinggi, lebih fokus pada hal-hal yang bersifat legal-formal, lebih banyak membahas aspek ritual dan penekanannya hanya pada halal dan haram atau surga dan neraka. Pelajaran agama di sekolah lebih menitikberatkan pada simbol-simbol keagamaan, seperti jilbab, jenggot, celana puntung, baju koko, urusan KTP dan hal-hal yang sangat asesoris lainnya.

Seharusnya, pendidikan agama atau lebih khusus pendidikan keislaman lebih menekankan pada penanaman akhlak karimah atau nilai-nilai agama yang substansial. Di antaranya, nilai-nilai tauhid yang merefleksikan prinsip persamaan manusia, prinsip keadilan, prinsip kemashlahatan dan prinsip kebebasan manusia sebagai makhluk Tuhan yang bertanggungjawab. Upaya internalisasi nilai-nilai keislaman ini akan melahirkan sifat-sifat kejujuran, keadilan, kesetiaan, kebenaran dan keindahan serta sejumlah sifat positif-konstruktif lainnya dalam diri manusia. Dan manusia inilah kelak yang akan membentuk masyarakat beradab yang dalam Qur’an disebut baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. Masyarakat yang beradab dan penuh ridha Allah swt.

Tujuan agama hakikinya adalah memanusiakan manusia, membuat manusia menjadi lebih menghormati dan menghargai sesama, mencintai sesama makhluk, dan menjaga keseimbangan alam semesta.Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk bermartabat. Mari menghargai manusia karena hakikat kemanusiaannya, bukan karena jenis ras, suku, gender, harta, kekuasaan, kecantikan, kegagahan, dan berbagai urusan primordial lainnya.

Dari berbagai diskusi CLD KHI itulah muncul dorongan menyusun buku ini yang kemudian diberi nama Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan. Judul itu mencerminkan keharusan perempuan bangkit melawan hegemoni tafsir yang selama ini dimonopoli kaum lelaki, tafsir yang penuh diwarnai budaya jahiliyah, nilai-nilai patriarki dan nilai-nilai bias gender.

Perempuan harus berani menjadi pembaru keagamaan untuk suatu tujuan yang mulia, mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang ramah terhadap perempuan, ramah terhadap semua makhluk, peduli pada persoalan-persoalan kemanusiaan yang menghimpit kaum minoritas, marjinal dan tertindas yang dalam Al-Qur’an disebut kelompok mustadh’afin.

Secara umum, buku Muslimah Reformis menawarkan 10 isu reformasi keagamaan bagi perempuan.

Pertama, perempuan menghayati Islam sebagai landasan aksi reformasi. Perempuan harus sungguh-sungguh menghayati dengan benar ajaran Islam yang esensial.Inti ajaran Islam adalah tauhid.Tauhid artinya bukan sekedar mengakui keesaan Allah swt, melainkan jauh lebih dalam maknanya.Tauhid mengantarkan kita pada pengakuan bahwa semua manusia adalah setara sebagai ciptaan Tuhan.

Tauhid mengharuskan kita untuk meyakini prinsip keadilan bagi semua manusia.Tauhid juga meyakinkan kita, hanya Tuhan Yang Maha Esa patut disembah, selain-Nyaadalah tuhan-tuhan palsu belaka. Intinya, keyakinan tauhid mengharuskan kita berjuang untuk kebebasan manusia dari budaya jahiliyah, dari sistem tiranik, segala bentuk ketidakadilan, kezaliman, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan atas dasar apapun, termasuk yang mengatasnamakan agama. Berjuang melakukan amar makruf nahy munkar (upaya-upaya transformasi dan humanisasi) demi kemashlahatan umat manusia dan terwujudnya masyarakat yang adil, makmur dan berkeadaban.

Kedua, perempuan sebagai ulama. Apakah ada perempuan sebagai ulama?Jawabnya, sangat banyak, jika ulama diartikan sebagai orang berilmu. Tapi, ulama dalam arti pemimpin dalam bidang keagamaan, maka sangat sedikit perempuan. Karena itu, perempuan harus berani merebut posisi ulama. Mengapa? Karena posisi itu tidak mungkin diberikan begitu saja meski semua syarat untuk menjadi ulama sudah terpenuhi. Kata ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk maskulin dari kata alim, artinya: orang berilmu. Bentuk femininnya, alimat, tidak pernah diperdengarkan secara luas. Tidak heran, jika ulama selalu diidentikkan dengan laki-laki, padahal perempuan yang memahami ilmu agama tidak sedikit jumlahnya.

Ketiga, perempuan melawan kekerasan.Perempuan harus berani melawan kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Untuk konteks Indonesia sangat relevan karena pemerintah telah merativikasi Konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (1984). Ketika buku ini disusun perempuan Indonesia sedang gigih memperjuangkan UU Pencegahan KDRT yang disahkan 14 September 2004. Sayangnya sosialisasi dan implementasi dari UU tersebut sangat lamban sehingga dampaknya tidak banyak dirasakan masyarakat, terutama kaum perempuan yang hampir selalu menjadi korban dalam setiap aksi kekerasan, baik di luar dan terlebih lagi dalam rumah tangga.

Keempat, perempuan pembela hak asasi manusia.Perempuan harus mengerti hak-hak dan kewajiban asasinya sebagai individu, sebagai anggota keluarga, warga masyarakat, dan bahkan sebagai warga dunia.Mengapa perempuan harus berani menjadi pembela HAM? Sebab, secara statistik perempuanlah yang paling banyak menderita, korban pelanggaran HAM, terutama perempuan sebagai buruh, PRT, pekerja migran, PSK, Odha, disabel, perempuan miskin, tidak berpendidikan, orang tua tunggal, lansia, pengungsi, korban bencana alam, korban konflik.

Kelima, perempuan sebagai pemimpin.Perempuan harus berani menjadi pemimpin, terutama dalam bidang politik.Mengapa penting? Sebab, disinilah kebijakan publik yang menyangkut hajat orang banyak dirumuskan. Namun, tidak mudah karena hambatan yang dihadapi perempuan sangat berat, mulai dari hambatan fisik sampai hambatan teologis yang sarat dengan muatan politis. Perempuan harus mampu menawarkan tafsiran baru untuk mengeliminasi semua mitos bahwa perempuan tidak boleh jadi pemimpin, termasuk dalam bidang agama.

Keenam, perempuan sebagai pelaku rekonsiliasi.Sudah umum dibicarakan bahwa setiap ada konflik maka kelompok perempuan dan anak-anak yang paling menderita karena merekalah paling banyak merasakan getirnya hidup akibat konflik. Misalnya, keterbatasan bahan makanan, sulitnya akses air bersih, dan kebutuhan pokok lainnya, sementara perempuan harus merawat dan menjaga kelangsungan hidup anak-anak dan anggota keluarga lain yang frustrasi dan cedera. Karena itu, di banyak pengalaman konflik, perempuan selalu menjadi pionir pelaku rekonsiliasi. Namun, begitu meja perundingan formal digelar, tak satupun perempuan dihadirkan di sana, seolah mereka tidak ada dalam masyarakat.

Ketujuh, perempuan dan kebijakan publik. Perempuan harus mampu mengkritisi kebijakan publik dan berani berjuang untuk mengeliminasi semua bentuk kebijakan publik yang diskriminatif dan merugikan masyarakat luas. Sebab, kebijakan publik harus memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat luas. Jangan biarkan kebijakan publik dibangun untuk kepentingan segelintir orang, kepentingan partai dan kepentingan penguasa, terlebih lagi demi kepentingan pihak asing.

Kedelapan, perempuan peduli hak anak.Perempuan harus menjadi pilar utama bagi upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Anak adalah amanah bagi kedua orang tua dan menjadi tanggung jawab bersama ayah dan ibunya. Jika orang tua tidak mampu, tugas masyarakat dan negara melindungi hak anak. Beruntung karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi internasional tentang Hak-hak Anak (1990).Sebagai orang beragama, kita sering melalaikan hak-hak asasi anak. Kita lupa, bahwa menunaikan hak anak adalah kewajiban agama yang harus dipenuhi sebagai orang beriman.Hak-hak anak yang paling mendasar adalah hak untuk tumbuh kembang, di dalamnya terkait makanan bergizi, kondisi kehidupan yang layak, kesejahteraan dan perlindungan serta pendidikan. Tidak boleh seorang anak mengalami diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dengan alasan apa pun. Namun, prinsip itu belum dielaborasi dalam berbagai undang-undang nasional, seperti UU Perkawinan. Misalnya, masih ada pasal membuat diskriminasi terhadap anak yang lahir di luar nikah.Ini bertentangan dengan prinsip perlindungan hak anak.Untunglah pasal itu sudah direvisi melalui keputusan MK (2013).

Kesembilan, perempuan menawarkan solusi. Perempuan harus mampu merespon berbagai persoalan kontemporer dalam masyarakat yang dinamis dan selalu berkembang, tak terkecuali dalam bidang agama. Misalnya, bagaimana mereformasi distribusi zakat agar para lansia, terutama lansia perempuan juga mendapatkan haknya. Problem haji bagi perempuan hamil. Isu pornografi, HIV/Aids terutama karena dalam kedua kasus ini kebanyakan korbannya adalah perempuan, dan juga tentang rekonstruksi dakwah untuk kepentingan perempuan.

Kesepuluh, agenda gerakan Muslimah dari tafsir ke aksi. Perempuan harus berani melakukan kerja-kerja nyata mengusung tafsir baru yang lebih humanis, pluralis, dan demokratis dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dengan membenahi ormas-ormas perempuan Islam agar mereka tidak hanya berkutat dalam program kerja yang bertujuan semata untuk kepentingan praktis, melainkan lebih fokus pada peran-peran strategis untuk mengubah struktur masyarakat yang timpang dan tidak adil akibat hegemoni budaya jahiliyah, budaya patriarki dan nilai-nilai yang bias gender.

Muslimah reformis adalah Muslimah yang peduli pada penegakan demokrasi, pluralisme, keadilan dan kesetaraan demi membangun masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan (baldatun tahyyibah wa rabbun ghafur).

Muslimah reformis berusaha mendialogkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang menyejarah dengan spirit ajaran Islam yang universal, abadi, inklusif dan berwajah kemanusiaan. Spirit itulah yang ingin digelorakan penulis lewat buku Muslimah Reformis yang sedang dibahas ini. Hanya dengan cara itu peradaban Islam dapat dikembangkan.                     



1 komentar: