Dunia tersentak ketika seorang perempuan bernama Dian Yulia Novi tertangkap
ketika hendak melakukan aksi bom bunuh diri di Indonesia. Dia pernah jadi buruh
migran di Singapura dan ternyata juga isteri Bahrun Naim, pelaku bom Sarinah. Rencananya,
tanggal 11 Desember 2016 dia akan meledakkan Istana Negara dengan bom rice
cooker, lalu tertangkap polisi. Tragedi ini menyibak fakta keterlibatan
sejumlah perempuan Muslim dalam gerakan terorisme di Indonesia.
Agaknya
trend baru dalam aksi terorisme menjadikan perempuan sebagai pelaku. Kalau
sebelumnya aksi-aksi teror berwajah maskulin dan menggunakan pendekatan
patriarkal, belakangan aksi-aksi teror memanfaatkan perempuan sebagai pelaku
dan dengan pendekatan feminin. Meskipun faktanya perempuan adalah pelaku,
hakikinya mereka adalah korban. Korban dari kondisi ketidaktahuan mereka lalu
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki rencana yang sistematik untuk aksi
terorisme.
Sejumlah
faktor ditengarai sebagai penyebab mengapa perempuan terlibat terorisme. Di
antaranya, faktor pergaulan dan pertemanan, perasaan teralienasi dan
terpinggirkan, perasaan frustrasi dan dendam, namun faktor ideologi radikal
menjadi kata kunci ketika mereka sudah berada dalam kelompok teroris. Sejumlah
penelitian mengungkapkan, para perempuan yang direkrut dalam jaringan tersebut
didoktrin setiap saat dengan pandangan keislaman yang radikal. Mereka dijejali
dengan narasi-narasi Islam tertindas, tentang romantisme kejayaan Islam masa
khilafah. Tentang wajibnya mendirikan negara khilafah yang akan membebaskan
mereka dari ketidakadilan dan kemiskinan. Mereka juga didoktrin dengan
kisah-kisah figur perempuan pemberani dalam sejarah Islam. Wajibnya menegakkan
syariat Islam dan pentingnya menghapus demokrasi dan negara Pancasila yang
mereka juluki sebagai thagut (musuh Islam).
Mengapa
perempuan? Seperti dibahas dalam isu feminisme, perempuan adalah kelompok yang
paling diandalkan dalam soal kesetiaan dan kepatuhan. Kelompok yang paling
mudah percaya pada semua hal terkait agama. Perempuan sangat bersahabat dengan
agama meski agama seringkali tidak ramah terhadap mereka. Dan yang paling
meyakinkan adalah perempuan mampu menjadi benteng pertama yang melindungi
keluarga jika terjadi hal-hal tak diinginkan.
Perempuan
seperti apa yang banyak terlibat dalam gerakan terorisme di Indonesia?
Penelitian Yayasan Prasasti Perdamaian mengungkapkan, para perempuan yang
terlibat dalam gerakan radikalisme Islam Indonesia terdiri dari para istri dan
keluarga teroris yang terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia, isteri
dan keluarga para jihadis di Suriah, Lebanon dan Turki. Umumnya suami atau
keluarga mereka adalah anggota Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid, Negara
Islam Indonesia, ISIS, Salafi Jihadis dan organisasi Islam radikal lain.
Menarik
disebutkan, umumnya mereka bukanlah perempuan bodoh dan tidak terdidik.
Kebanyakan mereka lulusan perguruan tinggi, selebihnya lulusan pesantren dan
sekolah menengah atas. Lalu dari aspek ekonomi, mereka tidak selalu dari
kelompok miskin. Umumnya mereka dari kalangan menengah. Profesi mereka pun
beragam: dosen, guru, muballighah, ustazah, dokter gigi, pengusaha, karyawan,
aktivis organisasi, pedagang (kebab,
herbal, busana dan sebagainya), pelayan toko, dan pekerja pabrik.
Motivasi
utama perempuan terlibat dalam gerakan ini adalah bersifat teologis. Mereka
mulanya terpapar pemahaman keislaman yang radikal, misalnya memercayai wajib
hukumnya membunuh orang-orang kafir, (non-Muslim). Mereka meyakini wajib
menegakkan negara Islam dengan melakukan jihad menumpas ketidakadilan.
Perempuan harus ikut berjihad membela Islam dan Muslim yang tertindas.
Sebagian
mereka direkrut melalui pernikahan, suami sendiri yang melakukan upaya
terencana menanamkan ideologi radikal dengan "cuci otak".
Artinya, mereka sengaja dinikahi untuk selanjutnya diajarkan ideologi radikal.
Pernikahan mereka sebagian berlangsung secara normal, namun tidak sedikit
menikah dalam penjara. Sebagian lagi dinikahi belakangan setelah mereka
menerima doktrin radikal tersebut. Tidak sedikit dari mereka mendapatkan
indoktrinasi yang sangat masif dari teman dekat suami atau dari sesama
perempuan yang telah terlebih dahulu aktif dalam jaringan tersebut.
Menarik
diketahui bahwa kebanyakan perempuan yang direkrut dalam gerakan terorisme
adalah buruh migran. Mengapa? Karena umumnya mereka punya uang, mandiri, dan
berani serta yang paling penting mereka sudah biasa ke luar negeri. Mereka pun
pengguna aktif internet dan media sosial. Sebagian mereka terpapar ideologi
radikalisme lewat internet ketika bekerja di luar negeri. Pertemuan mereka
dengan suami dan kelompoknya umumnya lewat sosial media.
Tidak
semua perempuan tahu kalau suami mereka terlibat dalam gerakan terorisme.
Dijumpai pula sebagian isteri merasa sangat kecewa karena dibohongi
suami. “Saya sama sekali tak menduga jika suami punya hubungan dengan kelompok
terorisme. Saya pikir selama ini dia aktif dalam pekerjaannya di kantor,”
demikian jerit seorang isteri teroris.” Dalam upaya kami mengadvokasi mereka,
kelompok isteri seperti ini tidak terlalu sulit disadarkan, dan mudah diajak
kerjasama untuk memutus rantai radikalisme.
Ketika
para suami ditanya soal ketidakterbukaan mereka pada isteri, beberapa jawaban
muncul: “kami sedang mengerjakan tugas rahasia, dan jika memberitahu isteri
berarti bukan rahasia lagi.” Sebagian lagi menjawab dengan mimik yang sinis:
“wahh kalau isteri tahu maka jadi kacau, mulut isteri susah dijaga, biasalah
perempuan.” Sebagian mengatakan: “kami sengaja tidak melibatkan istri agar jika
kami tertangkap, anak-anak dan keluarga tetap ada yang melindungi.”
Tugas
dan peran perempuan dalam gerakan radikalisme cukup beragam dan signifikan. Di
antaranya, mereka berperan sebagai pendidik dan pelatih, agen perubahan, pendakwah
ulung, pencari dan pengumpul dana. Tidak sedikit dari mereka ditugasi untuk
merekrut perempuan-perempuan muda dan potensial dari berbagai kalangan.
Sebagian lagi berperan sebagai pengatur logistik, kurir antar kota, bahkan
antar negara membawa pesan-pesan rahasia. Sebagian lagi berperan sebagai
pengantin (suicide bombers) untuk bom bunuh diri.
Keterlibatan
perempuan dalam gerakan radikalisme menjadikan perempuan sebagai pelaku
aksi-aksi teroris sekaligus juga sebagai korban. Mereka adalah korban ideologi
suami atau keluarga, korban indoktrinasi agama, korban stigmatisasi dari
masyarakat, korban media, dan juga korban dari ekses konflik. Perempuan
lagi-lagi hanyalah korban dari kondisi yang diciptakan oleh kekuasaan
patriarki.
Oleh karena itu, upaya
untuk mengatasinya harus dengan sentuhan-sentuhan kemanusiaan dan memberi
tempat kepada mereka dalam pergaulan sosial arus-utama. Kampanye yang
terus-menerus memojokkan mereka tanpa mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan
hanya akan membuat mereka mati suri. Di balik itu, mereka tetap beroperasi di
bawah tanah untuk menata ulang sel-sel rahasia mereka yang suatu saat
mengobarkan kembali api dan semangat jihad yang seringkali berujung dengan
ledakan terorisme.
Perempuan
bisa menjadi agent of disengagement. Kalau mereka bisa
direkrut menjadi teroris seharusnya lebih mudah mengajak mereka menjadi agen
perdamaian. Diperlukan strategi
yang komprehensif dan pendekatan yang lembut dan manusiawi, namun mengena
kepada mereka yang terlibat gerakan terorisme. Pendekatan yang semata bertumpu
pada kekuatan militeristik dengan prinsip keamanaan harus ditinjau ulang. Hal
paling penting adalah keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk
mengikis akar-akar penyebab terorisme, seperti kesenjangan dan ketidakadilan
sosial yang sudah sedemikian akut di masyarakat. Selain itu, sangat penting bagi semua elemen dalam Islam
mengusung ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai humanis, keadilan,
kesetaraan, toleransi dan perdamaian. Esensi Islam adalah memanusiakan manusia
dan membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Islam seharusnya
menjadi rahmat bagi semua makhluk di alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar