Membaca laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) selama
tiga tahun terakhir terlihat kualitas demokrasi yang masih rendah. Indikasi
paling menonjol, meningkatnya kasus kekerasan di berbagai wilayah Indonesia,
baik dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk tindakan anarkis dan main hakim
sendiri, maupun oleh aparat pemerintah dan penegak hukum berupa tindakan
represif dan otoriter. Akibatnya, demokrasi belum banyak membawa keadilan, kedamaian
dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat seperti dijamin dalam Pancasila dan
Konstitusi Indonesia. Hal itu jelas mengindikasikan adanya kesenjangan
(diskrepansi) antara tuntutan demokrasi berupa nilai-nilai keadaban publik yang
luhur dan perilaku demokrasi yang cenderung tidak beretika sebagaimana
dipertontonkan secara nyata, baik oleh aparat pemerintah maupun masyarakat
luas.
Perilaku kekerasan mencakup makna yang amat luas, di dalamnya ada bentuk
khusus, yaitu kekerasan terhadap perempuan (disingkat KTP). Data kasus KTP di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat
drastis. Jika tahun 2015 ada lebih 600 kasus, maka tahun 2016 tercatat 992
kasus, yang dominan adalah kasus KDRT sebanyak 372 kasus dan kasus kekerasan
dalam pacaran berjumlah 59 kasus (data resmi LBH APIK Jakarta). Sebuah peningkatan jumlah yang signifikan dan mengerikan. Tapi, bagaikan gunung es,
kasus yang terdata hanya sedikit sekali. Itupun bukan data dari lembaga negara,
melainkan dari NGO yang konsen pada isu perempuan. Ketiadaan data membuktikan
betapa negara masih abai, dan belum serius menangani kasus KTP, padahal dalam
berbagai dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa, KTP dinyatakan sebagai kejahatan
HAM yang sistemik dan berdampak luas.
Bentuk KTP secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori: kekerasan di ranah domestik (di dalam rumah tangga) dan kekerasan di
ranah publik (di luar rumah tangga). KDRT dapat pula dibagi ke dalam empat
jenis: penganiayaan fisik, seperti tamparan, pukulan, tendangan; penganiayaan
psikis, seperti ancaman, hinaan, cemoohan; dan penganiayaan seksual dalam
bentuk pemaksaan hubungan seksual, baik dalam pernikahan maupun di luar
pernikahan. Jenis keempat adalah pengabaian kewajiban memberi nafkah material
kepada isteri atau mengontrol uang belanja.
KDRT merupakan masalah yang sangat kompleks, dan jumlah
kasusnya amatlah besar. Tapi, karena kejahatan ini terjadi di dalam rumah
tangga sehingga seringkali sulit dipantau dan kemudian terabaikan. Yang lebih
menyedihkan, ada anggapan bahwa KDRT hanyalah urusan internal keluarga, dan
merupakan aib jika dibicarakan dengan orang luar. Akibatnya, KDRT menjadi
sesuatu yang dipandang lumrah di masyarakat. Merespon anggapan sesat ini, dalam
Konferensi Internasional di Wina muncul semboyan “the personal is political.”
Persoalan pribadi sekali pun kalau membawa bahaya bagi orang banyak, harus
dibawa ke ruang publik. Tujuannya, menghindarkan orang lain mengalami bahaya
dan penderitaan serupa.
Menarik untuk dicermati, pelaku KTP dari 992 kasus yang
disebutkan di awal, ternyata bukan orang biasa, melainkan terdapat juga
aparatur negara yang seharusnya berkewajiban melindungi masyarakat. Terdapat 14
kasus yang pelakunya aparatur negara:
TNI dan Polri, serta pejabat dari institusi lain. Bentuk KTP yang
dilakukan aparatur negara cukup beragam, seperti ingkar janji, perkosaan,
penelantaran ekonomi, perselingkuhan, dan penganiayaan fisik. Fatalnya, proses hukum
ke-14 kasus tersebut berjalan sangat lambat, ada banyak faktor
berkelindan di dalamnya, seperti kurangnya sensitifitas gender dalam proses penyidikan, selain masalah birokrasi yang berbelit-belit.
Problem lain yang dihadapi, minimnya rujukan hukum bagi
kasus KTP ini. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur dua jenis
kekerasan seksual terhadap perempuan yang masuk ranah tindak pidana yaitu
perkosaan dan pencabulan, padahal ada begitu banyak jenis KTP. Betul, sudah ada
UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, dan UU Traffiking namun implementasinya
masih berjalan tertatih-tatih. Bahkan, sebagian Aparat Penegak Hukum (APH)
belum tahu keberadaan undang-undang tersebut, apalagi implementasinya.
Selain terkait materi hukum, juga problem terkait struktur hukum dan budaya
hukum masih sangat kuat. Tidak jarang korban harus berhadapan dengan aparatur
yang sinis, tidak ramah dan cenderung membela pelaku serta menyalahkan korban. Tambahan pula,
budaya hukum patriarkal yang masih kental, membuat korban enggan dan sangat
malu untuk melapor. Alih-alih mereka dilindungi dan diperlakukan sebagai korban
yang memerlukan welas asih dan dukungan, malah mereka mendapat cemoohan, serta
stigma sebagai perempuan nakal dan tidak taat aturan.
Begitu pula proses penyidikan dalam kasus kekerasan seksual seperti
perkosaan dan pelecehan seksual. Laporan korban cenderung tidak
dipercayai bahkan seringkali penyidik mencurigai dan menyalahkan korban. Lebih
parah lagi, korban justru dipersalahkan sebagai pemicu kekerasan. Akibatnya,
dalam berbagai kasus kejahatan perkosaan, penyidik dan juga publik masih cenderung
menganggap perkosaan sebagi bentuk hubungan wajar atas dasar suka sama suka.
Ini sangat mengerikan!
Hari
Perempuan Se-dunia (International Women’s Day) 2017
Kesimpulannya, sangat perlu membangun sistem hukum yang adil (fair trial) sehingga siapa pun yang
menjadi korban kekerasan akan terpenuhi haknya
memperoleh proses peradilan yang adil. Sebaliknya, siapa pun pelaku
kekerasan terhadap perempuan akan diperlakukan sama di hadapan hukum, (equality before the law). Bukankah
keadilan sosial merupakan tujuan utama dari Pancasila, landasan pijak kita
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Akhirnya, dalam rangka memperingati Hari
Perempuan Se-dunia (International Women’s Day) tanggal 8 Maret, kami kelompok
perempuan yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Korban Kekerasan Terhadap
Perempuan memilih tema sentral, “Akhiri Kekerasan Sekarang Juga!” Perempuan
Indonesia, sebagai warga negara penuh dan sebagai manusia seutuhnya berhak
hidup damai dan sejahtera, tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun agar mereka
dapat menyumbangkan partisipasi dan kontribusinya yang positif dan konstruktif
secara optimal dalam seluruh bidang pembangunan bangsa. Selamat Hari Perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar