Masih pentingkah kita beragama? Pertanyaan yang seringkali mengusik akhir-akhir ini seiring dengan maraknya
berbagai bentuk tindak kekerasan, korupsi dan perilaku biadab di masyarakat. Kondisi
demikian itu jika tidak diselesaikan secara tuntas, akan membawa kepada kehancuran nilai-nilai kemanusiaan dan punahnya peradaban manusia.
Akan tetapi, saya begitu yakin bahwa dari perspektif mana pun kita melihat,
agama masih sangat penting dan tetap diperlukan, terutama
di dalam membangun masyarakat yang humanis, damai dan bahagia. Karena itu,
menurut saya, pertanyaan yang relevan
adalah bagaimana menjadikan agama sebagai alat yang dapat memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia artinya agama mampu membawa manusia
menjadi lebih berbudaya dan beradab, mampu menjadikan manusia hidup lebih
sejahtera, lebih damai dan tentunya lebih bahagia.
Dengan ungkapan lain,
bagaimana menyosialisasikan ajaran agama yang apresiatif terhadap
nilai-nilai kemanusiaan sehingga agama
dirasakan manfaatnya bagi semua umat manusia, tanpa kecuali. Bahkan Al-Qur’an
secara gamblang menegaskan, Islam harus memberikan manfaat bukan hanya kepada
manusia, melainkan juga kepada semua makhluk di alam semesta.
Setiap agama menjanjikan kemaslahatan bagi manusia.
Setiap penganut agama meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan yang merupakan sumber
ajaran agama adalah Tuhan Yang Maha Sempurna, Tuhan yang tidak membutuhkan pengabdian manusia.
Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi
kesempurnaan-Nya.
Tuhan diyakini
sebagai sang Maha segalanya sehingga
rahmat-Nya pasti menyentuh seluruh makhlukNya. Sedemikian agungnya Tuhan
sehingga manusia tetap diberi kebebasan memilih secara
bebas: menerima atau menolak petunjuk agama. Untuk itu, Tuhan menuntut
ketulusan beragama hamba-Nya dan tidak membenarkan paksaan dalam bentuk apa pun, baik nyata
maupun terselubung.
Agama memberikan tuntunan kepada manusia agar mengerjakan
perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan manusia itu
sendiri. Jadi agama sepenuhnya untuk kemashlahatan manusia, bukan
untuk kepentingan Tuhan. Sangat disayangkan
misi agama yang amat suci dan luhur itu seringkali tidak terimplementasi dengan
baik dalam kehidupan beragama penganutnya. Akibatnya, berbagai bentuk pengabaian hak-hak asasi manusia, baik
dilakukan oleh individu maupun negara. Belum lagi sejumlah tindakan eksploitasi, korupsi, kekerasan dan
diskriminasi, khususnya berbasis gender begitu kasat
mata dalam kehidupan masyarakat, fatalnya lagi tidak sedikit yang dilakukan atas nama agama.
Agama mengajarkan kepada pemeluknya tentang keharusan
menghormati sesama manusia, siapa pun dia, serta pentingnya hidup damai dan harmonis di antara
sesama. Jika demikian halnya, segala bentuk pengabaian hak-hak asasi manusia, konflik, kekerasan, dan teror yang mengatasnamakan agama
hendaknya diyakini sebagai bentuk ketidakmampuan manusia memahami ajaran agama dengan benar secara utuh.
Semangat keberagamaan yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman yang
dalam dari dimensi esoterik agama, inilah yang seringkali menimbulkan sikap tidak peduli, intoleran dan fanatik sempit yang
melahirkan fundamentalisme.
Saya yakin semua agama memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus;
aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal merupakan ajaran yang berisi
seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horisontal berisi
seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga
hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Sayangnya, aspek horisontal agama ini tidak
terealisasikan dengan baik dalam kehidupan manusia, khususnya dalam interaksi sesama manusia. Akibatnya, dimensi kemanusiaan yang merupakan refleksi
aspek horisontal agama kurang mendapat perhatian di kalangan umat beragama. Tidak heran jika keberagamaan manusia tidak menjadikan
mereka menjadi lebih manusiawi atau lebih peka dan empati kepada sesama,
khususnya terhadap kelompok rentan dan marjinal, kelompok disabilitas, para
lansia, anak-anak terlantar, penderita HIV/Aids, kelompok miskin dan mereka
yang mengalami ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi.
Komitmen keagamaan seseorang seharusnya terbangun sejak
dari keluarga atau lingkungan
rumah tangga. Adapun lingkungan sekolah dan masyarakat pada prinsipnya hanyalah
menunjang komitmen keagamaan yang sudah terbentuk di dalam keluarga. Namun, anehnya dewasa ini banyak keluarga yang menyerahkan
pembinaan keagamaan anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah dan institusi lain di masyarakat.
Artinya, semakin banyak keluarga yang sepenuhnya menyerahkan pendidikan
keagamaan anak-anak mereka kepada lembaga-lembaga di luar keluarga. Hal ini sangat disayangkan mengingat pembinaan mental keagamaan seorang anak hendaknya
dimulai sejak usia dini di dalam kehidupan keluarga. Persoalannya, para orang
tua itu sendiri seringkali tidak menyelami hakikat ajaran agama yang mereka
anut, lalu bagaimana mungkin mereka dapat menanamkan nilai-nilai moral agama dan mensosialisasikannya kepada anak-anak mereka.
Di sinilah letak pentingnya pendidikan parenting
bagi para calon otang tua. Para calon suami dan isteri hendaknya membekali diri
dengan pengetahuan dasar nilai-nilai keagamaan universal yang kelak akan
ditanamkan dalam diri anak sejak dalam kandungan. Pendidikan agama yang utama
adalah berupa internalisasi nilai-nilai universal tersebut ke dalam jiwa anak
sejak dini.
Nilai–nilai dimaksud antara lain berupa nilai kejujuran,
keadilan, kesetaraan, kebersihan, kedamaian, kepedulian, kesederhanaan,
dan kebersamaan. Pendidikan nilai inilah
yang diharapkan dapat mewujudkan manusia yang memiliki karakter mulia atau akhlak
karimah dan itulah esensi agama. Tidak salah jika Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya
aku diutus semata untuk menyempurnakan akhlak karimah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar