“Saya sekali lagi ingin menekankan
pentingnya dialog dan kerja sama di antara kaum beriman, terutama Kristen dan
Muslim.” Itu ucapan Paus Fransiskus yang disampaikan kepada kaum
Muslim menjelang perayaan Idul Fitri tahun 2013, hanya beberapa bulan setelah
dipilih sebagai pemimpin Gereja Katolik.
Seorang pemangku otoritas
tertinggi agama Katolik menyapa umat Muslim dengan sebutan kaum beriman tentu
punya makna penting, apalagi dilihat dari sejarah hubungan Muslim-Kristen yang
kompleks. Pasca Konsili Vatikan II (1962-1965), sikap Gereja Katolik (dan juga
Protestan) terhadap Islam memang mengalami perubahan signifikan.
Dalam dokumen Nostra Aetate, yang
merupakan deklarasi hubungan Gereja dengan agama-agama lain, disebutkan secara eksplisit
“Gereja
juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan
berdaulat, penuh belas kasih dan maha kuasa, Pencipta langit dan bumi.”
Pantaskah kita, kaum Muslim,
masih terus menyebut umat Kristiani sebagai orang kafir? Saya seringkali
mendengar orang-orang bilang, “Ya, nggak apa-apa kita sebut mereka
kafir, wong orang Kristen juga sebut kita kafir.”
Bagaimana reaksi mereka setelah
tahu bahwa Paus Fransiskus menyebutkan umat Muslim sebagai kaum beriman?
Mungkin mereka akan berdalih, soalnya bukan pantas atau tidak pantas, tapi
bagaimana agama kita mengajarkan cara bersikap terhadap umat agama lain.
Mari kita diskusikan, walaupun
serba singkat, bagaimana sikap Islam terhadap kaum Kristiani dari dua aspek:
Apa yang dikatakan Kitab Suci dan apa yang terjadi dalam sejarah.
Siapa Orang Kafir?
Tentu saja kata “kafir”
dan berbagai derivasinya muncul banyak sekali dalam al-Qur’an,
dan para ulama berdebat tentang identitas siapa orang-orang kafir itu. Almarhum
Cak Nur (Nurcholish Madjid) sering merujuk pada surat al-Bayyinah ayat 1: “Orang-orang
kafir di antara ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan
(keyakinannya) hingga datang kepada mereka bukti yang nyata.”
Ini untuk menunjukkan bahwa ahlul kitab tidak bisa diidentikkan dengan
orang-orang kafir.
Menurut Cak Nur, kata “di
antara ahlul kitab” mengisyaratkan “hanya sebagian,” bukan seluruh
ahlul kitab.
Saya ingin lebih jauh menafsirkan
sebuah surat dalam al-Qur’an yang jelas-jelas menggunakan kata
itu, yakni surat al-Kafirun. Saya akan ajukan dua model tafsir, yang satu
berdasar pada temuan mutakhir atas naskah-naskah al-Qur’an kuno, dan
yang kedua pada metode tafsir klasik menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Model tafsir pertama boleh jadi
akan memunculkan kontroversi karena dianggap “mengutak-atik” teks al-Qur’an
yang sudah diterima luas. Tapi kita harus tahu, kanonisasi teks al-Qur’an
menjadi mushaf seperti kita lihat sekarang melalui proses editing yang panjang.
Ortografi teks al-Qur’an
awalnya tidak disertai harkat atau diakritik dan bacaan panjang biasanya tidak
ditandai dengan alif. Belakangan muncul penelitian serius yang khusus menelisik
naskah-naskah al-Qur’an kuno, seperti dilakukan oleh François
Déroche,
Keith Small, dan Gerd-R Puin.
Sarjana yang disebut terakhir
secara lebih khusus meneliti pembubuhan alif ke dalam teks al-Qur’an
kuno, dan tafsir saya ini pun didasarkan pada temuannya. Sebenarnya apa yang
dilakukan Puin juga bukan skandal. Ulama-ulama Muslim mengakui, sejumlah alif
ditambahkan ke dalam al-Qur’an.
Nah, bagaimana kita membaca surat
al-Kafirun? Salah satu problem dalam surat ini ialah pesannya yang tidak
sinkron. Ayat terakhir “lakum dīnukum wa-liya dīn”
(bagimu agamamu dan bagiku agamaku) acapkali dikutip sebagai dalil toleransi
dalam al-Qur’an. Padahal, lima ayat sebelumnya bersifat eksklusif karena
menafikan Tuhan orang-orang kafir. Bunyi dua ayat pertama, “Wahai
orang-orang kafir, saya tidak menyembah apa yang kalian sembah.”
Untuk menyinkronkan pesan
toleransi surat ini, maka kata “tidak”, yakni lā (dengan alif) yang dibaca panjang perlu
dibaca pendek sebagai bentuk penegasan. Dalam ilmu tata-bahasa Arab (nahw), ini
dikenal dengan lām al-taukīd, yaitu lām yang dibaca pendek, karena alif baru
ditambahkan belakangan.
Jika alif dihilangkan dari kata “lā”
(tidak), maka surat al-Kafirun dapat diterjemahkan begini:
(1) Katakanlah: “Hai
orang-orang yang kafir
(2) sebenarnya aku menyembah apa
yang kamu sembah.
(3) Dan kamu juga penyembah apa
yang aku sembah.
(4) Dan aku penyembah apa yang
kamu sembah.
(5) Dan kamu pun penyembah apa
yang aku sembah.
(6) (Kendatipun demikian) untukmu
agamamu dan untukku agamaku.”
Itulah toleransi yang sejati:
Walaupun kita sebenarnya menyembah Tuhan yang sama, silakan Anda mengimani
agama Anda, dan aku mengimani agamaku.
Jika tafsir model ini tidak
memuaskan Anda, mari tafsirkan surat al-Kafirun dari perspektif “tafsir
al-Quran dengan al-Qur’an.” Logika sederhana surat di atas ialah,
bahwa Tuhan orang-orang kafir berbeda dari Tuhannya kaum Muslim. Lalu, apa yang
dikatakan al-Qur’an tentang Tuhannya kaum Kristiani?
Memang, al-Qur’an
mengkritik beberapa aspek dari keyakinan teologis Kristen, terutama konsep
Trinitas dan ketuhanan Yesus. Ini persoalan cukup kompleks yang perlu
didiskusikan tersendiri. Namun, kendati mengkritik, al-Qur’an
mengafirmasi secara eksplisit bahwa kaum Muslim dan Kristiani percaya dan
menyembah Tuhan yang sama.
Kita bisa simak surat al-Ankabut
ayat 46 yang memerintahkan pengikut al-Qur’an untuk tidak mendebat ahlul kitab
kecuali dengan cara yang baik, dan diperintahkan untuk mengatakan “Tuhan
kami dan Tuhan kalian adalah satu.” Al-Qur’an juga menegaskan, nama Allah yang
disebut di masjid, gereja, synagog atau biara ialah Allah yang sama (Q.22:40).
Dengan demikian, ahlul kitab
(termasuk Kristen) tidak bisa dikatakan kafir karena mereka mengimani dan
menyembah Tuhan yang sama. Karena itu, surat al-Kafirun tidak terkait dengan
umat Kristiani karena yang menjadi audiens surat itu ialah mereka yang
menyembahkan Tuhan yang berbeda dari Tuhannya kaum Muslim.
Sebagian mufasir menelusuri asbab
al-nuzul surat itu terkait orang-orang musyrik. Walaupun saya skeptik dengan
historitas asbab al-nuzul, jika benar itu justeru mendukung tafsir yang tidak
mengasosiasikan umat Kristiani dengan kekafiran.
Iklim Polemik
Sejak kapan umat Kristiani
disebut kafir? Penyebutan mereka sebagai kafir merupakan produk sejarah, lebih
khusus lagi, terkait proses konsolidasi identitas ke-Muslim-an dalam iklim
polemik. Memang sejarah Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah cenderung
menggambarkan Islam sebagai agama yang sudah sempurna seperti kita lihat saat
ini sejak zaman Nabi. Jadi, sejak awal hanya ada dua kategori: Muslim dan
kafir.
Dalam buku Kontroversi Islam
Awal, saya sudah jelaskan proses gradual Islam menjadi agama yang kita saksikan
sekarang. Sebenarnya proses kristalisasinya berlangsung lebih perlahan dari
yang kita asumsikan. Di zaman Nabi dan beberapa dekade setelahnya, pengikut
al-Qur’an dan penganut agama lain seperti Yahudi dan Kristen berada
di bawah tenda besar, yang disebut kaum beriman. Fred Donner menjelaskan
fenomena ini cukup bagus dalam Muhammad dan Umat Beriman (2015).
Ketika perlahan para pengikut
al-Qur’an dan Nabi memisahkan diri dari komunitas beriman itu, maka
proses konsolidasi identitas ke-Muslim-an melibatkan eksklusi umat agama lain,
termasuk Kristen. Maka, konstruksi dikotomis antara “menjadi Muslim”
dan “menjadi kafir” mulai diperkenalkan.
Iklim polemik dari proses
pembentukan identitas ke-Muslim-an ini dapat dibaca bukan hanya dari
sumber-sumber Muslim, tapi juga non-Muslim. Iklim polemik yang dimaksud di sini
ialah situasi di mana beragam agama berupaya menonjolkan superioritas
masing-masing, sehingga berkecamuk polemik.
Seorang teolog Kristen awal yang
lama bekerja di bawah pemerintahan khilafah Umayyah di Suriah, Yuhanna
al-Dimasqi (675-753), menulis deskripsi polemis tentang Islam sebagai agama
sempalan dari Kristen. Dia menggambarkan Nabi Muhammad diajari oleh seorang
biarawan Kristen, tapi kemudian membentuk agama sempalan (heresy) sendiri.
Bisa kita bayangkan, dalam iklim
polemik semacam itu para pengikut Nabi tentu bereaksi dengan mengatakan bahwa
Islam adalah agama wahyu yang dibawa Muhammad untuk menyempurnakan agama-agama
sebelumnya. Nabi tidak diajari penganut agama lain. Justeru mereka yang menolak
ajaran Islam adalah orang-orang kafir (infidels). Kategori kafir yang semula
hanya dikaitkan dengan kaum musyrik mulai diperluas cakupannya.
Maka, dalam karya-karya ulama
belakangan kaum kafir dikelompokkan dalam sedikitnya tiga kategori: musyrik,
ahlul kitab dan semi-ahlul kitab. Bahkan, ada yang membedakan antara musyrik
Arab dan non-Arab. Masing-masing kategori ini memiliki implikasi hukumnya
sendiri. Di sini terlihat betapa pengkategorian ahlul kitab sebagai kafir
merupakan produk sejarah, sebuah kebutuhan di tengah proses formasi dan
konsolidasi identitas keagamaan untuk membedakan satu sama lain.
Pernyataan polemis seperti
dikemukakan tokoh Kristen Juhanna al-Dimasqi sekarang tidak lagi menjadi
kebijakan Gereja. Sejak Vatikan II semangat ekuminisme mewarnai hubungan
Muslim-Kristen seperti terlihat dalam pesan Idul Fitri Paus Fransiskus. Dalam
Lumen Gentium, konstitusi dogma gereja yang juga dihasilkan Konsili Vatikan,
disebutkan “Rencana Tuhan untuk keselamatan juga meliputi mereka yang
mengakui sang Pencipta, terutama kaum Muslim.”
Kini saatnya umat Muslim juga
melakukan refleksi teologis serius bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan
sesama kaum beriman, terutama umat Kristiani.
http://geotimes.co.id/umat-kristiani-itu-kaum-beriman-bukan-kafir/#gs.9jqnBRE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar