Rabu, 22 Februari 2017

Islam dan Pencegahan Radikalisme




Pendahuluan
Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gerakan radikalisme dalam semua agama, tak terkecuali Islam, yang melahirkan militansi dan aksi-aksi terorisme bukan sekadar masalah ideologis, tetapi merupakan gejala modern yang sangat kompleks. Radikalisme terkait erat dengan sejarah, dinamika politik, pergeseran geostrategis, serta masalah sosial-ekonomi dan politik akibat proses modernisasi dan globalisasi.

Karena itu, wacana jihad yang kerap didengungkan gerakan-gerakan radikalisme Islam hendaknya tidak dibaca sebagai ekspresi fanatisme keagamaan belaka. Selain itu, jangan pula hanya dikaitkan secara eksklusif dengan aksi-aksi irasional yang dipicu oleh fanatisme terhadap doktrin-doktrin Islam. Sebab, jihad merupakan bahasa protes yang bisa digunakan oleh siapa saja, terutama oleh mereka yang merasa terpinggirkan dalam arus deras modernisasi dan globalisasi. Tujuannya, tiada lain demi membangun identitas  dan tawar-menawar posisi di ruang publik.

Dari islamisme ke radikalisme
Sejarah Islam yang panjang mengajarkan bahwa radikalisme selalu berawal dari Islamisme. Islamisme adalah gerakan yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik, bukan sekedar ajaran agama. Dalam pengertian ini, islamisme tidak dapat dijelaskan hanya dengan membuka lembaran sejarah dunia Islam sejak 14 abad silam, atau dipersepsikan sebagai kelanjutan belaka dari konflik yang terjadi di masa-masa awal sejarah Islam.

Islamisme juga tidak bisa dikonseptualisasikan sekadar impuls fanatisme keagamaan, hasrat yang digerakkan oleh keinginan kuat untuk meraih surga, misalnya. Islamisme dalam banyak hal merupakan rupture, titik persimpangan penting dalam rentang panjang sejarah yang berkaitan erat dengan gejala perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menghampiri berbagai belahan dunia Islam. Manifestasinya kerap merupakan cermin persinggungan antara dinamika sosial-ekonomi dan politik yang berlangsung pada tataran global dan konteks sosial politik di tingkat lokal.

Letupan islamisme mulai memperlihatkan pengaruh pada permulaan abad ke-20, seiring dengan ekspansi format negara-bangsa modern yang menggantikan sistem kekhalifahan, keamiran, dan bentuk-bentuk pemerintahan feodal lain berbasis kekeluargaan dan kesukuan. Sebagai akibat penerapan sistem negara-bangsa, elite politik baru dan kelas sosial ekonomi pendukung mereka muncul menggeser dominasi kaum status-quo.

Bermula pada tahun 1930-an, Hasan al-Banna (1906-1949), pendiri Ikhwan al-Muslimin di Mesir, dan Abdul Ala Maududi (1903-1978) di Pakistan, pencetus partai Jama’at-i Islami di Pakistan. Keduanya memperkenalkan gerakan pemikiran yang berusaha mendefinisikan Islam sebagai ideologi politik berhadapan dengan ideologi-ideologi politik besar lainnya pada abad ke-20. Gagasan mereka berkembang dan menggelinding seiring perubahan waktu dan konteks dengan beberapa penyesuaian ataupun modifikasi.

Kedua ideolog tersebut melegitimasi visi baru mereka dengan merujuk pada dua model gerakan. Pertama, gerakan purifikasi (Salafisme) yang sebelumnya diperkenalkan oleh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792), belakangan lebih dikenal sebagai Wahabisme. Kedua, gerakan modernisasi yang digagas para pembaharu Mesir, seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-1898), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rashid Rida (1865-1935).

Keduanya, kelompok Salafi dan Wahabi  berfokus pada tema kembali pada teks-teks Quran dan Hadith serta inspirasi umat Islam generasi awal serta pemurnian Islam dari syirik, bid’ah, dan semua bentuk thagut. Sementara kelompok modernis mendorong diterimanya rasionalitas dan kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat yang diklaim sebagai bagian inheren dari Islam yang murni. Perlu dicatat, gerakan tersebut bergelora di tengah tekanan kuat gelombang kolonialisasi yang melahirkan sentiment-sentimen anti (dominasi) Barat sekaligus obsesi akan kebangkitan kembali umat Islam dan sistem kekhalifahan (pan-islamisme) yang pernah jaya berabad-abad.

Dalam merespon kolonialisme, Ikhwan al-Muslimin dan Jama’at-i Islami meratapi kemunduran dan keterbelakangan dunia Islam sambil bekerja keras menyerukan revitalisasi dan solidaritas umat. Keduanya menekankan bahwa kemunduran umat Islam tidak lain disebabkan oleh lemahnya solidaritas dan persaudaraan di antara mereka serta lunturnya kesadaran akan nilai-nilai moral dan keagamaan. Baik Ikhwan al-Muslimin maupun Jama’at-i Islami mengalami pasang-surut, mendayung di antara arus represi dan akomodasi pihak penguasa. Bagi mereka, mengambil dan merebut kontrol negara akan melapangkan jalan bagi penyebaran Islam dalam masyarakat yang telah ternoda nilai-nilai Barat.

Dinamika sejarah dan munculnya gerakan Radikalisme di dunia Islam yang merupakan anak sah islamisme sebenarnya pekat dengan nuansa power struggle. Dalam banyak hal ia merupakan protes politik yang dibalut dengan simbol-simbol dan wacana keagamaan. Di tengah dominasi sistem politik sekuler gaya-Barat, islamisme mendorong Islam masuk kedalam lingkar kekuasaan negara. Jualan mereka adalah Islam merupakan nizham. Artinya, sebuah sistem yang paripurna, mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, perekonomian, dan tata hubungan internasional. Sejak itu slogan Islam is the solution mulai bergema lantang di berbagai belahan dunia Islam. Slogan serupa telah lama diteriakkan kalangan fundamentalisme Kristen di Amerika, yaitu Jesus is the solution.

Akan tetapi, islamisme bukanlah cerita tentang keberhasilan. Ia lebih merupakan episode-episode kegagalan yang kerap berakhir dengan fragmentasi atau kelumpuhan akibat represi brutal yang dilancarkan negara. Menariknya, gerakan ini tidak pernah padam. Api semangatnya tetap menyala. Ia senantiasa berayun di antara dua titik pendulum; upaya islamisasi dari bawah melalui dakwah dan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan dan islamisasi dari atas yang mengambil wujud jihad revolusioner untuk menggulingkan rezim berkuasa. Pilihan taktik dan strategi biasanya ditentukan oleh kesempatan politik dan struktur mobilisasi yang menopangnya.

Para aktor gerakan islamis biasanya memiliki kesempatan lebih banyak dalam menggelar mobilisasi dan mengancam rezim berkuasa bila negara sedang lemah dan dililit konflik kepentingan. Keadaan semacam inilah yang menjelaskan keberhasilan tokoh-tokoh Islam garis keras semisal Rizieq Shihab, Ja’far Umar Thalib, dan Abu bakar Ba’asyir, dalam mendirikan dan mengelola kelompok militan yang menuntut penerapan syariah di Indonesia. Demikian pula dalam berbagai aksi brutal merazia cafĂ©, diskotik dan tempat-tempat hiburan lainnya, bahkan menggelar aksi jihad di beberapa kawasan konflik pasca kejatuhan Suharto 1998. Mereka mewujud dalam beberapa organisasi Islam, seperti Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan Laskar Mujahidin Indonesia dan lainnya.



Jika dirunut ke belakang, munculnya kelompok-kelompok militan Islam pasca orde Baru sebenarnya berakar sejak lama. Benih-benih islamisme di Indonesia mengembang di dalam karut-marut ketegangan Islam dan negara sejak awal kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, negara dan pemerintah tidak secara serius mengelola ketegangan yang sudah terlanjur mengkristal. Alih-alih mengurai ketegangan, berbagai kebijakan Orde Baru malah mempersubur kehadiran kelompok tersebut. Misalnya, kebijakan restriksi Orde baru terhadap aktivisme kampus lewat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan menciptakan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang kemudian diperkuat dengan penerapan “asas tunggal” turut memberi andil bagi perkembangan dakwah gerakan Islamis di kampus. Puncaknya, pasca revolusi Iran 1979 yang juga mendorong popularitas Ayatollah Khomeini, Murtada Mutahhari, dan Ali Shariati di kalangan mahasiswa. Sementara itu, Saudi Arabia berusaha sekuat tenaga menahan laju pengaruh Iran di tanah air dengan mengintensifkan penyebaran Wahabisme yang sangat anti-Syi’ah.

Dalam konteks ini, Saudi memberikan bantuan keuangan kepada organisasi keislaman untuk membangun masjid dan mendirikan lembaga pendidikan. Saudi sendiri mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) di Jakarta pada 1980. Lembaga itu menjadi centre of excellence pengembangan dakwah Wahabi yang didompleng gerakan-gerakan lainnya. Situasi ini menyediakan lahan subur bagi ekspansi berbagai gerakan Islam transnasional, termasuk Ikhwan al-Muslimin, Hizbut-Tahrir, dan Salafi.

Sejak itu, kita di Indonesia menyaksikan munculnya pemuda-pemuda berjenggot (lihyah) dengan jubah (jalabiyyah), serban (imamah) dan celana tanggung di atas mata kaki (isbal), maupun perempuan-perempuan dengan baju lebar hitam (gamis) dan penutup muka (niqab). Selain secara eksplisit menyebut diri “Salafi”, mereka memperkenalkan varian Islam yang sangat “kaku” (rigid). Fokus dakwah mereka terletak pada upaya pemurnian tauhid dan praktik keagamaan eksklusif yang diklaim sebagai satu-satunya jalan yang benar mengikuti jejak keteladanan Salaf al-Salih, generasi awal muslim. Berdasarkan klaim tersebut, mereka lalu tidak segan menuduh kelompok Islam lain sebagai kafir, murtad dan sesat. Bahkan, mereka juga menilai sistem politik Indonesia yang berbasis Pancasila sebagai sistem thagut. Artinya, sistem yang berasal dari luar Islam.   

Masalah-masalah yang tampak sederhana, seperti jalabiyyah, imamah, lihyah, isbal, gamis dan niqab atau hijab, menjadi tema utama yang selalu muncul dalam wacana keseharian mereka. Awalnya, mereka menolak segala bentuk aktivisme politik (hizbiyyah) yang dipandang sebagai bid’ah, dan dengan demikian mereka bercorak “kesunyian apolitis”. Dengan mengibarkan bendera gerakan dakwah Salafi, mereka berupaya menarik garis pemisah tegas dari masyarakat dengan cara mengelompokkan diri secara eksklusif dalam ikatan-ikatan komunalitas menyerupai “daerah kantong” (enclave).


Kelompok islamis yang awalnya “apolitis” tersebut dalam perkembangan berikutnya menjadi kelompok sosial yang berada dalam “situasi perang” dengan kelompok lain di luar mereka. Konsekuensinya, mereka secara intens menciptakan in group love berbasis solidaritas, rasa cinta dan senasib-sepenanggungan atau di kalangan mereka dikenal sebagai al-wala. Bersamaan dengan itu, mereka pun melahirkan out group hate (kebencian dan rasa permusuhan yang dikenal sebagai al-barra terhadap orang-orang di luar kelompok). Berbagai sentimen yang secara fungsional saling berkaitan sengaja dipelihara karena penting bagi keberlangsungan mereka. Tidak heran jika kelompok ini kemudian mendapatkan label radikalisme, ekstrimisme atau fundamentalisme.

Melalui kategorisasi sosial, individu-individu dan kelompok radikalisme membagi dunia sosial dalam dua kategori yang bertolak-belakang. Mereka membangun in group-positivity dengan mengidealkan diri dan kelompok mereka. Pada tahap selanjutnya, mereka membentuk intergroup comparison dengan membandingkan betapa beruntungnya mereka dibanding orang-orang yang bukan bagian dari kelompok mereka. Dengan cara itu, mereka membangun out group hostility, kebencian terhadap orang-orang yang hidup di luar kelompok mereka.

Sambil menawarkan syari’ah sebagai alternatif dan solusi terhadap krisis, serta cetak biru bagi penciptaan masyarakat adil dan makmur, kaum ekstrimis membangun budaya kantong yang terpisah dari masyarakat sekitar. Dengan cara demikian, kontrol atas ruang sosial kembali diperoleh, sekalipun dengan cara membatasi kawasan itu dalam lingkup sempit komunalitas.

Bentuk resistensi pasif ini hanya memerlukan sedikit sentuhan untuk bermetamorfosis menjadi perlawanan terbuka bermantra jihad. Di tengah ketatnya persaingan memperebutkan ruang publik, jihad memancarkan aura kuat yang dapat mentransformasikan frustasi menjadi heroisme. Di sinilah kelompok tersebut dapat berkembang menjadi kelompok terorisme yang sangat biadab, seperti ISIS.

Mengikis radikalisme dengan mengatasi ketimpangan sosial-politik   
Memahami matriks persinggungan ideologi dan kondisi sosial, ekonomi, politik yang melatarbelakangi tumbuhnya gejala radikalisme memungkinkan kita mencari solusi lebih tepat dan komprehensif untuk mengikis terorisme di Indonesia masa kini. Sebagaimana digambarkan di atas, ideologi jalin-menjalin secara fungsional dengan faktor-faktor struktural sosial-ekonomi, baik pada aras makro maupun mikro, dalam mendorong proses radikalisasi. Rasa kecewa yang dialami sejumlah individu karena pengalaman keseharian berinteraksi dengan dunia di luar diri mereka terpoles secara sempurna dengan kondisi-kondisi makro sosial-ekonomi yang kerap menghadirkan potret pengangguran, keterbelakangan, ketimpangan, korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan.

Oleh karena itu, tidak ada jalan lain memutus mata rantai radikalisme kecuali pemerintah bersama seluruh komponen masyarakat harus menemukan cara efektif untuk mengatasi masalah struktural yang berdampak terhadap munculnya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat. Pada saat yang sama, pemerintah harus didorong untuk memperbaiki dan mengakselerasi laju pertumbuhan ekonomi yang menjadi instrumen penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.

Sejumlah studi yang menerapkan pendekatan ekonomi menyimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang lamban, pendapatan masyarakat yang rendah, angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, serta tingkat pendidikan rata-rata yang tidak memadai sangat berpengaruh buruk bagi kehidupan masyarakat. Kondisi buruk tersebut berdampak secara keseluruhan terhadap indeks pembangunan manusia suatu negara. Bahkan, kondisi yang tidak mengembirakan itu berkolerasi positif dengan maraknya radikalisme dan aksi-aksi kekerasan di masyarakat.

Oleh karena itu, upaya untuk mengatasinya harus dengan sentuhan-sentuhan kemanusiaan dan memberi tempat kepada mereka dalam pergaulan sosial arus-utama. Kampanye yang terus-menerus memojokkan mereka tanpa mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan hanya akan membuat mereka mati suri. Di balik itu, mereka tetap beroperasi di bawah tanah untuk menata ulang sel-sel rahasia mereka yang suatu saat mengobarkan kembali api dan semangat jihad yang seringkali berujung dengan ledakan terorisme.

Negara wajib merespons secara efektif aksi-aksi teror dan mengejar para pelakunya dengan menggunakan pendekatan keamanan yang bertanggung jawab dan terukur. Karena itu, pilihan strategi yang logis untuk menghadapi radikalisme adalah berupaya “memberdayakan” mereka yang pernah terlibat dalam aksi-aksi teror melalui program-program advokasi bermatra ekonomi, sosial, politik, dan keagamaan. Saya yakin bahwa program-program advokasi ekonomi yang dipadukan dengan program advokasi hukum dan sosial serta deradikalisasi ideologi akan menjadi senjata ampuh untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme.

Pentingnya nilai kebhinekaan dan multikulturalisme
Selain advokasi di bidang ekonomi, pemerintah harus sungguh-sungguh dan terus-menerus berupaya menegakkan nilai-nilai kebhinekaan dan multikulturalisme dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk pembangunan bidang agama. Sebagai sebuah prinsip yang menghargai kemajemukan dan kebhinekaan, multikulturalisme merupakan tulang punggung demokrasi dan masyarakat madani (civil society). Kultur dan struktur sosial yang demokratis tidak akan dapat tumbuh dan bertahan tanpa multikulturalisme.

Masalahnya, multikulturalisme tidak otomatis dapat tumbuh, sekalipun dalam sistem yang dianggap demokratis. Berdasarkan pengalaman Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, dan Selandia Baru, multikulturalisme baru akan tumbuh bila ditunjang, antara lain 9 syarat berikut. Negara tidak boleh berpihak pada kelompok dominan atau mayoritas; Agama harus berfungsi menciptakan solidaritas sosial, bukan perpecahan;  Akses pendidikan yang merata termasuk untuk perempuan dan mereka yang tidak mampu; Kebijakan pemerintah harus berpihak pada nilai keragaman budaya; Adanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan; Penegakan hukum yang tegas dan jaminan persamaan di depan hukum; Negara dengan jaring pengaman sosial yang kuat dan redistribusi kekayaan  melalui sistem pajak progresif; Tidak ada kelas bawah yang terpinggirkan menurut garis etnisitas; dan legislasi yang efektif untuk menghukum provokator yang menebar kebencian antaragama, suku, ras dan golongan.

Tentu bukan perkara mudah mewujudkan kondisi ideal tersebut. Namun, setidaknya setiap bangsa memiliki komitmen untuk mendukung terciptanya harmoni sosial sebagai jalan untuk mewujudkan multikulturalisme. Komitmen itu tidak saja melibatkan pemerintah, tetapi juga seluruh komponen masyarakat, termasuk kekuatan-kekuatan civil society. Disinilah arti penting dialog antariman dan budaya yang dilaksanakan secara berkeadilan dan berkeadaban sebagai sarana untuk merevitalisasi komitmen tersebut. Dialog tersebut hendaknya terus menerus dilakukan demi membangun kesepahaman dan saling pengertian antarkelompok masyarakat.

Selain dialog, sudah waktunya semua elemen agama, terutama di lingkungan Islam sebagai kelompok mayoritas, sepakat hanya mengedepankan interpretasi keagamaan yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Mereka mestinya sadar bahwa demi tegaknya Pancasila dan Konstitusi yang menjadi pilar utama demokrasi Indonesia dibutuhkan dukungan kuat dari interpretasi agama. Karena itu, interpretasi agama yang dikembangkan di masyarakat haruslah kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi seperti tercermin dalam Pancasila dan Konstitusi Indonesia. Dengan ungkapan lain, pembangunan bidang agama melalui Kementerian Agama hendaknya diarahkan pada upaya mengembangkan pola keberagamaan yang humanistik sehingga secara berangsur tercipta kehidupan keagamaan yang humanis, pluralis dan mengedepankan perdamaian. Jika hal ini terwujud, maka umat beragama, khususnya umat Islam di Indonesia tidak lagi berkutat pada aspek-aspek simbolistik dan formalistik agama -yang seringkali menimbulkan kegaduhan dan konflik-, melainkan sepenuhnya berupaya menghadirkan esensi agama yang paling inti, seperti keadilan, kedamaian, kesetaraan, kejujuran dan kebersamaan.

Terakhir, negara semestinya memikirkan bagaimana menggulirkan strategi counter-terrorism yang komprehensif dan mengombinasikannya dengan upaya menata pluralisme dalam kerangka demokrasi yang berkeadaban secara sistematis sebagai solusi mengatasi radikalisme dan terorisme. Semata bertumpu pada respon ad-hoc yang mengutamakan aspek keamanan dan taktik-taktik tambal sulam jelas tidak memadai lagi.    



Tidak ada komentar:

Posting Komentar