Pendahuluan
Sejumlah
penelitian menyimpulkan bahwa gerakan radikalisme dalam semua agama, tak
terkecuali Islam, yang melahirkan militansi dan aksi-aksi terorisme bukan
sekadar masalah ideologis, tetapi merupakan gejala modern yang sangat kompleks.
Radikalisme terkait erat dengan sejarah, dinamika politik, pergeseran
geostrategis, serta masalah sosial-ekonomi dan politik akibat proses
modernisasi dan globalisasi.
Karena
itu, wacana jihad yang kerap didengungkan gerakan-gerakan radikalisme Islam hendaknya
tidak dibaca sebagai ekspresi fanatisme keagamaan belaka. Selain itu, jangan
pula hanya dikaitkan secara eksklusif dengan aksi-aksi irasional yang dipicu
oleh fanatisme terhadap doktrin-doktrin Islam. Sebab, jihad merupakan bahasa
protes yang bisa digunakan oleh siapa saja, terutama oleh mereka yang merasa
terpinggirkan dalam arus deras modernisasi dan globalisasi. Tujuannya, tiada
lain demi membangun identitas dan
tawar-menawar posisi di ruang publik.
Dari
islamisme ke radikalisme
Sejarah Islam
yang panjang mengajarkan bahwa radikalisme selalu berawal dari Islamisme. Islamisme adalah
gerakan yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik, bukan sekedar ajaran
agama. Dalam pengertian ini, islamisme tidak dapat dijelaskan hanya dengan
membuka lembaran sejarah dunia Islam sejak 14 abad silam, atau dipersepsikan
sebagai kelanjutan belaka dari konflik yang terjadi di masa-masa awal sejarah
Islam.
Islamisme juga tidak bisa
dikonseptualisasikan sekadar impuls fanatisme keagamaan, hasrat yang digerakkan
oleh keinginan kuat untuk meraih surga, misalnya. Islamisme dalam banyak hal
merupakan rupture, titik
persimpangan penting dalam rentang panjang sejarah yang berkaitan erat dengan
gejala perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menghampiri berbagai belahan
dunia Islam. Manifestasinya kerap merupakan cermin persinggungan antara
dinamika sosial-ekonomi dan politik yang berlangsung pada tataran global dan
konteks sosial politik di tingkat lokal.
Letupan islamisme mulai memperlihatkan
pengaruh pada permulaan abad ke-20, seiring dengan ekspansi format
negara-bangsa modern yang menggantikan sistem kekhalifahan, keamiran, dan
bentuk-bentuk pemerintahan feodal lain berbasis kekeluargaan dan kesukuan.
Sebagai akibat penerapan sistem negara-bangsa, elite politik baru dan kelas
sosial ekonomi pendukung mereka muncul menggeser dominasi kaum status-quo.
Bermula pada tahun 1930-an, Hasan al-Banna
(1906-1949), pendiri Ikhwan al-Muslimin di Mesir, dan Abdul Ala Maududi
(1903-1978) di Pakistan, pencetus partai Jama’at-i Islami di Pakistan. Keduanya
memperkenalkan gerakan pemikiran yang berusaha mendefinisikan Islam sebagai
ideologi politik berhadapan dengan ideologi-ideologi politik besar lainnya pada
abad ke-20. Gagasan mereka berkembang dan menggelinding seiring perubahan waktu
dan konteks dengan beberapa penyesuaian ataupun modifikasi.
Kedua ideolog tersebut melegitimasi visi
baru mereka dengan merujuk pada dua model gerakan. Pertama, gerakan purifikasi
(Salafisme) yang sebelumnya diperkenalkan oleh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab
(1703-1792), belakangan lebih dikenal sebagai Wahabisme. Kedua, gerakan
modernisasi yang digagas para pembaharu Mesir, seperti Jamaluddin al-Afghani
(1838-1898), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rashid Rida (1865-1935).
Keduanya, kelompok Salafi dan Wahabi berfokus pada tema kembali pada teks-teks
Quran dan Hadith serta inspirasi umat Islam generasi awal serta pemurnian Islam
dari syirik, bid’ah, dan semua
bentuk thagut. Sementara kelompok modernis mendorong diterimanya
rasionalitas dan kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat yang diklaim sebagai
bagian inheren dari Islam yang murni. Perlu dicatat, gerakan tersebut bergelora
di tengah tekanan kuat gelombang kolonialisasi yang melahirkan
sentiment-sentimen anti (dominasi) Barat sekaligus obsesi akan kebangkitan
kembali umat Islam dan sistem kekhalifahan (pan-islamisme) yang pernah jaya
berabad-abad.
Dalam merespon kolonialisme, Ikhwan
al-Muslimin dan Jama’at-i Islami meratapi kemunduran dan keterbelakangan dunia
Islam sambil bekerja keras menyerukan revitalisasi dan solidaritas umat.
Keduanya menekankan bahwa kemunduran umat Islam tidak lain disebabkan oleh
lemahnya solidaritas dan persaudaraan di antara mereka serta lunturnya
kesadaran akan nilai-nilai moral dan keagamaan. Baik Ikhwan al-Muslimin maupun
Jama’at-i Islami mengalami pasang-surut, mendayung di antara arus represi dan
akomodasi pihak penguasa. Bagi mereka, mengambil dan merebut kontrol negara
akan melapangkan jalan bagi penyebaran Islam dalam masyarakat yang telah
ternoda nilai-nilai Barat.
Dinamika sejarah dan munculnya gerakan Radikalisme
di dunia Islam yang merupakan anak sah islamisme sebenarnya pekat dengan nuansa
power struggle. Dalam banyak hal ia
merupakan protes politik yang dibalut dengan simbol-simbol dan wacana
keagamaan. Di tengah dominasi sistem politik sekuler gaya-Barat, islamisme
mendorong Islam masuk kedalam lingkar kekuasaan negara. Jualan mereka adalah
Islam merupakan nizham. Artinya, sebuah sistem yang paripurna, mengatur
semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, perekonomian, dan
tata hubungan internasional. Sejak itu slogan Islam is the solution mulai bergema lantang di berbagai belahan
dunia Islam. Slogan serupa telah lama diteriakkan kalangan fundamentalisme
Kristen di Amerika, yaitu Jesus is the solution.
Akan tetapi, islamisme bukanlah cerita
tentang keberhasilan. Ia lebih merupakan episode-episode kegagalan yang kerap berakhir
dengan fragmentasi atau kelumpuhan akibat represi brutal yang dilancarkan
negara. Menariknya, gerakan ini tidak pernah padam. Api semangatnya tetap
menyala. Ia senantiasa berayun di antara dua titik pendulum; upaya islamisasi
dari bawah melalui dakwah dan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan dan islamisasi
dari atas yang mengambil wujud jihad revolusioner untuk menggulingkan rezim
berkuasa. Pilihan taktik dan strategi biasanya ditentukan oleh kesempatan
politik dan struktur mobilisasi yang menopangnya.
Para aktor gerakan islamis biasanya
memiliki kesempatan lebih banyak dalam menggelar mobilisasi dan mengancam rezim
berkuasa bila negara sedang lemah dan dililit konflik kepentingan. Keadaan
semacam inilah yang menjelaskan keberhasilan tokoh-tokoh Islam garis keras
semisal Rizieq Shihab, Ja’far Umar Thalib, dan Abu bakar Ba’asyir, dalam
mendirikan dan mengelola kelompok militan yang menuntut penerapan syariah di
Indonesia. Demikian pula dalam berbagai aksi brutal merazia café, diskotik dan
tempat-tempat hiburan lainnya, bahkan menggelar aksi jihad di beberapa kawasan
konflik pasca kejatuhan Suharto 1998. Mereka mewujud dalam beberapa organisasi
Islam, seperti Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan Laskar Mujahidin
Indonesia dan lainnya.
Jika dirunut ke belakang, munculnya
kelompok-kelompok militan Islam pasca orde Baru sebenarnya berakar sejak lama.
Benih-benih islamisme di Indonesia mengembang di dalam karut-marut ketegangan
Islam dan negara sejak awal kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, negara dan pemerintah
tidak secara serius mengelola ketegangan yang sudah terlanjur mengkristal.
Alih-alih mengurai ketegangan, berbagai kebijakan Orde Baru malah mempersubur
kehadiran kelompok tersebut. Misalnya, kebijakan restriksi Orde baru terhadap
aktivisme kampus lewat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan menciptakan Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang kemudian diperkuat dengan penerapan
“asas tunggal” turut memberi andil bagi perkembangan dakwah gerakan Islamis di
kampus. Puncaknya, pasca revolusi Iran 1979 yang juga mendorong popularitas
Ayatollah Khomeini, Murtada Mutahhari, dan Ali Shariati di kalangan mahasiswa. Sementara
itu, Saudi Arabia berusaha sekuat tenaga menahan laju pengaruh Iran di tanah
air dengan mengintensifkan penyebaran Wahabisme yang sangat anti-Syi’ah.
Dalam konteks ini, Saudi memberikan
bantuan keuangan kepada organisasi keislaman untuk membangun masjid dan
mendirikan lembaga pendidikan. Saudi sendiri mendirikan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) di Jakarta pada 1980. Lembaga itu
menjadi centre of excellence
pengembangan dakwah Wahabi yang didompleng gerakan-gerakan lainnya. Situasi ini
menyediakan lahan subur bagi ekspansi berbagai gerakan Islam transnasional, termasuk
Ikhwan al-Muslimin, Hizbut-Tahrir, dan Salafi.
Sejak itu, kita di Indonesia menyaksikan
munculnya pemuda-pemuda berjenggot (lihyah)
dengan jubah (jalabiyyah), serban (imamah) dan celana tanggung di atas mata
kaki (isbal), maupun perempuan-perempuan
dengan baju lebar hitam (gamis) dan penutup muka (niqab). Selain secara eksplisit menyebut diri “Salafi”, mereka
memperkenalkan varian Islam yang sangat “kaku” (rigid). Fokus dakwah
mereka terletak pada upaya pemurnian tauhid dan praktik keagamaan eksklusif
yang diklaim sebagai satu-satunya jalan yang benar mengikuti jejak keteladanan Salaf al-Salih, generasi awal muslim. Berdasarkan
klaim tersebut, mereka lalu tidak segan menuduh kelompok Islam lain sebagai
kafir, murtad dan sesat. Bahkan, mereka juga menilai sistem politik Indonesia
yang berbasis Pancasila sebagai sistem thagut. Artinya, sistem yang
berasal dari luar Islam.
Masalah-masalah yang tampak sederhana,
seperti jalabiyyah, imamah, lihyah,
isbal, gamis dan niqab atau hijab, menjadi tema utama yang selalu muncul
dalam wacana keseharian mereka. Awalnya, mereka menolak segala bentuk aktivisme
politik (hizbiyyah) yang dipandang
sebagai bid’ah, dan dengan demikian mereka bercorak “kesunyian apolitis”.
Dengan mengibarkan bendera gerakan dakwah Salafi, mereka berupaya menarik garis
pemisah tegas dari masyarakat dengan cara mengelompokkan diri secara eksklusif
dalam ikatan-ikatan komunalitas menyerupai “daerah kantong” (enclave).
Kelompok islamis yang awalnya “apolitis”
tersebut dalam perkembangan berikutnya menjadi kelompok sosial yang berada
dalam “situasi perang” dengan kelompok lain di luar mereka. Konsekuensinya, mereka
secara intens menciptakan in group love
berbasis solidaritas, rasa cinta dan senasib-sepenanggungan atau di kalangan
mereka dikenal sebagai al-wala. Bersamaan dengan itu, mereka pun
melahirkan out group hate (kebencian
dan rasa permusuhan yang dikenal sebagai al-barra
terhadap orang-orang di luar kelompok). Berbagai sentimen yang secara
fungsional saling berkaitan sengaja dipelihara karena penting bagi
keberlangsungan mereka. Tidak heran jika kelompok ini kemudian mendapatkan
label radikalisme, ekstrimisme atau fundamentalisme.
Melalui kategorisasi sosial,
individu-individu dan kelompok radikalisme membagi dunia sosial dalam dua
kategori yang bertolak-belakang. Mereka membangun in group-positivity dengan mengidealkan diri dan kelompok mereka.
Pada tahap selanjutnya, mereka membentuk intergroup
comparison dengan membandingkan betapa beruntungnya mereka dibanding
orang-orang yang bukan bagian dari kelompok mereka. Dengan cara itu, mereka
membangun out group hostility,
kebencian terhadap orang-orang yang hidup di luar kelompok mereka.
Sambil menawarkan syari’ah sebagai
alternatif dan solusi terhadap krisis, serta cetak biru bagi penciptaan
masyarakat adil dan makmur, kaum ekstrimis membangun budaya kantong yang
terpisah dari masyarakat sekitar. Dengan cara demikian, kontrol atas ruang
sosial kembali diperoleh, sekalipun dengan cara membatasi kawasan itu dalam
lingkup sempit komunalitas.
Bentuk resistensi pasif ini hanya memerlukan
sedikit sentuhan untuk bermetamorfosis menjadi perlawanan terbuka bermantra
jihad. Di tengah ketatnya persaingan memperebutkan ruang publik, jihad
memancarkan aura kuat yang dapat mentransformasikan frustasi menjadi heroisme.
Di sinilah kelompok tersebut dapat berkembang menjadi kelompok terorisme yang
sangat biadab, seperti ISIS.
Mengikis
radikalisme dengan mengatasi ketimpangan sosial-politik
Memahami matriks persinggungan ideologi
dan kondisi sosial, ekonomi, politik yang melatarbelakangi tumbuhnya gejala radikalisme
memungkinkan kita mencari solusi lebih tepat dan komprehensif untuk mengikis terorisme
di Indonesia masa kini. Sebagaimana digambarkan di atas, ideologi
jalin-menjalin secara fungsional dengan faktor-faktor struktural
sosial-ekonomi, baik pada aras makro maupun mikro, dalam mendorong proses
radikalisasi. Rasa kecewa yang dialami sejumlah individu karena pengalaman
keseharian berinteraksi dengan dunia di luar diri mereka terpoles secara
sempurna dengan kondisi-kondisi makro sosial-ekonomi yang kerap menghadirkan
potret pengangguran, keterbelakangan, ketimpangan, korupsi, ketidakadilan, dan
kemiskinan.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain
memutus mata rantai radikalisme kecuali pemerintah bersama seluruh komponen
masyarakat harus menemukan cara efektif untuk mengatasi masalah struktural yang
berdampak terhadap munculnya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan dalam kehidupan
masyarakat. Pada saat yang sama, pemerintah harus didorong untuk memperbaiki
dan mengakselerasi laju pertumbuhan ekonomi yang menjadi instrumen penting bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.
Sejumlah studi yang menerapkan pendekatan
ekonomi menyimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang lamban, pendapatan
masyarakat yang rendah, angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, serta
tingkat pendidikan rata-rata yang tidak memadai sangat berpengaruh buruk bagi
kehidupan masyarakat. Kondisi buruk tersebut berdampak secara keseluruhan
terhadap indeks pembangunan manusia suatu negara. Bahkan, kondisi yang tidak
mengembirakan itu berkolerasi positif dengan maraknya radikalisme dan aksi-aksi
kekerasan di masyarakat.
Oleh karena itu, upaya untuk mengatasinya
harus dengan sentuhan-sentuhan kemanusiaan dan memberi tempat kepada mereka
dalam pergaulan sosial arus-utama. Kampanye yang terus-menerus memojokkan
mereka tanpa mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan hanya akan membuat mereka
mati suri. Di balik itu, mereka tetap beroperasi di bawah tanah untuk menata
ulang sel-sel rahasia mereka yang suatu saat mengobarkan kembali api dan
semangat jihad yang seringkali berujung dengan ledakan terorisme.
Negara wajib merespons secara efektif
aksi-aksi teror dan mengejar para pelakunya dengan menggunakan pendekatan
keamanan yang bertanggung jawab dan terukur. Karena itu, pilihan strategi yang
logis untuk menghadapi radikalisme adalah berupaya “memberdayakan” mereka yang
pernah terlibat dalam aksi-aksi teror melalui program-program advokasi bermatra
ekonomi, sosial, politik, dan keagamaan. Saya yakin bahwa program-program
advokasi ekonomi yang dipadukan dengan program advokasi hukum dan sosial serta
deradikalisasi ideologi akan menjadi senjata ampuh untuk memutus mata rantai radikalisme
dan terorisme.
Pentingnya nilai kebhinekaan dan multikulturalisme
Selain advokasi di bidang ekonomi,
pemerintah harus sungguh-sungguh dan terus-menerus berupaya menegakkan
nilai-nilai kebhinekaan dan multikulturalisme dalam seluruh aspek pembangunan,
termasuk pembangunan bidang agama. Sebagai sebuah prinsip yang menghargai
kemajemukan dan kebhinekaan, multikulturalisme merupakan tulang punggung
demokrasi dan masyarakat madani (civil
society). Kultur dan struktur sosial yang demokratis tidak akan dapat
tumbuh dan bertahan tanpa multikulturalisme.
Masalahnya, multikulturalisme tidak
otomatis dapat tumbuh, sekalipun dalam sistem yang dianggap demokratis.
Berdasarkan pengalaman Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, dan Selandia
Baru, multikulturalisme baru akan tumbuh bila ditunjang, antara lain 9 syarat
berikut. Negara tidak boleh berpihak pada kelompok dominan atau mayoritas; Agama
harus berfungsi menciptakan solidaritas sosial, bukan perpecahan; Akses pendidikan yang merata termasuk untuk
perempuan dan mereka yang tidak mampu; Kebijakan pemerintah harus berpihak pada
nilai keragaman budaya; Adanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan; Penegakan hukum yang tegas dan jaminan persamaan di depan hukum;
Negara dengan jaring pengaman sosial yang kuat dan redistribusi kekayaan melalui sistem pajak progresif; Tidak ada
kelas bawah yang terpinggirkan menurut garis etnisitas; dan legislasi yang
efektif untuk menghukum provokator yang menebar kebencian antaragama, suku, ras
dan golongan.
Tentu bukan perkara mudah mewujudkan
kondisi ideal tersebut. Namun, setidaknya setiap bangsa memiliki komitmen untuk
mendukung terciptanya harmoni sosial sebagai jalan untuk mewujudkan
multikulturalisme. Komitmen itu tidak saja melibatkan pemerintah, tetapi juga
seluruh komponen masyarakat, termasuk kekuatan-kekuatan civil society. Disinilah arti penting dialog antariman dan budaya
yang dilaksanakan secara berkeadilan dan berkeadaban sebagai sarana untuk merevitalisasi
komitmen tersebut. Dialog tersebut hendaknya terus menerus dilakukan demi
membangun kesepahaman dan saling pengertian antarkelompok masyarakat.
Selain dialog, sudah waktunya semua elemen
agama, terutama di lingkungan Islam sebagai kelompok mayoritas, sepakat hanya
mengedepankan interpretasi keagamaan yang akomodatif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan universal. Mereka mestinya sadar bahwa demi tegaknya Pancasila dan
Konstitusi yang menjadi pilar utama demokrasi Indonesia dibutuhkan dukungan
kuat dari interpretasi agama. Karena itu, interpretasi agama yang dikembangkan
di masyarakat haruslah kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi seperti
tercermin dalam Pancasila dan Konstitusi Indonesia. Dengan ungkapan lain,
pembangunan bidang agama melalui Kementerian Agama hendaknya diarahkan pada
upaya mengembangkan pola keberagamaan yang humanistik sehingga secara berangsur
tercipta kehidupan keagamaan yang humanis, pluralis dan mengedepankan
perdamaian. Jika hal ini terwujud, maka umat beragama, khususnya umat Islam di
Indonesia tidak lagi berkutat pada aspek-aspek simbolistik dan formalistik
agama -yang seringkali menimbulkan kegaduhan dan konflik-, melainkan sepenuhnya
berupaya menghadirkan esensi agama yang paling inti, seperti keadilan,
kedamaian, kesetaraan, kejujuran dan kebersamaan.
Terakhir, negara semestinya memikirkan
bagaimana menggulirkan strategi counter-terrorism
yang komprehensif dan mengombinasikannya dengan upaya menata pluralisme dalam
kerangka demokrasi yang berkeadaban secara sistematis sebagai solusi mengatasi
radikalisme dan terorisme. Semata bertumpu pada respon ad-hoc yang mengutamakan aspek keamanan dan taktik-taktik tambal
sulam jelas tidak memadai lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar