Perempuan
Dalam Gerakan Terorisme di Indonesia
Musdah
Mulia
Modus
baru
Keberadaan perempuan sebagai teroris di
Indonesia mulai terkuak dengan tertangkapnya Dian Yulia Novi, pelaku “bom
panci” di Bekasi di penghujung 2016. Tragedi ini menyibak fakta keterlibatan
sejumlah perempuan dalam gerakan terorisme di Indonesia.
Setelah Dian, muncul nama Ika Puspita Sari di
Purworejo yang akan melancarkan aksi bom bunuh diri di luar Jawa.
Lalu, Umi Delima, isteri teroris Santoso di Poso. Penangkapan ketiga orang
tersebut menambah jumlah nama perempuan dalam pusaran terorisme. Di antara
beberapa nama yang tertangkap sebelumnya, yaitu Putri Munawwaroh, Inggrid
Wahyu, Munfiatun, Rasidah binti Subari, Ruqayah binti Husen Lecano, Deni
Carmelit, Rosmawati, dan Arina Rahma.
Modus baru dalam aksi terorisme menjadikan
perempuan sebagai pelaku. Kalau sebelumnya aksi-aksi teror berwajah maskulin
dan menggunakan pendekatan patriarkal, belakangan aksi-aksi teror memanfaatkan
perempuan sebagai pelaku dan dengan pendekatan feminin. Meskipun faktanya
perempuan adalah pelaku, hakikinya mereka tetap korban. Korban dari
ketidaktahuan dan ketidakberdayaan, lalu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
memiliki rencana keji dan sistematik untuk tujuan terorisme.
Kasus-kasus terorisme belakangan ini
menempatkan perempuan bukan lagi sebagai “pemain pembantu” yang
menyiapkan logistik dan perlengkapan perang, akan tetapi sudah “naik kelas”
menjadi eksekutor dan pasukan perang. Bahkan, beberapa perempuan menjadi aktor
kunci pemenangan aksi terorisme.
Tulisan ini mencoba menguak berbagai hal
terkait keterlibatan perempuan Muslim dalam gerakan terorisme di Indonesia. Di
antaranya, menggali latar-belakang kehidupan mereka, apa motif utama mereka
terlibat dalam aksi-aksi terorisme, mengapa gerakan yang penuh kekerasan dan
mematikan ini justru menarik bagi kelompok perempuan yang umumnya secara bias
gender masih dipersepsikan sebagai kelompok rentan dan makhluk domestik. Selain
itu, penulis juga memaparkan beragam pengalaman perempuan selama aktif dalam
dunia terorisme. Lalu, tulisan ini juga menawarkan kesimpulan dan solusi
konkret untuk menghadang laju gerakan terorisme di Indonesia.
Perempuan sebagai korban terorisme
Jauh sebelum perempuan dilibatkan sebagai
pelaku dalam aksi-aksi terorisme, mereka telah lama dijadikan sasaran utama dan
pertama dalam berbagai aksi-aksi kebrutalan terorisme. Akibat budaya patriarki
yang masih mengental di masyarakat, perempuan selain dipandang sebagai kelompok
rentan dan tak berdaya, mereka juga dianggap sebagai simbol kemurnian sebuah
kelompok. Asumsi ini membuat kelompok-kelompok teroris memilih mereka sebagai
sandera atau korban berbagai bentuk kekerasan seksual untuk menyebarkan rasa
takut dan memicu penyerahan diri target-target sebenarnya. Lihat saja apa yang
dilakukan Boko Haram di Nigeria, kelompok terorisme di Suriah, Irak, Lebanon,
Pakistan dan Afghanistan.
Di Nigeria pada 2014, kelompok Islam garis
keras Boko Haram dilaporkan menculik ratusan siswi dalam aksi terornya. Mereka meyakini, sistem
pendidikan Barat merupakan dosa dan perempuan tidak perlu pendidikan. Mereka
cukup di rumah membesarkan anak dan melayani suami. Tidak hanya menculik, Boko
Haram juga melakukan pengeboman sekolah-sekolah yang menewaskan ratusan pelajar.
Hampir seabad sebelumnya, pada 1917 di Amerika
Serikat terjadi teror dan penyiksaan terhadap para perempuan yang
memperjuangkan hak-hak asasi mereka sebagai warga negara. Ketika itu hak pilih
perempuan belum diakui di sana dan sejumlah aktivis feminisme ditangkap dan
dianiaya secara keji di penjara. Mereka dianiaya setelah melancarkan protes di
Gedung Putih karena tidak diperbolehkan mengikuti pemilihan umum. Tragedi ini
diperingati sebagai The Night of Terror.
Masih di Amerika, aktivis anti-aborsi garis keras
melancarkan teror untuk
mengakhiri praktik legal pengguguran bayi sejak 1973. RAND researcher
menginformasikan, sampai tahun 2003 sejak hak perempuan melakukan aborsi
diakui, tercatat lebih dari 300 aksi kekerasan yang sangat biadab terhadap para
penyedia jasa aborsi dalam bentuk pembakaran dan pengeboman klinik, pembunuhan
tenaga medis, sampai penyerangan dengan asam butirat. National Abortion
Federation mencatat, sejak 1977 hingga 2016, terjadi 11 kasus pembunuhan,
ditemukan sejumlah 69.191 email kebencian dan pelecehan, 42 pengeboman klinik,
252.470 protes yang menghambat para pekerja klinik aborsi beraktivitas, dan
aksi kekerasan lain yang dilakukan aktivis anti-aborsi di Amerika Serikat.
Perempuan sebagai korban terorisme tidak hanya
mereka yang bersinggungan langsung dengan pelaku. Para perempuan Muslim pasca
tragedi 11 September juga menjadi korban tak langsung. Pasalnya, sejak aksi terorisme tersebut,
mereka kerap kali dilekatkan dengan stereotip negatif. Sebagian mereka menerima
perlakuan diskriminatif atau perundungan di lingkungan masyarakatnya hanya
karena mengenakan jilbab. Berbagai fenomena tadi memberikan bukti betapa perempuan
merupakan kelompok paling rentan dan sekaligus menjadi sasaran empuk aksi-aksi
terorisme.
Perempuan teroris di tingkat internasional
Jika
sebelumnya dijelaskan kondisi perempuan sebagai obyek dan korban gerakan
terorisme, berikut ini peran sebaliknya, yakni sebagai subyek atau pelaku. Di
tingkat internasional keterlibatan perempuan sebagai subyek atau pelaku dalam
aksi terorisme sudah berlangsung lama, bahkan beberapa di antara mereka
dipandang sebagai kunci kesuksesan kelompok teroris.
Pada pengujung abad 19, Vera Zasulich, seorang
perempuan Rusia yang tercatat sebagai anggota kelompok revolusioner Narodnaya
Volia tidak gentar melakukan aksi teror dengan mencoba membunuh Trepov,
Gubernur St. Petersburg. Saat berada di pengadilan, Zasulich mengatakan dirinya
bukan pembunuh, tetapi dengan bangga menyebut: “saya adalah teroris.”
Shcheblanova dan Yarskaya-Smirnova (2009), keduanya penulis dalam buku Gender
Dynamics and Post-conflict Reconstruction menyatakan bahwa sekalipun
Zasulich melakukan aksi teror, namun tetap dielukan sebagai pahlawan oleh
publik karena berani melawan ketidakadilan sosial.
Selain di Rusia, Irlandia Utara dimana IRA
berada, yaitu organisasi yang menuntut independensi Irlandia dari Kerajaan
Inggris, juga melibatkan para perempuan
mendukung aksi-aksi teror mereka. Dua nama tercatat sebagai perempuan
pemberani yang turut dalam aksi pengeboman: Marian dan Dolores Price. Tahun
1973, mereka dijatuhi hukuman seumur hidup atas pengeboman di Old Bailey yang
menyebabkan 216 orang luka-luka dan seorang meninggal.
Selanjutnya, Lindsey O’Rourke dari University
of Chicago mencatat sejak tahun 1980 di Lebanon, perempuan ambil andil dalam
aksi terorisme untuk mengusir pasukan Israel. Sementara itu, di Chechnya mulai
tahun 2000-an, kelompok Black Widows berani melakukan aksi serangan bunuh diri
sebagai balas dendam atas kematian suami mereka.[1]
Hannah
Arendt, pemikir Jerman berpendapat bahwa akar dari terorisme adalah “perasaan
ditinggalkan.” Lebih jauh menurut Arendt, manusia kalah dari kehidupan modern.[2] Terorisme muncul, karena
manusia tidak berdaya atas “prestasi peradaban” yang ironisnya telah diciptakan
oleh dirinya sendiri. Manusia tergerus oleh arus kuat modernisasi dan
globalisasi yang kemudian menghapus cara-cara hidup tradisional, adat-istiadat,
kebiasaan dan institusi yang mereka warisi turun-temurun. Perasaan “kalah”
membawa kepada keterasingan atau alienasi dan perasaan tersingkirkan.
Ketika
kalah bersaing dengan kemajuan modern banyak manusia terdepak dari pekerjaan. Kerja
yang merupakan salah satu pengukur martabat manusia membuatnya tergeser secara
sosial dari masyarakat. Mereka yang terasing pun keluar mencari perlindungan
dari komunitas primordial semisal agama.
Mengapa
agama? Karena agama menawarkan penghiburan dan ketetapan hati. Namun, karena
tanpa kontrol dan ketundukan buta, manusia yang kalah dari peradaban tersebut
kehilangan sikap kritis dan rasionalitasnya. Tidak heran jika kemudian mereka
mudah diarahkan berontak kepada peradaban modern yang diklaim sebagai
asal muasal segala kejahatan modern.
Faktor psikologis juga dinilai cukup berperan.
Sejumlah penelitian mengungkapkan, para perempuan tersebut mengalami kekecewaan
yang amat dalam, putus asa, mengalami gangguan jiwa, ditekan oleh laki-laki
atas nama agama, frustrasi dengan kondisi ketidaksetaraan dan ketidakadilan
gender yang ada, ketimpangan sosial di lingkungan mereka dan lain sebagainya.
Faktor lain menyebutkan karena perempuan kurang dicurigai petugas keamanan.
Lazimnya, perempuan menjalani proses pemeriksaan tidak lebih ketat daripada
laki-laki saat berhadapan dengan petugas keamanan. Mereka sering kali dianggap
tidak membahayakan sehingga petugas keamanan lengah dan insiden pengeboman yang
dilakukan perempuan pun tidak terelakkan. Misalnya, aksi pengeboman yang sukses
dilakukan seorang perempuan yang membawa anak-anak kecil untuk mengelabui
petugas keamanan. Anak-anak kecil tersebut tampak malnutrisi sehingga petugas
tidak merasa curiga terhadap perempuan yang membawa mereka. Setelah anak-anak
tersebut dibawa ke dalam ambulans, sang perempuan teroris meledakkan diri dan
mencederai lusinan orang.
Di Nigeria lain lagi kasusnya, di antara
perempuan pelaku bom melakukan aksi terror tersebut karena dipaksa dan diancam,
seperti terjadi pada perempuan-perempuan korban penculikan yang dilakukan
kelompok Boko Haram. Sejumlah anak perempuan berusia 14 tahun pada akhirnya
menjadi pelaku teror seperti bom bunuh diri. Salah seorang di antaranya selama
tiga tahun disekap oleh Boko Haram dan beberapa kali dipaksa memenuhi syahwat
relawan kelompok garis keras tersebut, tetapi terus menolak. Akibatnya,
beberapa petinggi Boko Haram memaksa dia melakukan bom bunuh diri di pusat
kekuatan militer di Maiduguri sebelum akhirnya tertangkap militer setempat.[3]
Gelombang
modernisasi dan globalisasi mendorong rasa kecewa yang menyelimuti
individu-individu yang tidak begitu beruntung dalam percaturan politik yang
terjadi pada ranah negara-bangsa ke titik ekstrem; krisis identitas. Berbasis jaringan global yang semakin ketat, tempat
lokalitas dan identitas personal terkikis, globalisasi mengacaukan mekanisme
kontrol sosial dan representasi politik yang ada. Ketika sistem politik nation-state tidak bekerja sebagaimana
mesinya, baik karena lemahnya sistem akuntabilitas dan transparansi maupun
merajalelanya korupsi, globalisasi tak pelak menghadapkan orang pada
penderitaan dan kesengsaraan.
Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika banyak individu
cenderung merasa kehilangan kendali atas kehidupannya, lingkungan, pekerjaan,
ekonomi, pemerintahan, negara, dan nasibnya di bumi ini. Dalam situasi semacam
itu bergabung dengan gerakan radikalisme kerap menjadi “pilihan rasional” bagi
individu-individu yang kehilangan harapan akan masa depan. Gerakan radikalisme
datang menawarkan jalan keluar ilusif dan sekaligus payung komunalitas
alternatif melalui pengembangan enclave
culture. Di dalamnya ada semacam kebanggaan karena merasa berbeda dari
masyarakat terbuka (open society) di
sekitarnya dan juga kemudian mereka seolah merasakan adanya harapan dan kepastian.
Radikalisme mengeksploitasi perempuan
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa perempuan selalu
berada dalam posisi sebagai korban manakala suatu masyarakat mengalami proses
radikalisasi. Perempuan dalam agama apa pun selalu menjadi sasaran diskriminasi
dan eksploitasi para penafsir fundamental yang benci pada perempuan (mysogini).
Diskriminasi penafsiran, kata Karen Amstrong6,
dimulai ketika sejarah agama dipisahkan dari kontek historis dan raison de
etre keyakinan individu pemeluknya.
Perempuan menjadi sasaran kelompok radikalisme agama dengan alasan yang sangat jelas. Sebab, atas nama agama, kelompok tersebut merasa memiliki
legitimasi mengontrol dan menyerang perempuan. Selain legitimasi agama, mereka didukung pula
oleh nilai-nilai budaya yang secara umum memang berwatak patriarkis dan bias gender. Tidak
mengherankan jika suatu masyarakat atau negara mengalami radikalisasi,
domestifikasi perempuan biasanya menjadi program politik pertama. Kondisi
demikian tiada lain karena biaya sosial politik domestifikasi perempuan sangat
murah dan mudah. Murah dan mudah karena dalam struktur masyarakat patriarki,
proyek domestifikasi perempuan tidak akan mendapat resistensi sosial politik
yang berarti.
Untuk kasus Indonesia, terlihat
jelas bahwa dalam ranah negara, kelompok radikal mengimplementasikan Syariat
Islam dalam berbagai bentuk peraturan dan kebijakan diskriminatif terhadap
perempuan, seperti UU Pornografi, Peraturan Daerah tentang kewajiban berjilbab;
Perda tentang larangan keluar malam bagi perempuan tanpa disertai mahram; Perda
larangan prostitusi yang hanya mengarah kepada perempuan, dan sejumlah Qanun di
Aceh, di antaranya Qanun Khalwat dan kewajiban berjilbab. Sementara dalam ranah
masyarakat sipil, implementasi syariat Islam diwujudkan dalam bentuk fatwa MUI
yang diskriminatif terhadap perempuan; munculnya organisasi dan LSM Islam yang
visi dan misinya mengeksploitasi dan mengkriminalkan perempuan, seperti FPI,
FBR, Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir, Lasykar Jundullah dan sejumlah Forum
Umat Islam.
Dengan alasan pemurnian agama dan kembali kepada teks
Al-Qur’an dan Hadits, radikalisme Islam menegaskan perbedaan hak antara
laki-laki dan perempuan. Menurut mereka, Tuhan sengaja membuat keduanya berbeda
dan perbedaan itu bukan diskriminasi melainkan demi kebahagiaan manusia.
Kesimpulannya, radikalisme mengajak kembali kepada agama. Akan tetapi, dalam
konteks perempuan yang diklaim sebagai kembali kepada ajaran agama adalah
kembali merumahkan perempuan; kembali ke domestifikasi perempuan. Ringkasnya,
radikalisme memproklamirkan politik anti demokrasi, anti-Pancasila,
anti-konstitusi, anti feminisme, anti pluralisme, dan anti humanisme.
Perempuan Indonesia dalam gerakan
terorisme
Walau keterlibatan perempuan dalam gerakan
terorisme di Indonesia masih dianggap baru, namun Ali Fauzi berkeyakinan, sudah
banyak perempuan disiapkan menjadi pengantin bom bunuh diri.[4]
Fenomena ini merupakan dampak krisis global dari aksi-aksi teror level dunia
yang banyak melibatkan perempuan, seperti di Syria, Irak, Afghanistan dan
Yaman.
Jika sebelumnya perempuan Indonesia
selalu menjadi korban pertama dan utama dalam berbagai aksi terorisme, kini
posisi mereka bergeser tajam. Perempuan bukan lagi sekedar obyek dan korban
dalam gerakan terorisme, melainkan mengalami transformasi yang luar biasa
menjadi subyek dan bahkan tidak sedikit yang memainkan aktor utama gerakan
terorisme. Pertanyaan kritis muncul, mengapa kelompok terorisme menjadikan
perempuan sebagai subyek dan pelaku?
Strategi dan
taktik NIIS Internasional akhir-akhir ini menggunakan perempuan dalam
peran-peran kombatan sebagai pasukan artileri dan pelaku bom bunuh diri. Tidak
sulit mencari jawaban terhadap strategi tersebut. Wacana feminisme
menyimpulkan, perempuan adalah kelompok paling diandalkan dalam soal loyalitas,
kesetiaan dan kepatuhan. Perempuan juga adalah kelompok paling mudah percaya
dan tunduk pada segala hal benuansa agama.
Sungguh ironis memang karena
perempuan umumnya sangat bersahabat dengan agama, meski agama seringkali tidak
ramah terhadap mereka. Selain itu,
secara sosiologis perempuan adalah kelompok rentan (the vulnerable groups),
mudah mengakses sosial media, tapi kemampuan
literasi mereka sangat rendah. Tidak
heran jika mereka menerima berita dan pelajaran keagamaan melalui situs-situs
radikal tanpa nalar kritis. Mereka mudah diprovokasi atas nama agama.
Lihat saja, hampir semua pengajian
dan majlis taklim di Indonesia dipenuhi kaum perempua. Padahal umumnya tafsir
dan interpretasi keagamaan sangat misogini dan
mengandung unsur-unsur diskriminatif terhadap perempuan. Bahkan, tidak
sedikit pemuka agama memandang perempuan hanya sebatas obyek seksual. Selama
ini perempuan dianggap lemah dan tidak berdaya sehingga posisinya cukup di
arena domestik. Namun, keterlibatan perempuan dalam gerakan terorisme
seharusnya mengubah pandangan misogini tersebut. Perempuan justru lebih nekat
dan berani mengambil resiko dalam berbagai aksi teror.
Motivasi utama perempuan dalam
terorisme
Motivasi utama perempuan Indonesia
terlibat dalam gerakan terorisme adalah bersifat teologis.[5]
Awalnya, mereka terpapar ideologi Islam radikal, di antaranya keyakinan bahwa
wajib hukumnya bagi seorang Muslim membunuh orang kafir (non-Muslim); meyakini
kewajiban menegakkan negara Islam dan khilafah islamiyah dengan
melakukan jihad menumpas ketidakadilan, walau dengan cara membunuh sekalipun. Mereka
juga dijejali dengan narasi ketertindasan Islam sehingga sangat meyakini bahwa
umat Islam kini dalam kondisi tertindas karena itu harus diselamatkan dengan
jihad. Jihad dalam makna membunuh semua musuh Islam yang mereka istilahkan
dengan thagut. Mereka juga didoktrin dengan pemahaman bahwa perempuan
harus ikut berjihad membela Islam.[6]
Biasanya, dari radikalisme hanya perlu satu langkah menuju terorisme.
Fathali M.
Moghaddam, pengamat gerakan terorisme menyebutkan ada empat tahapan yang
biasanya dilalui oleh kelompok radikal Islam sebelum bermetaformosis menjadi
teroris.[7]
Pertama, mereka memiliki
keyakinan bahwa mereka teraniaya, terpinggirkan dan tidak berdaya. Keyakinan
tersebut mendorong mereka mencari suatu pegangan demi memperbaiki kondisi. Kedua,
keyakinan bahwa sudah saatnya dan sangat penting untuk melampiaskan kemarahan
dan dendam kepada mereka yang dipersepsikan sebagai “thagut”.
Ketiga, keyakinan bahwa aksi terorisme merupakan strategi paling mungkin dan
paling sah agar kemenangan segera tercapai. Keempat, munculnya keyakinan yang
sangat kuat bahwa terorisme merupakan jihad terbesar untuk menjadi syahid,
seperti bunyi slogan yang diajarkan: isy kariman aw mut syahidan
(hiduplah secara terhormat atau matilah dengan syahid).[8]
Di Indonesia,
kelompok Islam radikal sangat mudah dikenali karena mereka sering mengusik
tradisi keislaman yang sudah mapan dan diamalkan umat Islam di negeri ini,
seperti tradisi pembacaan Barzanji, tahlilan dan dzibaan, tradisi peringatan
maulid Nabi, tradisi takziyah kematian dan seterusnya. Selain
itu, biasanya mereka gencar menyebarkan paham anti-Pancasila, anti-demokrasi,
anti-kebhinekaan dan keberagaman, dan anti-kesetaraan gender. Mereka juga
alergi dengan semua yang datang dari Barat dan non-Islam. Fatalnya lagi, mereka
juga benci dengan simbol-simbol keindonesiaan, seperti bendera Merah-Putih,
lambang Burung Garuda, dan lagu Indonesia Raya. Mereka menyebut semua itu bid’ah
dan thagut (musuh Islam) yang harus dilenyapkan. Bahkan,
mereka memandang Indonesia sebagai negara kafir karena itu boleh dirampok.[9]
Untuk kasus Indonesia, ada banyak hipotesis
yang muncul mengapa para perempuan Indonesia bersedia melakukan tindakan
terorisme. Salah satu faktor penyebab adalah lekatnya pengaruh dan strategi
ISIS dalam jaringan teroris yang ada di Indonesia. Para laki-laki personil ISIS
sudah banyak berkurang, kerena tertangkap maupun tewas dalam gencatan senjata.
Untuk melanjutkan misi, maka anggota jaringan yang tersisa, umumnya mereka
adalah perempuan, harus diterjunkan, tidak perduli anak-anak atau perempuan.
Ternyata strategi yang dipakai oleh ISIS di tingkat dunia digunakan juga di
Indonesia.
Menurut Bahrun Naim, pimpinan ISIS asal
Indonesia, perlunya mengajak perempuan untuk ikut melakukan aksi terror karena
hanya sedikit laki-laki yang bersedia. Lebih jauh dia mengatakan: “kalau di
Suriah aksi amaliyah tidak wajib dilakukan oleh perempuan, tapi di Indonesia,
perempuan boleh melakukan aksi teror karena laki-laki lebih pengecut.” Hal itu
terbaca dalam percakapan telegram pada Juni 2016. Faktor lain adalah karena
perempuan dianggap lebih mudah dipengaruhi, terutama mereka yang memiliki
masalah dalam keluarga.[10]
Selain itu, kaum perempuan dianggap sangat loyal pada ajaran dan ideologi
agama, lebih militan dalam menjalankan aksinya. Apalagi mereka yang pernah
mengalami trauma, menjadi korban KDRT atau mengalami konflik dalam keluarga
atau perceraian. Ketika dicuci otak dengan pemahaman Islam radikal,[11]
para perempuan tersebut bisa dengan militan menjalankan misinya, bahkan lebih
militan dari laki-laki.
Figur perempuan teroris
Perempuan seperti apa yang banyak
terlibat dalam gerakan terorisme di Indonesia? Penelitian Yayasan Prasasti
Perdamaian mengungkapkan, umumnya mereka adalah para isteri dan keluarga
teroris yang sudah lama terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia, isteri
dan keluarga para jihadis di Suriah, Lebanon dan Turki. Para suami atau
keluarga mereka adalah anggota Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid,
gerakan Negara Islam Indonesia, ISIS, Salafi Jihadis dan organisasi Islam
radikal lain.
Menarik disebutkan, sebagian besar
mereka bukanlah perempuan bodoh dan tidak terdidik. Kebanyakan mereka lulusan
perguruan tinggi, selebihnya lulusan pesantren dan Sekolah Menengah Atas. Lalu,
dari aspek ekonomi, mereka tidak selalu dari kelompok miskin, tidak sedikit dari
kalangan menengah ke atas. Profesi mereka pun beragam dan sebagian cukup
menjanjikan, misalnya berkarir sebagai dosen, guru, muballighah, ustazah,
dokter, karyawan, aktivis organisasi dan pedagang online. Sisanya, sebagai
pelayan toko, buruh migran, dan pekerja pabrik.
Sebagian mereka direkrut melalui
pernikahan, lalu suami mendoktrin mereka dengan pemahaman Islam radikal.
Artinya, mereka sengaja dinikahi untuk dijejali ideologi radikal, bahkan
sebagian perempuan dinikahi ketika suami masih berada di penjara. Sebaliknya,
tidak sedikit dari mereka justru didoktrinasi terlebih dahulu baru dinikahi.
Sebagian dari mereka mendapatkan indoktrinasi yang sangat masif dari teman
dekat suami atau dari sesama perempuan yang telah lama aktif dalam jaringan
terorisme.
Menarik diketahui, tidak sedikit
perempuan buruh migran berhasil direkrut dalam gerakan terorisme. Mengapa?
Karena umumnya mereka punya uang, mandiri, dan berani serta yang paling penting
mereka punya pengalaman bepergian ke luar negeri sehingga mudah dijadikan
sebagai agen kurir atau pembawa pesan-pesan rahasia. Mereka juga umumnya
pengguna aktif internet. Sebagian mereka terpapar ideologi radikalisme lewat
internet ketika bekerja di luar negeri. Pertemuan mereka dengan suami dan
kelompoknya umumnya terjadi melalui jaringan sosial media, seperti facebook.
Perempuan buruh migran seringkali
mengidap kekecewaan dan frustrasi yang sangat dalam akibat perlakuan
diskriminatif dan kekerasan fisik yang mereka alami ketika bekerja. Umumnya mereka mengalami berbagai trauma psikologis
selama bekerja di luar negeri. Patologi psikis tersebut membuat sebagian mereka
mudah menerima pengaruh apa pun yang dianggap dapat menolong mereka keluar dari
situasi mencekam tersebut. Sebagian mereka sangat membutuhkan mekanisme pertahanan
diri (self defence mechanism) untuk bertahan dari berbagai tekanan
sosial. Aksi-aksi terorisme mebuat mereka menemukan kebermaknaan hidup.
Dian Yulia Novi, pelaku bom bunuh diri awalnya
tertarik mempelajari Islam melalui internet dan jejaring sosial. Pelajaran
agama tersebut membuatnya tertarik pada perjuangan Islam di Suriah. Berikutnya,
dia mengalami proses indoktrinisasi yang intens melalui facebook
dan situs-situs radikal, termasuk situs jihad online yang dikelola
jaringan Aman Abdurrahman.
Teknologi komunikasi menjadi sarana efektif bagi jaringan
teroris untuk menyebarkan paham radikal sambil
melakukan rekrutmen anggota. Brooking Institute menyebutkan, tahun 2014
saja ada 46.000 akun twitter atas nama ISIS dan masing-masing memiliki
rata-rata 1000 pengikut. Setiap hari, setidaknya 90.000 konten bermuatan hate speech,
kekerasan dan ekstrimisme dimuat ke ranah internet dan pengguna twitter di
Indonesia menyumbang 20% atas percakapan tersebut. Analisis intelijen mengamati bahwa mereka paling canggih
menggunakan internet serta mengisinya dengan beragam konten propaganda yang
dibuat secara professional dan mampu menghipnotis pembacanya.[12]
Tugas dan peran perempuan dalam
gerakan terorisme cukup beragam dan signifikan. Di antaranya, mereka berperan
sebagai pendidik
(Educator); agen perubahan (Agent
of change); pendakwah(Campaigner); pengumpul dana
(Fund raiser); perekrut (Recruiter); penyedia logistik (Logistic
arranger); pengantin atau pelaku bom bunuh diri (suicide
bombers); kurir antar kota, antar negara; penghubung
rahasia (mata-mata); agen
radikal; pengikut dan pendamping setia dari suami yang terlebih
dahulu menjadi teroris.
Selain Dian yang berperan sebagai pengantin
atau pelaku bom bunuh diri, sejumlah nama dapat disebutkan, seperti Munfiatun (2006), isteri Noordin M. Top berperan
sebagai agen rahasia yang menyembunyikan keberadaan para teroris. Siti Rahmah (2008), isteri kedua Noordin M. Top berperan
sebagai perekrut dan penyedia
logistik. Putri Munawaroh, isteri Adib Susilo berperan penting sebagai agen radikal. Tugasnya
merekrut perempuan muda untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Sedangkan Noor Azmi Tibyani, isteri Cahya Fitriyanta memiliki peran khusus
sebagai pencari dana untuk membiayai pelatihan militer Poso tahun 2008 dengan
menggunakan rekeningnya. Ummu Delima (2014), isteri Santoso berperan penting mendukung suami
dalam gerakan terorisme Poso. Lalu, Ika Puspita Sari (2016) di Purworejo berperan
sebagai subyek, pelaku bom bunuh diri.
Sebagian mereka direkrut
melalui pernikahan, suami sendiri yang melakukan upaya terencana menanamkan
ideologi radikal dengan "cuci otak". Artinya,
mereka sengaja dinikahi untuk selanjutnya didoktrin dengan ideologi radikal.
Pernikahan mereka sebagian berlangsung secara normal, namun tidak sedikit
menikah dalam penjara. Sebagian lagi dinikahi belakangan setelah mereka
menerima doktrin radikal tersebut. Tidak sedikit dari mereka mendapatkan
indoktrinasi yang sangat masif dari teman dekat suami atau dari sesama
perempuan yang telah terlebih dahulu aktif dalam jaringan tersebut.
Penutup
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa meski perempuan
berperan sebagai subyek pelaku bom dan aktor utama dalam gerakan terorisme,
namun sejatinya mereka justru hanyalah korban. Korban dari ideologi suami atau
keluarga, korban indoktrinasi agama yang tidak memihak kemanusiaan, korban
stigmatisasi dari masyarakat, korban media, dan juga korban dari ekses konflik.
Perempuan lagi-lagi hanyalah korban dari kondisi yang diciptakan
oleh para elit kekuasaan patriarki.
Karena itu, upaya mengatasinya harus
dengan pendekatan dan sentuhan kemanusiaan dan memberi tempat kepada mereka
dalam pergaulan sosial arus-utama. Pendekatan keamanan dengan kekuatan
militeristik harus ditinjau ulang. Perlu disadari bahwa penggunaan pendekatan
keamanan semata hanya akan membuat kelompok tersebut mati suri. Di balik itu,
mereka tetap beroperasi di bawah tanah dan lebih aktif menata ulang sel-sel
rahasia mereka yang suatu saat bergelora dan berujung dengan ledakan maut yang
lebih dahsyat.
Hal paling penting adalah keinginan
politik yang kuat dari negara dan seluruh elemen civil society untuk
mengikis akar-akar penyebab terorisme, seperti kemiskinan, pengangguran,
korupsi, kesenjangan dan ketidakadilan sosial yang sudah sedemikian akut di masyarakat.
Betul bahwa tidak semua anggota kelompok ini adalah orang-orang miskin, seperti
Dr. Azhari. Namun, narasi kemiskinan dan ketidakadilan menjadi pintu utama
penyebaran ideologi radikal mereka.
Sesuai kodratnya, perempuan lebih
mudah direkrut menjadi agen perdamaian (agent of disengagement). Kalau
mereka bisa direkrut menjadi teroris seharusnya lebih mudah mengajak mereka
menjadi agen perdamaian. Karena secara alami perempuan diciptakan dengan sebuah
rahim untuk merawat keberlangsungan kehidupan manusia. Perempuan memiliki
instink dan passion keibuan yang memungkinkannya lebih mudah untuk
menjalani tugas-tugas menjaga keberlangsungan hidup, mereda konflik dan
memelihara perdamaian. Untuk itu, diperlukan strategi yang lebih manusiawi,
komprehensif dan pendekatan yang jauh dari maskulin (keamanan), namun mengena
kepada mereka yang terlibat gerakan terorisme.
Indonesia
terlalu penting untuk diserahkan dan dipertaruhkan sepenuhnya kepada pemerintah
dan politisi. Masyarakat perlu terlibat mengikis terorisme. Sangat
penting bagi semua elemen dalam masyarakat, khususnya pemimpin agama dan ormas
keislaman mempromosikan ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai humanis,
keadilan, kesetaraan, toleransi dan perdamaian. Sebab, esensi Islam adalah
memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban.
Islam seharusnya menjadi rahmat bagi semua makhluk di alam semesta (rahmatan
lil ‘alamin).
Terakhir,
negara semestinya memikirkan strategi counter-ideology
terrorism yang komprehensif dan mengombinasikannya dengan upaya menata
pluralisme dalam kerangka demokrasi yang berkeadaban. Negara perlu menegaskan kembali prinsip demokrasi seperti terbaca dalam
konstitusi dan Pancasila. Konstitusi dan Pancasila menjadi kesepakataan
politik para pendiri bangsa yang harus dirawat dan dipertahankan. Para
penyelenggara negara dituntut untuk menegaskan prinsip ini bukan semata sebagai
semboyan dan jargon tapi terwujud secara nyata dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan, kebijakan, dan perilaku aparatur negara dan masyarakat.
[1]Speckhard, Anne and Khapta Akhmedova.
2004. Black
Widows: The Chechen Suicide Terrorist, McLean, VA: Advances Press.
[2]Arendt, Hannah.
1968. On Revolution, New York: Viking, h. 18.
[3]Speckhard, Anne. 2015. Bride of
ISIS: One Young Women’s Path into Homegrown Terrorism, McLean, VA: Advances Press.
[4]
Ali Fauzi
adalah mantan teroris yang berhasil direhabilitasi dan kini membantu pemerintah
menjadi pengamat teroris. Dia juga adik kandung Amrozi, pelaku bom Bali.
[5]Radikalisme Islam
umumnya dianggap sebagai salah satu penyebab munculnya terorisme. Penjelasan
mengenai ini dapat dilihat dalam Frisch, Hillel dan Efraim Inbar (eds), Radical
Islam and International Security: Challenges and Responses, Rouledge,
London, 2008, h. 5. Lihat juga Bassam Tibi, Religious Extremism or
Religionization of Politics: The Ideological Foundations of Political Islam,
dalam Frisch, Hillel dan Efraim Inbar (eds), Radical Islam and International
Security: Challenges and Responses, Rouledge, London, 2008, h. 11-37.
[6]Pandangan dan
tafsiran keislaman yang mendorong kepada tindakan teror umumnya dapat dibaca
dalam kitab-kitab para ulama Wahhabi dan Salafi, lihat Muhammad Saeed
Al-Qahthany, Al-Walla wa Al-Barra’ min Mafahim ‘Aqidah Al-Salaf,
Muqaddimah, t.th, h. 7-11. Uraian panjang lebar tentang ini dapat juga dibaca
dalam Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists, Harper Collins, 2005, h.66.
[7] Debbie
Affianty, Perempuan dalam Kelompok Jihadis dan Terorisme, dalam M.
Abdullah Darraz, Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah dan Terorisme,
Mizan, Bandung, 2017, h. 348-349.
[8] Kalimat heroik ini pertama kali diucapkan oleh seorang perempuan yaitu Asma
bint Abu Bakar, saudara Aisyah, R.A, isteri Rasulullah saw. Kalimat itu
diucapkan untuk menyemangati puteranya yang hampir putus asa di medan perang.
Lalu, Sayyid Qutb, pemikir Islam radikal asal Mesir mengulang-ulang slogan itu
menjelang kematiannya dalam rezim Jamal abd Nasser.
[9]Zuly Qodir, Jihad, Terorisme, dan Kaum Muda di Indonesia: Perspektif
Sosiologis dalam M. Abdullah Darraz, Reformulasi Ajaran Islam: Jihad,
Khilafah dan Terorisme, Mizan, Bandung, 2017, h. 314-317.
[11]Sejumlah doktrin kunci dalam pemahaman Islam radikal sungguh memukau mereka
yang baru mengenal Islam atau kelompok Islam yang sedang mencari kebermaknaan
hidup. Pemahaman
keislaman yang sangat rigid dan kaku menghipnotis banyak pemuda, termasuk
perempuan muda untuk bergabung dalam organisasi terorisme seperti ISIS. Di
antara doktrin kunci tersebut adalah doktrin al-Walla wa al-Barra (loyalitas
penuh dan pemutusan hubungan dengan semua yang beraroma thagut).
Berikutnya, doktrin hijrah, jihad, syahid, negara Islam dan Khilafah Islamiyah.
[12]Debbie
Affianty, Perempuan Dalam Kelompok Jihadis dan Terorisme, dalam M.
Abdullah Darraz, Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah dan Terorisme,
Mizan, Bandung, 2017, h. 341.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar